Kira-kira selama satu menit setelah kata 'hai' terucap dari mulut kami berdua, kami hanya berdiri saling berhadapan di ambang pintu. Kupecahkan keheningan yang memekakkan ini dengan berkata, "Apakah kita akan berdiri di sini saja sepanjang malam?"
Mike agak terperanjat seakan dia baru ingat sesuatu ketika mendengar aku berkata demikian.
"Oh! Maafkan aku, aku... si—silahkan masuk!" dia tergagap-gagap mempersilahkan aku masuk ke dalam ruangannya.
Setelah menghela napas lalu menghembuskannya, aku pun melangkah masuk ke dalam ruang berukuran lebih kecil dibanding ruangan sebelumnya. Hanya ada satu sofa berwarna hitam, cermin setinggi dinding, dan beberapa alat-alat musik, seperti: gitar, keyboard, Dj set dan drum set yang sudah dilepas.
Mike dan aku duduk di atas sofa, dengan jarak yang cukup jauh antara satu sama lain. Suasana di ruangan ini membuatku tersenyum. Aku mengingat saat-saat ketika aku masih selalu hadir di setiap pertunjukan mereka. Sebelum manggung, mereka akan berada di dalam ruangan seperti ini untuk melakukan pemanasan, hanya saja tidak se-exclusive sekarang. Mike akan bernyanyi, lalu berteriak-teriak seraya memainkan entah itu keyboard atau gitarnya. Sementara Seth akan tenggelam ke dalam note-note gitar. David akan memukul apa pun itu yang ada di hadapannya menggunakan stik drum. Dan Johan akan menggesek-gesek piringan hitam itu.
"Ada apa?" tanyanya ikut tersenyum seraya menatapku dengan ekspresi bingung.
Aku tidak yakin kalau dia tidak tahu alasan di balik senyumanku. Aku tahu kalau dia pun mengetahuinya.
Aku mengedikkan bahu. "Tidak ada apa-apa, hanya… entahlah aku merasa bernostalgia saja."
Dia mengangguk, lalu terdiam.
Jelas aku bernostalgia, bagaimana tidak ada kau di depan hidungku, Sebenarnya kalimat itu yang ingin kukatakan keras-keras. Namun, keinginan tersebut berhasil kutahan.
Hampir tiga tahun lamanya kami tidak pernah berada dalam satu ruangan. Malam ini adalah pertama kalinya lagi aku dan dia bersama, berdampingan, menatap satu sama lain tepat di kedua mata, dan berbicara berhadapan dalam satu atmosfir.
Aku tidak tahan, jujur saja. Kondisi ini sungguh menyesakkan, seakan seluruh oksigen yang ada di dalam ruangan ini tersedot keluar. Namun, di sisi lain sesaknya menyenangkan. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana keadaanku setelah pergi dari sini. Apakah aku masih akan bisa bertahan hidup kali ini?
"Umm... ngomong-ngomong, pertunjukan yang bagus," kataku.
Aku sudah tidak tahan ingin melontarkan pujian untuknya yang sedari tadi sudah bertengger di dalam benakku. Tapi, aku agak menyesal setelahnya, karena kata bagus sepertinya kurang tepat untuk pertunjukannya yang spektakuler itu.
Kemudian kedua matanya berbinar. Lalu senyuman mengembang lagi di bibirnya. "Hanya bagus?" katanya, kedua alisnya terangkat.
Aku tidak tahu apakah dia sedang menggodaku, atau memang serius bertanya.
"Kau ingin aku berkomentar apa?" tanyaku polos.
Kemudian kekehan yang selalu membuatku gembira setiap kali mendengarnya di masa lalu, terdengar olehku.
Mike adalah orang yang mudah tertawa. Tawa kecil, kekehan, sampai tergelak, semua suara yang ditimbulkannya selalu membuat hatiku gembira. Aku suka mendengar suaranya kala dia tertawa. Kutarik napas karena seketika hatiku mencelos mendengarnya. Tawa yang kurindukan.
"Baiklah, kalau begitu, pertunjukan yang menakjubkan," ujarku lagi.
Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak keberatan dengan hanya 'pertunjukan yang bagus' saja, karena aku merasa kami tidak tampil maksimal malam ini. Beberapa nada melenceng, earpiece-ku agak kurang terdengar,—"
"Teknis," timpalku.
Kemudian kami saling tatap lagi, agak lama.
"Ya, teknis," gumamnya tanpa melepas pandangannya dariku.
Dulu dia selalu rewel mengenai hal-hal berbau teknis. Sebelum pertunjukan biasanya Mike yang paling stress memastikan semuanya harus berjalan sempurna. Dia juga sangat detail, kesalahan sekecil apa pun sudah dipastikan tidak akan ada yang luput dari perhatiannya. Padahal kebanyakan penonton tidak akan memperdulikan hal itu. Malah mereka tidak peduli. Pernah sehabis satu pertunjukan, dia cemberut seharian karena sewaktu tampil beberapa kali dia lupa lirik lagunya. Padahal hal itu tidak mempengaruhi pertunjukan secara keseluruhan. Sampai David berkelakar, katanya, "Untung saja kita band beraliran keras, mereka tidak akan menganggap kesalahan yang kita lakukan sebagai kekurangan. Malah sebaliknya itu yang bikin kita tambah keren." Dan penyataan tersebut jelas tidak membuat Mike senang. Lucunya, sekarang pun dia masih sama.
"Aku berharap, kau menikmati pertunjukan kami pada malam hari ini."
Ada sesuatu di dalam ucapannya. Sesuatu semacam penekanan pada satu hal. Dia seolah menungguku untuk berkomentar tentang sesuatu. Aku paham apa itu. Lagu barunya.
Sejujurnya, aku ingin sekali membicarakan hal tersebut. Tapi aku tidak mau menjadi orang yang terlalu percaya diri, walaupun tidak ada keraguan dari setiap lirik dalam lagu itu. Namun, aku pun tidak ingin malam ini, ketika kami bertemu untuk pertama kalinya lagi dinodai dengan membedah luka dari masa lalu.
Aku mengangguk. "Ya, kami… maksudku, aku dan temanku menikmatinya."
Aku langsung teringat Amber, dia pasti sudah bosan ada di luar sana, menungguku.
"Kau bersama temanmu?" tanyanya.
Aku mendengar ada nada curiga pada suaranya. Seperti yang selalu dia lakukan pada jaman dahulu jika dia bertanya kepadaku, mengenai siapa lelaki yang baru saja ngobrol denganku. Aku ingin menjawab kalau aku bersama dengan teman perempuan, tapi sudahlah apa pedulinya dia terhadapku sekarang.
Maka aku hanya mengangguk. "Dia ada di ruang tunggu," jawabku.
Keheningan kembali menyusup di antara kami berdua. Selama beberapa saat, aku dan dia sibuk di dalam pikiran kami masing-masing. Mungkin sebenarnya kami berdua sudah tahu, ada banyak sekali yang ingin kami bicarakan. Dari A sampai Z. Namun, kami sadar bahwa kami sudah tidak berada dalam satu tempat yang sama. Masa lalu tidak semudah itu dibicarakan sekarang. Ada semacam pintu yang tidak sembarangan untuk bisa dimasuki begitu saja. Karena pada malam ini semua hal tentang kami dulu, kembali menjadi terasa asing.
Mungkin ini saatnya aku pamit untuk pergi.
Ketika hendak akan bangkit dari sofa, Mike menahanku dengan berkata, "Aku benar-benar tidak mengira akan bertemu denganmu di salah satu pertunjukanku lagi, setelah sekian lama. Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di New York, Lana."
Aku terduduk kembali, mendengarnya menyebut namaku sekarang lebih menyakitkan dibandingkan obrolan kami tadi. Kupalingkan wajahku kepadanya, Mike sedang menatapku, kali ini kerinduan tergambar jelas di kedua matanya.
Tidak ada yang mengetahui kepergianku ke New York selain Mom dan adikku, Zoe. Teman-temanku di Santa Monica, bahkan Cassandra teman masa kecilku pun tidak kuberitahu. Aku tidak ingin keberadaanku diketahui oleh siapapun setelah keputusanku untuk meninggalkan California. Terutama oleh Mike. Namun, pada malam hari ini takdir tidak berpihak pada semua itu. Dan yang paling mengejutkanku saat ini, ada kelegaan di dalam dada bahwa akhirnya kami bisa bertemu kembali. Dia menemukanku.
"Kau di New York. Jadi apakah selama ini kau berada di sini?" katanya lagi setengah melamun, lalu menggelengkan kepala tak percaya seolah dirinya mendapati hal yang tidak mungkin terjadi.
"Ta-da! Aku ketahuan!" seruku berusaha ceria. Perasaanku masih berada di persimpangan, antara gembira dan sedih. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.
Mike hanya menatapku sambil tersenyum getir. Lalu perlahan muncul penyesalan pada wajahnya yang membuatku ingin segera melarikan diri dari sini. Aku tidak ingin melihat ekspresi itu muncul di wajahnya sekarang.
Please don't! batinku.
Cepat-cepat aku bangkit dari sofa, kemudian mengulurkan sebelah tanganku kepadanya. Dan dengan gerakan lambat dan berat hati, dia pun menyusulku berdiri. Lalu menjabat tanganku. Aku terkesiap ketika aliran listrik mengaliri tubuhku akibat bersentuhan dengannya.
"Selamat atas pertunjukannnya malam ini dan selamat atas kesuksesan kalian bisa berhasil sampai di sini. Aku senang melihatnya," aku berusaha bicara.
Dia tidak mengucapkan apa-apa, hanya menatap dan menggenggam tanganku.
Ini adalah saatnya. Saat di mana kami berdua harus berpisah, lagi. Aku akan pulang dan dia akan melanjutkan apa pun yang sudah diperjuangkannya selama ini. Aku sadar bahwa kejadian malam ini akan terus berada di dalam ingatanku dan akan kukenang selama—aku tidak tahu sampai kapan. Wajah dan sentuhannya pasti akan terus menghantuiku kembali di dalam setiap malam-malamku. Padahal frekuensinya selama ini sudah mulai berkurang. Tapi, setelah malam ini aku yakin bakal lebih intens lagi. Kali ini aku harus benar-benar mencari cara untuk setidaknya membuatku bertahan tanpa perlu memesan tiket penerbangan ke kutub utara.
Sekarang, kalimat penutup dari sejak lama, harus diucapkan. Setidaknya oleh salah satu dari kami.
Dengan enggan aku mengatakannya, "Good bye, Mike."
Lalu kulepaskan genggaman tanganku padanya.
Awalnya dia tidak mau melepaskan, namun akhirnya dia melonggarkan genggamannya dan tanganku pun mengayun bebas.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku sudah berbalik dan berjalan pergi dari sana, meninggalkannya dalam keadaan berdiri diam membeku. Langkah kakiku terasa lebih berat dibandingkan dengan pertama kali aku berjalan menemuinya. Mungkin jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin meninggalkannya. Aku ingin dia mengejarku. Aku ingin dia mencegahku pergi. Tapi harapanku tetaplah akan selalu menjadi harapan semu. Kenyataannya dia dengan mudah melepasku. Itu berarti dia pun masih tidak menginginkan aku untuk tetap tinggal. Baiklah.
Air mata mulai menusuk-nusuk di kedua mataku. Ada yang berhasil meloloskan diri ketika aku sudah melangkah masuk ke tempat di mana Amber sedang duduk sambil memelototi ponselnya. Buru-buru kuhapus air mataku dengan punggung tangan.
Amber melirik ke arahku. "There you are!" katanya lega.
Namun, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah. "Lana, kau kenapa?"
Aku yakin ini pasti karena dia melihatku yang mungkin sekarang sudah tampak begitu kacau. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin cepat sampai di apartemenku.
"Bisakah kita pergi sekarang juga!" perintahku. Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk membentaknya. Tapi reaksi dari tubuhku masih mengejutkanku.
Amber menatapku dengan ekspresi tercengang, mulutnya menganga.
"Maafkan aku, tapi bisakah kita pergi saja?" tanyaku lagi kali ini lebih lembut.
Amber mengerjapkan matanya. "Oke, ayo kita pulang," katanya, suaranya menciut.
Selama berjalan keluar dari tenda menyebrangi rumput kembali ke arah panggung, beberapa kali Amber menoleh ke arahku. Sesekali dia membuka mulutnya kemudian menutupnya lagi. Aku yakin dia sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang telah terjadi padaku. Tapi kali ini dia bekerja sama untuk tidak menggangguku dulu. Dan aku sungguh berterima kasih kepadanya.
"Lana!"
Suaranya ketika memanggil namaku, masih terdengar jelas di dalam kepalaku. Mungkin suara itu akan terus terngiang-ngiang sekarang, dan aku harus berurusan dengan hal ini kembali di dalam keseharianku.
"Lana!"
Suaranya terdengar seakan dia sedang berada di sini. Ya tuhan, bisakah aku berhenti memikirkannya. Kupejamkan kedua mataku sejenak, sementara kedua kakiku tidak mau berhenti berjalan.
"Lana," kali ini suara Amber yang kudengar. Aku terus berjalan.
"Lana," katanya lagi.
Aku berhenti lalu menoleh ke arahnya. "Ada apa, Amber?"
Kulihat Amber sedang menatap sesuatu di belakang kami, seketika itu pula aku tahu. Ekspresi terkejut pada wajah Amber lah yang memberitahuku.
Sedetik kemudian, kudapati dirinya tengah berlari kecil ke arah kami berdiri. Dan yang kutahu setelah itu dia sudah berdiri di hadapanku, disusul suara tercekat dari seseorang di sebelahku.
"Seharusnya ini yang kulakukan sejak dulu," Mike berkata dengan terengah-engah. "Bisakah kita bertemu lagi?"
Aku tidak sempat memperdebatkan hal ini, dan aku sadar hal ini memang tidak perlu untuk diperdebatkan. Karena mulutku otomatis menjawab,
"Ya. Tentu saja," kepadanya.