New York…
Concrete jungle where dreams are made of,
There's nothing you can't do.
Tiga tahun yang lalu, lagu Alicia Keys menggema di kedua gendang telingaku ketika aku mendarat untuk pertama kalinya di New York. Entah mengapa lagu itu yang menyambut kedatanganku ke negara bagian di Amerika yang dijuluki Big Apple ini. Seolah seperti sedang menjanjikan dan menjamin siapa pun yang datang kemari. Atau bahkan mungkin mengejek. Well, aku lebih cenderung percaya yang kedua itu.
Setelah aku menjejakkan kedua kakiku di bandara JFK, aku kembali tersadar kalau aku sama sekali tidak tahu akan ke mana. Aku tidak memiliki arah dan tujuan yang pasti, karena bisa dibilang keputusanku untuk pergi ke New York ini terbilang last minute atau dadakan. Aku mengambil keputusan ini ketika sedang berada dalam kondisi yang setengah waras. Pada waktu itu yang kuinginkan hanyalah segera pergi meninggalkan Santa Monica.
Aku tidak memiliki semacam perencanaan apa tepatnya yang akan kulakukan di New York. Pikiranku seakan buntu, dan tidak bisa fokus akan hal lain selain dirinya. Kupikir mungkin setelah aku keluar dari California, pikiranku akan kembali normal dan aku bisa merencanakan sesuatu untuk kelangsungan hidupku. Tapi setelah aku berada hampir 3000 miles jauhnya dari California, tetap saja, bayangan akan dirinya malah semakin jelas, mengikutiku sampai ke sini. Dan yang bisa kulakukan hanyalah... berpasrah diri.
Dengan perasaan kalut dan pikiran yang tidak karuan, akhirnya aku melangkahkan kedua kaki seraya menyeret dua koporku menuju pintu keluar bandara. Tidak henti-hentinya aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku akan baik-baik saja di sini. Dengan satu tarikkan napas panjang aku pun keluar dari bandara, menghirup udara New York, dan menuju Manhattan.
Manhattan, adalah tempat tujuan yang pertama kali terlintas di dalam pikiranku. Entah mengapa. Mungkin karena New York lebih identik dengan Manhattan. Manhattan mungkin bisa sedikitnya mengobati rasa sepiku, karena Manhattan terkenal dengan kesibukkan dan kebisingan kotanya. Well, mungkin seluruh New York memang seperti itu, tapi Manhattan semacam spesialis. Memang itu tujuanku sesungguhnya, aku butuh pengalihan dari semua yang telah terjadi kepadaku di California.
Meski aku tidak mempunyai gambaran sama sekali apa yang akan aku lakukan, namun pada saat itu, aku hanya mengandalkan instingku akan ke mana dan apa yang harus kulakukan di sini selanjutnya.
Menghemat uang adalah daftar vital pertama yang harus kulakukan di sini, mengingat aku sudah menjadi seorang pengangguran dan sedang patah hati, serta seorang diri. Oleh sebab itu aku tidak boleh ceroboh, dan menjauhi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membuatku berakhir menjadi gelandangan, berakhir di tempat-tempat penampungan tuna wisma atau gorong-gorong kota.
Sebelumnya, aku telah berselancar di internet untuk menemukan hotel yang paling murah yang ada di sini untuk tempat tinggal sementara. Dan akhirnya aku menemukannya, 45 dollar per malam. Sebuah kejutan besar. Aku tidak menyangka ada hotel dengan harga semurah itu di Manhattan.
Aku ingat hotel pertama yang kutinggali itu. Hotelnya memang berada di wilayah yang cukup strategis. Tapi aku terkejut ketika memasuki kamar hotel tersebut dan mendapati kenyataannya. Kamarnya tidak lebih luas dari kamar mandi rumahku di Santa Monica. Dan yang lebih membuatku terperangah adalah ketiadaan kamar mandi di dalam kamar. Aku kecewa karena fasilitas mereka tidak sesuai seperti yang kulihat di website. Namun pada waktu itu aku tidak memiliki pilihan lain, karena aku sudah benar-benar kelelahan dan hari pun sudah larut.
Malam pertamaku di New York, aku hampir terjaga semalaman. Kebisingan kota ini membuatku tidak bisa mengistirahatkan pikiran, apalagi memejamkan kedua mataku. Benar seperti dugaanku sebelumnya tentang Manhattan. Belum lagi ditambah kamar hotel yang sempit dan aku harus menahan buang air kecil sepanjang malam karena aku tidak ingin keluar dari kamar untuk menggunakan kamar mandi umum yang berada di ujung lorong malam-malam.
Pada malam pertamaku itu, aku berpikir ulang, apakah aku akan berhasil tinggal di New York. Mengingat kesan pertama dari kota ini yang membuatku merasa dibohongi.
Namun, setelah tiga hari berlalu, aku berpindah ke hotel yang lebih baik meski harganya lebih mahal, aku mulai sedikitnya belajar untuk bisa mengikuti alur kehidupan di kota ini. Aku masih berperan sebagai pelancong kala itu. Yang kulakukan setiap harinya hanyalah berjalan-jalan mengenal New York, mengunjungi tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata, menjelajahi Central Park, bersepeda, kadangkala memperhatikan New Yorkers ketika sedang berjalan, lalu mencoba menaiki subway. Pada waktu itu, Beberapa kali aku menaiki gerbong yang salah ketika menggunakan subway. Aku melakukan semua hal itu karena aku benar-benar butuh untuk menghibur diri dan membuat diriku tetap dalam keadaan sesibuk mungkin, agar pikiranku tentangnya setidaknya sedikit teralihkan.
Satu minggu berlalu, aku mulai merasa was-was karena uang yang kupunyai perlahan menipis. Aku sudahi menghibur diri, dan mulai mencari pekerjaan; sesuai dengan tujuan awalku.
Setiap malam di dalam kamar hotel, aku berkutat di depan laptopku, mencari-cari lowongan pekerjaan. Kubuka laman demi laman website lowongan pekerjaan yang ada di New York. Ada beberapa pekerjaan yang lumayan menarik perhatianku. Di antaranya ada salah satu sanggar tari di Midtown Manhattan yang sedang membutuhkan seorang pengajar tari Hip-Hop. Tanpa berpikir panjang, kukirim lamaran kerjaku ke alamat email sanggar tersebut. Aku juga mengirim ke beberapa lainnya, seperti kedai kopi dan beberapa café.
Sehari setelah aku melamar pekerjaan, akhirnya aku mendapatkan email balasan dari sanggar itu. Mereka memintaku datang untuk melakukan wawancara. Pada waktu itu aku merasa bersyukur karena aku cukup beruntung tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan di sini.
Besoknya, aku sudah berpakaian rapih dan siap untuk melakukan wawancara. Aku menggunakan taksi ke tempat tujuan, karena aku masih belum mahir menggunakan subway. Aku takut jika menaiki subway, aku akan kembali salah menaiki gerbong dan itu akan menjadi suatu bencana di hari pertama wawancara kerjaku. Maka aku tidak ingin mengambil resiko.
Sesampainya di tempat tujuan, taksi yang kutumpangi menurunkanku tepat di depan gedung sanggar. Kulihat sejenak gedung itu. Bangunannya terlihat menjanjikan. Maksudku, menjanjikan untuk sebuah karir.
Aku tidak memiliki firasat apa pun ketika memasuki gedung tersebut. Malah aku lumayan senang karena kondisi di dalam gedung terlihat seperti sebuah kampus. Banyak ruangan yang berupa studio-studio tari. Orang-orang lalu lalang di koridor. Dan banyak juga yang sedang menari di dalam studio-studio itu. Aku langsung menyukai suasana di sana dan semakin ingin untuk segera bekerja di sanggar tersebut. Aku berpikir, jika aku diterima menjadi salah satu pengajar, mungkin aku akan segera melupakan Mike. Karena dengan melakukan hal yang kusukai dan berada di tempat yang tepat, akan menjadi semacam pengalihan yang sempurna.
Aku sempat tersesat di dalam gedung itu, tapi setelah aku bertanya kepada beberapa orang di sana, akhirnya aku menemukan kantor yang ditunjukkan kepadaku untuk melakukan wawancara. Aku cukup gugup ketika dipersilahkan masuk ke dalam kantor.
Kantor itu kurang lebih sama seperti kantor kepala sekolahku di SMP dulu. Banyak sekali piala-piala penghargaan yang dipajang di lemari kaca tinggi di kedua sisi dinding kantor.
Kudapati seorang pria kira-kira berusia tidak lebih dari 35 tahun sedang duduk di kursi putar di belakang meja cherry oak wood. Dia tersenyum kepadaku ketika aku melihatnya, dan mempersilahkanku untuk duduk di sofa di seberang ruangan alih-alih di kursi di hadapannya.
Wajah pria itu mirip sekali dengan aktor Hollywood Channing Tatum. Dari tampang hingga perawakannya. Aku cukup ragu karena saat itu dia tidak memakai setelan formal, melainkan memakai kaos oblong, trainer pants, dan sepatu DC. Dia duduk bersamaku di sofa, lalu kami berjabat tangan, dan dia mulai memperkenalkan dirinya.
Nama pria itu adalah Ken Atkinson. Dia berasal dari Inggris. Dan aku terperangah ketika dia memberitahuku kalau dia adalah pemilik sanggar tari itu. Dia juga kadang ikut mengajar. Khususnya mengajar tarian Hip-Hop dan Breakdance.
Ken menceritakan kepadaku bagaimana sanggar ini berdiri. Dia juga mengoceh tentang segala macam yang tidak ada sangkut pautnya dengan wawancara kerjaku. Tapi setelah itu, dia memintaku untuk menceritakan tentang diriku. Aku menceritakannya mulai dari mana asalku, sampai pengalaman terakhirku menjadi NFL cheerleader.
Pupil matanya melebar ketika dirinya mengetahui kalau aku adalah mantan NFL cheerleader untuk Los Angeles Rages.
"Hmm... menarik," katanya, menyipitkan kedua mata sambil menjilat bibirnya.
Aku mulai tidak nyaman dengan sikapnya saat itu. Namun, aku tetap berpikir positif.
Dia lalu menanyakan apakah aku bisa menari Hip-Hop. Kemudian aku menjelaskannya kalau aku cukup mahir dalam tarian itu. Ya, meski aku belajar secara otodidak tapi aku cukup percaya diri kalau kemampuanku setara dengan mereka yang belajar menari secara formal. Para mentorku di Los Angeles Rages Cheerleader pun berkata demikian kepadaku.
Dia terus menatapku dengan intens ketika aku sedang menjelaskan mengenai diriku kepadanya. Kedua matanya kadang melirik ke arah payudaraku. Lalu melirik ke arah bibirku, ke wajahku, leherku, kembali lagi ke payudaraku. Kurang ajar memang. Tapi aku tetap berpikiran positif dan hal tersebut tidak menggoyahkanku untuk mendapatkan pekerjaan di sini.
Kurang lebih setengah jam kemudian, dia mempersilakanku pergi, dan memintaku datang kembali besok pagi untuk melakukan semacam pelatihan terlebih dahulu. Dia juga menambahkan dengan memintaku mengenakan push up bra dan tight di hari pelatihan nanti.
Dengan agak ragu aku mengiyakan permintaannya. Lalu kami saling berjabat tangan kembali.
"Aku sudah tidak sabar ingin segera mempekerjakanmu, Lana," katanya. Yang kurasa nada bicaranya agak kurang ajar.
Maka buru-buru, aku melepaskan jabatan tangannya dan bergegas menuju pintu keluar kantor itu.
Sekembalinya aku dihotel, aku mulai menimbang-nimbang apakah aku harus kembali ke sanggar itu besok pagi atau tidak. Aku tidak menyukai pria yang bernaman Ken itu. Pria itu seperti memiliki intensitas untuk berbuat yang tidak senonoh terhadapku. Tapi di sisi lain, aku menginginkan pekerjaan tersebut. Aku pun mengalami dilema.
Tapi karena rasa penasaranku, akhirnya aku kembali ke sanggar itu besok paginya.
Hari pertama dalam pelatihan, Ken tidak menunjukkan gelagat yang aneh kepadaku. Lagi pula di dalam studio terdapat kira-kira sekitar sepuluh orang, dengan dua pelatih, salah satunya adalah Ken. Aku mulai rileks. Hari kedua aku pun datang kembali. Sampai hari keempat yang kurasa aku sudah merasa lebih dari cukup.
Waktu itu, setelah kami selesai pelatihan. Aku sengaja mampir ke ruang ganti wanita untuk berganti pakaian. Biasanya aku tidak pernah melakukannya, namun pada saat itu aku tergerak untuk masuk ke sana. Saat itu hari sudah mulai menjelang malam, sesi pelatihan kami memakan waktu yang cukup panjang ketimbang biasanya. Tidak banyak orang-orang yang masih tersisa di dalam gedung itu. Tapi aku tidak memiliki masalah, karena aku menyukainya dan rasanya seperti kembali ke masa SMA dulu.
Aku duduk di bangku panjang di antara deretan loker-loker. Setelah memastikan terlebih dahulu kalau tidak ada orang di sana, aku mulai menanggalkan satu per satu pakaianku. Entah dari mana datangnya, karena aku sama sekali tidak mendengar suara langkah kakinya ketika kudapati dirinya sudah berdiri tepat di belakangku. Otomatis aku berteriak saking terkejutnya. Dengan segera dia membekap mulutku. Aku mulai ketakutan karena pada saat itu aku hanya mengenakan bra dan celana dalamku saja. Ken menatapku, lalu perlahan menyingkirkan tangannya dari mulutku. Buru-buru aku bergegas menjauh darinya, tetapi dia meraihku. Dia berkata, "tenang Lana, aku hanya ingin mengembalikan ini." Dia mengeluarkan sebuah gelang perak dengan ukiran yang bertuliskan kata CHEERS milikku. Itu adalah hadiah yang diberikan oleh Mike kepadaku ketika aku berhasil menjadi NFL cheerleader. Gelang itu selalu kubawa-bawa meski aku tidak pernah memakainya lagi. Kurebut gelangku dari tangannya.
Tapi terlambat, karena ketika aku merenggut gelangku, Ken sudah mendorongku ke deretan loker, kemudian menekanku dengan tubuhnya. Dan yang kutahu setelah itu, dia sedang menggerayangi tubuhku seraya membekap mulutku dengan satu tangannya. Aku sungguh ketakutan. Tapi aku tidak ingin menyerah, maka dengan mengerahkan segenap tenagaku, aku berusaha memberontak. Setelah cukup lama berusaha untuk meloloskan diri, akhirnya keberuntungan berpihak kepadaku karena beberapa saat kemudian dia sudah terkapar di lantai, mengerang kesakitan sembari memegangi kemaluannya. Kusambar gelang dan semua pakaianku, aku lari sekencang mungkin dari sana.
Aku tidak memperdulikan penampilanku yang hanya mengenakan bra dan celana dalam ketika menyetop taksi yang kebetulan melewati gedung terkutuk itu.
Aku menangis tersedu-sedu di dalam kamar hotel setelahnya. Saat itu aku sangat ketakutan dan benar-benar merasa sendirian. Aku merindukan Mike. Andai saja dia ada di sana saat itu mungkin Mike akan segera menyelamatkanku dari Ken. Tapi aku sendirian, tanpa dirinya dan akan selalu seperti itu. Kerinduanku kepadanya pun semakin menjadi.
Pengalaman pertamaku mencari pekerjaan di New York, diawali dengan adegan drama ala film horor murahan, sehingga aku memiliki pemikiran untuk menyerah. Haruskah aku kembali pulang ke Santa Monica dan menuruti apa kata Mom tentang mengelola café kami. Ataukah tetap berada di sini dengan ketidakpastian yang sewaktu-waktu mungkin kejadian seperti di sanggar itu akan kembali menimpaku; semua itu berkecamuk di dalam pikiranku kala itu.
Namun, ada semacam dorongan di dalam diriku yang membuatku tertantang untuk menghadapi hal-hal yang kutakuti dan berbahaya. Aku semakin berani menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Aku berpikir, jika aku kembali pulang ke Santa Monica, maka aku akan mengalami kekalahan dua kali. Aku tidak mau. Oleh karena itu, aku tetap tinggal di New York dan menantang apa pun yang bakal terjadi kepadaku. Seperti janjiku pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan menjadi pengecut. Sudah saatnya untuk bergantung pada diri sendiri dan tidak boleh cengeng. Termasuk dalam urusan hati.
Aku menganggur kembali selama beberapa hari. Dan uangku sudah mulai terkuras. Uang yang tersisa di dalam rekeningku hanya sekitar 500 dollar. Aku mulai panik, dan semakin gencar mencari-cari pekerjaan lagi.
Gayung bersambut ketika aku sedang berjalan-jalan di kawasan Madison Ave. Saat menelusuri deretan butik-butik dan restauran-restauran mewah di sana, tanpa sengaja aku melewati salah satu restauran sekaligus bar yang di salah satu jendelanya terpampang sebuah kertas yang mengumumkan bahwa mereka sedang mencari seorang waitress. Tanpa berpikir panjang lagi, kumasuki restauran itu lalu bertemu dengan sang manajer. Dengan hanya sekitar 15 menit saja aku sudah diterima bekerja di sana. Aku mulai bekerja keesokan harinya.
Di sanalah aku bertemu dengan perempuan bahagia yang bernama Amber Hardy. Kami kemudian berteman dan selama satu tahun aku tinggal bersama di apartemennya, sampai kemudian aku tinggal di apartemenku sendiri.
Aku ingat mengambil semua shift di tahun pertamaku bekerja, hanya karena ingin membuat diriku tetap sibuk sehingga tidak ada waktu bagiku untuk memikirkan dan merindukan Mike.
Sampai pada saat ini aku masih bekerja di sana.
Aku cukup nyaman bekerja di tempatku bekerja sekarang, meskipun bayarannya tidak setinggi dari yang pernah kudapatkan sebelumnya. Setidaknya aku bisa mengalihkan pikiranku darinya. Itulah salah satu faktor yang membuatku tetap bertahan. Ditambah, aku memiliki seorang sahabat yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Aku cukup merasa senang.
Mungkin aku akan mengatakan bahwa hidupku akan terasa sangat hambar selama hampir tiga tahun hidupku di sini, Jika bukan karena Amber dan pekerjaanku itu.
...
Mike tidak berkata apa-apa selama aku menceritakan tentang pengalaman-pengalamanku tinggal di New York. Dia hanya mendengarkanku dengan seksama. Kadangakala keningnya berkerut dengan tatapan tertuju ke sepatunya. Tapi ada satu yang menarik. Ketika aku menceritakan tentang Ken, rahang Mike terkatup rapat dan berkedut. Lalu kulirik kedua tangannya, kedua tangan itu sedang mengepal erat. Aku mungin tahu apa yang sedang dirasakannya ketika aku menceritakan bagian tersebut.
"Mengapa kau tidak melapor ke pihak berwajib soal hal itu?" Mike berkata tiba-tiba.
"Apa ibumu mengetahuinya?" lanjutnya.
Kudengar bunyi gemeretak giginya ketika Mike bertanya.
Aku melirik ke arahnya. "Pada saat itu aku tidak mau berurusan dengannya lagi. Jika aku lapor maka urusan akan semakin panjang. Aku tidak menginginkan hal itu, karena pasti akan menghabiskan tenaga dan waktuku."
Lalu aku melanjutkan, "Mom tidak mengetahui hal ini. Aku berusaha untuk tidak selalu melibatkannya di dalam setiap masalahku."
"Tapi tetap saja kau berhak melapor! Pria itu sudah berlaku tidak pantas kepadamu!" timpalnya dengan nada tinggi . Dia tampak benar-benar marah sekarang.
Aku mencoba menenangkannya. "Sebenarnya dengan aku tidak melapor pun, dia akan tetap berurusan dengan pihak berwajib."
Mike mengerutkan keningnya.
Kuhela napas sebelum meneruskan. "Well, dia sudah berada di balik jeruji besi, Mike. Salah satu korban melaporkannya. Beberapa minggu setelah kejadian yang menimpaku. Ternyata banyak sekali korban akibat dari perbuatannya itu. Sanggar itu pun akhirnya resmi ditutup," jelasku.
Memang benar, aku pernah melihatnya di siaran berita pagi.
Ekspresi wajah Mike perlahan melembut. Dia menghembuskan napas lega.
Ada semacam kegembiraan yang meletup di dalam diriku ketika mengetahui dirinya merasa marah mendengar hal ini. Itu tandanya dia memperdulikanku. Dan kuharap Mike akan semakin menyesal dan berpikir betapa hidupku dalam bahaya tanpa dirinya dulu.
Kami berdua terdiam lagi selama beberapa lama. Tak terasa kami sudah memasuki kawasan Financial District.
"Jadi kau cukup kerasan tinggal di sini?" Mike membuka kembali pembicaraan. Kali ini nada bicaranya kembali normal.
"Mungkin iya dan mungkin tidak," jawabku, seraya mengedikkan bahu.
"Bagian mana yang menurutmu tidak kerasan?" Mike menoleh kepadaku, kedua matanya menatapku dalam-dalam.
Bagian di mana kau yang tidak berada di sampingku, dan aku merindukanmu hampir setiap hari selama tiga tahun belakangan ini, ujarku dalam hati.
"Bagian di mana aku harus berpindah-pindah apartemen. Dan aku merindukan ketenangan," aku menjawab.
"Berpindah-pindah apartemen? Mengapa?"
"Karena aku gampang bosan dan yang pasti aku membutuhkan apartemen dengan uang sewa semurah mungkin," balasku.
"Berapa kali kau berpindah-pindah tempat tinggal?" tanyanya lagi.
Aku menghitung, kira-kira tiga kali. Sampai pada akhirnya aku menemukan apartemen yang cukup murah dan nyaman di kawasan Upper East Side—di mana sekarang aku tinggal. Meskipun apartemennya berupa studio, tapi bagiku sudah lumayan cocok.
"Tiga kali," jawabku.
Mike mengangguk.
Kami berjalan sepanjang Wall Street dalam diam lagi. Ketika kami melewati patung Charging Bull, sebuah ide terbersit di kepalaku. Aku mungkin mempunyai tujuan akan ke mana setelah ini. Aku berharap Mike akan menyukainya.
"So, kau tinggal di mana sekarang?" tanya Mike.
"Kawasan Upper East Side. Lumayan agak strategis di sana, karena jaraknya cukup dekat dengan tempat kerjaku."
"Hmm," dia mengangguk lagi.
"Lalu bagian mana yang membuatmu kerasan di sini?" lanjutnya.
Apa yang membuatku kerasan di New York? Aku tidak memiliki banyak hal yang membuatku kerasan di sini. Tapi mungkin ada satu.
"Aku memiliki seorang teman dekat di sini. Amber, kau tahu perempuan pirang yang datang bersamaku ke festival musik itu?"
"Oh! Ya, aku ingat," katanya. "Jadi Kau mempunyai teman dekat di sini? Perempuan? Semacam Best Friend Forever?" sindirnya seraya menaikkan kedua alisnya. Dia terkekeh geli.
Mike mengetahui sejarahku; aku tidak begitu suka bergaul dan berteman dengan sesama jenis. Di Santa Monica, satu-satunya teman perempuan yang bertahan hanyalah Cassandra Welch. Dia tetangga rumahku. Aku dan Cassandra pun tidak yakin dibilang sebagai sahabat. Kami berdua hanya tidak mempunyai pilihan lain saja.
Aku terkekeh lalu menepuk lengannya. "Dasar! Bukan itu tepatnya. Well, mungkin itu juga. Tapi ada yang lebih tepat," sanggahku.
Mike masih terkekeh. "Apa itu?"
“Aku tidak tahu tapi ada hal yang kupelajari dari Amber. Sesuatu yang cukup penting bagiku." Kutendang pelan batu kecil yang menghalangi langkahku.
"Apa sesuatu yang penting itu?" tanya Mike lagi, dia penasaran.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Kalau kebahagiaan itu dibuat bukan dicari," jawabku singkat.
Mike menatapku sejenak, dia tampak seperti sedang mencerna kata-kataku itu. Lalu dia menganggukkan kepalanya.
"Amber bilang kalau aku perempuan hot yang paling murung yang pernah dia lihat. Aku agak tidak terima dia menyebutku seperti itu di awal perkenalan kami. Aku hanya tidak menyangka ada seseorang yang mendefinisikan diriku sebagai perempuan paling murung," jelasku, menggelengkan kepala.
"Tapi dari situ aku mulai belajar untuk menerima keadaan dan berusaha untuk bergembira, you know."
Mike masih terdiam. Sesekali dia mendesah kencang.
"Amber mengajariku untuk sebisa mungkin selalu melihat sisi positifnya dari segala sesuatu. Karena dengan begitu, kau akan selalu bahagia. Tapi kalaupun tidak bisa, paksakan sampai terbiasa," kataku. "Sampai sekarang aku masih belajar akan hal itu. Ya, lumayan. Selama tiga tahun ini aku mempraktikan hal tersebut. Dan sedikit demi sedikit mulai menerima semua yang telah menimpa diriku. Setidaknya aku bisa terbangun di pagi hari dan menjalani hidupku di sini."
Lalu aku menambahkan, "mungkin karena hal itulah yang membuatku cukup kerasan di sini."
Mike masih diam membisu. Tatapannya tertuju ke jalanan di hadapannya. Aku membiarkannya seperti itu. Aku tidak mau mengganggunya, karena mungkin sekarang dia sedang memikirkan sesuatu.
"Apa kau sudah merasa bahagia, Lana?" Mike mengejutkanku dengan bertanya tiba-tiba.
Aku menoleh kepadanya. Mike sedang menatapku.
Apa aku sudah bahagia?
Jika dia bertanya kepadaku beberapa jam sebelumnya, ketika kami masih berada di taman air terjun itu, mungkin jawabannya adalah belum.
Tapi setelah aku mendengar semua pengakuan darinya, mungkin jawabanku telah berubah sekarang menjadi.... Ya.
Dengan malu-malu aku menjawab, "sedang terjadi, setelah sekian lama berusaha." Buru-buru kupalingkan tatapanku darinya.
Namun, aku bisa melihatnya dari ujung mataku kalau dia sedang tersenyum.
Sedetik dari situ, kurasakan satu tangan Mike meraih tanganku. Dengan perlahan dia menggenggamnya kembali. Aku tersenyum lega.
Tak lama berselang, ketika kulihat sebuah tulisan dengan ukuran besar menyala, aku langsung menghentikan langkahku. Mike agak terkejut ketika aku melakukannya, tapi dia ikut berhenti berjalan. Aku menghadapkan tubuhku kepadanya.
"Kau ingin melihat kebebasan?" tanyaku, dengan tatapan penuh misi.
Mike menaikkan kedua alis matanya. "Kebebasan?"
Aku mengangguk sembari menggigit bibir bawahku. Mike menelengkan kepalanya ke samping dengan tatapan bertanya-tanya.
"Ayolah, tiketnya gratis!" seruku, seraya menggoyangkan tangan kami yang terjalin ke kanan dan ke kiri.
Mike terkekeh. "Kau sepertinya memang sedang berbahagia, ya?" godanya kepadaku.
Aku terdiam selama dua detik, lalu melangkah mendekat kepadanya, dan berbisik tepat di hadapannya. "Benar," kemudian menengadahkan wajahku untuk melihatnya.
Seketika ekspresi Mike berubah. Dia berhenti terkekeh dan hanya menatapku dengan tatapan intens. Hatiku bergetar lebih hebat dari biasanya.
"Kalau begitu bawa aku ke mana pun kau mau, karena aku selalu menjadi milikmu," suaranya dalam dan serius.
Aku menarik napas tajam ketika mendengarnya berkata demikian. Mike tidak hanya memberiku kupu-kupu yang beterbangan di dalam perut saja, tapi dia memberiku seisi kebun binatang.
Malam ini, aku bahagia. Sungguh.
Lalu tanpa banyak bicara lagi, aku membawanya melangkah masuk ke dalam terminal The Staten Island Ferry.