"Aku masih tidak mempercayai ini, Lana!" Amber melongo lalu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Selama ini kalimat itu terus diulang-ulang olehnya. Aku menghitung, setidaknya sudah ratusan kali dari semenjak kami pulang dari festival musik tadi malam.
Pagi ini, kira-kira pukul 6.30, Amber sudah menekan tombol intercom apartemenku. Aku tidak terkejut, karena aku terjaga semalaman. Akan menjadi soal lain jika dia melakukannya pada hari-hari normal dan aku masih meringkuk di dalam buaian selimut quilt-ku. Aku pasti akan memarahinya. Tapi, dikarenakan suatu kejadian yang telah terjadi kemarin, situasi pada minggu ini berbeda dari sebelumnya. Maka dari itu aku memberinya toleransi dan membiarkannya masuk.
Pada saat aku membuka pintu apartemenku untuknya, Amber langsung menyerbu masuk ke dalam lalu mengucapkan kalimat itu kembali.
"Aku masih tidak mempercayai ini, Lana!" serunya, dengan wajah seolah habis melihat keajaiban.
"Bisakah kau mengucapkan kalimat lain selain itu?" protesku, seraya menuangkan kopi hitam ke dalam mug bergambar Tasmania Devil kesukaanku.
Kepalaku pening sekali, akibat berpikir dan terjaga semalam penuh.
Setelah mug-ku terisi, kemudian aku mengisi cangkir untuk Amber.
"Aku masih belum bisa menemukan kalimat lain apa lagi yang lebih tepat untuk menggambarkan apa yang kurasakan selain kalimat tersebut!" Lalu dia meraih cangkir yang kusodorkan kepadanya. Dan mulai menyeruput isinya.
Aku hanya memutar bola mataku, sembari berlalu dari dapur menuju ruang tamu. Lalu duduk di atas sofa dan menikmati kopiku. Amber, tentunya mengekorku.
"Aku masih penasaran dengan kisahmu bersamanya, Lana," katanya, cangkir kopi terangkat di hadapannya.
Kusandarkan kepalaku ke sofa dan memejamkan mata sejenak. Aku butuh untuk dibiarkan sendiri, tapi selama Amber masih ada di kota ini maka keinginanku itu agak sulit untuk terwujud.
Setelah Mike bertanya apakah kami bisa bertemu kembali, dan meminta nomor ponselku—yang selama bertahun-tahun ini sudah kuganti dengan yang baru, Amber kemudian memborbardirku dengan beragam pertanyaan.
Di dalam perjalanan pulang, mulutnya tidak berhenti mengucapkan banyak sekali kalimat tanya, seperti; Michael Soga ingin menemuimu, jadi Michael Soga yang kau temui, kenapa, kok bisa, dia siapa, dia dan kau ada hubungan apa, kenapa kau tidak pernah bercerita, itu lagu untukmu, Michael dan kau pernah pacaran atau menikah dan lain sebagainya. Dan tak ada satu pun dari pertanyaannya malam tadi yang kujawab. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri.
Oleh karena itu, disinilah Amber berada sekarang. Aku tidak menyalahkannya karena dia adalah satu-satunya saksi mata atas semalam dan dia pun sudah menjadi bagian dari hidup baruku di New York. Dia berhak tahu. Hanya saja, aku tidak tahu harus memulai dari mana dan pertanyaan apa yang harus kujawab terlebih dulu. Karena aku sendiri pun memiliki banyak sekali pertanyaan untuk Mike. Untuk diriku sendiri. Pertanyaan yang sebagian besar mungkin sudah terjawab. Tapi, aku masih belum cukup puas. Aku masih belum bisa mengerti. Aku menginginkan kejelasan.
Terutama malam tadi. Aku ingin melontarkan satu pertanyaan penting yang mungkin mewakili semua pertanyaan yang ada, pertanyaan tentang rasa. Tentang dirinya terhadapku. Tentang maksud dari lagu itu.
"Maafkan aku. Aku hanya tidak bisa menahan diri. Kau tahu, dia idolaku. Dan aku tidak menyangka dia mengenalmu. Rasanya seperti memenangkan lotere di akhir bulan," Amber berkata dengan suara yang begitu pelan.
Kubuka kedua kelopak mataku, lalu menoleh ke arahnya.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Justru aku yang seharusnya meminta maaf," kataku menenangkannya, seraya menyeruput kopi.
"Aku agak cranky tadi malam sampai pagi ini. Aku tidak bisa tidur semalaman, kau tahu. Aku,—" aku tidak melanjutkan. Tenggorokanku terasa sakit sekali menahan semua ini.
Tadi malam, niatan itu sudah akan kulaksanakan. Aku berpikir, aku akan menumpahkan semuanya sepulangnya nanti di apartemenku. Aku akan menangis sejadi-jadinya. Tapi, setelah aku pulang, tidak ada setetes pun air mata yang keluar dari mataku. Aku berusaha agar bisa menangis, namun semuanya sia-sia saja. Yang ada malah rasa sakit di dalam tenggorokanku yang tidak mau hilang sampai pada detik ini.
"Lana, tidak apa-apa berkata jujur padaku. Tidak apa-apa untuk hanya sekedar membuatmu merasa lega, cerita saja," Amber mengusap lenganku, sambil tersenyum. Ekspresinya menyiratkan kepedulian.
"Lagian, aku kan temanmu. Sebenarnya aku agak tersinggung kau menyimpan semua ini dariku selama hampir tiga tahun kita berteman," katanya lagi, terdengar sakit hati.
Aku hanya tersenyum lemah. "Aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Aku berjanji. Tapi... mungkin tidak hari ini. Karena aku butuh menenangkan diri. Aku butuh mencerna tentang peristiwa tadi malam. Kau tidak keberatan, kan?"
Amber pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
Aku meraih lalu memeluknya. "Terima kasih, kau memang yang terbaik," ucapku kepadanya.
Kami berpelukkan selama beberapa saat, menggoyangkan tubuh kami ke kanan dan ke kiri. Aku sungguh bersyukur mempunyai teman seperti Amber. Walaupun keingintahuannya begitu besar dan selalu menggangguku serta mencecarku dengan banyak pertanyaan, akan tetapi dia akan menjadi sangat pengertian ketika diberi tahu kalau aku sedang tidak ingin diusik.
"Oke! Kalau begitu aku akan memasak untukmu. Dan setelah makan, cobalah untuk tidur!" serunya lalu melepaskan pelukannya dariku dan melesat pergi ke dapur.
Aku menganggukkan kepala karena bagi yang satu ini aku tidak berdaya untuk mencegahnya. Karena aku pun memang butuh makan.
"Aku akan berusaha," jawabku.
Aku dan Amber makan sambil mengobrol di depan televisi. Setelah kami selesai, tanpa terduga rasa kantuk pun menyerang. Aku meminta izin kepada Amber dan memutuskan untuk tidur selama beberapa lama.
Meskipun hanya dua setengah jam aku tertidur, aku sudah merasa segar ketika terbangun. Kudapati Amber masih ada di dalam apartemenku. Dia sedang menonton televisi sambil memakan kudapan.
"Morning sunshine! Maaf tadi aku sempat menguncimu dari luar. Tadi aku ke mini market membeli camilan dan menyewa beberapa film dari rental. Kita akan melakukan movie maraton!" serunya gembira.
Kutengok ada beberapa kantong plastik berukuran sedang di atas meja, yang berisi bermacam-macam camilan.
Aku mengambil salah satu camilan dari dalam kantong plastik, lalu duduk di sebelahnya dengan mengangkat kedua kakiku ke atas meja.
"Apa dulu nih yang bakal ditonton?" tanyaku, yang dijawab dengan seringai penuh maksud.
Aku tahu, Amber sedang berusaha membuat pikiranku sebisa mungkin teralihkan. Dia tidak membiarkanku berdiam diri dan melamun. Sepanjang film berlangsung, dia mengoceh dan mengomentari adegan-adegan di dalamnya, dia sungguh berusaha membuatku tetap dalam suasana hati yang baik.
Setelah film ketiga selesai diputar. Amber menoleh ke arahku. "Hey! Mumpung kita sedang libur, bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar? Kau mau, kan?" tanyanya bersemangat.
Aku mengerang. "Aku tidak tahu apakah aku masih bisa bergerak."
"Ayolah! Sebentar lagi masuk waktu makan malam. Aku akan mengajakmu ke Jazz café yang ada di Harlem itu. Aku yang traktir deh. Bagaimana?" Amber menatapku sambil menggerak-gerakan alisnya ke atas dan ke bawah.
"Bisakah kau hentikan itu? Kau sungguh menggelikan."
"Baguslah," katanya lagi, lalu dia menggerak-gerakan alisnya kembali.
Aku mengerang keras sambil menutup wajahku dengan bantal sofa. "Amber!" teriakku. Lalu kami berdua pun tergelak.
Di tengah-tengah tawa, tiba-tiba Amber berhenti dan tersenyum kepadaku.
"Tidak apa-apa untuk tertawa, kau tahu," katanya.
"Thank you," ucapku, tulus kepadanya.
Memang benar, tertawa itu menyembuhkan. Walaupun hanya sedikit.
"Aku mandi dulu dan bersiap-siap. Kau, terserah lakukan apa saja yang kau mau," aku memberitahunya seraya bangkit dari sofa, lalu bergegas menuju kamar mandi.
Di tengah jalan aku berhenti kemudian menoleh ke arahnya. "Oh ya, bagian yang kau bilang, kau mau meneraktirku, lupakan. Aku yang traktir."
Amber tersenyum lebar, lalu mengacungkan dua jempol kepadaku.
Kuakui suasana hatiku sedikit membaik setelah bangun tidur dan menonton film sambil memakan camilan. Aku harus mengucapkan banyak terima kasih kepada Amber karena sudah datang menggangguku dan membuat hari ini setidaknya tidak seburuk seperti yang kubayangkan.
Apa sebenarnya yang kupikirkan?
Rasa takut akan berharap terlalu dalam lagi kepadanya—kepada Mike—mulai menggerogoti diriku. Dia sudah mengetahui nomor ponselku yang baru. Ada perasaan di dalam diriku yang sedang mengharapkannya untuk segera menghubungiku. Aku berharap bisa mendengar suaranya kembali. Aku takut harapanku ini akan terus tumbuh dan membahayakanku. Aku bingung. Karena sesungguhnya, aku masih belum bisa untuk melepaskan sepenuhnya.
Ketika aku mematikan pancuran, kudengar tawa Amber dari ruang tamu. Aku ikut terkekeh. Seandainya aku adalah Amber, pasti hidupku tidak akan se-menyedihkan ini. Pasti akan lebih menyenangkan.
Aku sedang memakai makeup kala aku tersadar akan sesuatu. Kulirik ponsel yang tergeletak di atas nightstand. Ponsel itu tidak kusentuh dari semenjak aku mematikannya tadi malam segera setelah pulang dari festival musik. Aku terlalu takut, jadi kumatikan saja. Namun, keinginanku yang terlarang ini akhirnya meraih ponsel itu lalu menyalakannya.
Dengan jantung berdebar dan tangan gemetar, aku menunggu ponsel sepenuhnya hidup. Kemudian ketika bunyi 'ping' terdengar beberapa kali, tanpa melihatnya, buru-buru kukembalikan ponsel ke atas nightstand.
Bagaimana kalau itu dia? Pikirku.
Tapi setelah kuberanikan diri untuk memeriksa siapa yang mengirimiku pesan, aku agak kecewa ketika mengetahuinya.
Jamie mengirimiku beberapa pesan dan beberapa panggilan tidak terjawab. Beberapa pesan yang kebanyakan di antaranya menanyakan bagaimana festival musiknya dan apakah aku baik-baik saja. Lalu satu pesan lagi yang memberitahuku bahwa dia masih belum bisa pulang ke New York, dikarenakan pekerjaan yang masih mengharuskannya berada di Utah.
Kubalas pesan darinya, dan mengatakan kalau aku dan Amber menikmati festival musiknya dan memberitahunya bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja—kebohongan besar. Lalu meminta maaf karena ponselku mati seharian ini.
Rasa kecewaku semakin besar ketika tak kulihat satu pun pesan maupun panggilan dari nomor tanpa nama di ponselku. Aku kembali merasa bodoh dengan bersikap seperti apa yang kulakukan hari ini.
Jadi, sekarang bagaimana? Apakah aku harus meratap dan membatalkan makan malamku bersama Amber? Karena mendadak aku tidak ingin pergi.
Seraya berpikir, kulanjutkan memakai makeup.
Tak lama berselang, bunyi 'Ping' dari ponselku terdengar kembali. Aku malas melihatnya, maka kubiarkan saja. Karena aku tahu, itu pasti balasan dari Jamie. Kuteruskan memulas eye-shadow di atas kelopak mataku. Setelah selesai, ketika aku tanpa sengaja melirik ke arah ponselku, ada tarikan besar yang menyebabkan tanganku meraih benda tersebut dari atas nightstand. Lalu menyalakannya dan kulihat nomor tanpa nama muncul di situ. Kubuka pesan itu, dan membacanya.
*Hai, ini aku Mike. Besok aku bebas. Bisakah kita bertemu? Jika kau sempat? Aku ingin jalan-jalan di New York. Bersamamu :)*
Semua sel di dalam diriku bergetar, membuatku terbangun. Membuatku bersemangat. Senyuman pun perlahan mengembang pada wajahku, suasana hatiku pun berubah drastis. Namun, seketika aku teringat akan sesuatu yang menyebabkan senyuman pada wajahku kembali memudar.
Ada gejolak rasa marah jauh di dalam diriku yang perlahan mulai merambat naik. Kembali, aku berada di persimpangan jalan.
Ya, tuhan. Dia menghubungiku.