Tadinya aku akan izin cuti, seperti usulan dari Amber. Namun, setelah kupikir-pikir lagi, aku perlu bekerja untuk mengalihkan perhatianku sejenak dari rasa gelisah dan gugupku ini.
Pada akhirnya, aku mengiyakan ajakan dari Mike setelah terlebih dulu terjadi perang batin yang cukup memakan waktu.
Dengan perasaan tak karuan antara marah, gugup, gembira, gelisah, bahagia, bingung, dan percampuran lainnya dari semua perasaan baik menyenangkan maupun tidak yang ada di dalam diriku, sebagian besar dari semua perasaan itu mendorongku untuk setuju bertemu lagi dengannya.
Aku memilih untuk kembali menghadapi seseorang yang selama ini kuhindari. Seseorang yang pada kenyataannya sudah membuatku pergi menjauh. Seseorang yang membuatku patah hati. Namun, aku berpikir apa salahnya jika kami bertemu kembali padaa suatu saat dan memperbaiki keadaan yang sudah hancur, akibat dari perbuatan kami di masa lalu. Jauh di dalam lubuk hatiku, mungkin sebenarnya aku ingin dikejar. Karena sesungguhnya aku selalu mengharapkannya. Kedua tanganku selalu terbuka untuknya. Aku akan menyambut apa pun itu demi memperbaiki hubungan kami. Demi membuat hidupku tenang. Hanya saja selama tiga tahun belakangan ini, aku tidak pernah mendapatkan kesempatan atau remah roti untuk menuju ke sana. Aku menunggu saat-saat ini. Menunggunya datang kembali padaku.
Takdir telah memutuskan bahwa kesempatan itu datang pada saat ini. Oleh karena itu, aku tidak ingin menyia-nyiakannya. Ini adalah kesempatan yang akan terjadi satu kali dalam hidup. Jika pada kesempatan kali ini aku harus mengorbankan jiwaku demi membuat hidupku dan semuanya menjadi lebih baik, mengapa tidak? Aku rela mengorbankan apa pun.
Di samping itu, kerinduanku padanya tak pernah kunjung sembuh. Rasa ini mengakar sampai aku sulit untuk merelakannya. Aku rindu semua tentang dirinya.
"Aku pikir kau akan menuruti nasihatku?" Amber menyambutku sambil berkacak pinggang. Lap kotor ada pada genggamannya.
Sekejap aku menoleh ke arahnya, lalu mulai menyusun cutleries di atas setiap meja.
"Yeah, dan aku butuh uang," ujarku santai.
Amber tidak merespon, dia hanya berdiri sambil masih berkacak pinggang. Pelan-pelan dia berjalan menghampiriku.
"Lana, bagaimana perasaanmu?" tanyanya, nadanya cemas.
Aku tidak menjawab selama beberapa saat, pikiranku terlalu kusut untuk kubentangkan menjadi lurus. Sementara berpikir, kedua tanganku masih sibuk menyusun cutleries. Bagaimana perasaanku? Well, aku tidak tahu mana yang mesti kujabarkan terlebih dulu. Cutlery terakhir sudah tertata rapih di atas meja, setelah itu kualihkan perhatianku kembali kepada Amber.
"Yang jelas aku masih memiliki kekuatan untuk melangkahkan kakiku keluar dari apartemen. Dan berdiri di sini sekarang."
Aku merasa bersalah kepada Amber atas kejadian kemarin. Karena setelah aku menerima pesan dari Mike, aku terlalu kalut untuk melakukan apa pun sehingga aku membatalkan ajakan Amber untuk pergi makan malam di Harlem bersamanya. Aku memberitahunya bahwa Mike memintaku bertemu dengannya. Lalu mengatakan kepadanya kalau aku butuh memikirkan hal ini dan ingin dibiarkan sendiri. Aku meminta maaf dan dengan berat hati menyuruhnya untuk pulang. Beruntungnya, Amber adalah perempuan paling pengertian yang ada di muka bumi ini. Tanpa bertanya mengapa, dia pun mengangguk lalu mengucapkan semoga semua baik-baik saja dan menyarankanku untuk mengambil cuti bekerja selama satu atau dua hari agar pikiranku kembali tenang. Setelahnya dengan langkah berat dia pun pergi meninggalkan apartemenku.
"Aku minta maaf sekali lagi soal kemarin,—"
"Nah!" dia menyelaku sambil mengangkat sebelah tangan ke udara, menghentikanku berbicara. "Tidak ada maaf-maaf-an lagi, oke! Aku ngerti kok," katanya, lalu dia tersenyum kepadaku.
Kuanggukkan kepala kemudian mengucapkan terima kasih.
"Oh ya, apa kau mengiyakan ajakan darinya?" Amber bertanya lagi dengan ragu-ragu.
Kutarik kursi di hadapanku lalu menghempaskan diriku di atasnya, Amber mengikuti dan duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya lalu menganggukkan kepala lagi.
Tiba-tiba kedua bola mata birunya membesar, mulutnya tersenyum lebar sembari menahan pekikkan, sementara dia melompat-lompat dari tempat duduknya dan bertepuk tangan kegirangan, namun dia berhenti saat itu juga, lalu menatapku dengan ekspresi meminta maaf.
Dia berdeham. "Sorry, kau tahu. Aku masih belum bisa menahan diri bila mendengar tentangnya. Maksudku, aku mengaggumi dia. Dan aku jadi membayangkan apa jadinya kalau dia mengajakku bertemu."
Lalu dia mendesah dramatis, "aaahh... mungkin jantungku akan langsung berhenti berdetak seketika."
Exactly! Itu juga yang kurasakan saat bertemu dengan dirinya untuk yang pertama kalinya lagi.
Aku mendengus lalu menggelengkan kepalaku. "Kalau begitu kau beruntung, karena bukan kau yang diajaknya pergi."
Amber melihatku, sakit hati. "Kenapa begitu?"
"Ya, karena kau masih akan tetap hidup setelah hari ini. Dan berdoa saja semoga aku pun masih bisa menatap hari esok setelah bertemu dengannya lagi," suaraku perlahan mengecil.
Aku tidak memiliki penglihatan akan masa depan, bagaimana nasibku setelah bertemu dengannya hari ini. Apakah aku akan baik-baik saja atau malah sebaliknya. Pikiran dan tubuhku seolah mengambang di permukaan. Tidak tahu apakah aku akan tenggelam atau naik ketepian.
Amber terdiam sambil mengamatiku. Dia menatapku seolah aku adalah seekor katak di kelas biologi. Entah bagian mana dari tubuhku yang akan dia bedah terlebih dulu.
"Kau tahu, sebenarnya aku memikirkanmu. Aku masih penasaran apa yang telah terjadi antara kau dan dia. Tapi, aku tahu kau masih belum bisa memberitahuku. And that's ok, aku hargai itu," katanya.
"Namun, ada satu yang kupikirkan, aku hanya menebak-nebak saja sih. Tapi setelah aku melihat bagaimana reaksimu setelah berhadapan dengannya dan ekspresi wajah Michael saat mengejarmu. Lalu kuingat lagi sewaktu kau agak susah diajak pergi ke festival musik itu. Aku jadi mendapat satu kesimpulan. Tebakanku, kau dan dia dulu pernah menjalin satu hubungan tapi berakhir dengan tidak baik-baik saja,” lanjutnya.
Buru-buru dia menambahkan. "Well, itu hanya tebakanku. Kau tidak perlu menanggapinya jika tidak mau."
Lalu dia mengukur reaksiku sembari menggigiti ibu jarinya.
Aku menelengkan kepalaku kepadanya seraya tersenyum. "Sejak kapan kau berlagak jadi seorang detektif? Karena, kau tahu, bisa jadi alibimu itu benar."
Tanpa terduga dia memekik. "Jadi aku benar, kan?" tanyanya antusias.
Aku hanya mendesah. "Aku kan sudah berjanji kalau suatu saat nanti aku akan bercerita tentang semuanya kepadamu, atau mungkin setelah bertemu dengannya hari ini, aku tidak tahu. Pokoknya aku akan memberitahumu, oke!"
Amber menganggukkan kepala bersemangat. Dia bertanya lagi, "hey! Jam berapa kau akan bertemu dengannya?"
"Sehabis pulang bekerja."
Mike mengatakan di pesan singkatnya bahwa dia akan setuju pada jam berapa pun, yang terpenting dia tidak mengganggu urusanku. Aku memberitahunya kalau saat waktunya tiba aku akan mengiriminya pesan, karena kemarin aku belum sepenuhnya yakin, apakah aku harus cuti dan seharian bertemu dengannya. Tapi, tiba-tiba kegelisahan dan rasa gugupku harus kuredakan terlebih dulu sebelum menghadapinya lagi. Maka dari itu aku berpikir mungkin ketika aku sudah pulang bekerja, pada saat itulah aku akan mengirim pesan kepadanya.
Amber memutar kedua bola matanya. "Kau tidak menghitung atau bagaimana sih?" sergahnya.
Kukerjapkan kedua mataku. "Apa maksudmu?" tanyaku bingung.
Amber menghembuskan napas kencang, terlihat tidak sabar. "Ini shift siang dan pekerjaan kita membutuhkan waktu kira-kira 8 sampai 10 jam. Kau akan bertemu dengannya di malam hari? Dan kau tahu apa artinya itu?" dia bertanya sembari menajamkan kedua matanya.
"Artinya, booty-call."
Shit! Amber benar. Aku memang tidak menghitung. Gila, mana mungkin pada pertemuan pertama dengannya ini aku langsung memberi isyarat dan meneriakkan 'tempat tidur' kepadanya. Bodohnya aku.
"Kau benar," desahku tidak berdaya. "Jadi aku harus bagaimana?" tanyaku pasrah.
Kemudian Amber merenung, sementara aku pun melakukan hal yang sama.
"Kau ambil part-time saja. Lumayan selama 4 jam kau bisa mendapatkan uang—jika itu adalah tujuan utamamu masuk kerja hari ini. Dan kau bisa mempunyai waktu untuk mempersiapkan pakaian apa yang akan kau kenakan nanti," dia menggodaku pada kalimat terakhir, seraya mengedipkan sebelah matanya.
Aku memang sempat memikirkan hal ini. Apa yang akan kukenakan nanti saat bertemu dengannya. Apakah aku harus berpenampilan kasual atau formal, atau semi kasual, atau semi formal. Namun, ketika kepalaku kembali jernih, aku merasa sebal terhadap diriku sendiri karena sempat memikirkan hal tidak terlalu krusial seperti ini. Tapi apa benar masalah mengenai penampilan ini tidak begitu penting lagi sekarang?
"Mungkin aku akan memakai seragam kerjaku saja, untuk menghemat waktu," aku menimpali.
Amber menyipitkan kedua matanya sambil membuka mulutnya menjadi huruf O. "Oh! Dasar kau perempuan pasrah," katanya dengan nada dramatis.
Aku mendengus. "Please... perempuan pasrah katamu?" balasku sembari mendelik ke arahnya.
Corinne si manajer, akhirnya memberiku izin bekerja part-time hari ini. Tetapi nyatanya selama empat jam, bekerja tidak terlalu membantuku mengusir sepenuhnya rasa gugup dan gelisah ini. Aku terus menerus melirik jam, dan berharap waktu berjalan lebih lambat supaya mentalku benar-benar siap untuk menghadapinya nanti. Tapi empat jam rasanya seperti kedipan mata, cepat sekali berlalu.
Sebelum aku pergi meninggalkan restauran, Amber memelukku lalu mengucapkan 'good luck' dan terus mengingatkanku tentang tanda tangan yang diinginkannya. Dia memintaku mendapatkan tanda tangannya, katanya, "untuk kupanjang di atas nightstand kamarku. Setidaknya aku punya sesuatu darinya tanpa bersusah payah." Sebisa mungkin akan kuwujudkan keinginannya tersebut.
Setibanya di apartemen, aku bergegas menuju lemari pakaianku lalu mengobrak-ngabrik isinya. Ternyata masalah penampilan memang selalu menjadi sesuatu yang krusial. Bahkan super hero saja membuat kostum sedemikian rupa untuk berhadapan dengan musuhnya. Benar kan?
Kukeluarkan beberapa pilihan, di antaranya; beberapa atasan, blouse, kaus, kamisol, dress-dress musim panas, beberapa jeans dan jaket. Kutebar semua pakaian yang sudah kupilih itu di atas tempat tidur. Kemudian mencobanya satu per satu.
Beberapa kali aku menggantinya, satu pasang per satu pasang. Tapi, sejauh ini belum ada yang pas, yang bisa membuat suasana hatiku nyaman. Aku terduduk lesu di bawah kaki tempat tidurku sambil mengerang. Aku marah dan merasa bodoh. Belum pernah aku bersikap seperti ini lagi semenjak tinggal di New York. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ketika pertama kali aku pergi berkencan. Padahal ini kan sama sekali bukan kencan? Apa-apaan sih aku ini? Aku memarahi diri sendiri. Bahkan aku pun belum mengiriminya pesan untuk memberitahunya, tapi sikapku sudah seheboh ini. Ya ampun, aku sungguh konyol.
Kutenangkan diri sejenak sembari berpikir ulang dan menegaskan kepada diriku sendiri bahwa ini hanyalah sebuah ajakan untuk pertemuan yang biasa saja. Yang sama sekali tidak membutuhkan sesuatu yang bersifat istimewa. Malah sebaiknya aku berpenampilan cuek, yang mana menandakan kalau pertemuan ini tidak begitu penting, karena aku tidak mempersiapkan diri saat bertemu dengannya.
Kulirik semua pakaianku yang sudah berhamburan di mana-mana. Lalu menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang kurasa bisa membuatku nyaman. Setelah itu, aku pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ketika aku sudah selesai memakai riasan wajah yang ringan, aku kembali termenung menatap layar ponsel. Aku akan memberitahukan kalau aku sudah siap bertemu dengannya. Dengan jantung yang berdegub kencang, aku mulai mengetik pesan untuknya. Setelah aku selesai dan menekan tombol send dengan ragu-ragu, kutaruh kembali ponsel di atas meja rias kemudian aku segera berpakaian.
Aku memilih kamisol berenda di bagian dada berwarna abu-abu—sama dengan kedua warna mataku, skinny jeans robek di bagian lutut lalu memakai cardigan berwarna putih ketat untuk luarannya. Rambut panjang bergelombang berwarna gelap yang kumiliki, kubiarkan tergerai dan tidak ku apa-apakan. Aku menyukai rambut panjang berantakanku tanpa perlu menambahkan produk yang membuatnya menjadi lebih dramatis. Aku suka rambut alamiku.
Sementara aku tengah mengenakan sepatu kets kesayanganku, ponsel yang berada di atas meja rias bergetar. Kuhela napas panjang.
Inilah saatnya, batinku.
Waktunya sudah tiba bagi kami berdua untuk bertemu kembali.
Ya, Tuhan.. beri aku kekuatan.
Dengan perasaan yang campur aduk, kuambil ponsel dari atas meja, lalu membaca pesan darinya.
*Akhirnya. Beritahu aku, di mana aku harus bertemu denganmu? Aku juga tidak keberatan kalau harus menjemputmu. Up to you :)*
Jadi ini terserah padaku? Oh tuhan, ini benar-benar terjadi. Salah satu dari sekian banyak khayalanku selama tiga tahun ini menjadi kenyataan.
Aku berpikir sejenak, menentukan tempat yang cocok untuk bertemu dengannya. Karena aku tidak akan mungkin memberikan alamat apartemenku kepadanya. Yang benar saja.
Setelah mempertimbangkan beberapa tempat dan mencoret beberapa di antaranya, aku memutuskan untuk memilih suatu tempat yang mungkin tepat untuk pertemuan ini. Baiklah.
Kuhela napas panjang, dan mulai mengetik balasan untuknya.