Chapter 5

Aku tidak pernah merasa begitu penasaran terhadap seseorang sebelumnya.

Sekolah SMA-ku termasuk Sekolah Menengah Atas terpopuler dan terbaik kedua di seluruh California. Ada dua program yang menjadi keunggulan dari sekolah itu, yaitu program musik dan olahraga. Program olahraga memiliki dua anak program lainnya yaitu, football dan cheerleading. Aku, tentu saja memilih program cheerleading, merunut dari riwayatku semasa SMP yang mengikuti program gymnastic. Program pemandu sorak yang mereka punya termasuk yang terbaik dan selalu menghasilkan banyak penghargaan di dalam berbagai tingkatan kejuaraan. Selain itu pula banyak para alumni dari sekolahku, yang dulunya masuk program cheerleading dan football, sekarang menjadi atlet dan pemandu sorak profesional NFL (National Football League).

Kebanyakan murid yang masuk program cheerleading adalah mereka-mereka yang bisa dikategorikan populer. Sepertinya hal ini sudah menjadi label di masyarakat, bahwa siapa pun yang masuk program tersebut sudah bisa dipastikan dia adalah anak populer.

Status populer ini jugalah yang akhirnya menempel padaku. Sebenarnya aku sudah mendapatkan gelar tersebut sebelum masuk SMA. Perkelahian dengan Brittany sewaktu SMP menjadikanku anak populer pada waktu itu. Namun di SMA berbeda dengan ketika di SMP. Di SMA, anak populer ditilik dari program apa yang mereka ikuti.

Meski program seni musik di sekolahku termasuk program terbaik kedua setelah olahraga, tapi orang-orang yang berada di dalam program tersebut tidak sama nasibnya dengan mereka yang masuk program olahraga. Mereka tidak sepopuler itu. Dari kategori populer sampai pecundang, mereka hanya masuk ke dalam kategori standar. Walau kuakui mereka yang masuk program musik kebanyakan orang hebat, dan keren tapi anehnya mereka tidak mendapatkan status yang sah sebagai orang-orang populer.

Karena status populer ini pula yang membuatku berteman dengan golongan spesies yang sama. Aku bukan orang yang berusaha untuk menjadi populer. Demi tuhan! Aku tidak pernah berusaha. Namun, entahlah. Ini seperti takdir, bahwa aku memang sudah digariskan untuk menjadi populer. Dan hal itu tidak selalu membuatku senang.

Ada banyak hal yang membuatku muak dengan orang-orang golongan populer. Mereka selalu berkelompok dan memisahkan diri dari yang lainnya. Menegaskan kalau mereka berbeda, tidak bisa dijangkau. Sebagian besar yang mereka lakukan hanyalah menatap diri mereka di cermin, berpesta tiada henti, menghamburkan uang orangtua mereka, dan saling memamerkan apa pun yang mereka punya. Dari kekayaan sampai ukuran bra. Apalagi kalau mereka sudah berkoar-koar tentang perbandingan tingkatan kelas sosial mana mereka berada, ingin rasanya meneriaki mereka satu per satu. Aku bukan berasal dari keluarga kaya raya, oleh karena itu aku selalu menjadi yang paling pasif dalam obrolan seputar itu.

Sudah beberapa kali aku mencoba menarik diri dari lingkaran kelompok itu. Kadang kala aku memisahkan diri dari mereka. Beberapa kali aku makan siang hanya seorang diri, duduk di pojok kantin sambil membaca buku. Apabila gerombolan mereka ada di sana, maka aku akan makan di bangku aula atau jika terlalu ramai, aku pergi ke toilet dan makan di sana. Apabila mereka mengajakku pergi berpesta di setiap akhir pekan, aku akan berpura-pura sibuk, dan seringnya aku memakai ibuku sebagai alasan.

Namun tetap saja, mereka tidak pernah membiarkanku sendirian. Sekeras apa pun usahaku menarik diri dari kelompok itu, sekeras itu pula mereka menarikku kembali.

Sebagian orang yang menurut mereka bernasib kurang beruntung karena status yang mereka sandang, berada di posisiku adalah sesuatu yang mereka mimpikan. Padahal sebaliknya, justru bagiku berada di tempatku adalah sebuah kutukan.

Aku ingin berteman dengan semua orang. Tapi hal itu mustahil terjadi di sekolahku. Pernah suatu ketika, aku mencoba bergabung dengan mereka yang disebut 'pecundang', mereka yang kutu buku dan mereka yang tidak masuk dalam kategori orang-orang populer. Pada saat istirahat makan siang, aku duduk bersama mereka. Namun apa yang terjadi tidak seperti apa yang aku pikirkan. Mereka mengejekku, katanya aku tidak cocok berada di antara mereka. Mereka mengatakan bahwa aku terlalu sempurna.

Mencari teman yang benar-benar membuatku nyaman ternyata memang tidak mudah. Tahun pertama di SMA adalah masa tersulit bagiku untuk bersosialisasi.

Tapi hal itu perlahan menemukan titik terang saat aku mulai memasuki tahun kedua. Semua itu terjadi kala aku mencurigai seseorang yang selalu datang menonton di saat kelas pemandu sorak sedang berlangsung.

Suatu siang aku menangkap sesosok itu dari kejauhan. Dia sedang duduk di atas tribun penonton di lapangan sekolah. Tatapannya mengarah kepada kami. Aku melihatnya di sela-sela kelas pemandu sorak-ku. Awalnya kupikir hanya murid pecundang yang sedang duduk meratapi nasibnya. Maka tidak kupedulikan.

Namun seiring waktu berjalan, aku selalu melihatnya ada di sana setiap kelas pemandu sorak berlangsung. Dia sering terlihat duduk di atas tribun, seorang diri. Terkadang dia hanya melihat kami yang sedang menari, tapi sesekali dia membaca buku dengan headphone di kepalanya. Samar kulihat wajahnya, karena aku selalu melihatnya dari jarak yang cukup jauh.

Suatu saat dikarenakan rasa penasaranku yang sudah tidak bisa dibendung lagi akan si sosok itu, sebelum kelas dimulai aku sengaja menaruh tas dan botol air mineralku di dekat tempat dia biasa duduk, dengan maksud ingin melihatnya dari dekat. Tetapi hari itu, sepanjang kelas pemandu sorak, aku tidak melihat kehadirannya. Aku bertanya-tanya ke mana dirinya.

Aku bertanya kepada Candice saat kelas berakhir. "Kau tahu cowok yang suka duduk di atas tribun kalau kita sedang berlatih?" tanyaku.

Candice mengeryitkan keningnya. "Yang mana, ya?" katanya sembari melihat ke arah tribun. "Gak ada siapa pun di sini."

"Biasanya dia duduk di sana, tapi hari ini dia tidak datang," jelasku, seraya menunjuk ke arah tempat biasa si lelaki itu duduk.

Candice melihat lagi ke arah tribun. Lalu dengan wajah bosan dia berkata, "Sudahlah paling salah satu dari Dork Club. Eh! Aku duluan ya Lana, dari tadi Jaden sudah menungguku, see you tomorrow!"

Sebelum sempat bertanya lebih jauh kepadanya, Candice sudah berlalu dari hadapanku.

Dork Club? Aku tidak tahu kalau ada sebutan itu.

Esoknya, aku kembali penasaran dengan absennya si cowok yang diduga dari kelompok Dork Club itu. Beberapa hari berlalu tanpa kehadirannya. Sampai pada suatu saat, ketika kelas pemandu sorak-ku selesai, aku sengaja berlama-lama berada di lapangan. Menunggunya. Aku duduk di bangku tribun dan meneguk air mineralku. Tapi ketika dia tak juga muncul, maka aku memutuskan untuk pergi saja. Niatku akan segera pulang, tapi ketika kurasa tubuhku penuh dengan peluh, aku pun memutuskan untuk mandi terlebih dulu.

Suasana di lingkungan sekolah sudah lumayan sepi, kelas-kelas kosong. Namun ada segelintir orang yang masih mengikuti kegiatan tambahan. Aku senang begitu memasuki kamar mandi siswi, kudapati ruangan itu hanya untuk diriku sendiri, maka aku berlama-lama di sana. Suasana sekolah yang sepi terkadang memiliki sisi menarik tersendiri bagiku.

Rasa penasaranku terbayar ketika aku sudah selesai mandi. Aku berjalan keluar dari kamar mandi siswi dan berbelok ke arah kelas program seni musik. Kupikir saat itu tidak ada kelas yang sedang berlangsung. Namun sayup-sayup kudengar dentingan piano mengalun dari dalam salah satu kelas. Suaranya begitu indah, permainannya halus. Kuputuskan yang sedang bermain piano adalah orang yang sudah mahir.

Ketika aku melewati pintu kelas di mana sumber suara tersebut berasal, seketika itu pula langkahku terhenti.

Dari jendela kecil di pintu, Kulihat sosok yang sedang memainkan piano itu adalah sosok yang sama dengan orang yang selama ini aku pertanyakan keberadaannya. Rupanya dia masuk program seni musik.

Tatapan kami bertemu, dia langsung menghentikan permainannya. Muncul kekagetan pada wajahnya kala dia melihatku. Dengan ragu-ragu kubuka pintu kelas itu lalu menerobos masuk. Dia bangkit berdiri dengan tergesa-gesa seraya menyampirkan backpack ke pundaknya. Kuhalangi jalannya ketika dia akan melarikan diri.

"Kau yang selalu duduk di tribun kalau kami sedang berlatih, kan?" tukasku.

Dia hanya menunduk dan membisu. Ketika dia tak kunjung membuka mulutnya, kuberanikan diri untuk menghampirinya. Tubuhnya menjulang tinggi di hadapanku, aku hanya sebatas dagunya. Dia memiliki rambut hitam legam, beralis tebal dan memakai piercing di kedua telinganya. Baru kusadari kalau dia memiliki wajah cenderung Asia. Kuakui dia terlalu keren dan berparas menarik untuk ukuran anak culun.

"Aku tidak bermaksud menuduhmu. Hanya saja,—" aku menggigit bibir. Hanya saja apa? pikirku.

Dia hanya menatapku. Kulihat kedua bola matanya berwarna cokelat. Cokelat tua, hampir hitam.

Kucuatkan daguku kemudian. "Hanya saja, aku agak risih kalau ada anak culun yang menonton kami."

Aku tahu aku brengsek, tapi aku tidak mengerti mengapa aku tiba-tiba gugup dan kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa kukendalikan. Dan aku sangat menyesal telah berkata demikian kepadanya.

Dia menatapku tak percaya, lalu mulai membuka mulutnya.

"Aku kira kau berbeda," gumamnya. Suaranya dalam dan seksi.

"Tapi ternyata kau sama saja," lanjutnya.

Ada ekspresi terluka pada wajahnya. Lalu dia memalingkan pandangannya dariku, kemudian berjalan melewatiku. Setelah itu yang kudengar hanya suara pintu menutup di belakangku.

Setelah kejadian tersebut, beberapa kali aku mampir ke kelas seni musik. Aku ingin meminta maaf kepadanya. Namun, dia selalu menghindar. Maka aku menyerah dan menganggap semua yang telah terjadi di antara kami sebagai angin lalu.

Bahkan aku pun tidak tahu siapa namanya, sampai pada suatu hari kudapati secarik kertas origami berbentuk burung, menempel di pintu loker milikku. Ada tulisan 'Read me please' pada kertas itu.

Ternyata, kertas tersebut adalah sebuah surat pendek. Isi suratnya ditulis tangan. Begini bunyi suratnya:

Hai,

Maafkan aku sebelumnya telah membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat, karena aku tahu kau bukan orang yang menyebalkan seperti mereka yang ada di kelompokmu. Aku tahu kau berbeda. Aku tahu mungkin kau pun merasa marah dengan ketimpangan status di sekolah ini. Aku tahu karena beberapa kali aku melihatmu mencoba membaur dengan yang lain. Dan kau lebih memilih menyendiri. Mari buat perubahan.

M.S.

Yang kutahu setelah membaca surat darinya, kudapati diriku sudah berlari, dan berbelok ke arah kelas seni musik lalu berdiri di depan pintu kelasnya.

"Hai! Aku Lana, senang berkenalan denganmu," sahutku, ketika dia muncul di hadapanku dengan senyuman mengembang di wajahnya.

Dia menjabat tanganku yang terulur di hadapannya—dengan erat dan agak gemetaran.

"Hai, aku Mike. Senang berkenalan denganmu."