Waktu itu, kurang lebih sudah satu bulan kami berteman.
Kupandangi refleksi diriku sendiri di depan cermin setinggi badan yang bersandar pada dinding kamar tidurku. Kira-kira ini adalah pakaian ke-sepuluh yang sudah kukenakan. Aneh, dari kesemua pakaian yang telah kucoba, mendadak semuanya tidak ada yang pantas untuk dipakai. Ingin menangis rasanya saat mendapati semua pakaian itu mendadak terlihat tidak ada yang menarik perhatianku. Aku harus bagaimana?
Tiba-tiba kudengar ketukan lalu suara klik pintu kamar dibuka. Kulihat di dalam cermin, Mom tengah berdiri sambil masih memegangi pegangan pintu yang sudah setengah terbuka. Aku mendesah lega.
"Bolehkah aku masuk?" tanyanya meminta persetujuan.
"Tentu."
Mom tersenyum lalu masuk ke dalam kamar tidurku, dan dengan pengertian seorang ibu, ia menutup kembali pintunya. Aku memiliki firasat, mungkin karena Mom telah menyadari kalau aku sudah cukup lama berada di dalam kamarku—kurang lebih dua jam—dan melewati kudapan yang dibuatnya, ia kemudian khawatir dan menduga-duga apakah aku sedang mengalami kesulitan dan memerlukan bantuan.
Melihat ekspresi menderita yang meneriakkan kata 'tolong' terpampang jelas pada wajahku, Mom kemudian bertanya, "sedang butuh bantuan?"
"Yes!" erangku.
Kemudian Mom tersenyum geli yang membuatku mendadak jadi kesal.
"Apa?"
"Tidak. Hanya saja kau tidak seperti biasanya," Mom berujar sementara dirinya memunguti satu per satu pakaian yang sudah tercecer di lantai, yang kulempar karena tidak masuk ke dalam kategori pilihan. Sejauh ini hampir semuanya berada di bawah sana.
Aku mendesah keras. "Mom, bisakah kau memberikan pendapatmu apa yang pantas untuk kupakai malam ini?"
Aku kehilangan kepercayaan diri dan mendadak merasa tidak menarik. Entah mengapa aku menjadi seperti ini. Mom benar, ini bukanlah diriku yang biasanya.
"Hmm, aku harus tahu dulu. Dalam rangka apa Morgan mengajakmu pergi keluar malam ini?" tanyanya seraya meletakkan kembali pakaian-pakaianku ke atas tempat tidur, lalu mulai memilah-milih dan menilai satu per satu dari semua pakaian itu.
Aku terhenti seketika.
Morgan adalah kekasih.... maksudnya mantan kekasihku, karena aku memutuskannya beberapa hari setelah aku dan Mike berteman. Dulunya, Morgan adalah quarterback NFL, Minnesota Vikings, tetapi dikeluarkan setelah beberapa kali terlibat perkelahian. Pada saat usia 21 tahun, dia kabur ke Santa Monica dan tiba-tiba menemukan jalan hidup yang damai di sini dan membuatnya membanting setir menjadi peselancar.
Aku mulai berpacaran dengannya ketika aku kelas 10. Artinya saat itu dia berusia 22 tahun sementara aku baru menginjak usia 16 tahun. Hubungan kami terbilang ilegal. Namun kala itu kami tidak memperdulikannya.
Morgan beberapa kali menonton aku dan temanku Cassandra tengah berlatih routine atau menari salsa di pantai. Suatu sore, ketika aku sedang meneguk air mineral di dalam tumbler sehabis jogging, dia menghampiriku lalu mengajakku berkenalan. Setelah dua minggu dari sejak perkenalan tersebut, akhirnya kami menjadi dekat.
Lalu dia berkata, "impianku adalah memiliki kekasih seorang cheerleader, tapi karena waktu itu aku masih berada dalam tim football professional, jadi hal itu terlarang. Kemudian aku melihatmu suatu sore di pantai. Lalu aku tahu kau masih di bawah umur. Namun kali ini aku tidak peduli dengan apa pun lagi, karena aku sudah tergila-gila padamu. Jadi kali ini, persetan dengan peraturan!"
Kemudian dia pun memberanikan diri mengajakku untuk pergi berkencan.
Aku tersanjung saat itu, bagaimana tidak, pria dewasa seksi dengan rambut pirang pasir dan bertubuh atletis serta berkulit kecokelatan mengatakan hal itu kepadaku dan mengajakku pergi berkencan. Waktu itu aku masih menjadi penggemar garis keras perut six-pack dan lengan kekar. Nilai tambahnya lagi dia adalah mantan quarterback NFL. Lengkaplah sudah. Tanpa perlu berpikir panjang, aku pun mengiyakannya.
Kami berpacaran kurang lebih selama tiga bulan (rekor bagiku). Morgan datang ke rumahku pada saat kencan kedua kami. Saat itu aku takut Mom akan marah mengetahui aku mengencani pria dewasa, tapi karena Morgan bermulut besar dan pandai mengambil hati, akhirnya Mom mengatakan 'ok' dan 'yang penting berhati-hati' kepada kami berdua.
Setelah itu, Mom pun mengawasi penuh setiap pergerakan sekecil apa pun dalam hubungan kami (Mom selalu seperti itu kepada semua lelaki yang pernah berkencan denganku). Itu tandanya Morgan harus menahan hasratnya untuk tidak menyentuhku. Tapi ada kalanya pengawasan Mom kepada kami tanpa sengaja luput begitu saja. Karena rasa penasaranku dan keinginan Morgan akhirnya kami pun melakukannya setiap Mom sedang tidak ada di rumah.
Karena hal itu pula lah yang membuatku lama-lama membencinya. Sampai pada saatnya aku merasa dia tidak lagi menarik perhatianku, karena aku mulai penasaran dengan seseorang yang selalu datang dan menonton di atas tribun seorang diri pada saat kelas pemandu sorak berlangsung di sekolah.
Mom belum mengetahui aku sudah memutuskan Morgan. Begitu pula ia belum memiliki pengetahuan apa pun mengenai siapa itu Mike.
"Umm.. aku dan Morgan sudah putus," gumamku.
Sedetik Mom terlihat terkejut namun dalam hitungan hanya kedipan mata, wajahnya berubah menjadi cerah.
Aku memutar kedua bola mataku kepadanya. "Mom senang, kan?"
Lalu dia tertawa, "tentu saja, itu artinya aku tidak akan lagi cemas akan terkena serangan jantung setiap waktu." Dia mengelus dada, tampak begitu merasa lega.
"Pantas saja batang hidungnya tidak pernah terlihat lagi akhir-akhir ini. Aku rasa mungkin sebenarnya aku sudah tahu. Jujur, aku tidak begitu menyukainya. Karena setiap kali melihat dia bersamamu, dia akan menatapmu seolah-olah kau adalah makanan terlezat yang ingin disantapnya." Mom berdecak, seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Semuanya sudah terlambat bahkan dari sebelum Morgan, maafkan aku Mom. Aku merasa bersalah kepada Mom dan langsung salah tingkah ketika mendengarnya berkata begitu. Cepat-cepat kualihkan pembicaraan.
"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Jadi aku harus mengenakan yang mana?"
Mom mengerutkan keningnya. "Kalau kalian sudah putus, lantas kau akan pergi dengan siapa sampai mengkhawatirkan tentang penampilan segala?" tanyanya bingung.
Ini bukan kencan. Kata-kata itu perlu digaris bawahi. Namun rasanya malah lebih dari rasa kencan sesungguhnya.
Pada saat kelas bahasa inggris tengah berlangsung—kelas terakhir di hari itu, ponsel yang berada di bawah mejaku bergetar, lalu mendapati satu buah pesan darinya muncul di layar. Aku sudah mengira, sekarang dia pasti sudah menungguku di sudut jalan yang berjarak hanya seratus meter jauhnya dari gedung sekolah. Tempat kami biasa janjian bertemu untuk pulang bersama.
Namun, ketika diam-diam kubaca pesan itu, dia mengatakan kalau dia sudah izin pulang lebih awal dikarenakan ada satu urusan yang harus dia kerjakan. Pertama yang terlintas di dalam pikiranku adalah dia sakit. Tapi setelah membaca kalimat, kalau ada urusan yang harus dikerjakannya, aku lega. Meskipun agak kecewa tapi baiklah.
Selang beberapa lama dari situ saat Mr. Wellington mengatakan bahwa kelas telah dibubarkan, ponselku kembali bergetar. Dalam pesan singkatnya kali ini, dia menulis;
*Apakah sabtu malam nanti kau sibuk?*
Kemudian aku membalasnya dengan berkata, tidak. Dia membalas lagi hampir seketika, dia mengatakan kalau dirinya ingin mengajakku pergi ke suatu tempat.
Selama kami berteman, itu adalah pertama kalinya dia mengajakku pergi keluar di akhir pekan.
Ada semacam lonjakan aneh di dalam perutku, rasanya menyenangkan tapi membuatku gugup ketika membaca pesan darinya. Kugigit bibir bawahku sembari berpikir.
Apakah dia mengajakku pergi berkencan?
Maka dari itu aku mengetik;
*Apa ini sebuah kencan?*
Dia tidak membalasnya. Ada rasa kecewa yang kurasakan namun, aku kembali tersadar kalau, hey! Dia itu temanku, kami hanya berteman, tidak lebih. Maka aku berlalu, memasukkan kembali ponsel ke dalam tas dan berjalan pulang.
Di rumah, aku menunggu-nunggu balasan darinya. Tapi sampai aku selesai menggosok gigi dan menyelinap masuk ke dalam selimutku, balasan darinya tak kunjung datang. Apa karena aku mengatakan kencan kepadanya, makanya dia tidak membalas pesanku, aku bertanya-tanya dalam hati. Setelah menghembuskan napas beberapa kali, dengan perasaan kesal aku pun memaksakan kedua mataku supaya terpejam.
Keesokan harinya, saat aku membuka kedua mataku, pikiran tentang balasan pesan darinya menyambutku. Dengan gerakan secepat kilat aku langsung duduk lalu kusambar ponsel yang kutaruh di atas nightstand. Kualitas tidur yang kurang nyenyak pun akhirnya bernilai sepadan dengan apa yang kudapati ketika aku bangun, dia membalas pesanku.
Begini bunyi pesan darinya;
*Sesungguhnya, aku kurang begitu paham apa arti kencan sebenarnya, namun yang pasti aku akan membawamu untuk melihat masa depanmu nanti.*
Sementara keningku berkerut akibat bertanya-tanya, namun perasaanku begitu senang dan mendadak jantungku berdebar kencang dengan apa yang dia katakan dalam pesan itu. Dia akan membawaku untuk melihat masa depanku nanti? Ke mana kah itu? Aku penasaran sekaligus takut.
Belum sempat aku mengetik balasan ketika satu pesan darinya kembali kuterima.
*Aku akan mengetuk pintu rumahmu pukul 7 malam nanti. Kita akan berkendara ke Los Angeles. See you soon :)*
Damn! Apa ini? Los Angeles? Melihat masa depanku? Aku terpaku.
Jadi di sinilah aku sekarang.
Aku mengatakan kepada Mom kalau seorang teman akan menjemputku dan mengajakku untuk pergi ke Los Angeles malam ini. Tanpa tahu ke mana tujuan sebenarnya.
"Mom akan mengetahuinya sebentar lagi. Dia akan menjemputku," jawabku.
Mike sudah mengetahui alamat rumahku. Setelah kami akhirnya resmi menyandang status teman, kami selalu pulang bersama. Biasanya Mike akan mengantarkanku pulang dengan mobil Toyota Supra bekas berwarna hitamnya itu. Dia akan menurunkanku di depan halaman rumah dan belum pernah satu kali pun dirinya menjejakkan kedua kaki di dalam rumahku. Dengan ekspresi gugup dia akan selalu menjawab 'eventually' setiap kali aku mengajaknya untuk masuk. Aku memakluminya. Jadi aku senang ketika dia mengatakan dalam pesannya kalau malam ini dia akan mengetuk pintu rumahku untuk yang pertama kali.
Eventually.
"Kalau memang hanya sekedar teman, mengapa kau segugup ini?" Mom menggodaku.
Aku mengerang. "Aku tidak gugup! Aku hanya bingung akan mengenakan apa karena dia tidak bilang akan membawaku ke mana. Itu saja."
Lalu Mom tersenyum geli melihatku. "Kau begitu defensif, sayang. Kau tidak pernah seperti ini saat masih bersama Morgan."
Mom mengamatiku. Lalu perlahan dia menghampiriku seraya menyibakkan rambut yang membingkai wajahku. Kemudian Mom memeganggi kedua pipiku dengan lembut. Aku seperti berkaca ketika melihat kedua mata Mom.
"It's ok jika kau menyukainya. Aku hanya berharap dia lelaki yang menghargaimu dan memperlakukanmu dengan baik," katanya lagi.
Benarkah aku menyukainya?
Kusingkirkan kedua tangan Mom pada pipiku lalu menghindar darinya.
"Dia hanya temanku. Tidak lebih," desahku sembari meraih blouse favoritku dari atas tempat tidur.
Mom hanya melihatku dengan tatapan penuh kasih sayangnya. Tatapan seorang ibu yang mungkin sudah lebih tahu dan mengenalku dibandingkan diriku sendiri.
"Well, kalau begitu kenakanlah apa yang paling menggambarkan dirimu sebenarnya. Just be yourself." Mom menghampiriku sekali lagi lalu mengecup sisi kepalaku, setelah itu ia berjalan keluar dari kamar.
Tak lama darinya menutup pintu kamarku, aku menemukan apa yang paling cocok untuk kukenakan malam ini. Setelah selesai, aku lalu bergegas turun dari kamarku dan menunggu Mike di ruang tamu.
Bel pintu depan rumahku akhirnya berbunyi setelah kurang lebih 10 menit dari sejak aku menunggunya di ruang tamu. Segera, aku membuka pintu dan mendapati dirinya berdiri di sana. Mike mengenakan t-shirt berwarna abu-abu, jeans dan sneakers putih. Lalu mengenakan topi. Dia begitu harum dan kuakui dia sungguh tampan. Rasanya jantung ini berdetak lebih cepat daripada semestinya. Kami hanya saling memandang satu sama lain selama beberapa saat, sampai kami berdua terlonjak ketika Mom berkata dari arah belakangku.
"Jadi ini dia sang teman?" tanyanya. Lalu Mom mengedipkan sebelah matanya kepadaku.
Mike terlihat sangat gugup, sehingga kulihat tangannya agak gemetar ketika mengulurkannya kepada ibuku untuk memperkenalkan diri. Mom menyerobot pembicaraan yang justru membuat Mike semakin gugup. Buru-buru aku menyelamatkannya dari sana. Mom menyahut 'have fun' dari arah belakang kami ketika aku dan Mike tengah berjalan menuju mobilnya.
Belum pernah Mom terlihat begini senang ketika melihatku pergi dengan seorang lelaki.
"Ibumu menyenangkan," komentarnya seraya tersenyum ketika kami sudah berada di dalam mobil.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku. "Jadi, kau akan menculikku ke mana?"
Mike terkekeh. Kemudian menjawab, "kau akan segera tahu setelah kita mengisi perut di café Mexico terlebih dahulu. Sounds good?"
Aku menggangguk senang bukan main.
Malam itu, mungkin menjadi malam terbaik pertama yang pernah kami lewati bersama-sama saat kami masih menyandang status sebagai ‘teman’. Terutama bagiku. Aku belum pernah mendapatkan kejutan yang begitu spesial seperti itu dari seorang lelaki sebelumnya, bahkan dari Morgan sekalipun. Karena ketika kami memasuki pintu masuk Los Angeles Memorial Coliseum, terpampang jelas di sana logo Los Angeles Rages dan seketika itu pula aku mengerti apa yang dia maksud dengan 'melihat masa depanku'.