Chapter 25

Sejujurnya, aku selalu merasa waswas dan terancam ketika Infinity Dusk sudah mulai dikenal. Mereka selalu menjadi buah bibir di kalangan anak muda sehingga para penggemarnya semakin bertambah setiap harinya. Terutama para kaum hawa. Ya, aku tahu sikapku berlebihan, tapi kau akan mengerti jika menjadi aku.

Pada waktu itu Infinity Dusk adalah satu-satunya band di Santa Monica yang tidak pernah dipandang sebagai band anak SMA. Malah mereka tembus manggung sampai ke beberapa bar dan venue ternama. Itu disebabkan musik mereka yang mature (matang) dan keren. Selain itu, alasan lainnya adalah karena perawakan mereka yang tidak tampak seperti remaja SMA, oleh karenanya orang-orang tidak pernah menganggap mereka berempat sebagai anak remaja ingusan. Apalagi David, orang-orang malah menyangka dia sudah berusia 25 tahun.

Aku ingat, waktu itu sehabis Mike dan band-nya manggung di salah satu Bar di Santa Monica, para penggemar memadati pinggiran panggung hanya untuk hangout bersama para personil. Itu seperti keharusan, di setiap mereka habis tampil pasti harus ada semacam kegiatan seperti ini. Kau bisa menebak kebanyakan dari mereka itu siapa. Ya! Sudah pasti para kaum hawa. Dan sebagian dari mereka adalah mahasiswi.

Aku sedang mengobrol dengan salah satu teman kelas Mike di meja bartender. Dia bisa dibilang sebagai salah satu penggemar setia dari Infinity Dusk, karena dia selalu hadir di mana pun mereka tampil. Dia bernama Karen.

Karen adalah cewek berkulit pucat yang selalu mengenakan pakaian serba hitam, dengan rambut hitam legamnya yang di kepang dua. Terkadang dia mengingatkanku pada Wednesday Addams versi Christina Ricci.

Waktu itu Karen sedang bergosip mengenai merebaknya kabar hubungan antara aku dan Mike di sekolah. Padahal aku dan Mike sudah menyembunyikan hubungan ini rapat-rapat. Kami tidak pernah menunjukkan hubungan kami jika berada di lingkungan sekolah. Tapi apa boleh buat, gosip akan selalu menyebar cepat dengan sendirinya seperti wabah di lingkungan sekolah kami. Murid-murid dari program musik yang kebetulan adalah teman-temannya Mike, terbilang cukup sering menonton Infinity Dusk, beberapa dari mereka juga sering memergokiku yang selalu ada di setiap pertunjukan Mike dan band-nya. Mungkin salah satu sumbernya dari mereka-mereka itu.

"Kau tahu kalian bikin iri sebagian murid di sekolah," Karen berkata sambil menggoyang-goyangkan cangkir plastik berwarna merah yang ada dalam genggamannya. Lalu meneguk isinya.

Dia melanjutkan. "Malah mungkin hampir sebagian besar iri jika menyangkut dengan dirimu, ya?" Lalu dia terkekeh.

Aku hanya mengedikkan sebelah bahuku seraya meneguk minumanku; cherry vodka sour campur bir. Aku tidak begitu menyukai minuman itu. Maka kusimpan kembali cangkir plasktikku di atas meja.

Sebenarnya aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang mereka katakan tentangku, tentang Mike, tentang kami berdua. Yang kupedulikan hanyalah hubunganku dengan Mike baik-baik saja, serta satu hal— segera lulus dari SMA.

Aku mulai tidak nyaman dengan obrolan Karen, jadi kulayangkan saja kedua mataku ke tempat di mana Mike berada.

Mike tengah berdiri di bawah samping panggung.

Kuperhatikan mungkin ada sekitar lebih dari selusin cewek-cewek yang mengerubungi Mike dan ketiga teman band-nya. Tapi semua cewek itu lebih memperdulikan Mike ketimbang Seth, David maupun Johan. Para perempuan itu terlihat saling berebut perhatiannya. Mereka membelai lengan Mike berkali-kali, mengibaskan rambut menjijikkan mereka di hadapannya, sebagian yang lain cekikikan tidak jelas, lalu ada yang sengaja menarik-narik turun kerah bajunya agar belahan dadanya terlihat. Dan Mike, tetaplah Mike, yang selalu ramah kepada siapa pun. Tapi aku ingin Mike tidak seramah itu kepada mereka.

Aku tahu dan sadar betul kalau aku itu perempuan manja nan posesif, tapi bagaimana lagi, aku selalu seperti ini jika menyangkut dengan dirinya. Apalagi ketika Mike sedang dikelilingi groupies semacam itu. Rasa cemburuku selalu menggelitik dan mengganggu—seperti ruam di kulit. Aku mungkin tidak akan pernah terbiasa dengan pemandangan seperti itu, meski aku tahu mereka hanyalah teman atau sekedar penggemar. Tapi tetap saja, aku tidak akan pernah terbiasa.

Ada satu orang perempuan yang kutahu cukup akrab dengan Mike. Dia sama seperti Karen, yang sering menonton pertunjukan Infinity Dusk di mana pun mereka manggung. Tapi perempuan ini cukup agresif dan bertingkah seolah-olah dirinya termasuk bagian dari band. Mike pernah mengenalkanku kepadanya, nama perempuan itu Carla—seingatku. Dia juga teman Mike di sekolah. Tapi anehnya aku baru tahu kalau Carla bersekolah di sekolah yang sama ketika Mike mengenalkanku saat itu di salah satu acara. Orang kurang populer jadi jangan heran kalau tidak dikenal, pikirku pada saat itu.

Kulihat Carla di tengah kerumunan para groupies itu. Rambut merah menyalanya paling mencolok di antara yang lain. Carla lalu mendekat ke arah Mike yang sedang tertawa lebar, entah apa yang sedang dibicarakannya. Dan ketika kedua matanya melihat Carla, dia menyambutnya dengan sikap lebih hangat daripada yang lain. Carla memeluk Mike—cukup lama, dan mereka pun mulai bercakap-cakap seru.

Kutekan gumpalan rasa kesal dan cemburuku yang sudah naik ke tenggorokan saat melihat semua itu. Tanpa disadari, ternyata aku sedang meremas cangkir plastik di hadapanku.

"Carla," dengus Karen di sampingku.

Aku terkesiap. "Apa?"

Karen mengedikkan kepalanya ke arah perempuan berambut merah menyala itu.

"Dia seharusnya mengenakan wig," dia tertawa.

Aku ikut tertawa bersamanya. Ya memang benar apa yang dikatakan Karen, seharusnya Carla mengenakan wig.

"Kau kenal dengan dia?"

Karen mendengus lagi. "Ya, kami saling kenal. Aku kenal dia dari semenjak dia dan Mike masih berpacaran dulu."

Apa?!

"Tunggu, apa?" sahutku. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar dari Karen.

Kedua alis mata Karen mencuat ke atas. "Apa?" dia tampak bingung.

"Kau bilang Mike dan Carla pernah pacaran?"

Karen menganggukkan kepalanya dengan ragu. "Ya mereka—" seketika dia menghentikan ucapannya.

Lalu keningnya berkerut. "Tunggu dulu, kau tidak tahu kalau mereka pernah berpacaran?" tanyanya, seraya menyipitkan kedua matanya kepadaku.

Dengan berat hati kugelengkan kepalaku.

Mike tidak pernah bercerita apa pun mengenai masalah asmaranya dulu. Dia terbilang sangat tertutup untuk masalah seperti itu. Aku tidak pernah mengetahui berapa banyak perempuan yang pernah dia kencani atau bahkan perempuan yang pernah dia sukai. Mike selalu mengelak jika aku bertanya tentang itu. Dia pasti akan selalu bilang, "tidak usah dibahas. Sudah tidak penting lagi." Aku berpikir ini tidak adil, karena Mike mengetahui hampir semua mantan pacarku, dia bahkan lebih tahu dariku siapa-siapa saja yang suka padaku. Sementara aku tidak mengetahui secuil pun mengenai hal seperti ini darinya.

Maka ketika Karen bilang seperti itu kepadaku, aku merasa sangat kesal.

Karen mengamatiku. "Oh ow! Dia tidak memberitahumu?"

Aku membuang napas kesal lalu menggelengkan kepala sekali lagi.

"Wow, tidak heran mengapa kau tampak semarah ini," katanya.

Lalu dia menambahkan, "kalau aku menjadi dirimu, mungkin aku akan lebih mengawasi Mike."

Sontak dengan gerakan cepat aku menoleh kepadanya. "Apa? Mengapa?"

Karen terkekeh. "Ya karena siapa tahu, Carla sedang menyusun rencana untuk merebut Mike darimu. Karena beberapa hari yang lalu tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan dia dengan temannya di sekolah. Dia menceritakan kepada mereka betapa hebatnya Mike di atas ranjang. Dia juga bilang kalau dia sebenarnya masih menyukai—"

Kudapati diriku sudah berdiri dan berjalan menghampiri Mike. Menyeruak di antara kerumunan perempuan-perempuan itu.

Carla menyapaku ketika aku sudah berada di hadapan mereka berdua, tetapi tidak kuhiraukan. Kedua mataku hanya tertuju kepada lelaki tampan milikku yang tengah berdiri di sampingnya.

Mike tersenyum lebar saat melihatku, namun perlahan senyuman itu menghilang ketika dia menemukan ada yang salah dari tatapanku.

"Ada apa?" tanyanya khawatir.

Aku mengerling sekilas ke arah Carla yang saat itu sedang berdiri cukup dekat dengan Mike, dia tersenyum manis kepadaku. Senyuman jahatnya. Aku kembali menatap Mike.

"Aku ingin bicara denganmu. Berdua," jelasku. Tanpa menunggunya aku sudah berbalik lalu berjalan menjauhi kerumunan.

Kudengar Mike berkata, "ooke," dengan nada bertanya-tanya. Setelah itu kudengar lagi dia mengucapkan 'see you around' ke semua groupies-nya itu.

Mike mengikutiku, sampai akhirnya aku berhenti di sebelah pintu keluar darurat yang tidak ada satu pun orang di sana. Lalu aku berbalik menghadapnya. Kulihat Mike masih tampak kebingungan dengan sikapku.

"Sayang, ada apa? Kau membuatku khawatir," ujarnya lembut.

Tadinya aku ingin langsung mengkonfrontasinya tentang apa yang telah Karen katakan kepadaku. Tetapi mulutku tiba-tiba kelu, aku malah berkata hal lain.

"Aku mau pulang."

Keningnya berkerut. "Kenapa? Kau tidak akan ikut bersama kami ke markas? Johan sudah memesan banyak minuman dan makanan untuk pesta. Mengapa tiba-tiba kau ingin pulang?" dia terdengar kecewa.

Kemudian Mike mendekat padaku, lalu menyelipkan helaian rambut ke telingaku.

"Padahal aku ingin sekali kau bermalam bersamaku di sana," desahnya.

Rasa kesal dan cemburuku kepadanya perlahan memudar kala dia membelai wajahku. Tapi cepat-cepat aku tersadar.

Kusingkirkan tangannya dari wajahku. "Aku hanya mau pulang!" seruku lagi.

Mike terkejut. "Baiklah. Tapi...."

"Aku kurang enak badan, Mike," dustaku.

Dia terlihat sangat khawatir ketika aku berkata begitu. Kemudian dia mengulurkan kembali satu tangannya, menyentuh dahiku. Tapi aku mundur beberapa langkah darinya, menghindari sentuhannya. Mike masih menatapku dengan keheranan.

"Oke, aku akan mengantarmu pulang, kalau begitu. Kau butuh obat atau sesuatu?"

Aku menggelengkan kepala. "Aku hanya perlu tidur."

"Baiklah, aku pamitan dulu kepada mereka, setelah itu kita pergi?"

Aku kesal Mike berkata begitu, seolah perempuan-perempuan itu memang lebih penting baginya.

Mike kembali mengulurkan satu tangannya untuk kuraih. Tetapi aku mengacuhkannya. Dan hanya berjalan melewatinya, aku langsung bergegas menuju ke tempat mobil Mike terparkir.

Mike muncul kurang lebih 10 menit kemudian, sambil membawa gitar dan beberapa peralatan band-nya. Aku terlalu marah sehingga aku tidak peduli ketika dirinya tersenyum kepadaku.

"Maaf, membuatmu menunggu lama," katanya seraya membuka kunci pintu mobil.

Tanpa banyak bicara aku langsung masuk ke dalam dan duduk di kursi penumpang, lalu mengenakan sabuk pengaman.

Terlebih dulu Mike menyimpan semua peralatannya di bagasi belakang, dan hal itu memakan waktu cukup lama. Lagi-lagi aku dibuatnya menunggu. Setelah kurang lebih satu tahun kemudian, Mike masuk ke dalam mobil lalu menyalakan mesin. Aku tidak menoleh kepadanya. Kuhadapkan pandanganku ke jendela samping. Aku hanya bersandar dan memejamkan kedua mataku. Aku tahu Mike sedang memperhatikanku, tetapi aku tidak memperdulikannya, karena yang kuinginkan saat itu hanyalah menjauh darinya dan cepat sampai di rumah.

Selama dalam perjalanan suasana di dalam mobil berlangsung tegang. Aku tetap berpura-pura tertidur dan Mike menyetir dalam diam. Bahkan music player-nya pun dimatikan. Jika sedang dalam keadaan marah entah mengapa segala sesuatunya terasa berjalan lambat. Perjalanan singkat pun terasa seperti selamanya.

Mike mematikan mesin mobilnya ketika kami sudah sampai di depan halaman rumahku.

Kemudian dia membelai rambutku. "Hey, sudah sampai," ujarnya dengan lembut.

Kubuka kedua mataku, dan langsung duduk tegak. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepadanya, kulepas sabuk pengaman, lalu kuraih handle pintu mobil. Ketika hendak akan membuka pintu, Mike mengklik kuncinya.

Pintu terkunci kembali.

Aku menoleh kepadanya dengan marah. "Mengapa kau kunci lagi?" sahutku.

Mike hanya menatapku dengan tenang. "Ada sesuatu yang terjadi, kan? Aku tahu," katanya.

Kami saling tatap selama beberapa saat. Kemarahanku semakin membuncah di dalam dada.

"Beritahu aku, Lana. Ada apa?"

Dengan kesal aku kembali menghempaskan diriku ke sandaran kursi penumpang. Kulipat kedua tangan di depan dada, lalu kupalingkan wajahku darinya.

"Aku benci kalau kau menyimpan sesuatu dariku," semburku. Aku bisa mendengar napasku memburu.

Kuperhatikan dari sudut mataku, Mike sedang mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. "Apa?"

"Jangan berpura-pura tidak tahu," dengusku.

"Lana, aku bersumpah aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan."

Aku menoleh lagi kepadanya. "Kau tidak mengerti?" kutatap tajam kedua matanya.

Mike benar-benar tampak kebingungan. "Kau kenapa sih?" tanyanya.

"Aku kenapa?" nada bicaraku meninggi. "Seharusnya kau yang bertanya pada dirimu sendiri, kau kenapa!"

"Apa!" Mike terperanjat oleh perkataanku.

Udara di dalam mobil memanas. Aku bahkan bisa melihat uap di kaca jendela.

"Kumohon beri aku pencerahan, apa yang telah kulakukan kepadamu malam ini sehingga kau bertingkah seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan, Lana?" serunya.

Mike membuka sabuk pengaman, lalu mengubah posisi duduknya sehingga dia menghadapku. Aku tahu mungkin Mike sudah merasa kesal terhadapku tapi bedanya denganku, Mike selalu bisa mengontrol emosinya.

Aku terdiam, lalu kupalingkan lagi pandanganku darinya ke dashboard di hadapanku. Kuatur napas dan berusaha untuk menguasai diri.

"Kau," aku memulai, lalu menelan ludah untuk menekan rasa kesal dan cemburuku. "Kau tidak pernah memberitahuku kalau kau dan Carla pernah berpacaran?" kuberanikan diri melihatnya.

Mike mendesah kencang setelah mendengar perkataanku tersebut. Seolah apa yang keluar dari mulutku itu tidak penting. Dia mendesah seraya merebahkan kepalanya ke sandaran kursi. Lalu memejamkan kedua matanya. Dia tampak kelelahan.

"Jadi karena itu?" gumamnya, masih memejamkan mata.

Setelah itu dia membuka kedua matanya lagi, sembari menegakkan tubuhnya di kursi. Kemudian kembali menatapku.

"Karen yang memberitahumu?" dia menambahkan.

Kupalingkan wajahku darinya. "Kau tidak menjawab pertanyaanku!"

"Apa perlu aku jawab?"

Aku benar-benar marah mendenganya berkata begitu.

Kualihkan kembali tatapanku padanya. "Apa? Aku tidak percaya kau berbicara seperti itu!" sahutku.

"Lana," desahnya. "Aku hanya perlu tahu apakah hal semacam ini begitu penting untukmu?"

"Tentu saja penting!" aku membentaknya.

"Aku tidak pernah tahu selama ini, selama hampir satu tahun kita berpacaran kalau ternyata kau memiliki mantan kekasih di sekolah, dan yang mengejutkannya lagi ternyata perempuan murahan yang bernama Carla itu. Perempuan yang selama ini aku anggap sebagai temanmu saja. Dan aku percaya. Tapi ternyata kalian berdua bahkan memiliki sejarah sebelumnya!"

Kuhela napas panjang sebelum melanjutkan. "Dan kau bertanya apa hal ini penting? Oh tentu saja hal ini penting, sialan! Dia mendekatimu karena ingin menarik perhatianmu lagi. Dan kau dengan polosnya selalu terpancing. Karen memberitahuku kalau dia mendengar Carla berbicara dengan temannya di sekolah. Dia membicarakanmu, dia bilang kalau dia bertujuan untuk membuatmu terpikat lagi kepadanya. Dia ingin kau kembali kepadanya, Mike! Dia ingin merebutmu dariku! Dan ya! Ini penting bagiku!"

Setelah berbicara aku menatapnya sambil terengah-engah karena kehabisan napas. Jantungku berpacu dengan cepat, sehingga aku bisa merasakan semua pembuluh darahku berdenyut-denyut. Aku murka.

Mike menatapku dengan terperangah, mulutnya sedikit ternganga. Tapi kemudian dia kembali menguasai diri.

"Lana, kau berlebihan," katanya dengan tenang.

Aku tidak percaya dia menganggapku berlebihan. Kugelengkan kepalaku.

"Aku berlebihan?" kuatur napas, berusaha sekuat tenaga untuk tenang.

"Baiklah kalau kau menganggapku berlebihan. Tapi biarkan aku mengatakan hal ini—mungkin mengapa selama ini kau tidak pernah memberitahuku tentang Carla kepadaku karena..." kutatap kedua matanya lekat-lekat. "Karena mungkin kalian berdua ingin bebas berbuat apa pun tanpa aku curigai!"

Aku bisa merasakan air mataku terjatuh ketika aku berpaling darinya dan membuka pintu mobil.

Segera aku keluar dari dalam mobilnya. Mike tidak berkata apa-apa kepadaku dan itu membuatku tambah marah. Aku hanya berjalan cepat menuju pintu depan rumahku. Dan aku tidak menghiraukan ketika kudengar pintu mobilnya dibuka dan Mike keluar seraya memanggil namaku. Tapi dia tidak mengejarku. Kekecewanku semakin menjadi.

Keesokan harinya kedua mataku bengkak akibat menangis semalaman. Mike tidak menghubungiku untuk meminta maaf ataupun menyangkal semua yang telah kukatakan kepadanya malam itu. Aku sempat berpikir, mungkin apa yang kusangkakan kepada dirinya memang benar. Dan ketika aku berpikir seperti itu, hatiku malah tambah sakit.

Mom menaikkan kedua alisnya ketika melihatku duduk di kursi meja makan.

"Wow! Sebrutal itukah pertunjukannya tadi malam sampai kau mendapatkan kedua mata bengkak?" candanya, dari balik penggorengan.

"Mom! Tidak lucu!" tukasku.

"Owh, seseorang sedang tidak mood hari ini," senandungnya lagi, seraya menuangkan daging asap dan telur dadar ke piring di hadapanku. Lalu dia meletakkan penggorengan di atas meja kemudian duduk di kursi di depanku.

"Jadi, beritahu aku!"

Aku mendelik kepadanya di tengah-tengah mengunyah sarapan pagiku. "Mana Zoe?" Kualihkan pembicaraan.

Mom mengibaskan sebelah tangannya. "Kau tahu dia masih tertidur, ini hari Sabtu. Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Jadi...."

Bel pintu rumahku berdering.

Mom lalu menyuruhku untuk membukakan pintu setelah membujukku dengan cukup keras. Aku menggerutu kepadanya seraya berjalan dengan malas ke pintu depan.

Ketika aku membuka pintu, kudapati Mike sedang berdiri di sana. Refleks, aku langsung menutup kembali pintunya, tetapi terlambat. Dia keburu menahannya.

"Lana, kumohon," pintanya.

"Pergi sana!" seruku, dari balik pintu yang setengah tertutup.

"Kumohon, biarkan aku menjelaskan," dia memohon.

Akhirnya kubiarkan pintu terbuka, dan melipat kedua lenganku di depan dada. Aku tidak mempersilahkannya masuk. Kami berdua hanya berdiri di ambang pintu.

"Bicaralah!" perintahku.

Mike akhirnya menjelaskannya kepadaku. Dia meminta maaf karena tidak mengejarku dan menghubungiku malam tadi. Katanya, dia tidak bisa tidur, dan hanya merenung di dalam kamar tidurnya memikirkan hal ini sepanjang malam. Dia bilang alasan mengapa dirinya tidak pernah mau membicarakan mengenai hal-hal seperti mantan kekasih atau perempuan mana yang pernah dia sukai kepadaku karena dia takut kejadian seperti ini akan terjadi. Maka dari itu dia lebih memilih untuk tidak membicarakannya. Lagi pula masalah mantan pacar itu adalah masa lalu dan sudah tidak berarti lagi, katanya. Dia pun akhirnya mengakui kalau Carla dan dirinya pernah berpacaran sewaktu di kelas 10, tapi hanya selama 2 bulan saja. Dia juga mengakui kalau Carla adalah pacar pertamanya, karena sebelum dirinya masuk SMA, Mike tidak pernah memiliki kekasih. Dia memberitahuku bahwa kedekatan mereka berdua sekarang hanya sebatas teman dan menjaga hubungan baik saja. Mike tidak pernah menginginkan mereka jadi tidak saling mengenal apalagi bermusuhan. Mike juga bilang kalau obrolan mereka pun tidak jauh dari seputar musik dan band-nya, tidak ada hal lain.

Perlahan rasa kesal dan marahku kembali meleleh ketika Mike menjelaskan semuanya kepadaku.

"Setidaknya kau bisa jujur padaku dari awal. Karena aku lebih baik mendengarnya langsung dari mulutmu ketimbang dari mulut orang lain. Rasanya tidak enak, tahu!" rengekku, sembari meninju pelan dadanya.

"Maafkan aku," desahnya di hadapanku.

Aku mengangguk. "Tapi tolong, jangan merahasiakan apa pun dariku lagi. Meski menyakitkan sekalipun?"

"Aku berjanji," balasnya bersungguh-sungguh. Dia pun berjanji kalau dirinya akan berubah.

Lalu dia jujur kepadaku bahwa hubungannya denganku masih mengejutkannya. Karena Mike tidak pernah berpacaran seserius ini sebelumnya, sehingga dia masih harus beradaptasi.

Dia bilang, "kau tahu, sebelumnya aku tidak pernah berpikir akan memiliki kekasih oleh sebab itu aku selalu memikirkan diriku sendiri saja. Dan tentang Carla, itu pun hanya sebatas rasa penasaran, aku bahkan tidak jatuh cinta kepadanya. Tapi denganmu, semua berbeda. Aku masih banyak belajar mengenai hal ini. Maafkan aku kalau aku masih egois."

Aku sangat terenyuh olehnya, lalu aku pun meminta maaf kepadanya karena telah bertingkah seperti anak kecil.

Dan begitulah, kami pun berbaikan kembali. Mike memelukku sambil mengecup kening dan kedua mataku yang bengkak berkali-kali. Kami berpelukan di ambang pintu rumahku cukup lama sampai akhirnya Mom mengejutkan kami berdua. Dan menyuruh Mike untuk sarapan bersama.

Aku jadi teringat kata-kata Mom pada malam setelah Mike dan aku berbaikan. Mom bilang kalau aku dan Mike sudah saling jatuh cinta terlalu dalam. Aku tahu Mom sudah mengkhawatirkan kami sejak itu. Hanya saja kekhawatirannya selalu disamarkan menjadi candaan.

Mom berkata, "aku baru menyaksikan kisah cinta dua remaja sedalam kalian. Aku yakin jika Jane Austen masih hidup dan mengenal kalian, mungkin kalian akan jadi inspirasi novelnya—tanpa tragedi tentu saja."

Waktu itu aku hanya tertawa mendengarnya.

Apa yang Mom katakan dulu kepadaku itu memang benar. Hanya saja, prediksi Mom mengenai minus tragedi, sedikit melenceng. Seandainya saja saat itu Mom bisa melihat masa depan.