Chapter 19

Para pejalan kaki memadati sisi jalan, berlalu lalang melewati kami yang sedang berdiri berhadapan di atas trotoar. Padahal New York sudah melewati rush hour (jam-jam sibuk), tapi tetap saja, ini New York. Kemacetan di jalanan Manhattan pun masih tampak tak berujung. Kudengar bunyi-bunyi klakson yang tidak sabar, perselisihan antar pengendara dan pejalan kaki, dan sayup-sayup bunyi sirine dari kejauhan. Semua hal ini terlalu familiar buatku sekarang.

Butuh waktu selama satu tahun bagiku untuk terbiasa dengan kebisingan dan kesibukkan di kota ini. Aku ingat beberapa bulan pertamaku di New York, aku tidak pernah bisa tidur di malam hari karena aku tidak tahan dengan kebisingan yang tak kunjung henti di sini. Tapi akhirnya aku membiasakan diri dengan semua itu. Apa boleh buat, karena berkeluh kesah pun hanya akan membuang-buang waktu dan energiku saja.

Mike masih menatapku dengan tatapan antara ragu dan ingin tahu.

"Aku rasa, mungkin sebenarnya kau sudah tahu apa alasannya," aku berkata, mengalihkan kembali perhatianku kepadanya.

Mike terdiam sesaat. "Aku mengerti," ujarnya.

Lalu dia mengalihkan pandangannya kepada sesuatu yang berada di belakangku. Entah apa itu. Tapi dia tidak sedang mengobservasi, hanya menatap sesuatu tersebut dengan tatapan kosong.

Aku menunggunya.

Tak lama berselang, dia mengarahkan kembali tatapannya padaku. "Akulah alasannya, bukan begitu?" ujarnya kali ini.

Seketika aku menarik napas.

Memang benar, sebagian dari keseluruhan alasan mengapa aku mengundurkan diri dari karirku adalah karena dirinya. Namun, aku pun tidak memungkiri kalau sebagian besarnya adalah karena diriku sendiri.

"Iya dan tidak," jawabku mengedikkan bahu.

Lalu aku berlalu dari hadapannya. Melangkahkan kedua kakiku berjalan menjauh darinya.

Aku tidak menoleh ke belakang ketika kudengar derapan langkah kaki Mike mengikutiku. Aku terus berjalan dengan langkah yang tidak terlalu cepat, sembari mendekap erat tubuhku menggunakan kedua tangan.

"Kau memang sudah menjadi New Yorker sekarang?" Mike mengejutkanku dengan tiba-tiba berkata demikian.

Ketika aku menoleh ke samping, dia sudah ada di sana. Berjalan berdampingan denganku lagi.

Aku mendelik kepadanya, dia sedang tersenyum. Aku tahu dia sedang berusaha menggodaku, mencairkan ketegangan yang mulai menyusup kembali di antara kami berdua. Dan dia berhasil.

"Well, tiga tahun tinggal di sini menjadikanku terbiasa dengan semua ini," aku tersenyum sembari melambaikan sebelah tangan di hadapanku.

Mike mengamati ke sekitar, kepada para pejalan kaki.

"Memangnya kenapa? Aku berjalan cepat juga seperti mereka?" tanyaku, seraya mengedikkan kepala ke arah para pejalan kaki itu.

Lalu Mike terkekeh, suara kekehannya terdengar dalam. "Ya, bisa dibilang seperti itu. Kau tidak pernah berjalan secepat ini sebelumnya," katanya seraya menggelengkan kepala.

Dia benar, orang-orang California tidak pernah berjalan cepat apalagi tergesa-gesa. Karena kami semua cukup santai menjalani hari. Tidak seperti New Yorker yang biasa berjalan dengan cepat. Alasannya karena waktu sungguh berharga di kota ini, setiap menit, setiap detiknya dipertaruhkan. Namun, ada alasan lain mengapa New Yorker berjalan begitu cepat, yaitu untuk menghindari scammers (penipu) yang berkeliaran di mana-mana.

"Kau akan seperti itu juga kalau tinggal cukup lama di sini, karena kalau kebiasaan California-mu tidak kau tinggalkan, kau akan kewalahan."

Mike terkekeh lagi, kali ini cukup keras. "Kebiasaan California-ku katamu? Kau dapat dari mana sebutan itu?" katanya.

Aku mengangkat kedua bahuku. "Teman-teman kerjaku selalu bilang seperti itu kepadaku. Termasuk Amber, dia menyebutku lelet ketika aku masih menjadi pegawai baru di tempatku bekerja sekarang."

"Oh ya?" katanya terkaget-kaget. "Apa mereka tidak tahu kau itu mantan NFL cheerleader, yang tidak mungkin lel...." Mike menghentikan ucapannya.

Kalimat itu menggantung di udara. Mantan NFL cheerleader. Aku tidak mengerti mengapa sebutan itu terasa begitu menyengat ketika Mike yang mengucapkannya.

"Maaf," katanya, seakan menyadari dirinya telah berbuat kesalahan.

Dia bersikap penuh kehati-hatian kepadaku hari ini. Aku tidak akan mengeluhkannya, karena memang sudah sepantasnya dia bersikap begitu.

Aku diam, tidak menanggapi ucapannya dan hanya fokus menggerakkan kedua kakiku. Kami berjalan dalam diam selama beberapa lama. Menyebrangi jalan 6th Ave meneruskan ke 47th St. Mike menurunkan topinya ketika kami sedang menyebrangi jalan, menghindari tatapan orang-orang kepadanya saat kami berpapasan di zebra cross.

Sebenarnya aku masih ingin menjawab pertanyaan darinya, menjelaskan tentang alasan mengapa aku berhenti dari karirku. Tapi, apakah pembahasan mengenai hal itu masih tepat untuk dibicarakan sekarang?

Mike seolah mengendus kegelisahanku. Dari sudut mataku, kulihat dia sedang menoleh ke arahku, agak lama. Tapi kemudian dia menolehkan kembali kepalanya menghadap lurus ke depan. Namun, tak lama dari situ dia menoleh lagi kepadaku.

"Aku...," dia membuka pembicaraan. "Aku sungguh menyesal, Lana," desahnya lelah.

"Hidupmu jadi seperti ini, semua akibat ulahku. Aku sudah menghancurkan segalanya. Perasaanmu, cita-citamu," jelasnya.

Jujur, ada semacam percikan melegakan yg kurasakan setelah mendengar ungkapan penyesalan darinya. Malam ini, yang kuinginkan dan kuharapkan selama tiga tahun, satu per satu menyibakkan tabirnya.

Kupalingkan pandanganku kembali kepadanya. "Mungkin ini semua karenamu. Tapi mungkin juga bukan," aku berkata.

Lalu Kuhentikan langkah kakiku, Mike melakukan hal yang sama. Kami berdiri berhadapan lagi di atas trotoar di jalan kecil 47th St.

Kami saling memandang satu sama lain selama beberapa saat. Mike terlihat sabar seperti biasanya.

"Kau mungkin menjadi salah satu penyebab aku berhenti dari karir pemandu sorak. Tapi pada kenyataannya akulah yang menjadi penyebab utama semua itu terjadi."

Kulihat ekspresi wajahnya berubah, Mike mengerutkan keningnya. Tampak tidak memahami apa yang baru saja kukatakan.

"Apa maksudmu?" tanyanya.

Para pejalan kaki menatap cukup lama ke arah kami berdua. Ada beberapa di antaranya yang mengumpat karena jalan yang akan mereka lewati terhalangi oleh kami. Aku sadar bahwa kami berdua mungkin akan menarik perhatian jika tidak segera menyingkir. Tanpa berpikir panjang kuraih satu tangan Mike, lalu membawanya ke sisi trotoar, seperti yang dia lakukan kepadaku sebelumnya.

Setelah kami berada di sisi trotoar, cepat-cepat kulepaskan tangannya dan mengibaskan getaran yang ditimbulkan akibat bersentuhan fisik dengannya lagi, aku kembali melanjutkan pembicaraanku dengannya.

"Aku membiarkan diriku berada di tempat yang salah," jawabku.

Kutatap kedua bola matanya. Penerangan di sini cukup redup, sehingga aku tidak bisa memastikan apa yang sedang dia pikirkan. Mike hanya menatapku dengan kening yang masih berkerut.

"Akulah yang membiarkan semua ini terjadi. Aku mungkin tahu alasan lainnya mengapa kau pergi meninggalkanku, karena kau pikir aku berubah. Dan ya kau benar."

Aku menghela napas, kemudian melanjutkan. "Aku menyadarinya Mike. Setelah kita bertengkar hebat pada waktu itu dan saat Mom memberitahuku kalau kau mengkhawatirkanku. Semua orang mengkhawatirkanku saat itu namun aku sungguh keras kepala. Aku egois. Seharusnya aku sadar bahwa hal itu adalah sebuah peringatan bagiku. Tapi aku malah mengabaikannya," jelasku, yang cukup terkejut oleh kata-kataku sendiri.

Aku tidak mengerti dari mana kata-kata itu berasal. Mungkin selama tiga tahun ini sudah ada jauh di dalam diriku. Tapi aku memilih menutup mata, menutup telinga, menolak untuk mengakui dan malah sepenuhnya menyalahkan Mike.

"Tidak, aku pun bersalah di sini," ujarnya. "Seharusnya aku ada di sana. Di sampingmu ketika kau berada pada masa-masa tersulitmu. Bukan malah meninggalkanmu. Aku tidak akan menyangkal kalau aku pun sungguh egois. Aku mementingkan band, cita-citaku dibandingkan denganmu."

Sebuah bongkahan batu besar yang mengganjal di dalam diriku selama ini seakan-akan digelincirkan, jatuh ke dasar. Aku merasa begitu lega.

"Kau memilih pilihan yang tepat kalau begitu. Kau memilih karirmu, cita-citamu dibandingkan denganku. Lihatlah kehidupanmu sekarang. Aku senang melihatnya, Mike," aku tersenyum kepadanya.

Memang benar, di samping kesakithatianku namun di sisi lain aku senang dan bangga kepadanya.

Tapi dia mendesah kencang, lalu memijat leher menggunakan sebelah tangannya. Seolah pujianku malah berdampak sebaliknya.

"Aku tidak akan menyebut ini sebagai pilihan yang tepat," katanya. Nada bicaranya terdengar pahit.

Kukerutkan kening, mengapa? Tanyaku dalam hati. Bukankah kehidupan seperti ini yang selalu dia inginkan?

"Mengapa kau berkata begitu?"

Dia memijat lehernya sekali lagi sebelum melanjutkan.

"Ketenaran, kekayaan, jadwal manggung yang tak kunjung henti. Semua itu malah membuatku berpikir ulang, apa yang kuinginkan sesungguhnya di dalam hidup ini," katanya, menghindari tatapanku.

Kedua matanya tertuju ke bawah. Ekspresi lelah di wajahnya kembali tergambar.

Apa?

Aku masih belum bisa memahami apa maksudnya.

Mike pernah berkata kepadaku sewaktu SMA dulu, ketika kami baru satu bulan berpacaran. Dia memberitahuku apa yang dia inginkan di dalam hidup ini, katanya dia ingin karyanya diapresiasi banyak orang. Dia berkata kepadaku, "aku ingin band-ku sukses. Menghasilkan banyak album dan disukai semua orang di dunia ini. Lalu kami melakukan tour dunia. Bertemu fans dari berbagai negara. Aku pikir itu sangat keren! Oh ya! Dan meraih banyak penghargaan. Dan nama kami akan terpampang di Rock And Roll Hall Of Fame. Dan tentu saja aku menginginkanmu bersamaku saat semua itu terjadi. Aku ingin kita bersama selamanya." Setelah itu Mike mengecup bibirku. Pada waktu itu aku memiliki keyakinan bahwa dirinya akan meraih semua itu. Meskipun keinginan untuk bersamaku selamanya terhenti di tengah jalan, namun aku senang ketika sedikit demi sedikit dia bersama band-nya mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini.

"Aku akan menjelaskan semuanya kepadamu," dia menatapku lagi. "Bisakah kita pergi ke suatu tempat?" pintanya seraya melihat ke sekeliling.

Benar, kami tidak cocok membicarakan hal sensitif di tempat ramai seperti ini.

Aku mengangguk, lalu kami pun melanjutkan perjalanan.

"Ada ide?" tanyaku. Aku sama sekali tidak tahu akan membawanya ke mana. Mungkin ada beberapa tempat di kepalaku. Tempat-tempat yang cukup tenang dan jauh dari keramaian. Tapi aku belum bisa menentukan pilihan pada saat ini. Pikiranku masih terlalu penuh dengan apa yang baru saja kami bicarakan. Aku pun masih agak terkaget-kaget dengan pengakuanku tadi.

"Ide tempat?"

Aku mengangguk lagi.

"Umm… aku tidak begitu mengenal New York. Aku hanya beberapa kali ke kota ini. Dan itu pun hanya sebatas hotel yang kami tinggali, Madison Square Garden atau venue-venue lain di mana kami akan manggung, seperti Randall's Island dua hari yang lalu. Selain itu restauran, tempat-tempat untuk wawancara dan sebagainya. Aku tidak pernah berjalan-jalan sebelumnya. Baru hari ini aku melakukannya," jelasnya.

Benar juga ya, bodohnya aku. Seharusnya dia yang bertanya bukan malah sebaliknya.

"Aku tidak akan keberatan kau akan membawaku ke mana. Bersamamu saja aku sudah lebih dari bahagia," Mike menatapku, lalu tersenyum manis.

Aku bisa merasakan wajahku memanas dan hatiku sedikit berbunga-bunga. Sedikit?

"Baiklah, kalau begitu," buru-buru aku berpaling darinya.

Jujur, aku merasa tersipu ditatap seperti itu lagi olehnya setelah bertahun-tahun lamanya. Seperti kembali mendapatkan sebuah anugerah setelah sempat terenggut dariku.

Selama beberapa saat aku berada di dalam gelembung penuh bunga sehingga aku tidak menyadari ke mana langkah kakiku membawa aku dan Mike sebenarnya.

Ketika kami sampai di ujung jalan, ketika kusadari betapa frekuensi keramaian orang-orang meningkat berkali-kali lipat. Ketika cahaya terang dari ratusan Billboard membutakan kedua mataku. Sedetik itu aku langsung memecahkan gelembungku dan tersadar di mana kami sedang berada sekarang.

"Times Square?" Mike berbicara di sebelahku.

Aku mulai kembali didera rasa panik. Tak terasa kami sudah berada di 7th Ave.

"Aku tidak bermaksud membawamu kemari!" sahutku. Lalu melihatnya sambil menunjukkan wajah bersalah.

Mike tersenyum, namun senyumannya terlihat kaku. "Tidak perlu khawatir. Ayo kita jalan saja," katanya menenangkanku.

Meskipun Mike terlihat atau berakting santai, tapi aku bisa melihat garis wajahnya tampak tegang. Dia juga merasa panik, aku yakin itu. Aku segera membawanya pergi dari sana.

Tidak ada pilihan lain apabila kau sudah terjebak di Times Square, selain pasrah dengan arus keramaian di sini. Lima blok sepanjang Broadway, seluruh penjurunya selalu dipadati oleh lautan manusia setiap harinya. Segala macam jenis manusia bisa kau temui di sini, dari turis hingga scammers.

Scammers, di sinilah pusatnya. Jika kau tidak cukup pandai, maka uangmu akan terkuras habis di tempat ini.

Aku membawa Mike berjalan menembus keramaian sepanjang Broadway menuju ke arah selatan. Mike merapat kepadaku, kacamata hitamnya sudah dikenakannya lagi ketika aku melirik ke arahnya. Aku jadi ikut merasakan, betapa menyebalkan jika kau tidak bisa lagi memiliki kebebasan. Tidak bisa keluar rumah dengan tenang hanya untuk sekedar berjalan-jalan atau membeli sesuatu di mall. Aku paham sekarang. Mungkin ini salah satunya yang Mike bicarakan tadi bahwa pilihan yang dia pilih bukanlah pilihan yang tepat.

Aku juga sempat merasakan hal tersebut ketika aku masih menjadi pemandu sorak NFL. Semua tingkah lakuku menjadi sorotan media. Ya, meskipun tidak sebesar dan seterkenal Mike. Tapi tetap saja. Aku tidak akan pernah mau kembali ke masa itu.

Kami berjalan dengan tersandung-sandung karena saking padatnya Times Square, sehingga jarak antara para pejalan kaki hanya sebatas bentangan lengan. Belum lagi jika orang-orang yang berjalan di hadapan kami berhenti mendadak hanya untuk sekedar selfie atau menentukan toko mana yang akan mereka masuki. Kami menjaga jarak sejauh mungkin dengan mereka. Kulirik Mike yang sedari tadi menurunkan pandangannya, menghindari tatapan mata orang-orang kepadanya. Aku jadi ingin membawanya keluar dari keramaian ini sesegera mungkin.

Namun ketika hendak akan mempercepat langkah kakiku, tanpa sengaja aku menengadah melihat ke salah satu Billboard yang paling besar yang berada di atas salah satu gedung. Langkahku seketika terhenti saat aku melihat sebuah iklan yang sedang ditayangkan di Billboard tersebut. Gerakan mendadak dariku menyebabkan seorang pejalan kaki yang berada tepat di belakangku menabrak bahuku, dia mengumpat kepadaku tapi tidak kupedulikan. Satu-satunya yang kupedulikan sekarang hanyalah iklan di Billboard itu.

"Ada apa?" tanya Mike di sampingku.

Aku menunjuk Billboard dengan tanpa melepaskan padanganku pada layar besar itu. Kudengar Mike menyentakkan napasnya.

Billboard itu sedang menayangkan album terbaru dari band-nya Mike, Infinity Dusk. Dengan tulisan bergerak yang mempromosikan River Song sebagai salah satu single di album itu. Namun yang membuatku terkejut adalah nama albumnya.

"Lana," aku mengucapkan namaku dengan bersuara. Namun yang kudengar malah seperti bisikan.

"Lana?" kataku lagi, kali ini cukup keras seraya menoleh kepada Mike, menuntut jawaban.

Mike tidak melihatku. Dia tidak berkata-apa.

"Mengapa?"

Barulah dia melepaskan pandangannya dari Billboard kepadaku. Lalu dia melepas kacamata hitamnya. Tatapannya serius ketika dia melihatku.

"Ya, Lana," dia berkata. "Karena album itu bercerita tentangmu. Tentang perasaan dan kegelisahanku selama tiga tahun ini. Tentang kisah kita. Album itu untukmu," jelasnya.

Aku tersentak.

Apa?

Jadi bukan hanya satu lagu? Tapi satu album?

Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Yang kurasakan saat ini, aku seolah terjatuh dari ketinggian, kemudian terhempas ke dasar yang entah bagaimana jatuhnya menyenangkan. Kedua kakiku mendadak berubah menjadi bubur. Hatiku pun seperti diremas-remas kembali, aku ingin menangis. Tapi aku tidak mengerti apakah tangisan ini karena aku sedang merasa bahagia atau merasa sedih. Karena aku merasakan keduanya. Aku pun ingin berteriak di sini. Berteriak sekuat tenaga di tengah keramaian, sehingga semua orang tahu apa yang sedang kurasakan.

"Mike," suaraku tercekat. Hanya itu yang bisa kuucapkan. Hanya namanya.

Dia mengangguk.

Kutatap wajah itu. Wajah yang pernah kucintai. Tidak! Wajah yang masih kucintai. Ya tuhan, aku sungguh merindukannya.

Mike menutup jarak di antara kami berdua. Dia sekarang berdiri di hadapanku, dekat sekali dari yang pernah dia lakukan sebelumnya pada malam hari ini. Dia menunduk menatapku yang sedari tadi berdiri terpaku.

Seperti adegan lambat di dalam sebuah film, Mike mengulurkan satu tangannya kemudian mengusap pipiku dengan ibu jarinya. Baru kusadari kalau aku sedang menangis ketika kurasakan kedua pipiku basah. Lalu dia menyeka air mataku.

Aku membuka mulut kemudian menutupnya lagi. "Tapi... mengapa, Mike?" tanyaku pada akhirnya.

Dia menghela napas panjang lalu menghembuskannya, sambil masih membelai wajahku dia berkata, "Album ini adalah album final. Tujuanku dengan album ini adalah... aku berharap bisa menemukanmu, Lana. Karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Dan aku pun ingin seluruh dunia tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Betapa berartinya dirimu bagiku."

Jantungku benar-benar berhenti berdetak mendengar perkataannya.

Mike.

"Tapi takdir mempertemukan kita bahkan sebelum albumku keluar," lanjutnya dengan suara goyah dan kedua mata yang berkaca-kaca.

Aku ingin membelai wajahnya. Tapi ketika keinginanku akan terlaksana, sebuah suara meneriakkan namanya, kencang sekali.

"Hey! Itu Michael Soga!" serunya.

Perlahan kujejakkan kedua kakiku kembali ke bumi, lalu kuputar kepalaku ke arah sumber suara. Belum sempat aku melihat dengan jelas, Mike sudah meraih tanganku lalu membawaku pergi dari tempat kami berdiri dengan berjalan cepat. Tapi, sudah terlambat. Semua orang di sana secara serempak menoleh ke arah kami berdua. Sebagian besar dari mereka memanggil namanya seraya mengeluarkan ponsel.

"Michael Soga! Shit! Dia Michael Soga!" sahut seseorang yang kami lewati.

Mereka berjalan ke arah kami, mengarahkan ponsel mereka kepada kami berdua, sambil berbisik-bisik, melihat Mike dengan penuh penasaran. Ada pula yang memekik dan menjerit kegirangan sembari merekam serta mengambil foto dengan ponselnya. Mike mempercepat langkah kakinya, secara teknis dia menyeretku. Aku tersandung-sandung mengimbangi langkah kakinya, untung saja Mike sedang menggenggam tanganku. Pegangan tangannya semakin erat sampai-sampai tanganku kebas. Tapi aku tidak peduli, yang terpenting kami segera keluar dari sini.

Kerumunan itu semakin tidak terkendali, sampai aku harus menyikut beberapa di antara mereka supaya memberi kami jalan.

Mike berteriak kepadaku. "Lari!"

Tanpa berpikir panjang, aku pun berlari bersamanya dengan sekuat tenaga. Mike berlari di depanku sambil masih memegangi erat tanganku. Aku sempat menoleh ke belakang, melihat ke arah orang-orang itu. Dan aku terkejut ketika sebagian dari mereka mengejar kami. Kulihat beberapa di antaranya bahkan membawa kamera profesional berlensa panjang, sementara kilatan cahaya blitz beruntun menghujani kami berdua.

"Apa itu Paparazzi!" seruku.

Sepertinya Mike menyadarinya juga karena dia semakin mempercepat langkahnya.

Kami berlari, terus berlari melintasi blok demi blok. Aku tidak peduli Mike akan membawaku ke mana. Yang terpenting kami terus berlari menjauh dari sana. Menjauh dari semua yang membebani kami. Rasanya seperti sudah berjam-jam kami berlari, tapi tidak masalah, karena aku bersamanya.

Entah mengapa, ada sebagian di dalam diriku yang merasakan semacam kebebasan ketika tengah berlari bersamanya. Seolah kami berdua sedang berlari keluar dari kenyataan. Dari realita pahit yang telah membuat kami menderita selama tiga tahun ini.

Aku bahagia karena kami bersama, berlari menjauh dari semua penderitaan tersebut.