Chapter 20

"Sepertinya kita sudah aman," kataku, terengah-engah.

Aku menoleh ke belakang, lalu melihat ke sekeliling. Kedua mataku bergerak-gerak memeriksa keadaan sekitar. Takutnya, para paparazzi itu masih ada di sekitar sini. Tapi ternyata tidak. Kami benar-benar sudah aman sekarang. Syukurlah.

Dengan tanpa tujuan yang pasti, kami terus berlari menghindari paparazzi dan para fans-nya Mike. Aku menghitung, kira-kira sudah belasan blok telah kami lalui. Sekarang kami sedang berada di twenties. Aku tidak menyangka kami sudah berlari sampai sejauh ini.

Perlahan kami pun menghentikan pelarian yang cukup melelahkan ini. Kemudian kami beristirahat sejenak untuk mengatur napas, di sisi trotoar di luar toko-toko kosong yang di depannya dipasangi scaffolding (perancah). New York bagian sini memang banyak sekali gedung yang sedang direnovasi, perancah dipasang hampir sepanjang blok. Mengotori identitas kota New York yang 'katanya' sebagai kota terstruktur.

Mike membungkukkan badannya dengan satu tangan bertumpu pada lutut. Dan tangan yang satunya masih menggenggam tanganku. Kulirik tangan kami yang masih terjalin itu, lalu senyuman perlahan merayap di bibirku tanpa sempat kucegah.

Mike mungkin menyadarinya karena kemudian dia mendongak. "Apa?" tanyanya, sambil masih mengatur napas.

Buru-buru kusembunyikan senyumanku. Lalu aku melirik ke arah tangan kami berdua.

"Oh!" Mike melepaskan genggaman tangannya dariku dengan segera.

Aku terkejut saat kurasakan rasa kehilangan ketika Mike melepaskan pegangan tangannya dariku. Untung saja dia tidak mengibaskan tanganku. Mungkin kalau dia melakukannya, rasa kehilanganku akan berubah menjadi rasa kecewa.

"Maaf," tambahnya.

Walaupun di sini gelap tapi aku bisa melihat kedua pipinya merona. Aku tidak tahu apakah itu efek karena dia habis berlari atau Mike tersipu malu. Well, aku berharap yang terakhir.

"It's ok," balasku berbohong.

Kecanggungan di antara kami berdua pun kembali menyebar di udara langit malam kota New York.

Tapi setelah itu Mike memberiku senyuman tulusnya.

Setiap kali Mike tersenyum, aku selalu merasa seakan-akan diriku dilempar kembali ke masa itu. Masa di mana aku merasa beruntung memiliki dirinya. Aku bersyukur, karena meskipun sekarang Mike sudah menjadi seorang rock star, si manusia yang tidak bisa dijangkau namun, sebagian besar dari dirinya tidak berubah. Buatku, salah satunya adalah senyumannya sekarang, masih sama seperti senyumannya 6 tahun yang lalu. Senyuman yang selalu membuatku merasa jatuh cinta setiap kali melihatnya.

Selama tiga tahun terakhir ini, baru pada malam ini kedua pundakku terasa begitu ringan. Semua ini karena pengakuan-pengakuan darinya. Dan yang masih membuatku tidak percaya sampai detik ini adalah ketika melihat iklan album itu. Album yang dia klaim sebagai alat untuk bisa menemukanku. Albumku, album finalnya, dia berkata.

Album final.

Album final?

Apa maksudnya?

Jangan-jangan...

"Apa maksudmu tadi? Album final? Apa maksudnya itu?" seketika mulutku bersuara, tanpa kusadari.

Mike menatapku sembari menaikkan kedua alisnya. Dalam beberapa detik dia tampak kebingungan dengan pertanyaan dadakan dariku. Tapi setelah itu dia pulih kembali.

Dia lalu berkata, "Oh, itu...umm..."

Mike menegakkan tubuhnya, lalu membuka topinya untuk menghapus keringat di kening. Kemudian dikenakannya kembali topi itu.

Dia berdeham. "Aku...." katanya, kemudian menggigit bibir bawahnya. Dia tampak ragu.

Ada apa?

Setelah beberapa detik terlihat seperti sedang mempertimbangkan sesuatu, namun pada akhirnya dia berbicara.

"Aku kanberenti," katanya, dengan tergesa-gesa membuat kata-kata yang diucapkannya saling bertabrakan.

"Apa?" tanyaku sembari menajamkan kedua indra pendengaranku. Apakah aku mendengar kata 'berhenti' barusan?

Mike lalu membuang napas kencang. "Aku akan berhenti, Lana."

Aku terhenyak. "Berhenti? Apa maksudmu?" pikiranku langsung tertuju kepada....

"Maksudmu berhenti dari—"

"Yes," belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Mike sudah menimpali. "Ya! Lana. Berhenti dari band," tegasnya.

Dia tidak melepaskan tatapannya dariku. Garis wajahnya terlihat tegas dan kedua rahangnya dikatupkan serta berkedut-kedut. Dia tampak marah.

"Tapi kenapa?" tanyaku, nada suaraku terdengar melengking seperti suara decitan roda mobil di jalanan Manhattan.

Sama sekali aku tidak memahami apa yang baru saja dia katakan. Mike akan berhenti dari band-nya, itu sama saja dengan dia akan berhenti bernapas. Kesuksesannya bermain musik adalah impian terbesarnya. Bagaimana mungkin dia ingin berhenti dari mimpinya yang sudah terwujud itu?

"Bisakah kita lanjutkan saja perjalanannya?" Mike menyarankan. Kedua matanya melihat ke sekeliling.

Aku meniru gerakannya. Di sini tidak begitu ramai. Dan kurasa para paparazzi dan fans sudah benar-benar kehilangan jejak kami berdua.

Tapi aku mengangguk setuju. "Baiklah, ayo!"

Kami pun melanjutkan perjalanan yang entah akan menuju ke mana ini. Mike dan aku berjalan sepanjang twenties menuju ke arah selatan Manhattan. Aku melirik arloji di pergelangan tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Beruntungnya, daerah sini sudah cukup lengang, baik itu arus lalu lintas maupun para pejalan kakinya. Beberapa toko-toko juga sudah tutup. Tapi masih ada yang masih beroperasi. Beberapa pejalan kaki yang melewati kami pun tampak tidak peduli. Mungkin mereka sudah terlalu lelah dari berbagai aktifitas yang sudah mereka lakukan hari ini, sehingga tidak mau tahu siapa yang sedang berkeliaran di sekitar mereka. Aku mulai merasa rileks.

"Melanjutkan apa yang kau tanyakan tadi," Mike bersuara setelah beberapa saat terdiam.

Aku pikir dia sudah tidak mau membicarakan masalah ini lagi.

Aku menoleh kepadanya.

"Mungkin aku sudah tidak mencintai musik sebesar dulu. Maksudku, sewaktu aku masih belum mengetahui apa pun mengenai industri ini," jelasnya.

Dia tidak menoleh kepadaku ketika sedang berbicara. Tatapannya tetap tertuju ke jalan di hadapannya. Mike berusaha membuat semua ini terdengar santai. Dia berjalan dengan kedua tangan disimpan di dalam saku celananya. Tapi kuperhatikan dia tidak tampak sesantai itu, karena berkali-kali rahangnya mengatup dan berkedut. Rahang berkedut menandakan kalau Mike sedang marah. Jenis marah yang sudah tidak bisa ditoleransi namun dia tahan. Dulu, dia seperti itu jika dia menahan rasa marah. Dia sering melakukan kebiasaan ini setelah kami tinggal bersama di Los Angeles, saat hubungan kami diuji oleh jarak dan waktu.

Tapi sekarang, mengapa dia terlihat semarah itu?

"Tapi aku akan selalu mencintai musik sampai kapan pun. Hanya saja, jika musik sudah bukan lagi sebagai identitas, sudah bukan lagi tentang rasa. Melainkan tentang uang dan keserakahan para penguasa, aku pikir aku sudah selesai. Aku sudah tidak bisa lagi berada di dalamnya," jelasnya kepadaku.

Aku hanya diam seribu bahasa. Mulai memahami apa yang dia rasakan. Aku mengerti ketika sesuatu hal yang kau cintai bersinggungan dengan uang, dengan sesuatu yang berbau bisnis, hal tersebut bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang bukan kau cintai lagi. Aku pun begitu ketika masih berkarir sebagai pemandu sorak profesional. Aku menyukai hal yang berhubungan dengan tarian, aku suka menari, bahkan aku sungguh menyukai cheerleading. Namun ketika bisnis dan uang mencampuri semua itu, sesuatu yang kusukai itu mengubah diriku. Sampai aku kehilangan esensi dari sesuatu yang kusukai tersebut.

"Belum lagi dengan kehidupan seperti ini," Mike melambaikan satu tangannya ke arah jalan di belakang kami.

Lalu dia menatapku. "Paparazzi. Aku tidak bangga memiliki kehidupan di mana setiap gerak-gerikku jadi bahan untuk dikomentari oleh semua orang di dunia ini."

Kedua matanya memancarkan rasa kekesalan yang teramat sangat. Aku hafal tatapan itu.

Aku juga memahami yang satu ini. Ketika hidupmu disorot dan dipantau kamera paparazzi setiap detiknya, secara perlahan-lahan kau akan kehilangan akal sehatmu. Sebenarnya apa yang Mike rasakan tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi kepadaku saat aku masih menjadi pemandu sorak NFL. Aku juga muak ketika foto diriku terpampang di majalah-majalah olahraga. Aku juga jengah ketika para wartawan itu mewawancaraiku dan menuliskan hasil yang berbanding terbalik dengan apa yang kukatakan sesungguhnya kepada mereka. Yah, meskipun apa yang terjadi kepadaku tidak sebesar apa yang terjadi kepada Mike, namun tetap saja aku bisa merasakannya.

Kemudian Mike pun berbicara mengenai band-nya. Dia mengatakan bahwa dirinya sudah tidak tahan lagi dengan inkonsistensi musik Infinity Dusk.

Dulu, ketika Infinity Dusk masih beraliran indie, genre musik yang diusung oleh band itu adalah murni Nu Metal. Tapi setelah mereka menandatangani kontrak bersama Major label, genre musik perlahan bergeser. Album pertama Infinity Dusk yang berjudul Morbid mungkin masih terasa sentuhan Nu Metal-nya. Akan tetapi di Enigma yaitu album keduanya, mulai mengalami perubahan yang cukup signifikan. Genre musik Infinity Dusk berubah dari Nu Metal menjadi Alternative Rock.

Mike berkata, "aku masih menerima ketika musik di album Enigma mengalami perubahan. Karena peralihan dari Nu Metal ke Rock masih bisa kutoleransi."

Aku tetap menutup mulutku, aku ingin memberi Mike banyak kesempatan supaya dia bisa lebih terbuka kepadaku. Karena selama kurang lebih 4 tahun aku mengenalnya, pernah menjadi seseorang yang lebih dari hanya sekedar temannya, Michael Soga dikenal sebagai orang yang tidak mudah membuka diri kepada siapa pun. Termasuk pada ayahnya sendiri.

"Aku juga tidak menafikan kalau aku senang ketika musik kami lebih diterima pasar dunia. Tidak hanya kalangan tertentu saja. Oleh karenanya pada saat itu aku menerima karena masih terbuai oleh kepopularitasan sehingga tidak memikirkan apa yang akan terjadi nanti pada Infinity Dusk. Padaku," jelasnya lagi.

Album Enigma, masa itu adalah masa di mana aku benar-benar sudah tidak terlibat di dalam kehidupannya. Beda dengan ketika album Morbid lahir, aku masih ada di sana di kehidupan Mike. Meskipun saat itu kami sudah masuk ke dalam hubungan jarak jauh, dan berpisah tepat ketika Mike sedang melakukan konser tour album pertamanya.

"Apa yang terjadi selanjutnya sampai kau memutuskan untuk berhenti?" tanyaku, sudah tidak bisa menahan diri.

Mike melirikku. "Menurutmu apa yang terjadi selanjutnya?" dia malah balik bertanya kepadaku.

Aku tentu saja tidak tahu menahu mengenai hal ini. Apa masalah ini bertebaran di media dan berita gosip? Umm setahuku....tidak. Infinity Dusk cukup pintar menyembunyikan masalah internal mereka. Yang menyebabkan media-media jarang memberitakan yang buruk mengenai Infinity Dusk.

Kugelengkan kepala.

"Well, kami sudah tidak sepaham dalam hal bermusik,—"

"Kami?" aku menyelanya.

Mike menatapku dalam-dalam. "Ya, kami; Seth, Johan dan David. Mereka bertiga," jawabnya, kedua rahangnya kembali berkedut.

"Aku dan mereka sebenarnya tidak sedang baik-baik saja, Lana," tambahnya, sembari memijat lehernya.

Aku tidak bisa membayangkan mereka 'tidak sedang baik-baik' saja. Persahabatan mereka terbilang sangat solid dari persahabatan mana pun yang pernah kusaksikan selama hidupku. Selama aku mengenal mereka, belum pernah kudengar mereka bertengkar hebat. Ya, mereka memang pernah bertengkar, hanya saja pertengkaran kecil seperti Johan yang selalu menghabiskan semua persediaan sereal Seth, atau David yang sering mendengkur, dan hal-hal kecil lainnya semacam itu. Justru Mike yang terlihat tidak pernah bertengkar atau tidak akur dengan mereka bertiga. Dia selalu menjadi penengah jika salah satu di antara mereka sedang bertengkar. Dia selalu menjadi orang yang paling bijaksana dan dewasa. Maka bisa dibayangkan kalau Mike sampai terlihat semarah ini, itu artinya masalahnya sangat sangat sangatlah besar. Dan mungkinkah karena masalah yang bersifat prinsipil?

"Hubunganku dengan mereka sudah tidak membaik dari semenjak tour dunia album kedua kami. Malah kami sudah tidak pernah satu hotel kalau sedang bepergian untuk urusan band, aku dan mere--—"

"Tunggu," aku memotong perkataannya.

Aku langsung teringat kejadian hari ini ketika Mike menepuk keningnya, mengatakan bahwa Seth, David dan Johan menitipkan salam mereka untukku.

"Jadi yang kau bilang kepadaku hari ini kalau mereka menitipkan salam untukku, apa itu tidak benar?"

Mike menatapku dengan ekspresi bersalah. "Maafkan aku sudah berbohong kepadamu. Aku... hanya tidak ingin kau merasa khawatir atau apa pun. Aku pun tidak berencana memberitahukan semua ini jika kau tidak melihat iklan di Billboard tadi."

Dia lalu menghela napas. "Namun kau harus tahu, aku sangat bersyukur iklan itu muncul dan membicarakan semua ini denganmu. Kau adalah satu-satunya orang yang paling kuharapkan untuk kuberitahu. God! Aku sungguh beruntung berada di New York!" Mike tampak begitu lega. Dia tersenyum lebar dengan kedua mata yang berbinar-binar.

Seketika jantungku berdetak di luar batas kecepatan normalku. Aku tahu sekali ini bukanlah disebabkan karena kelelahan.

Aku pun merasakan hal yang sama, Mike. Aku sungguh bersyukur kita bisa bertemu kembali, eventually. Aku berkata dalam hati.

"Jadi, kau tidak tinggal satu hotel bersama mereka lagi. Oh ya, tadi kau bilang habis pemotretan untuk sebuah majalah, apa bersama mereka juga?" cepat-cepat kualihkan pembicaraan, sekaligus menyingkirkan pikiran usia 17 tahun-ku.

Dia hanya mengangguk, lalu menatap lurus kembali ke depan.

"Lalu mereka pergi ke Coney Island?" tanyaku, memastikan sekali lagi.

Mike meringis lalu melirik ke arahku. Aku langsung tahu dari ekspresinya.

"Sorry again," katanya meminta maaf. "Seperti yang kubilang tadi, aku tidak menginginkan—"

"Ya, ya, aku mengerti," timpalku sambil tersenyum dan mengangguk penuh pengertian.

I get it, Mike, aku tahu kau tidak mau menambah masalah baru di antara kita. Aku mengerti.

Kembali kami berjalan dalam diam lagi selama beberapa saat. Sambil berjalan, aku mencoba mengingat-ingat kembali momen saat aku dan Mike bertemu dua hari yang lalu. Sewaktu di festival musik di Randall's Island itu, aku tidak melihat mereka berempat seperti sedang bermasalah ketika tampil di atas panggung. Tapi saat aku menemuinya, Mike memang hanya seorang diri di ruangan itu. Tidak seperti biasanya. Aku tidak pernah menduga mereka akan memiliki masalah terhadap satu sama lain.

"Apa masalah sebenarnya?" tanyaku. Aku sungguh penasaran dengan apa yang terjadi.

"Well," dia menghembuskan napas.

"Mereka menginginkan musik kami lebih diterima lagi oleh semua kalangan," seketika Mike paham apa yang kutanyakan.

"Aku masih belum paham, mengapa musik kalian harus berubah? Maksudku, Morbid sangat sangat diterima oleh semua orang di dunia ini, bahkan album itu banyak dapat penghargaan. Begitu pula dengan Enigma. Di tengah-tengah persaingan genre EDM, pop elektronik apalah itu sebutannya, musik kalian malah jauh lebih sukses."

Mike hanya menatapku dengan tatapan syok atau terpukau—aku tidak bisa memastikan—mendengar apa yang telah kukatakan kepadanya. Buru-buru aku mengalihkan tatapan darinya ke jalanan di hadapanku.

Aku baru sadar kalau kami sudah berada di kawasan Soho.

"Ya, aku pun berkata begitu. Tapi entahlah mereka merasa itu tidak cukup, kau tahu..." Mike menggesek-gesekkan ibu jari ke jari telunjuknya, mengisyaratkan uang. "Selain itu juga mereka khawatir kalau suatu saat musik kami akan benar-benar sepenuhnya tergeser," jelasnya.

"Sejujurnya, aku sudah tidak memperdulikan apakah musik kami akan diterima oleh semua orang atau tidak. Aku bermain musik karena aku mencintai hal itu, bukan untuk mencari simpati orang-orang. Bukan untuk meraup keuntungan, apalagi untuk mengikuti trend. Tapi, ya... ternyata mereka tidak sejalan denganku. Mereka tidak sama sepertiku. Dari situlah kami mulai berlawanan arah," lanjutnya.

"Dan bagaimana dengan album.... barumu?" tadinya aku akan menyebut nama album tersebut, tapi lidahku akan terasa aneh jika aku menyebut namaku sendiri.

"Jujur saja ketika aku mendengar River Song di festival musik kemarin, aku agak terkejut karena lagu itu bisa dibilang lagu terpop dan....termanis yang pernah kudengar dari semua lagu-lagu kalian sebelumnya. Apa semua lagu di album baru akan terdengar seperti itu?" aku berkata.

Benar, yang kutahu Infinity Dusk tidak akan pernah membuat lagu tentang cinta. Di album Morbid, hampir notabene semua lagunya bercerita tentang depresi, politik, pemberontakan, pengkhiatan dan semacamnya. Sedangkan di album Enigma, semua lagu di album tersebut masih bertemakan kemarahan dan memiliki korelasi dengan album pertama, hanya saja iramanya lebih ringan. Tapi di lagu River Song sentuhan alternative rock mereka sedikit sekali, malah bisa kusebut musiknya sangat EDM, dengan liriknya yang begitu manis.

"Yes! Album baru ini, album Lana," Mike menekankan pada kata Lana.

Aku berusaha menguasai diriku ketika mendengarnya. Meski di dalam hati kuakui aku merasa sangat tersanjung, tapi aku tidak ingin menunjukkannya. Walau agak sulit, namun aku berusaha untuk terlihat santai.

"Musik kami benar-benar berubah di album ini. Mereka mengubah musiknya menjadi sangat kekinian. Musik Infinity Dusk di album baru ini lebih EDM. Dan inilah yang membuatku semakin yakin untuk hengkang dari band," dia melanjutkan.

Oh.

Ketika aku akan membuka mulutku, Mike mendahuluiku dengan berkata,

"Kau tahu, sebenarnya niatanku untuk hengkang dari band akan kulakukan tepat setelah tour dunia kami yang kedua. Namun, saat itu kami sudah mulai memasuki tahap produksi album yang ketiga," katanya.

Mike mengulur waktu ketika kami sedang menyeberangi jalan. Tapi, setelah itu dia kembali melanjutkan.

"Tapi mereka menahanku secara tidak langsung karena,” dia menarik napas, “...mereka memberiku semacam keuntungan."

Aku mengeryitkan kening. "Apa keuntungan itu?" tanyaku, ingin sekali mengetahuinya.

Tiba-tiba Mike menghentikan langkah kakinya, lalu aku pun melakukan hal yang sama. Sedetik kemudian kami sudah berdiri berhadapan lagi di atas trotoar.

Mike berkata, dengan tanpa melepaskan kedua mata cokelatnya dariku. "Kau ingin tahu apa keuntungannya?"

Aku agak ragu ketika dia bertanya seperti itu, tapi aku tetap menganggukkan kepalaku.

Dia menghela dan mengembuskan napasnya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Keuntungannya karena, mereka memberiku keistimewaan untuk menulis semua lirik lagu di dalam album tersebut."

Mike memang menjadi salah satu yang paling banyak menulis lirik lagu. Dari album indie mereka hingga album Enigma. Tapi tidak pernah sepenuhnya. Di album Morbid, Mike memang yang paling banyak membuat lirik lagunya, hampir 80 persen ditulis olehnya dan 20 persen dibuat oleh orang lain.

Di album Enigma malah Mike tidak begitu ambil bagian, dia hanya terlibat 60 persen saja. Mengapa aku bisa tahu tentang ini padahal ketika album Enigma muncul aku sudah berada di New York? Well, itu karena aku mempunyai album tersebut. Mulai dari vinyl sampai playlist di Spotify-ku. Aku selalu memutarnya, mendengarkan semua lagu-lagunya jika aku sedang mencoba berdamai dengan masa lalu. Terutama, ketika aku sedang merindukan Mike dan tidak tahu harus bagaimana. Suatu hari aku iseng mencari tahu di Google, saat album Enigma booming. Aku agak kecewa saat mengetahui hanya beberapa lagu saja yang ditulis olehnya. Waktu itu aku berpikir, apakah Mike sudah kehilangan kemampuannya dalam membuat sebuah lagu.

"Mungkin mereka sudah mengetahui tabiatku akan meninggalkan band. Aku tidak merasa heran ketika mereka bertiga menyerahkan semua lirik lagunya kepadaku," jelasnya.

"Mereka tidak tahu kau akan keluar?"

Mike menggelengkan kepalanya. "Aku tidak pernah membicarakan ini dengan siapa pun. Termasuk mereka. Tapi sepertinya diam-diam mereka mencurigaiku."

"Awalnya aku sempat menolak untuk menulis semua lirik lagu di album ketiga ini," lanjutnya.

"Tapi..." Mike mengambil jeda sejenak.

Aku hanya menatapnya, menunggunya melanjutkan.

Mike menundukkan kepalanya memandang entah apa yang ada di bawah.

"Tapi apa?" desakku tidak sabar. Aku sedikit gemas terhadapnya karena Mike sering menghentikan perkataannya di tengah-tengah pembicaraan. Tingkah lakunya itu semakin membuatku lebih penasaran.

Dengan perlahan dia menaikkan wajahnya, kembali menatapku.

"Suatu hari Seth mengetahui bahwa aku sedang menulis beberapa lagu, tentangmu," katanya. "Saat itu kami habis merayakan kesuksesan Morbid. Seth bilang kalau lagu-lagu itu bisa kumasukkan ke dalam album Enigma. Tapi aku masih ragu ditambah lagu-laguku itu tidak cocok dengan tema album tersebut. Lagi pula, aku masih menjadi pengecut."

Ada semacam ekspresi malu-malu pada wajahnya ketika dia mengucapkan kalimat terakhir.

"Maka ketika kami membicarakan album terbaru ini, Seth meyakinkanku kalau lagu-lagu yang kutulis itu akan cocok dengan tema album kami yang ketiga ini. Dia seolah menyuapku untuk membuatku tetap bertahan di dalam band dengan memberikanku semacam kuasa, salah satunya dalam pemberian nama album. Tapi dengan satu syarat, mereka bertiga lah yang akan menentukan bagaimana genre musiknya. Sementara aku terfokus ke lirik lagu saja. Semua lirik lagu seratus persen aku yang tulis," jelasnya lagi.

"Oleh karena itu aku berpikir, mengapa tidak. Kukesampingkan kembali sisi idealisku. Aku hanya menganggap ini sebagai album terakhirku berada di Infinity Dusk. Aku sudah tidak peduli lagi dengan genre musik, yang terpenting, album ini terwujud. Dan aku bisa menarik perhatianmu. Lalu mungkin, harapan terbesarku terkabul, yaitu menemukanmu."

Entah bagaimana tetapi aku merasakan jantungku seakan berhenti berdetak seketika setelah mendengarnya berkata begitu.

Mike melangkah satu langkah mendekati diriku yang berdiri membeku. Kemudian dia meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya.

"Lana, aku ingin sekali kau mendengar semua lagu di album itu. Aku ingin kau mengerti apa yang kurasakan sebenarnya selama ini, dan apa yang telah terjadi kepadaku ketika kita berpisah."

Aku hanya menatapnya.

"Aku akan mengirimkan satu copy album itu kepadamu nanti. Aku berharap kau akan menyukainya. Dan..... berharap kau akan memaafkanku," ujar Mike, lalu dia tersenyum.

Aku membalas senyumannya. "Aku harap begitu," kataku.

Lalu tiba-tiba satu pertanyaan terlintas di dalam benakku.

"Apa yang akan kau lakukan setelah kau keluar dari band?"

Mike terdiam sejenak, menarik napas lalu menghembuskannya. "Aku belum tahu."

Lalu dia diam lagi dan tampak seperti sedang berpikir. "Mungkin aku akan membuat lagu lagi. Aku tidak tahu," katanya.

"Tapi kau dan musik tidak bisa dipisahkan. Aku tidak bisa membayangkan kau berhenti bermain musik."

Agak aneh membayangkan Mike tidak bermain musik lagi. Aku sudah terbiasa melihatnya memainkan gitar, bernyanyi, rapping, atau bermain piano. Tanpa itu semua, rasanya seperti ada yang kurang.

"Aku akan selalu bermain musik, Lana," katanya, seolah membaca pikiranku. "Karena aku mencintainya. Tapi untuk kembali ke industri ini, aku tidak tahu. Kita lihat saja nanti."

Aku lega mengetahui dia akan terus bermain musik. Karena itu adalah identitasnya. Aku hanya berharap yang terbaik baginya, apa pun itu yang akan dilakukannya nanti.

Kemudian dia berkata, "kalau begitu, kita lanjutkan lagi perjalanan kita?"

Aku terkekeh, kemudian mengangguk. "Oke!"

Dan seperti itu. Kami kembali berjalan melanjutkan pengelanaan ini.

Tapi ada hal yang berbeda kali ini. Kedua langkah kakiku terasa begitu ringan, seperti melayang di udara. Mike tidak melepaskan satu tangannya dari tanganku, kami berjalan sambil bergandengan tangan. Aku tidak keberatan sama sekali.

Apakah ini salah satu keinginanku yang lain yang pada akhirnya menjadi kenyataan?

Yang jelas apa yang sedang terjadi pada malam hari ini, semuanya melebihi bayanganku selama ini.