Chapter 18

Aku sudah menyukai olahraga dari semenjak kanak-kanak. Apalagi olahraga yang melibatkan musik dan tarian di dalamnya. Aku ingat, dulu sewaktu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu menari-nari di dalam kamar tidurku. Menari dengan gerakan sesuka hati diiringi dengan bermacam genre musik, dari Hip-Hop sampai Latin.

Ketika ayahku masih ada di dunia ini, aku selalu menari bersamanya. Dad menyukai musik pantai dengan tarian yang berpola. Kami akan menari mengelilingi ruang tamu, sampai capek. Aku masih hafal gerakannya sampai sekarang.

Setelah aku masuk SMP, aku mengambil program gymnastic di sekolah, karena saat itu gymnastic adalah satu-satunya pilihan yang membuatku cukup tertarik. Dan di SMA, aku diperkenalkan dengan cheerleading.

Menurutku cheerleading adalah olahraga yang paling menyenangkan. Karena di dalamnya terdapat unsur gymnastic dan tarian. Seperti yang kuinginkan selama ini.

Karena cheerleading pula lah aku menemukan semacam cita-cita. Jujur saja, aku tidak pernah memiliki cita-cita yang pasti sebelumnya. Sewaktu di sekolah dasar dulu ketika guruku menanyakan apa cita-citaku, aku akan menjawab kalau aku ingin menjadi seorang model. Namun cita-citaku berubah pada saat aku SMP, saat itu aku sedang gemar-gemarnya menonton X Factor, aku pun ingin menjadi penyanyi. Tapi ketika SMA, aku sudah mendapatkan apa yang kusukai; aku adalah penggemar olahraga football, sementara aku masuk program cheeleading di sekolahku, maka inilah cita-citaku yang sebenarnya. Yaitu menjadi pemandu sorak profesional NFL. Aku bercerita kepada Mike bahwa cita-citaku ingin menjadi seorang profesional cheerleader yang menari dan bersorak di Super Bowl. Yang kemudian didukung olehnya dengan sering membawaku menonton pertandingan football.

Ketika kami sudah berpacaran, Mike semakin intens menyemangatiku, membuat tekadku setelah lulus dari SMA untuk mengikuti audisi menjadi cheerleader NFL pun semakin bulat. Setelah aku medaftarkan diri, Mike selalu menemaniku jika aku sedang latihan untuk persiapan. Padahal kala itu dia dan band-nya sudah lumayan sibuk membuat lagu, rekaman dan tampil di beberapa bar, music venue, dan di acara-acara kampus. Aku juga selalu menemaninya dan menonton penampilan Mike bersama band-nya bila sedang tidak sibuk. Kami sama-sama saling meluangkan waktu untuk satu sama lain. Mendukung satu sama lain. Bukankah suatu hubungan akan berjalan baik jika kedua belah pihak saling mendukung, dan ada ketika salah satu sedang membutuhkan yang lainnya? Pada waktu itu kami cukup baik menangani hal tersebut.

Kami berdua memilih mengejar cita-cita kami, di luar dari bidang akademik. Kami berdua tidak melanjutkan bersekolah ke perguruan tinggi. Bukan berarti kami tidak mementingkan pendidikan, hanya saja bagiku, aku percaya dengan bakat yang kumiliki di luar dari semua teori yang telah sekolah berikan kepadaku. Yang terpenting adalah kesungguhan, dan kerja keras. Karena pelajaran tidak hanya didapat dari sekolah formal saja, tapi juga dari pengalaman hidup.

Setelah lulus dari SMA, aku pindah ke Los Angeles dan mendapatkan pekerjaan di sana. Mike pun ikut pindah bersamaku, dia rela bolak-balik antara Santa Monica dan LA. Markas band-nya masih berada di Santa Monica pada saat itu—di rumah peninggalan kakeknya Johan yang disulap menjadi studio seadanya plus dipakai sebagai tempat tinggal para personel band. Aku terbilang cukup sering nongkrong serta beberapa kali menginap di sana saat masih sekolah dulu. Dikarenakan Mike adalah satu-satunya yang memiliki kekasih, maka mereka memberinya satu kamar khusus yang kunci pintunya masih bisa berfungsi. Johan, Seth dan David tidak pernah keberatan jika aku menginap. Mereka pun tidak pernah mengolok-ngolok Mike, jika pada malam hari kami cukup berisik ketika sedang bercinta. Mereka hanya akan nyengir jahil kepada kami di keesokan harinya.

Sambil berjuang menjadi profesional cheerleader, aku bekerja sebagai waitress di salah satu restauran ternama di Los Angeles. Uang yang telah kuhasilkan lantas kupakai untuk hidupku sehari-hari dan membayar sewa apartemen yang kutinggali. Mike pernah menawarkan diri untuk membayar sewa apartemennya, namun kutolak. Pada saat itu aku ingin sekali membuktikan kepada diriku sendiri kalau aku bisa hidup mandiri secara finansial tanpa bantuan Mom, apalagi Mike.

Pada waktu itu Mike dan band-nya sudah mulai dikenal di Santa Monica, sehingga mereka mendapat kontrak dengan label indie. Pun kesibukkannya semakin intens; Mike dan band-nya mulai manggung ke beberapa kota di dalam bahkan di luar California. Sementara itu, aku mulai disibukkan dengan audisi NFL cheerleading untuk tim Los Angeles Rages, belum lagi ditambah pekerjaanku di restauran. Secara perlahan Mike dan aku mulai dipisahkan oleh mimpi kami masing-masing.

Aku tidak pernah menyangka bahwa yang kusebut cita-cita ini, sebenarnya sedang menuntunku ke sebuah bencana terbesar di dalam hidupku.

Ketika aku mendapatkan surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa aku berhasil lolos dari audisi, aku senang bukan main. Aku langsung memberitahukan Mom, Zoe dan tentunya Mike. Mike adalah orang pertama yang kuberitahu. Mereka mengucapkan selamat kepadaku. Mike bilang bahwa dirinya sangat bangga padaku ketika aku memberitahunya lewat sambungan telepon, karena pada saat itu dia sedang berada di Seattle; Band-nya sudah dilirik label yang lebih besar dan lebih komersil dari sebelumnya. Saat itu mereka sedang menggarap album pertama mereka dengan campur tangan para ahli di bawah naungan Major label.

Aku menjalani beberapa tes. Tes pertama yang kuikuti adalah, aku diminta untuk menari freestyle sampai Hip-Hop. Satu minggu kemudian penilaian dilakukan dari penampilan, kami semua diminta untuk mengenakan bikini. Selanjutnya kami melakukan wawancara panjang lebar, lalu kemampuan berbicara di hadapan publik menjadi tes setelahnya. Aku juga mengikuti semacam ujian tertulis; mengenai pengetahuan seputar football. Dan yang terakhir adalah tes penggunaan obat-obatan dan tentunya tes fisik.

Aku lolos dari semua tes itu, dan perjalananku menjalani uji coba menjadi profesional cheerleader pun dimulai.

Bagian terberat untuk menjadi pemanduk sorak NFL adalah kami dituntut harus selalu terlihat sempurna. Sempurna adalah harga mati. Kami dituntut untuk memiliki kuku dan tubuh yang terawat. Kami diancam untuk tidak mengikuti pertunjukan jika memiliki rambut bergelombang sementara manajemen memerintahkan kami untuk memiliki rambut lurus. Hal ini membuatku jengkel karena aku memiliki rambut bergelombang. Alhasil aku meluruskannya dan memakai berbagai macam produk rambut agar rambutku tetap lurus meski diguyur hujan sekalipun.

Bukan hanya itu, kulit yang terlalu pucat, terbakar atau terlihat orange akibat tanning (penggelapan kulit palsu) semua mesti diperbaiki dalam waktu singkat jika manajemen tidak menginginkannya. Bagaimanapun caranya. Aku memiliki kulit alami yang kecokelatan karena setengah darah Latin dari Dad mengalir di dalam tubuhku. Tapi aku pun harus menjaga warna kulitku agar warnanya tidak berubah menjadi terlalu gelap. Selain itu para pemandu sorak pun harus meminta izin terlebih dahulu kepada para pelatih jika kami ingin mengubah penampilan fisik kami; seperti memotong atau mewarnai rambut. Jika mereka melarangnya maka kami tidak boleh melakukannya. Kecuali manajemen memerintahkan kami untuk me-makeover penampilan.

Suatu hari aku pernah diperintahkan untuk pergi ke salon dan membayar dari kocekku sendiri untuk mewarnai rambutku dengan warna yang berbeda, yang tentunya mereka sudah pilihkan untukku. Saat itu aku merasa kesal karena harus merelakan rambut cokelat tuaku ditambahkan highlight ombre berwarna pirang di ujungnya. Aku menangis kala itu. Mike mengatakan bahwa rambutku terlihat colorful. Walau sebenarnya aku tahu Mike tidak menyukai warna pirang, tapi dia menutupinya dengan berkata seperti itu supaya aku tidak tambah kecewa.

Penyiksaan berlanjut ketika masing-masing dari kami mendapatkan daftar yang lumayan panjang mengenai bagian tubuh mana saja yang wajib diperhatikan dan dipermak. Sebagai seorang cheerleader profesional dituntut harus memiliki tubuh bugar dan proporsional. Bagian-bagian tubuh yang wajib diperhatikan di antaranya adalah punggung, paha bagian dalam dan luar, paha bagian depan, lengan, perut bagian atas dan seterusnya.

Tugasku hanya menjaga tubuhku dan mempertahankannya, karena dari semua bagian-bagian tubuh yang wajib untuk diperhatikan, aku tidak memiliki masalah dari kesemuanya itu. Tubuhku sudah terbilang bugar dan proporsional. Hanya saja aku memiliki sedikit masalah di perut bagian bawah. Aku hanya harus mengurangi beberapa inci saja untuk bagian tersebut. Aku termasuk beruntung dari teman-teman satu timku yang lain. Kebanyakan dari mereka malah harus mengencangkan otot perut, menghilangkan lemak di lengan, mengurangi beberapa inci dari kedua paha, atau mengurangi lemak di perut mereka.

Beberapa hari sebelum pertunjukan pertamaku, kami semua melakukan penimbangan dan pengukuran tinggi badan. Para pelatih berkata kepadaku kalau aku memiliki tubuh yang sesuai prosedur. Mereka mengingatkanku agar berat badanku tidak naik. Karena kami semua tidak diperbolehkan memiliki berat badan lebih dari 55 kg. Pertama kali aku ditimbang, berat badanku mencapai 53 kg, dengan tinggi badan 165 cm. Seorang pelatih menepuk pantatku sambil berkata, "good girl!". Saat itu aku tidak memiliki masalah mengenai berat badan dan aku sungguh bersyukur.

Sekali lagi aku beruntung dari mereka yang ada di dalam timku. Banyak dari mereka yang berjuang keras menurunkan berat badan mereka, sampai beberapa di antaranya terancam gagal tampil di pertunjukan pertama kami.

Menjelang pertunjukan pertamaku, aku sangat gugup. Ditambah beberapa jam sebelumnya Mike meneleponku kalau dirinya tidak bisa datang ke Los Angeles karena band-nya harus berangkat kembali ke Seattle, mengerjakan album mereka. Aku kecewa karena pertunjukan pertamaku tidak disaksikan olehnya. Tapi Mike berjanji akan menonton pertunjukanku di Monday Night Football di televisi—jiika dia sempat. Namun, adikku yang terkasih berinisiatif merekam semua pertunjukanku dengan kameranya dan mengirimkannya kepada Mike.

Selesai pertunjukan, setelah aku pulang ke apartemenku di Los Angeles, Mike dan aku mengobrol di telepon. Dia bilang aku sangat seksi memakai seragam two-pieces cheerleader-ku. Dan berkata pertunjukanku sungguh memukau.

"Seandainya saja aku ada di sana, aku pasti tidak akan tahan melihatmu seperti ini. Aku akan mengupas seragam itu dari tubuhmu dengan gigiku. Lalu aku akan mengecupmu habis-habisan, sebagai rasa banggaku terhadapmu," Mike menggodaku, yang membuatku semakin merindukannya.

Tapi aku kembali merasa jengkel karena kami tidak bisa melakukannya. Mike terlalu sibuk dengan band dan albumnya, sehingga kami jadi jarang sekali bertemu. Tapi walaupun begitu, aku tentu saja bangga kepadanya dan merasa senang dengan kemajuan Mike bersama band-nya.

Setelah pertunjukan pertama, aku kembali ke rutinitas semula. Bekerja dan berlatih. Namun, aku jadi selalu merasa lapar dan lelah, sehingga pola makanku tidak kujaga, alhasil berat badanku sempat naik beberapa kilogram. Aku mulai panik dan cemas terhadap kenaikan berat badanku, aku merasa ketakutan setelah melihat teman-teman pemandu sorak yang dimarahi dan dibentak di hadapan seluruh tim, serta dilarang tampil karena berat badan mereka yang tidak sesuai standar. Aku tidak menginginkan hal itu terjadi juga kepadaku. Karenanya aku tidak bisa berdiam diri dengan kenaikan berat badanku itu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menurunkannya menjadi seperti semula.

Maka sebelum pertunjukan kedua, aku menjadi paranoid. Sampai-sampai aku harus cuti selama satu minggu lebih dari tempat kerjaku dan menyewa dua orang pelatih pribadi. Setiap hari aku melakukan cardio selama 3 jam dan 30 menit untuk pembentukan otot. Aku pun tidak makan apa-apa selain tuna kalengan dan kacang almond.

Selain itu aku pun harus melakukan pembersihan usus besar, yang selama hidupku baru saat itu aku melakukannya. Aku juga harus berpuasa agar mendapatkan tubuh yang benar-benar sempurna. Pada akhirnya bukan hanya penurunan berat badan, dan otot perut kencang saja tetapi tulang rusuk menonjol pun kudapatkan, seperti yang mereka inginkan.

Di hari penimbangan sebelum pertunjukan kedua, aku mulai ketakutan. Semua pemandu sorak merasakan seperti yang kurasakan. Tidak ada yang makan atau minum sebelumnya karena kami takut hal itu akan mempengaruhi berat badan kami. Sebelum penimbangan, aku bangun lebih awal dan duduk di dalam ruang uap gym selama satu jam, berharap aku berkeringat dan mengurangi beberapa ons lemak di tubuhku.

Biasanya selama penimbangan berlangsung para pemandu sorak akan berebut tempat, karena semakin cepat kami selesai ditimbang maka semakin besar kesempatan kami untuk memiliki banyak waktu memakan makanan ringan berenergi sebelum menari dan bersorak selama 4 jam penuh yang melelahkan.

Di pertunjukanku yang kedua, lagi-lagi jadwal kami bentrok. Mike tidak bisa datang untuk melihatku untuk yang kedua kalinya. Mike bersama band-nya sedang gencar-gencarnya merampungkan album mereka.

Oleh karenanya aku harus menyembunyikan rasa kecewaku di balik senyuman palsu selama pertunjukan berlangsung. Aku merasa lapar, marah, dan merindukan Mike, namun pekerjaanku menuntutku untuk bersikap profesional. Aku wajib menutupi semua itu sehingga orang-orang tidak bisa melihat kalau sebenarnya aku tidak seceria tampilan luar. Jauh di dalam diriku, aku sedang menangis.

Selama beberapa bulan berikutnya, aku menjalani semua itu. Semua penderitaan itu kujalani secara berulang. Sampai aku terbiasa dengan selalu kelaparan, mengalami kecemasan, dan kesepian. Sempat terlintas dalam benakku untuk menyerah, akan tetapi kalau bukan karena dukungan dari keluargaku dan Mike, mungkin pada uji coba keduaku aku sudah mengundurkan diri.

Mike masih sempat pulang ke Los Angeles beberapa kali. Kami pergi berlibur bila kami sama-sama memiliki waktu luang, yang mana hal tersebut langka sekali terjadi. Sebisa mungkin kami manfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, meski liburannya terbilang sangat singkat. Hanya Mike satu-satunya penghiburanku, hanya dia yang membuatku bertahan.

Setelah masa uji coba selesai, ketika lonceng keberhasilan didentangkan, di sinilah semuanya bermula. Perjalanan sesungguhnya yang akan mengubah total hidupku.

Akhirnya, setelah berjuang dengan tumpahan darah dan keringat, aku secara resmi berhasil menyandang status sebagai profesional cheerleader NFL untuk tim football Los Angeles Rages.

Dan siapa bilang penderitaan telah berakhir? Kau salah, justru penderitaan yang sesungguhnya sedang dimulai.

Hanya 40 dari ratusan orang yang berhasil menjadi pemandu sorak NFL, salah satunya adalah aku.

Tidak bisa terelakan ketika 40 wanita cantik yang sedang kelaparan berada dalam satu tempat yang sama, maka drama selevel reality show pun terjadi. Tingkat kompetisi di antara kami semua meningkat, seperti layaknya el nino. Banyak di antara mereka yang menginginkan spotlight, lebih unggul dari yang lain sehingga mereka saling sikut untuk menjatuhkan satu sama lain.

Beberapa dari mereka bernafsu untuk mencegah para pesaing yang dianggap merugikan karir mereka, dengan cara menghasut para pelatih supaya tidak memperbolehkan para saingannya untuk mengikuti pertunjukan.

Dan aku pun mengalami hal tersebut.

Dalam kontrak tertulis kami, ada salah satu peraturan yang melarang keras kami untuk berteman, atau menjalin hubungan akrab dengan para pemain football dalam satu tim. Kebetulan aku memiliki seorang teman satu sekolah pada masa SMA dulu, yang sekarang menjadi quaterback di The Rages. Dia bernama Jack Sullivan. Jack adalah kakak kelasku di SMA. Kami terpaut jarak 2 tahun. Waktu itu aku masih sebagai freshman dan dia sudah mau lulus. Kami saling mengenal dan berteman ketika aku masuk program cheerleading di sekolah kami. Jack senang ketika kami bertemu kembali dan memberiku selamat atas keberhasilanku menjadi pemandu sorak profesional untuk timnya. Tapi pertemanan kami harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti aku tidak pernah menyapa dan benar-benar mengacuhkannya setiap kami saling berpapasan jika kami berada di lingkungan yang ramai. Kami mengobrol jika kami tidak sedang bertugas, dan itu pun terjadi hanya dalam hitungan jari.

Dan entah bagaimana pertemananku dengan Jack terendus oleh para pemandu sorak yang lain. Yang berakibat diriku difitnah oleh beberapa dari mereka. Mereka menyebarkan berita bohong, bahwa aku terlihat berpesta semalaman dengan Jack dan beberapa pemain di salah satu klub malam di LA. Gosip pun tersebar sampai ke telinga manajemen.

Suatu hari aku dipanggil menghadap para petinggi untuk menjelaskan kabar tersebut. Aku sungguh terpukul ketika mendapati hal itu. Tentu saja aku langsung membela diri karena kabar itu tidak benar. Aku bersikeras membuktikan kebenarannya. Akhirnya manajemenku menyatakan bahwa diriku tidak bersalah. Namun tetap saja, sebagian dari para pemandu sorak yang pada awalnya tidak termakan gosip tersebut, sekarang menaruh kecurigaan terhadapku.

Mike mengetahui masalah ini karena aku harus memberitahunya. Namun, apa yang terjadi bukan apa yang kuharapkan. Mike malah mempermasalahkan hubungan pertemananku dengan Jack. Dia mencurigaiku, kalau aku ada 'apa-apa' dengan Jack. Tuduhannya itu membuatku sakit hati. Dan Kami pun berakhir dengan bertengkar hebat. Pertama kalinya selama kami berpacaran, pada saat itulah pertengkaran besar kami yang pertama terjadi. Kami sering bertengkar tapi hanya karena masalah sepele dan Mike memang selalu cemburu kepada setiap lelaki mana pun yang berusaha mendekatiku, tapi marah kami hanya sebatas aku tidak berbicara dengannya selama beberapa hari begitu pula dengan Mike kepadaku jika dia sedang marah. Akan tetapi pada malam itu, kami benar-benar bertengkar dengan segala macam teriakan, tangisan yang meraung dan lemparan barang-barang sampai pecahan kaca berserakan di mana-mana. Mike tidak pernah membentak apalagi meneriakiku, tapi aku tidak mengerti apa yang merasukinya kala itu. Malam itu dia terlihat sangat terluka, marah dan lelah.

Mike meninggalkan apartemenku setelah kami bertengkar, dia membawa hampir semua pakaiannya dan hanya sedikit barang-barangnya yang dia tinggalkan. Aku menangis kembali sampai kedua mataku bengkak. Pada saat itu aku mengira hubungan kami telah berakhir.

Aku kehilangan motivasi setelah pertengkaran kami tersebut. Yang menyebabkan seringnya mendapatkan teguran dari para pelatih karena aku tidak fokus dan sering melamun ketika sedang latihan. Aku juga akan menangis lagi di tempat tidurku ketika malam tiba, yang berakibat aku harus memakai makeup super tebal di bagian mata untuk menutupi kedua mataku yang selalu bengkak di keesokan harinya.

Di samping adanya persaingan yang ketat antar sesama pemandu sorak, namun aku pun memiliki ikatan pertemanan yang cukup solid dengan beberapa di antaranya. Aku mempunyai beberapa teman dari mereka yang baik terhadapku dari semenjak audisi sampai kami menjadi profesional cheerleader. Setiap salah satu dari kami mengalami bad day atau putus dari kekasihnya, mereka akan berkumpul dan membuat harinya menjadi lebih baik. Mereka melakukan hal itu juga terhadapku ketika Mike dan aku bertengkar. Mereka merangkulku, mendengarkanku berkeluh kesah dan menyakinkanku kalau semuanya akan baik-baik saja. Dan benar saja Mike menghubungi dan meminta maaf kepadaku beberapa hari kemudian. Dia mengaku cukup stress menghadapi apa yang sedang dia hadapi kala itu. Kami pun berbaikan kembali.

Namun bukan berarti pertemanan kami ini terbilang sehat, karena kehidupan sosial kami didasari dengan berada berjam-jam di gym yang diikuti dengan serentetan kewajiban lainnya seperti; latihan, perawatan tubuh, pedikur, manikur dan lain sebagainya. Obrolan normal kami pun seputar obat diet, penghilang racun atau pil pembersih usus besar.

Ada peraturan penting lainnya dalam kontrak kami yang berhubungan dengan masalah perilaku. Para pemandu sorak diharapkan harus berperilaku seperti layaknya malaikat. Kami dilarang tegas untuk meminum minuman keras, mengutuk, berbicara kasar, merokok, mengunyah permen karet, dan kami akan langsung dipecat jika kami mendapatkan surat tilang.

Sementara kami dikontrak untuk berperilaku layaknya orang suci, namun orang-orang asing dengan bebasnya diperbolehkan menyentuh atau meraba tubuh kami. Bukan hanya perlakuan dari para penggemar saja, melainkan dari para petinggi perusahaan-perusahaan penyokong yang mengeluarkan biaya luar biasa besar hanya untuk bisa bergaul dengan kami.

Aku dan beberapa temanku sering diminta untuk menemani para eksekutif itu hangout di sebuah kelab malam mewah. Aku sama sekali tidak menyukainya, tapi apa boleh buat aku pun tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka lah yang membayar gaji kami.

Aku juga tidak bisa menghitung berapa kali aku dirangkul, kadang-kadang tangan pria-pria menyenggol payudaraku ketika sedang berpose untuk foto bersama. Sungguh memuakkan.

Tapi kami semua tidak berdaya, tidak bisa melawan apalagi memberontak. Karena semua tentang kami sebagai pemandu sorak akan masuk laporan. Jika kami macam-macam, ancaman terburuknya adalah pemecatan. Terlebih kami pun disorot media. Konstannya timbal balik yang negatif dan peraturan-peraturan yang membatasi, amat sangat mempengaruhi kepribadian kami. Karakterku benar-benar terbunuh oleh semua itu. Alhasil aku selalu terlihat kaku, tegang, kesal dan lapar. Aku juga jadi pemarah. Aku mudah sekali tersinggung, aku akan membentak tanpa alasan yang jelas. Mom, Zoe, beberapa temanku, dan Mike adalah korbannya.

Mom mengobrol di telepon denganku suatu malam. Mom bilang bahwa Mike khawatir denganku, karena aku berubah drastis menjadi orang yang berbeda. Mom berkata katanya Mike bercerita kepada Mom bagaimana aku sebelum menjadi pemandu sorak profesional. Betapa bahagianya kepribadianku kala itu. Mom setuju dengan Mike. Tapi aku malah memutuskan saluran telepon lalu melempar ponsel ke atas nightstand. Aku tercabik antara karir, hubunganku dengan Mike dan harga diriku.

Saat itu aku tetap mempertahankan karirku sebagai profesional cheerleader, karena untuk mencapai pada titik itu aku harus mengorbankan banyak hal. Menggapai cita-citaku tersebut tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Maka rasanya tidak semudah itu aku menyerah. Belum lagi hasil yang kudapat dari karirku tersebut cukup membuatku puas. Aku menghasilkan ribuan dollar dari karirku. Aku juga senang bisa bepergian ke beberapa negara bagian di Amerika yang belum pernah kudatangi sebelumnya.

Di samping semua itu, sebenarnya aku mulai kecanduan dengan status selebritis semu sebagai pemandu sorak professional NFL. Aku merasa senang ketika mendapatkan ketenaran selama 15 menit dan kemeriahan musim football yang menular menjadikanku seperti salah satu bagian dari sesuatu yang besar.

Aku pun tidak mau kalah dari Mike.

Karena pada waktu itu Mike bersama band-nya sudah merajai tangga lagu di semua radio di seluruh Amerika. Dia mulai terkenal. Mempunyai banyak penggemar. Cita-citanya menjadi rock star dunia tinggal satu langkah lagi. Infinity Dusk akhirnya melahirkan album komersil pertama mereka setelah menandatangani kontrak dengan Major label. Albumnya diberi nama Morbid. Mike mengirimi satu CD-nya kepadaku. Album tersebut berhasil menduduki tingkat pertama dengan jumlah penjualan album terlaris, album paling banyak di-download dan beberapa lagunya yang paling banyak di-request di semua radio.

Mike bersama band-nya mulai sibuk mempersiapkan tour konser mereka, syuting video klip, wawancara di sana-sini, pemotretan dan sebagainya.

Satu hal yang paling menyakitkan dari semua yang pernah terjadi selama karirku adalah ketika Mike akhirnya menonton pertunjukanku untuk yang pertama kalinya. Berbulan-bulan kami tidak pernah bertemu, dikarenakan oleh kesibukkan masing-masing. Hubungan kami pun sudah dilakukan layaknya kami tinggal di belahan dunia yang berbeda. Maka ketika kulihat dia ada di sana, secara fisik, aku merasa sangat bahagia. Saat itu Mike datang kepadaku sebelum pertunjukan dimulai. Aku ingat dia tersenyum bangga dengan tatapan penuh kerinduan yang terpancar dari kedua matanya ketika menghampiriku. Namun, saat dia memelukku, secara refleks aku langsung mendorongnya menjauh. Mike tersentak mundur ke belakang. Dia terkejut luar biasa.

Kami, para pemandu sorak diberi perintah untuk menolak pelukan dari keluarga, kekasih, teman oleh manajemen kami. Dan apabila kami melanggarnya, kami akan terkena sanksi yang cukup berat. Peraturan ini adalah peraturan yang paling paling paling aku benci dari semua peraturan yang ada.

Aku merasa bersalah kepadanya, batinku benar-benar tersiksa. Aku sungguh terpukul ketika kulihat ekspresi wajahnya berubah kecewa. Setelah pertunjukan aku langsung mencari keberadaannya, aku ingin meminta maaf dan membuatnya mengerti. Tapi Mike tidak kutemukan di mana pun. Tidak pula di apartemenku. Dia hanya mengirimkan pesan singkat kepadaku kalau dirinya sedang dalam perjalanan ke bandara untuk bersiap-siap meninggalkan L.A. menuju Baltimore.

Entah mengapa aku memiliki semacam firasat bahwa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi selanjutnya.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut, firasatku menjadi kenyataan;

Mike memutuskanku.

Aku merenung di dalam apartemenku setelah Mike datang ke Los Angeles Coliseum dan memutuskanku di malam itu. Apa sebenarnya yang sedang kulakukan? Apa ini yang dimaksud dengan cita-cita yang kuinginkan selama ini. Apa aku bahagia dengan semua ini? Tidak! Tentu saja tidak.

Pada akhirnya aku menyadari bahwa cheerleading bukan sesuatu yang bisa membuatku bahagia. Malah sebaliknya, aku menderita dan kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku karenanya. Aku merasa muak ketika mengingat diriku yang larut dalam kesenangan semu, ketika merasa tergugah saat para gadis melihatku seolah aku panutan bagi mereka. Aku menyadari bahwa aku telah mengorbankan identitasku, harga diriku, bahkan aku mengorbankan Mike hanya demi seragam two-pieces pemandu sorak NFL-ku.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, aku memilih mengundurkan diri dan berhenti dari karir cheerleading profesionalku yang selama satu tahun lebih kubangun dengan banyak sekali penderitaan itu.