Tidak banyak penumpang di feri ini. Malah hanya segelintir orang saja. Kulihat sekilas di dek bawah tadi, mungkin hanya ada sekitar 7 orang. Ada seorang perempuan bergaya hipster mengenali Mike. Dia berkata kepada teman pria di sampingnya, sambil menunjuk ke arah Mike. Tapi lucunya, si pria malah tidak mempercayai omongan si perempuan. Kudengar sang pria mencibirnya kalau teman perempuannya itu terlalu banyak minum sehingga berhalusinasi.
Kutarik tangan Mike dan membawanya naik ke dek paling atas, karena di sana pemandangannya tidak terbatas. Aku berharap semoga di atas sana tidak terlalu banyak orang seperti di dek bawah. Dan, begitu kami sudah mencapai puncak dek, aku memindai sekeliling. Aku senang kalau harapanku menjadi kenyataan, karena di atas sini tidak ada satu orang pun kecuali kami berdua. Nyaris saja aku melompat kegirangan.
Aku dan Mike berdiri di sisi dek, sambil berpegangan ke pagar.
Kulayangkan pandanganku sejauh mungkin ke hamparan air yang gelap di hadapanku. Kuhirup udara malam ini dalam-dalam, tak kusangka aku bisa bernapas selega ini lagi setelah sekian lama.
Angin malam berhembus cukup kencang di atas sini, sampai suaranya bergemuruh di kedua telingaku. Angin membuat rambut panjangku berkibar-kibar di sekitarku. Kadang jika arahnya berubah, anginnya membuat rambutku terbang menampar-nampar wajahku. Berkali-kali kusingkirkan rambut dengan tanganku.
Aku kembali mengingat kata-katanya ketika kami sedang berada di luar terminal tadi. Dia bilang kalau dirinya selalu menjadi milikku.
Oh tuhan, apa maksudnya dia berbicara seperti itu tadi? Karena harapanku akan dirinya semakin tumbuh saja setiap menit setiap detiknya sepanjang malam hari ini.
Namun di samping itu, perasaanku seolah seperti sedang berada di antara; di satu sisi aku merasa bahagia, akan tetapi di sisi lain aku merasa takut. Tapi kali ini perasaan takutku cukup menyeimbangi perasaan bahagiaku. Aku takut jika harapanku semakin besar, dan ternyata takdir tidak berpihak kepada kami berdua, aku akan kembali jatuh. Karena jika aku terjatuh lagi, aku yakin kali ini jatuhnya akan lebih sakit dari sebelumnya.
Kuhela napas panjang lalu kuhembuskan perlahan. Sambil memejamkan kedua mata, ku enyahkan pikiran negatif tersebut.
Tarik napas, lalu hembuskan, tarik napas, lalu hembuskan. Semuanya akan baik-baik saja Lana, percayalah.
Aku memiliki firasat kalau seseorang sedang memperhatikanku.
Kutengokkan kepalaku ke samping, dan benar saja. Kudapati Mike sedang memandangiku. Aku langsung salah tingkah dipandang olehnya seperti itu.
Aku hafal pandangannya ini. Pandangan ini adalah pandangan khasnya jika dia sudah merasa sangat kagum akan sesuatu hal.
Mike memandangiku dengan kekaguman yang biasa dia lakukan kala menontonku sedang menari atau melakukan routine di setiap pertandingan football di sekolah.
"Apa?" tanyaku, salah tingkah.
Mike hanya tersenyum sambil menelengkan kepalanya ke samping, masih memandangiku.
"Kau harus menghentikan itu!" aku memperingatkannya.
Kututupi wajahku dengan kedua tangan.
Lalu kudengar Mike terkekeh di hadapanku.
Aku mengintipnya dari balik sela-sela jari-jemari tanganku, kulihat dirinya masih sedang memandangiku dengan wajah yang berseri-seri.
Perlahan Mike berjalan menghampiri. Melenyapkan jarak di antara kami. Dia sekarang berdiri di hadapanku dengan jarak yang cukup dekat. Jantungku kembali berdebar sangat kencang sampai aku bisa mendengarnya di kedua telingaku.
Tanpa terduga Mike meraih kedua tanganku, lalu dengan halus menyingkirkannya dari wajahku.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya.
Meskipun penerangan di atas sini redup malah hampir gelap, tapi aku bisa melihat kedua matanya berbinar-binar.
Aku menatapnya, mempelajari wajah tampan itu lagi.
"Mengapa kau peduli?" tantangku.
Sementara senyumannya tidak memudar dari wajahnya.
"Tentu saja aku peduli," Mike membalas.
Kunaikkan sebelah alis mataku kepadanya.
"Jadi, apa yang sedang ada di dalam kepala indahmu itu? Beri tahu aku," dia memaksa, dan tidak menghiraukan tatapanku.
Aku terdiam, lalu kembali menatap hamparan air sungai Upper Bay di hadapanku.
Feri perlahan mulai bergeser, menjauh dari pelabuhan. Kami pun berlayar menuju Staten Island.
"Apa yang kau katakan tadi itu....." aku memulai, sambil memeluk diriku dan bersandar pada pagar penghalang.
"Apa maksudnya?" lanjutku. Aku masih menatap air sungai yang gelap di hadapanku.
Kudengar di sampingku Mike sedang menghela napas.
"Kalau aku selalu menjadi milikmu?" tanyanya.
Aku menoleh ke arahnya, lalu menganggukkan kepala.
Mike hanya menatapku.
"Lana, " dia menghela napas kemudian menghembuskannya.
"Selama tiga tahun ini, selama kita—berpisah. Aku tidak pernah...." dia menghentikan perkataannya.
Mike menatapku dengan ekspresi seakan sedang memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Atau mungkin sedang menimbang-nimbang sesuatu. Aku tidak tahu yang mana.
Aku menunggunya.
"Aku tidak pernah berpacaran dengan wanita lain," lanjutnya setelah beberapa detik terdiam.
Apa? Benarkah?
Aku terperangah mendengar jawaban darinya. Aku bahkan bisa merasakan rahangku jatuh ke lantai. Aku benar-benar terkejut.
Namun sesuatu menyadarkanku.
"Bullshit!" sergahku sambil mendengus. Sebelum bisa kucegah, mulutku sudah mengeluarkan kata itu.
Mike terkesiap, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kekagetan terpampang jelas di wajahnya, seolah dia tidak percaya aku bisa mengumpat. Meskipun dia tahu kalau aku sering mengumpat.
Aku pun agak kaget mengetahui diriku berkata seperti itu. Tapi memang begitulah yang kurasakan ketika mendengarnya berkata demikian. Kupalingkan pandanganku darinya ke pemandangan nun jauh di hadapanku.
Aku ingin mendengar langsung dari mulutnya mengenai semua berita-berita itu. Apakah semua berita itu benar atau tidak.
Kuhela napas sebelum berbicara. "Bagaimana dengan semua yang diberitakan media-media itu?" kataku pada akhirnya.
Kuberanikan diri untuk melirik ke arahnya.
Mike memalingkan wajahnya dariku ke ketiadaan di hadapannya. Dia termenung.
Selama tiga tahun belakangan ini, aku terbilang suka mengikuti berita mengenai dirinya di media-media mana pun. Bahkan dari semenjak aku menjejakkan kedua kakiku di New York. Aku tidak bisa benar-benar menghindar darinya di mana pun aku berada, karena Mike dan band-nya sudah sangat terkenal. Ke mana pun pandanganku terarah selalu ada dirinya. Apalagi di New York. Hampir sepanjang waktu Billboard-Billboard itu menanyangkan iklan album-album atau konser mereka. Di setiap bus yang melintas, dirinya ada di sana. Di setiap kios majalah, bahkan setiap musisi jalanan menyanyikan lagu-lagunya.
Pada awal-awal keberadaanku di New York, saat itu album Morbid sedang berada di puncak dunia. Semua media cetak, online, televisi semua memberitakan mereka tanpa henti. Mike dan kawan-kawan semakin dikenal di seluruh dunia. Sehingga semua mata tertuju kepada mereka, terutama sang frontman, Michael Soga. Selama itu sampai album Enigma muncul dan pemberitaan tentang mereka semakin dramatis. Mike pun menjadi media darling.
Aku merasa mual ketika pertama kali melihat berita tentangnya. Kala itu aku sedang beristirahat di dalam ruang karyawan. Amber tengah menggerutu tentang sesuatu, kedua matanya terarah ke layar televisi yang ada di ruangan itu. Aku menengok dari atas bahunya, ingin tahu apa yang sedang dia tonton. Ternyata saluran gosip yang sedang memberitakan tentang kebenaran dari sebuah video yang menampilkan Mike bersama dengan seorang wanita yang diketahui sebagai seorang model Victoria Secret sedang kepergok berciuman panas di sebuah kelab malam di L.A. Tak sanggup lagi menahan, aku langsung berlari ke kamar mandi, mengunci diriku dan menangis.
Dari semenjak itu media-media cukup sering memberitakan tentang hubungan asmara Mike dengan beberapa wanita, yang kebanyakan darinya adalah selebritis dunia. Mulai dari yang dikabarkan sedang dekat, sampai yang katanya serius. Tapi Mike selalu mengelak jika ditanya mengenai kisah asmaranya tersebut.
"Jangan bilang kau percaya apa yang diberitakan media-media itu?" ada kekagetan dari nada bicaranya.
Kulirik dirinya lagi, Mike masih mengarahkan pandanganya ke hamparan air di hadapannya, yang sekarang mulai goyah, tidak setenang sebelumnya.
Aku tidak tahu. Mungkin aku mempercayainya, tapi mungkin juga tidak. Itu sebabnya aku menginginkan kebenarannya.
Aku hanya mengedikkan kedua bahuku.
"Lana," dari sudut mataku kulihat Mike menghadapkan dirinya kepadaku. "Lihat aku," serunya.
Dengan ragu-ragu aku menoleh kepadanya.
Mike mendesah kencang. "Tidak ada satu pun yang diberitakan media-media itu benar."
"Oh ya?" timpalku, kembali memalingkan tatapanku darinya.
"Tidak, kumohon Lana lihat aku!" nadanya bersungguh-sungguh. Dia meraih lenganku kemudian menarikku dengan lembut sehingga aku bisa menghadap kepadanya. Aku pasrah.
Mike menatap kedua mataku lekat-lekat. "Oke, mungkin aku mengencani beberapa di antara mereka," sesaat dia tampak malu, namun kemudian dia menelan ludah lalu melanjutkan.
"Tapi hatiku tetap untukmu, Lana," tegasnya.
Kedua mata cokelatnya memang membuatku percaya, aku senang mendengar hal yang selama ini kudambakan terucap dari mulutnya. Tapi tetap, entah mengapa rasa cemburu yang kurasakan selama ini belum mau hilang. Selama ini, setiap kali berita itu muncul di media-media, aku selalu merasa cemburu dan marah saat melihat wanita-wanita itu dekat dengannya. Ingin sekali menjambak rambut mereka satu per-satu.
"Dan bagaimana dengan si aktris itu? Berita yang sedang hangat-hangatnya di semua media?" tanyaku setelah beberapa saat terdiam. Pelan-pelan rasa marah mulai merayap ke setiap nadiku.
Aku terkejut ketika membaca tentangnya di media gosip online suatu hari. Mike dikabarkan akan bertunangan dengan seorang aktris Hollywood bernama Kimberly Watts. Setelah beberapa kali mereka kepergok kamera paparazzi tengah bersama. Media-media lalu menyimpulkan kalau mereka sedang menjalin hubungan cukup serius. Tapi baik itu Mike maupun Kimberly tidak pernah mengkonfirmasi berita tersebut. Sampai akhirnya kabar itu muncul satu bulan yang lalu. Bahwa Mike dan Kimberly akan bertunangan, alasannya karena paparazzi menangkap keduanya sedang berada di toko perhiasan Tiffany & Co. di Beverly Hills.
Mike mendesah kencang. "Lana, aku dan Kim mungkin dekat. Tapi hanya sebatas itu."
Aku terdiam. Sedekat apa? Apakah Mike dan Kim dan semua wanita yang pernah dekat dengannya pernah....melakukan itu? Hatiku terasa tersayat-sayat membayangkannya.
Aku kembali menatap air gelap bergelombang di hadapanku. "Kalian akan bertunangan, apa itu benar?" suaraku tidak lebih dari bisikkan.
"Hey, tatap aku," katanya.
Mike mencondongkan sedikit tubuhnya kepadaku, lalu meraih daguku agar aku melihatnya. Ini sentuhan intim lainnya yang dia lakukan kepadaku malam ini. Jantungku kembali berdegup kencang.
Dia sedang tersenyum ketika aku melihatnya.
"Aku tidak percaya kau melihat semua berita itu," dia terkekeh, ekspresinya geli. Wajah Mike cukup dekat dengan wajahku.
Napasku tersentak mendapati kami sedekat ini.
Dia diam menungguku seraya tersenyum manis. Rasa marahku pun perlahan menguap dengan sendirinya.
"Karena aku tidak bisa benar-benar menghindar darimu, jujur saja. Kau seperti—ada di mana-mana," desahku. Kutatap kedua matanya lekat-lekat. Aku bisa melihat pupil matanya melebar.
"Begitu pun kau bagiku. Meski aku tidak bisa mengetahui dan memantaumu lagi, karena selain nomor ponsel yang kau ganti, media sosial yang kau punya pun menghilang begitu saja. Tapi di sini," Mike menyentuh pelipisnya dengan jari telunjuk.
"Lalu di sini," kemudian dia menepuk dadanya. "Kau selalu ada."
Aku senang mengetahui ini semua. Hatiku melambung tinggi mendengar kata-katanya ini. Memang benar seperti apa yang dia katakan. Selain nomor ponsel, akun-akun media sosialku sudah kunon-aktifkan dari semenjak aku putus darinya. Karena aku ingin dia benar-benar kehilangan jejakku.
Dulu Mike punya kebiasaan memantau media sosialku. Dia akan langsung tahu jika ada pria-pria yang berinteraksi denganku di sana. Dan dia akan tahu apa saja yang sedang kukerjakan, atau apa yang sedang kurasakan. Aku cukup aktif bermain media sosial ketika kami sudah lulus SMA. Namun, kami jarang memposting foto kami berdua, malah tidak pernah. Karena pada saat itu identitasku sebagai NFL cheerleader sedang dipertaruhkan. Aku pun suka begitu dulu; memantau media sosialnya. Tapi Mike jarang memposting kesehariannya. Dia hanya memposting yang memang penting, seperti bandnya, promosi album mereka, atau jadwal manggung. Tapi Mike pernah memposting satu foto kami ketika kami masih SMA di media sosialnya. Hanya satu foto itu saja; foto saat kami sedang menikmati sunset di pantai sepulang sekolah—salah satu kegiatan yang sering kami lakukan, aku masih mengenakan seragam cheerleader-ku dan tersenyum lebar pada kamera sementara Mike memandangiku dari samping. Foto itu diambil dengan kamera ponselnya. Aku tidak tahu apakah foto itu masih ada di media sosialnya sekarang.
Aku tidak menyangka Mike melakukan itu. Dia mencariku sampai ke media sosialku. Aku bisa membayangkan ekspresinya ketika mengetahui akun-akun media sosialku sudah tidak ada lagi.
"Jadi kau tidak akan bertunangan?" tanyaku.
Mike menggelengkan kepalanya dengan mantap. "Tidak! Saat itu aku hanya mengantar Kim membeli perhiasan. Media hanya perlu makan, makanya mereka memperbuas tentang ini," tegasnya.
Seketika aku kembali bisa bernapas lega. Tapi masih ada hal yang mengganjal di dalam dadaku.
"Apa kau dan dia, sekarang masih—"
"Tidak! Aku tidak dekat dengan wanita mana pun sekarang, Lana," dia langsung menimpali.
Oh. Syukurlah.
"Kau tahu," katanya. Mike menegakkan tubuhnya lalu melepaskan tangannya dari daguku. Kemudian merogoh saku celana jeans-nya. Dia mengeluarkan sebuah botol. Seperti botol obat. Ya, benar itu botol obat.
"Ini," dia membolak-balik botol yang masih berisikan beberapa tablet itu di tangannya. Mike menatap botol obat itu dengan kedua alis menyatu, seakan botol itu adalah sebuah teka-teki yang membutuhkan jawaban segera.
Aku baru sadar kalau itu obat penenang. Astaga!
"Aku tidak menyangka kalau diriku akan berurusan dengan benda sial ini selama hampir tiga tahun," jelasnya, masih menunduk—menatap botol obat. Ekspresinya lelah.
"Untuk apa itu?" suaraku tercekat. Tiba-tiba hatiku terasa perih mengetahui kabar ini.
Mike...
Dia melihatku. Senyuman lelah terpampang di wajahnya. "Untuk membantuku tertidur, tentu saja."
Aku menggelengkan kepala. "Beritahu aku, sebenarnya apa yang terjadi?" aku mendesaknya. Aku yakin obat itu bukan hanya untuk membantunya bisa tidur.
"Aku mengalami gangguan kecemasan, Lana," Mike tidak menatapku ketika berbicara.
"Apa?"
"Ya.”
Kali ini Mike menatapku. "Selama ini, aku bergelut dengan itu," katanya, suaranya berangsur lenyap. Dia tampak menderita.
Aku benar-benar tidak menyangka dirinya mengidap gangguan semacam itu, karena yang kutahu Mike selalu terlihat baik-baik saja. Aku jadi merasa bersalah kepadanya. Karena selama ini aku menginginkan dirinya menderita. Akan tetapi setelah aku tahu kalau nyatanya Mike memang menderita bahkan mungkin lebih, aku jadi benci diriku sendiri. Maafkan aku Mike..
"Mengapa—itu terjadi?" tanyaku takut-takut.
Tapi Mike tersenyum.
Dia lalu berkata, "rasa bersalahku terhadapmu lah yang menjadi pemicunya. Rasa bersalahku ini terus menghantuiku selama tiga tahun ini, Lana. Belum lagi tekanan kehidupanku sekarang, rasanya aku mulai kehilangan akal sehatku. Beberapa kali aku pernah memikirkan untuk mengakhiri semuanya—dengan cara yang tidak benar. Namun, setiap kali aku tersadar, aku ketakutan dengan pemikiran itu. Karenanya aku meminta bantuan beberapa dokter untuk membuatku tetap sadar dan mencegahku melakukan hal yang berbahaya. Lalu aku diberi banyak sekali pengobatan. Tapi bagian yang paling menyakitkan sudah berhasil kulalui. Dokter yang menanganiku berkata kalau keadaanku sudah cukup membaik dibanding dua tahun lalu, oleh karenanya beberapa obat sudah tidak kubutuhkan lagi. Dan sekarang hanya obat inilah yang masih bertahan. Aku belum mampu terlepas dari benda ini sepenuhnya.” Mike menunduk lagi, menatap obat di tangannya.
“Sebenarnya aku sudah lelah harus menyembunyikan penderitaanku di hadapan media. Aku lelah harus selalu memasang wajah publikku. Aku lelah terus berakting baik-baik saja kepada dunia dan menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku."
Sumpah! Aku tidak tahu harus bagaimana mendengar ini darinya.
Dia menatapku. "Aku merindukanmu, Lana, jika kau ingin tahu. Selalu. Kau tinggal di dalam hati dan pikiranku. Aku memikirkanmu setiap waktu. Terkadang hal itu menganggu pikiranku.”
Dia tersenyum bersalah. “Maafkan aku mengenai pemberitaan yang mungkin kaulihat di media tentang para wanita itu. Mereka kugunakan hanya sebagai pengalihan pikiranku darimu. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, tidak bisa memelukmu, tidak bisa merasakanmu, maka siapa saja yang bisa setidaknya membuatku merasakan seolah-olah dia itu adalah dirimu."
Ya tuhan, kejujurannya ini benar-benar membuatku tercengang, dan menyayat hatiku.
Mike menghela napas, lalu melanjutkan. "Sesungguhnya, aku tidak menginginkan ini, dan aku tidak merasa bahagia dengan apa yang kulakukan ini, karena aku tahu mereka bukan dirimu. Selama ini aku mencari-cari tatapan sepertimu di setiap mata wanita-wanita itu. Tapi aku tidak pernah menemukannya. Aku tidak pernah menemukan yang seperti dirimu, Lana," suaranya goyah.
“Bahkan aku berpikir, aku sudah tidak pantas untukmu. Aku brengsek dan kacau. Aku benci diriku.”
Mike runtuh di hadapanku sekarang.
Beragam macam pikiran berkejaran di dalam kepalaku mendapati semua ini. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Perasaanku campur aduk rasanya.
Hatiku sakit mengetahui penderitaannya ini, tapi di satu sisi aku merasa marah dan muak membayangkan Mike bersama para wanita itu. Sambil mengenyahkan bayangan Mike berasama para wanita itu, aku melangkah maju ke arahnya. Sekarang aku dan Mike berdiri berhadapan dengan jarak yang bahkan hanya beberapa senti saja. Satu tanganku terangkat dengan sendirinya. Lalu dengan ragu-ragu kusentuh wajahnya. Kuhapus air mata dari kedua pipinya.
Keistimewaan ini.
"Aku rasa kita berdua benar-benar kacau," kataku, seraya memegangi wajahnya. Mike menyandarkan wajahnya ke telapak tanganku.
"Maafkan aku, selama ini aku selalu menginginkanmu menderita, Mike. Tapi setelah aku tahu kau seperti ini, aku jadi merasa bersalah padamu…."
"Ssshhh," dia menyelaku sembari menaruh jari telunjuknya pada bibirku.
"Kumohon jangan menyalahkan dirimu sendiri, karena akulah yang berhak disalahkan dan pantas mendapatkannya. Aku terima ini semua, Lana," katanya.
Aku sungguh tidak mampu berkata-kata lagi.
Tanpa sadar aku sudah bersandar di dadanya, membenamkan wajahku di sana. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. Meski sekarang Mike tidak menggunakan cologne yang sama seperti dulu, tapi tetap saja, harum tubuhnya terasa familiar. Setelah itu kurasakan kedua lengannya melingkar di tubuhku. Mike mendekapku erat.
Rasanya seperti pulang ke rumah.
Kusandarkan sisi wajahku di dadanya.
Kami berdiri sambil berpelukkan seperti itu selama kurang lebih—selamanya. Sampai kulihat patung Liberty melintas di hadapan kami.
"Lihat itu, Mike," ucapku pelan, tanpa melepaskan pelukanku darinya. Kurasakan Mike menolehkan kepalanya ke arah patung.
"Liberty (kebebasan)?" ucapnya.
"Hmm.... liberty," balasku seraya tersenyum di dadanya.
Kurasakan dadanya bergetar, aku tahu dia sedang tersenyum meski aku tidak melihat ke arahnya.
Mike hanya mengencangkan pelukannya pada tubuhku seraya menyaksikan patung Liberty menjulang tinggi melintas di hadapan kami berdua.