"Hello New York! Ready to burn out!" serunya. Yang kemudian disusul oleh perpaduan antara jeritan, teriakan, dan seruan antusias dari para penonton. Suara itu menyatu bagaikan gemuruh badai yang sedang mengamuk.
Sinar dari lampu sorot jatuh tepat di mana dia tengah berdiri, terlihat percaya diri di tempat yang menjadi impiannya dari sejak dulu; berada di atas panggung megah sebuah festival musik, di hadapan puluhan ribu penonton, menjadi Headliner dan bukan lagi hanya sekedar band pembuka, serta satu panggung bersama band-band legendaris yang selalu dikhayalkannya pada masa SMA. Semua itu terwujud.
Aku terpana melihatnya ada di atas sana. Melihat sosok itu kembali. Sosok yang selalu membuatku menghentakkan napas. Sosok yang selalu membuatku menemukan cinta. Sosok yang selalu membuatku merasa spesial. Aku hanya berharap, seandainya masa lalu adalah masa kini dan tidak pernah berubah.
Sesaat aku mengira aku sedang bermimpi. Tapi di dalam mimpi pun aku tahu kalau aku sedang bermimpi. Maka aku menunggu-nunggu dering alarmku berbunyi. Sebentar lagi aku akan terbangun di atas tempat tidurku. Akan tetapi, setelah kutunggu, dering alarmku tak kunjung berbunyi. Kau tidak sedang bermimpi, suara batinku menegaskan.
"Astaga! Dia sungguh tampan dan keren!" jerit Amber, menyadarkanku bahwa semua ini memang sungguhan.
"Iya, dia memang tampan," gumamku spontan. Mulutku selalu dalam mode autopilot bila melihat dirinya.
Kualihkan pandanganku darinya, kepada tiga pemuda di belakangnya. Kulihat wajah-wajah familiar itu kembali. Rasa rindu akan masa lalu mulai merayap ke setiap sel di dalam tubuhku. Melihat mereka semua ada di sini, di New York, di tempat yang jauhnya ribuan miles dari California, rasanya seperti berada di rumah.
Seth si kutu buku, kacamata tebal yang dulu selalu bertengger di atas hidungnya berubah menjadi Rayban hitam yang sangat bergaya. David yang gemar olahraga, terlihat jelas dari tubuh berototnya, dulu dia terlalu besar untuk ukuran anak remaja, oleh karena itu sebagian yang lain menjulukinya Dave The Gigantor. Dan Johan, si pencinta games dan teknologi, menjunjung tinggi harga diri, sampai usia 18 tahun dia masih perjaka, namun sekarang aku meragukannya.
Beberapa tahun yang lalu mereka berempat hanyalah sekumpulan anak-anak nerd dari Santa Monica. Sekarang mereka telah menjadi rock star terkenal yang digilai semua orang dari seluruh penjuru dunia. Aku terharu.
Seth pada gitar, memulai intro salah satu lagu dari album pertama mereka. Album pertama, yang sebagian besar tanpa sengaja aku mengetahui proses pembuatannya. Album dengan hampir 80 persen lirik lagunya ditulis oleh dia. Oleh sang vocalis, Michael Soga. Yang menyebabkan album tersebut berhasil mendapatkan Platinum dan beberapa penghargaan besar, seperti Grammy Awards. Serta banjir pujian dari para kritikus musik.
Tak lama berselang suara berat dan dalam itu menggema, menyanyikan verse awal. Aku menahan napas ketika mendengarnya. Kenangan-kenangan itu pun berkelebatan lagi di dalam pikiranku, membuatku ketakutan, sekaligus menyenangkan.
Para penonton bersorak-sorai, sebagian besar bernyanyi, melantunkan lagu itu bersamanya. Setelah lagu pertama selesai, kemudian mereka memainkan lagu kedua yang berirama Hip-Hop, Mike melepas mikrofon dari stand-mic lalu mulai berjalan ke tepi panggung di sisi sebelah barat. Dia mulai nge-rap dengan gayanya yang khas, memuntahkan lirik dari lagu tersebut. Aku kembali ke masa itu. Ke masa di mana dia selalu bergumam sendiri kala kami sedang nongkrong di pantai sepulang sekolah. Kadang aku kesal kepadanya karena dia asik sendiri dengan catatan dan lirik-lirik itu, lalu dia akan bergumam dengan kening berkerut, melupakanku yang ada di sampingnya. Meski terasa menyakitkan, tapi kusadari aku sedang tersenyum sendiri mengingat kenangan tersebut.
"Kau harus melihat ekspresi wajahmu, Lana!" sahut Amber.
"Apa?" tanyaku, kualihkan pandanganku kepadanya, seraya bertanya-tanya.
Amber sedang tersenyum geli melihatku.
"Ini adalah ekspresi yang jarang sekali kulihat!" Amber berkata di telingaku. "Kau terhanyut oleh lagunya, liriknya dalam ya?" kemudian dia mengedipkan sebelah matanya. Lalu kembali melihat ke arah panggung dan mulai menjerit-jerit lagi.
Aku tidak mengerti apa yang Amber maksudkan. Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku yang telah membuat Amber berkata demikian. Apakah terlalu kentara bahwa aku merasakan sesuatu ketika melihatnya? Mendengarkannya bernyanyi? Sesaat aku takut Amber akan mencurigaiku. Namun, aku tahu Amber tidak akan mungkin berpikiran sampai sejauh itu.
Selama dua puluh lima menit, aku memaksa diriku agar tampak normal. Berusaha keras menahan beragam emosi yang berkecamuk dan bergejolak di dalam diriku. Kadang kala sebisa mungkin aku menyembunyikan diriku ketika dia sedang berdiri tepat di hadapanku di atas panggung, agar dia tidak mengetahui aku sedang berada di tengah-tengah para penonton ini, menyaksikannya. Karena aku masih belum mampu ditatap oleh kedua mata itu. Aku akan menunduk jika dia berdiri di atas sana. Dan yang melegakannya lagi, Amber terlalu terbawa suasana sehingga tidak sempat memperhatikanku.
Bisa kukatakan, inilah momen yang paling menegangkan selama aku tinggal di New York. Jantungku berpacu cepat sekali, yang mana jarang, bahkan belum pernah kurasakan kembali selama ini. Bagiku melihatnya kembali masih terasa menyakitkan. Andai saja semua yang telah terjadi di antara aku dan dia tidak seperti itu, tidak seperti apa yang telah terjadi, mungkin bukan begini yang akan kurasakan. Mungkin juga aku tidak akan berdiri berdesakan di tengah kerumunan penonton. Mungkin tempatku seharusnya berada di sisi panggung, bersama mereka, bersamanya. Seperti dulu kala.
Beberapa lagu dari album pertama dan kedua mereka telah dimainkan, selama itu pula aku berusaha tenang, jauh berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku. Aku iri kepada Amber yang lepas dan tanpa beban. Dia sangat menikmati dan terlihat bahagia. Tapi kemudian aku tersadar kalau dia itu Amber. Si cewek yang tidak pernah tidak bahagia.
Menuju ke akhir pertunjukan, semua lampu di atas panggung mati secara mendadak. Para penonton dihadapkan dengan panggung yang gelap gulita. Semua orang dibuat kebingungan. Begitu pula aku. Apakah pertunjukannya sudah selesai, atau terjadi kesalahan teknis.
"Apa yang terjadi?" tanya sebagian yang kudengar dari mereka.
Amber dan aku saling tatap. "Ada apa ini?" tanyanya. Aku pun tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Selama kurang lebih satu menit para penonton dibuat bertanya-tanya. Namun beberapa saat kemudian, suara Mike berkumandang dari speakers, sementara panggung masih dalam keadaan gelap.
"Ada seorang gadis dari California yang membuat lelaki ini tidak pernah bisa memejamkan matanya di malam hari," dia memulai, dentingan piano pun mengiringinya. Nadanya pilu. "Si lelaki jatuh cinta pada pandangan pertama, namun dia menyadari bahwa sang gadis tidak mungkin bisa dia raih," dia melanjutkan.
Suara dentingan piano mengalun dengan indah, menggetarkan hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Lalu lampu sorot menyala dan cahayanya jatuh kepada Mike yang sekarang hanya seorang diri memainkan piano. Bulu kudukku mendadak berdiri, menyaksikan momen dramatis ini.
"Dengan perjuangan yang tidak gampang, sang lelaki pun berhasil, dia berhasil merebut hatinya." Dentingan piano mencapai nada tinggi. "Namun, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Dan karena kebodohannya lah sang gadis pun akhirnya pergi meninggalkannya."
Apa ini? Batinku.
"Si lelaki meratap, tidak pernah bisa melanjutkan. Dia merasa bodoh, merasa tidak berguna. Dia menyesal. Sekarang, apakah akan ada kesempatan kedua? Akankah dia bertemu lagi dengannya?" suara piano pun lenyap.
Mike hanya duduk diam di sana. Aku menunggunya dengan jantung berdegub kencang. Kemudian dia berdiri dan berjalan ke arah tepian panggung. Dia berdiri sambil menyapukan pandangannya kepada para penonton. Sekilas wajahnya menyiratkan kesedihan, namun sekejap berubah menjadi normal kembali. Apa aku salah lihat?
Hening.
Kemudian petikan rhythm meraung dari pengeras suara.
"Aku menulis lagu ini, sekitar tiga tahun yang lalu. Terinspirasi dari seorang gadis bermata abu-abu indah," katanya kepada para penonton. Mereka pun merespon dengan seruan yang memekakkan.
"Kalian ingin mendengarkannya?" seru Mike, mengarahkan mikrofon kepada penonton. Mereka berseru setuju.
"Ini adalah salah satu lagu dari album terbaru kami. Kami sengaja ingin memainkannya secara perdana di festival musik ini. Karena kalian begitu spesial, kami persembahkan lagu yang berjudul..." dia berhenti sejenak, menarik napas, lalu melanjutkan.
"River Song."
Tiba-tiba kepalaku terasa berputar-putar, kedua kakiku lemas seperi jelly. Aku hampir terjatuh namun aku berhasil meraih pagar besi penghalang di hadapanku, dan bertumpu padanya.
"Judul lagunya seperti namamu!" teriak Amber yang berada di sampingku.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala, tak mampu berkata-kata.
Dia menulis lagu untukku?
Mike mulai bernyanyi. Kupejamkan kedua mataku. Iramanya agak pop. Mungkin dari semua lagu-lagu mereka, inilah yang terdengar paling manis, paling romantis. Aku terpaku di sana. Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima, mendengarkannya menyanyikan lagu tersebut. Melantunkan kalimat demi kalimat dari lirik lagu itu. Meneriakan isi hatinya.
You flow like a river, Make me somber.
You flew to wherever, Left me cold...
And shiver.
Mike menyanyikan refrain berulang-ulang. Membuat para penonton seketika itu hapal liriknya. Mereka pun ikut bernyanyi. Irama lagu berubah menjadi keras, menghentak dan menggetarkan seisi Randall's Island. Penonton menggila.
Tak lama dari situ, ketika bagian refrain kembali dinyanyikan, Mike melompat turun dari panggung. Menuju ke tempat penonton. Ke arahku.
"Here we go!" jerit Amber kepadaku.
Dan ya, 'Here we go!' untukku sendiri.
Kupalingkan wajahku ke arah manapun selain padanya. Kubuang napas berkali-kali. Yang kuinginkan hanya melarikan diri.
Aku tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, namun yang kutahu ketika aku menengadahkan lagi wajahku, dia ada di sana, tepat di hadapanku berada. Dia menatapku, kedua mata berwarna cokelat itu pun berubah menjadi gelap. Aku melihat ekspresi syok muncul di wajahnya, seakan dia sedang melihat hantu. Ya, hantu dari masa lalu. Kami pun saling tatap lama sekali. Suara dari ribuan penonton seolah terhisap ke dalam sebuah lubang yang menyebabkanku tidak bisa mendengar apa pun kecuali debaran jantungku yang kencang dan napasku yang memburu. Keadaan menjadi hening dan aku merasa hanya ada kami berdua di sini, saling tatap kembali setelah beberapa tahun terlewati, setelah ribuan jarak yang telah ditempuh, ternyata tidak benar-benar berhasil memisahkan kami.
Keadaan kembali seperti semula ketika kudengar Mike dengan terbata-bata bernyanyi tepat di hadapanku. Tatapannya menerobos masuk ke dalam kedua mataku. Dia tidak mengalihkan tatapannya sedetik pun sampai lagu selesai.
"Aku berharap dia mendengarkannya malam ini," gumamnya pada mikrofon di tangannya, sementara kedua mata itu tidak pernah meninggalkanku.
Lalu senyuman yang kutakutkan itu pun perlahan muncul. 'Hai' dia berkata kepadaku tanpa bersuara. Aku membalasnya ragu-ragu.
Dia tampak enggan ketika harus berpaling dariku dan kembali ke atas panggung yang dibantu oleh beberapa kru.
Mike melihatku lagi dari kejauhan saat dia sudah berada di atas sana. Sesaat dia hanya berdiri di sana, membisu. Kemudian dengan perlahan dia mulai melambaikan tangannya ke udara.
"Thank you New York! Thanks for the miracle!" serunya.
Dan seperti itulah, dia lalu menghilang ke belakang panggung, disusul oleh yang lainnya.
Kuhela napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Kulakukan berkali-kali sampai pikiranku tenang. Aku tidak bisa menjabarkan apa yang kurasakan pada malam ini. Kepalaku penuh, rasanya akan meledak sebentar lagi. Yang kuinginkan hanyalah segera pergi keluar dari sini.
"Wow! That was amazing! Kau tahu kau beruntung sekali! Pertama Dan Reynolds dan yang terakhir Michael Soga! Aku terkejut ketika dia menatapmu saat turun tadi, dia seolah mengenalmu. Tatapan itu. Ya tuhan! Membuatku ingin mati saja! Bagaimana rasanya, Lana?" seru Amber masih bersemangat, seraya mengipasi wajah dengan sebelah tangannya. Dia terlihat begitu matang, seperti udang rebus. Aku kagum dengan staminanya.
Aku tidak berkata apa-apa, harus bagaimana lagi, tenagaku sudah terkuras habis. Dan aku pun tidak tahu harus menjawab apa.
Aku hanya diam, kemudian Amber menatapku dengan tatapan curiga.
"Jangan-jangan dia mengenalmu?" tanyanya, sebelah alisnya naik.
Aku tersentak oleh ucapannya, namun aku berhasil menguasai diri. "Apa? Kau sedang meracau akibat euforia yang kau rasakan, kau tahu!" kutatap dirinya, memastikan.
Tak kuduga Amber tertawa keras, sebelah lengannya merangkul pundakku. "Kau benar! Andai saja dia mengenalmu, aku kan bisa mengenalnya juga."
Kupaksa bibirku untuk tersenyum. "Baiklah! Semuanya sudah terbayar untuk hari ini, bisakah kita pulang? Aku rasa aku benar-benar butuh untuk mengistirahatkan tubuhku," desahku sembari memijat leher.
Aku tahu aku berbohong. Aku yakin kali ini bukan beberapa hari saja aku akan terjaga di atas tempat tidurku, melainkan berminggu-minggu, bahkan yang mengerikannya lagi mungkin berbulan-bulan.
Amber mengerang. "Sebenarnya aku tidak mau ini berakhir, tapi aku juga butuh tidur," lalu dia menguap lebar. "Oke! Ayo kita pulang!"
Ketika aku akan membalikkan tubuh, kurasakan sesuatu meraihku dari belakang, secara naluriah aku langsung menoleh untuk melihatnya. Kudapati sebuah tangan berotot memegangi pundakku.
"Kau yang bernama Lana?" tanyanya. Pria itu bertubuh tinggi besar, bertampang galak dan yang anehnya lagi dia memakai kaus bertuliskan 'kru'.
Setiap otot dalam tubuhku menegang. "Ada apa ini?" tanyaku dengan perasaan waswas.
Amber menatap pria itu dengan ekspresi ngeri.
"Namamu Lana Riversong?" tanyanya lagi.
Dengan ragu-ragu, aku mengangguk. Aku mendengar Amber bertanya 'apa yang terjadi?' Tetapi tidak kuhiraukan. Karena kecurigaanku mungkin saja benar. Aku memiliki firasat.
"Good! Bisakah kau ikut denganku?" tanpa basa-basi lagi si pria itu melambaikan satu tangannya, mengisyaratkan supaya aku mengikutinya.
"Ini temanku, aku tidak bisa meninggalkannya di sini sendirian," jelasku kepadanya.
Kulihat Amber, wajahnya penuh tanda tanya seraya melihatku dan pria itu secara bergantian.
Sejenak si kru berwajah sangar itu menelusuri Amber, yang menyebabkan Amber merapat kepadaku. Si pria itu pun akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalian berdua kalau begitu ikut denganku sekarang!"
Aku meyakinkan Amber kalau semuanya akan baik-baik saja. Baginya, tentu saja bukan bagiku.
Beberapa saat kemudian kudapati kami berdua sudah mengekor si pria itu dari belakang, berjalan menuju ke arah belakang panggung.
Aku tidak mengetahui apa pun yang akan terjadi selanjutnya. Andai saja aku tahu. Tapi jikalau memang ternyata seperti apa yang sedang kubayangkan dan kuperkirakan, well, kurasa sebaiknya aku harus mulai menyiapkan mentalku dari sekarang.