Sebenarnya kami belum pernah nongkrong bersama setelah perkenalan kami di depan kelas musik waktu itu. Beberapa hari dari kejadian tersebut, kami masih berada dalam kelompok masing-masing. Aku, masih berada dalam lingkungan teman-teman pemandu sorak-ku dan dia pun selalu bersama teman-temannya.
Perkenalan di antara kami seakan-akan tidak pernah terjadi.
Dia pun sudah tidak pernah datang ke lapangan saat kelas pemandu sorak berlangsung. Kecurigaanku padanya mulai kurasakan, aku berpikir mungkin dia hanya iseng saja ingin mengerjaiku. Pemikiran itu bertahan di dalam kepalaku. Aku mulai kesal terhadapnya. Aku merasa dia sama saja dengan cowok lain yang hanya ingin menggantungkanku. Melakukan pengejaran di awal, setelahnya menyudahinya begitu saja kala mereka sudah merasa tidak sepenasaran sebelumnya. Akhirnya aku pun memutuskan untuk melupakannya.
Namun aku tidak betul-betul bisa melupakannya. Ada rasa yang mengganjal di dalam dada yang membuatku masih memikirkannya. Satu hal yang membuatku tidak terima mengenai ini semua adalah sikapnya yang seakan-akan telah memberiku harapan palsu dengan menawariku sebuah pertemanan, tapi apa yang dia lakukan setelah itu hanya membuatku terus merasa penasaran. Aku tidak ingin untuk bergerak duluan kali ini karena aku sudah melakukannya di depan kelas musik waktu itu. Yang kuharapkan darinya adalah kali ini dirinya yang memulai pergerakan.
Mike selalu sibuk dengan teman-temannya. Bergerombol ke mana-mana. Mungkin tidak sebanyak yang dibayangakan, mereka hanya berlima. Beberapa kali aku melihatnya dari kejauhan, dia selalu terlihat asik membicarakan sesuatu bersama teman-temannya. Kadang beberapa temannya menggoda para siswi (bukan siswi populer), tapi yang membuatku senang adalah, Mike tidak pernah melakukan hal yang sama. Dia yang paling dewasa dan cool di antara yang lainnya. Dia akan membaca buku atau menulis sesuatu ke dalam buku catatannya, sementara teman-temannya melakukan hal-hal bodoh.
Rasa penasaranku terhadapnya semakin menjadi. Namun, masih ada semacam gengsi di dalam diriku yang membuatku tetap berjalan di tempat. Aku tidak pernah mengejar lelaki sebelumnya tapi kepadanya kadang kala aku ingin mendobrak gengsi dan kebiasaanku itu.
Setelah rasa ketidaknyamanan di dalam diriku sudah mencapai tingkat yang tidak bisa kutoleransi lagi, akhirnya aku pikir bodo amat, aku akan memulai pergerakan terlebih dulu.
Satu minggu sudah berlalu dari semenjak kejadian kami berjabat tangan dan saling berkenalan, dan selama itu pula hari-hariku berada dalam kegelisahan. Akan tetapi, pada akhirnya semua itu selalu menemukan jalan keluarnya.
Terkadang aku ingin mengucapkan rasa terima kasih, tapi di sisi lain aku ingin menyalahkannya juga, karena kalau bukan berkat tugas dari Mrs. Sanchez yang menyuruh kami membuat makalah tentang psikologi umum, mungkin aku tidak akan pernah melangkahkan kakiku masuk ke dalam perpustakaan dan bertemu dengannya.
Waktu itu sehabis makan siang, aku mampir ke perpustakaan yang selama aku menjadi siswi di sekolah tersebut, baru kali itu aku masuk ke dalam sana. Meskipun aku suka membaca buku tapi perpustakaan sekolah bukanlah tempat yang ingin kukunjungi. Aku tidak mengerti mengapa.
Ketika aku sedang mencari-cari di mana letak rak-rak buku psikologi, aku mendapati dirinya sedang duduk seorang diri di pojok dekat dengan rak bagian seni musik. Dia sedang menunduk, membaca entah buku apa yang ada di hadapannya. Batinku melakukan perdebatan, sisi baik dalam diriku berkata aku harus menghampirinya sementara sisi gengsiku menyuruhku untuk bertahan. Setelah berkutat dengan perdebatan yang cukup alot antara si baik dan si gengsi di dalam diriku, akhirnya si sisi baiklah yang memenangkannya.
Dengan satu tarikan napas panjang dan agak gugup—satu hal lainnya yang jarang kurasakan—perlahan aku berjalan menuju kepadanya. Sambil mencari-cari kata yang tepat untuk kuucapkan, kuulur langkahku menjadi gerakan lambat. Tapi sebelum aku sempat menentukan mana yang tepat untuk diucapkan, kudapati aku sudah berdiri di sebelahnya.
"Hai!" pada akhirnya kata itu yang selalu menjadi pilihan.
Mike terkejut seraya mendongakkan wajahnya ke arahku. "Oh! Ha—hai!" katanya tergagap. Dia menatapku sambil tersenyum, antara antuasias dan gugup.
Beberapa detik aku hanya berdiri di sana menggoyang-goyangkan tubuhku ke depan dan ke belakang.
Aku sedang menunggunya mengucapkan sesuatu tapi ternyata dia hanya diam saja, dan membuatku kesal. Maka aku berkata, "Maaf sudah menganggumu, kalau begitu, bye!"
Tanpa berpikir panjang aku pun berbalik dan pergi menjauh.
"Tunggu!" sahutnya.
Lalu kudengar ada suara memarahinya karena telah membuat keributan, dan Mike meminta maaf kepada orang tersebut, aku tersenyum sambil terus berjalan.
Dalam hati, aku senang akhirnya dia mengejarku dan inilah yang selama ini aku inginkan.
"Lana, tunggu!" sahutnya lagi.
Dan teguran kedua pun dilayangkan kepadanya. Kurasa kali ini dari orang yang berbeda. Mike meminta maaf kembali.
Kejadian itu membuatku terhibur. Aku berpikir, kenapa tidak mengerjainya sedikit, sebagai balasan dia telah membuatku penasaran selama satu minggu. Oleh karena itu kupercepat langkah kakiku menuju pintu keluar.
Mike berhasil meraih lenganku ketika kami sudah berada di koridor luar perpustakaan.
"Lana, tunggu, aku perlu bicara," Mike berkata pada akhirnya.
Aku berhenti berjalan, lalu dia buru-buru melepas pegangan tangannya dari lenganku.
Gotcha!
Aku menahan senyumku ketika berbalik menghadap ke arahnya dan berpura-pura memperlihatkan wajah bosan. "Ya, ada apa?"
Kulihat Mike menarik napas lalu membuka mulutnya, dengan tergagap dia berkata lagi.
"Aku, umm.. kau tidak menggangguku kok. Aku hanya… ng… a—aku terkejut saja melihatmu ada di sana," suaranya berangsur lenyap.
Aku agak tersinggung mendengarnya berkata begitu. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekat dan berdiri tepat di hadapannya. Mike tidak berkedip. Meskipun pelan namun kudengar dia menghentakkan napasnya.
"Mengapa memangnya? Kau pikir karena aku seorang pemandu sorak jadi perpustakaan adalah bukan tempat yang cocok untukku?"
"Bukan. Bukan begitu maksudku, Lana!" sanggahnya cepat-cepat.
"Lantas apa?"
Dia berpikir sejenak. Pandangannya terarah ke lantai. "Umm… aku terkejut karena, aku kira kau tidak mau lagi bertemu denganku," jelasnya dengan suara pelan.
Jadi, hal itu yang dia pikirkan tentangku. Ternyata cukup melegakan mendengar alasan darinya. Selama itu aku malah berpikir sebaliknya.
Aku tersenyum. Aku tidak ingin menyembunyikannya lagi. Senyuman ini pula yang membuatnya terperangah.
"Kenapa kau berpikir seperti itu? Apakah aku terlihat menghindarimu?" tanyaku.
Selama itu aku memang bertanya-tanya sendiri, bagaimana sikapku di matanya. Apakah mungkin aku yang terkesan seperti menghindarinya. Tapi aku tidak pernah merasa seperti itu. Malah kadang-kadang aku sengaja melewati kelas seni musik saat jam sekolah selesai. Berharap kami akan berpapasan.
Mike menggeleng. "Tidak, hanya aku saja yang berpikir begitu," jelasnya lagi, sambil tersenyum canggung.
Aku memandangnya selama beberapa saat. "Aku malah berpikir kau yang tidak ingin berteman denganku. Kau tahu, menyebalkan rasanya dibuat penasaran terus! Kau sebaiknya menghentikan itu. Karena aku tidak seperti yang kau pikirkan selama ini."
Senyuman pada wajahnya pun melebar. "Jadi kau ingin berteman denganku?" tanyanya tak percaya.
Aku memutar kedua bola mataku, lalu membuang napas kencang. "Jadi kau pikir aku menunggumu waktu itu di depan kelas musik dan memperkenalkan diri, semua itu tidak ada artinya? Kau pikir aku sedang latihan drama?" sindirku.
Mike terkekeh. Pertama kalinya mendengar kekehannya, aku langsung teringat roti panggang buatan Mom. Renyah rasanya.
Selama beberapa saat kami hanya berdiri saling berhadapan di lorong. Saat itu aku merasa senang karena itu pertama kalinya aku merasa begitu bersemangat dan antusias mengenal seseorang. Aku belum pernah seperti itu sebelumnya.
Kemudian pandanganku tertuju kepada buku yang sedang dipegang olehnya. "Buku apa yang kau pegang itu?" seraya menunjuknya.
Mike menunduk, melihat buku yang sedang kutunjuk yang berada di dalam pegangan tangannya.
"Oh, ini.. ini buku tentang seni memanah," jelasnya seraya membolak-balik buku tersebut.
"Kau sedang belajar memanah?" aku menyambar buku itu dari tangannya. Lalu melihat sampul buku tersebut dan membaca judulnya; Zen In The Art Of Archery by Eugen Herrigel, D.T Suzuki. Kemudian menatapnya.
Dengan kikuk, Mike menggelengkan kepalanya lagi. "Tidak, itu buku tentang bagaimana menemukan Zen dalam seni memanah," dia menjelaskan.
Dia pasti melihat ekspresi bingung pada wajahku, karena dia langsung berkata lagi, "Zen itu seperti apa ya, meditasi atau semedi."
"Ah," aku mengangguk. "Jadi kau sedang belajar meditasi? Ngomong-ngomong, untuk apa?"
Mike mengangkat bahunya. "Ya begitulah. Sebenarnya tidak benar-benar belajar meditasi, hanya saja sedang mencari tahu bagaimana pengaplikasian dan esensi dari Zen itu sendiri. Karena Zen juga diperlukan untuk membantu agar kita bisa fokus dalam proses pembuatan musik, lagu dan sebagainya yang membutuhkan konsentrasi."
Lalu dia menatap kedua mataku. "Mungkin untuk bisa mengurangi kegugupanku juga," lanjutnya malu-malu.
Aku agak salah tingkah ditatapnya seperti itu, buru-buru kualihkan dengan berkata, "Wow! That's deep."
Mike tersenyum. "Itu pengetahuan umum kok. Oh ya, kau sedang apa di perpustakaan? Bukan begitu, maksudku, kau sedang mencari buku apa?" dia mengoreksi pertanyaannya, karena takut terjadi salah paham seperti tadi. Dan itu membuatnya terlihat semakin menarik.
"Aku sedang mencari buku tentang apa pun mengenai psikologi. Mrs. Sanchez menyuruh kami membuat makalah."
Kemudian Mike mengerutkan kening lebarnya, seperti sedang berpikir keras.
Lalu dia berkata, "Sepertinya aku punya buku tentang psikologi di rumahku. Aku bisa meminjamkannya untukmu, kalau kau mau?"
Tanpa mempertimbangkannya lagi, aku menjawab, "Tentu saja aku mau!"
Setelah obrolan kami di lorong itu, kami akhirnya benar-benar berteman. Aku dan Mike beberapa kali nongkrong bersama, yang ternyata menimbulkan semacam gempa kecil di dalam kelompok pemandu sorak dan lingkungan sekolah kami.
Mike adalah lelaki pintar yang pernah kukenal. Tugas makalahku sebagian besar dibantu olehnya. Ditambah, aku punya hal lain yang kusukai darinya, aku suka mendengarkannya ketika dia sedang menjelaskan sesuatu kepadaku. Suaranya seksi dan selalu membuatku merasakan sensasi seperti lonjakan di dalam perut. Berkat dia pula lah akhirnya aku mendapatkan nilai A untuk tugas makalah itu.