Sisa perjalanan kami menuju Staten Island dihabiskan hanya dengan berdiri sambil berpelukan seperti itu.
Setelah feri berlabuh, Mike terus menggenggam tanganku saat menuruni feri. Kami tidak sempat berlama-lama di Staten Island, karena kami harus segera menaiki feri lain yang akan membawa kami kembali ke Manhattan. Kalau tidak, kami harus menunggu selama 30 menit untuk kembali. Mike dan aku berlari-lari sambil bergandengan tangan mengejar feri yang akan membawa kami pulang, sambil cekikikkan seperti layaknya anak remaja.
Dalam perjalanan kembali ke pulau Manhattan, penumpang feri malah lebih sedikit dibandingkan saat kami berlayar ke Staten Island tadi. Aku dan Mike kembali memilih dek paling atas. Hanya ada satu penumpang yang sedang tertidur di bangku ketika kami tiba. Mike dan aku berpindah ke sisi lain dek dan bersyukur ketika mendapati tidak ada satu pun orang di sana.
Kami berdua duduk di bangku yang menghadap langsung ke sungai Upper Bay. Aku menyandarkan sisi kepalaku ke pundak Mike, sementara Mike menyandarkan sisi kepalanya di atas kepalaku, tangan kami yang terjalin ditaruh di atas pangkuannya. Di dalam perjalanan, Mike terus saja berkata betapa dirinya sangat bersyukur bisa menemukan diriku di sini. Lalu aku bilang kepadanya kalau Mike harus berterima kasih kepada Amber yang telah mengajakku menonton festival musik itu.
"Aku ingin bertemu dengan temanmu itu. Aku ingin mengucapkan langsung rasa terima kasihku padanya," katanya.
Seketika aku diingatkan oleh permintaan Amber kepadaku tentang keinginannya. Agak aneh rasanya ketika aku mengeluarkan secarik kertas dan meminta Mike menandatanganinya. Mike pun terkekeh-kekeh saat sedang menuliskan ucapan terima kasih untuk Amber di bawah tanda tangannya.
Tiba-tiba Mike berubah gugup.
Dengan takut-takut dia berkata, "kau tahu aku selalu memikirkanmu tentang—" dia menarik napas.
Tak lama dia melanjutkan, "tentang—dengan siapa kau berhubungan. Kau tahu, setiap kali aku memikirkan kau memiliki kekasih atau siapa teman tidurmu, dan kau…...." dia menghela napas panjang, seakan kata-kata itu terlalu berat untuk dikatakan.
Lalu genggaman tangannya padaku mengencang, sampai aku cukup merasa kesakitan. Mike gemetar di sampingku.
Aku mengerti apa yang sedang dirasakannya. Aku pun selalu begitu setiap memikirkannya bersama dengan wanita lain. Dadaku akan terasa sangat sesak dan hatiku terasa nyeri.
"Apa sekarang kau—memiliki kekasih, Lana?" tanyanya, terbata-bata. Mike tidak menatapku ketika bertanya. Raut wajahnya mengeras, dia cemburu.
Oh Mike...
Kuremas tangannya. "Hey," lalu kuraih wajahnya dengan satu tanganku yang lain, sehingga Mike menghadapkan wajahnya kepadaku. Ekspresinya merengut. Mike tampak imut jika merengut begitu. Perasaanku jadi tercabik antara kasian dan ingin tertawa.
Kuberikan senyuman sebelum berkata. "Aku tidak pernah memiliki kekasih selama kita berpisah, Mike."
Dia terperangah.
Perlahan raut wajahnya melembut ketika sudah mendengar pengakuanku. Dia menghembuskan napas lega—yang mungkin sedari tadi ditahannya. Lalu senyumannya melebar, raut wajahnya kembali berseri-seri.
"Benarkah?" tanyanya.
Aku mengangguk mantap.
Dia kembali mendesah lega.
"Thanks God."
Kurasa aku mendengarnya berkata begitu.
Saat kami tiba di terminal Staten Island Ferry, waktu sudah menunjukkan pukul 3.00 dini hari. Dengan berat hati kami harus menyudahi perjalanan kami yang tidak akan pernah terlupakan ini. Aku dan Mike memutuskan untuk menaiki Uber menuju ke apartemenku. Mike bersikeras ingin mengantarkanku pulang—pastinya, aku sangat senang sekali dengan tawarannya itu.
Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tidak ingin mengakhiri malam ini. Lebih tepatnya, aku tidak ingin malam ini berakhir tanpa dirinya.
Bagaimana nasibku setelah ini, ya? Batinku.
Sepanjang perjalanan, di dalam mobil, kami berdua tidak banyak berbicara. Aku cukup kelelahan dan kurasa Mike pun begitu. Mike terus menggenggam tanganku dengan erat dan menaruhnya di atas pangkuannya. Aku lalu menggeser posisi dudukku lebih merapat kepadanya. Kemudian kusandarkan kembali kepalaku di pundaknya. Rasanya sungguh menenangkan, sampai aku terbuai untuk terlelap. Tak lama dari situ, kurasakan kepala Mike pun bersandar di atas kepalaku. Aku mendesah lega.
Kalau saja kami dalam kondisi yang tidak seperti ini. Mungkin aku sudah melompat ke atas pangkuannya dan membenamkan wajahku ke dalam lekuk lehernya, memeluknya erat—seperti yang selalu kulakukan dulu.
Dorongan untuk melakukan hal tersebut besar kurasakan.
Tapi, sebisa mungkin kutahan. Ini bukanlah waktu yang tepat, kataku dalam hati.
Kurasakan ibu jari Mike mengelus-ngelus lembut kulit tanganku. Gerakannya bolak-balik, tapi kadang-kadang melingkar. Seketika aku kembali menjadi Lana berusia 17 tahun. Dengan hanya sentuhan yang sederhana seperti itu darinya, aku sudah merasa jatuh cinta.
Setelah beberapa kali menghembuskan napas, rasa kantuk mulai menyerangku. Sedetik kemudian, aku pun terlelap.
Aku kembali berada di apartemenku di Los Angeles. Sedang memeluknya di atas tempat tidur kami. Tubuh Mike terasa hangat dan otot-ototnya terasa keras dalam dekapanku. Aku bisa mendengar detak jantungnya di telingaku. Dada bidangnya naik turun ketika dia sedang bernapas. Aku mendesah senang, karena kami akhirnya kembali seperti ini. Kami kembali bersama, dan aku berada dalam dekapannya lagi. Hmm...
"Bangun, sleepyhead," suara Mike terdengar lembut di telingaku. Aku bisa merasakan napasnya berhembus menerpa wajahku. Kubenamkan kembali wajahku di dadanya. Lalu kurasakan kedua lengannya mengencang di tubuhku.
Mike..
"Lana, kita sudah sampai," katanya lagi, seraya menyibakkan rambut yang menutupi wajahku.
Aku mengerang.
Kita sudah sampai? Bukankah kita sedang berbaring di atas tempat tidur kami di Los Angeles?
Kemudian aku merasakan sesuatu melambat, lalu sayup-sayup kudengar suara deru mesin mobil.
Suara deru mesin?
Oh tidak!
Aku kembali dihempaskan ke kenyataan.
Seketika itu pun aku tersentak bangun dari tidurku. Dan terperanjat saat mendapati diriku sudah berada di atas pangkuannya, dengan kedua lengannya yang melingkar, mendekap tubuhku.
Bagaimana bisa aku berakhir di atas pangkuannya seperti ini? Aku benar-benar tidak ingat.
Dengan kikuk dan jantung yang berdebar kencang, kuberanikan diri untuk menatapnya. Mike sedang tersenyum manis ketika aku melihatnya. Kedua matanya memancarkan rasa kasih sayang dan kerinduan? Ya tuhan tatapan itu.
"Maaf," ucapku, dengan suara bergetar.
Cepat-cepat aku turun dari pangkuannya, dan duduk kembali di tempatku semula seraya merapihkan rambut dan penampilanku.
"Ng…. sudah sampai?" tanyaku, aku melihat ke arah jendela mobil.
Tanpa melepaskan tatapannya padaku, Mike mengangguk.
Debaran jantungku semakin cepat saat kami saling tatap. Ya ampun!
Buru-buru kualihkan pandanganku darinya dan berkata, "Umm—baiklah, well, terima kasih sudah mengantarku pulang." Kusampirkan tas ke pundakku.
Mike tidak menjawabnya, dia hanya menganggukkan kepala.
Setelah beberapa saat dalam kecanggungan lagi, aku lalu teringat akan satu hal. Kukeluarkan dompet dari dalam tasku. Tapi kemudian tangan Mike meraihku. Refleks, aku langsung menarik napas dan menoleh kepadanya.
Mike menggelengkan kepalanya. "Aku sudah membayarnya," dia memberitahu.
Oh.
Lalu aku memberinya senyuman canggung. "Terima kasih."
Mike mengangguk lagi, masih menatapku tanpa berkedip. Namun Ekspresi wajahnya berubah menjadi sedih. Aku merasakan apa yang sedang dirasakannya.
Dengan berat hati, aku harus segera keluar dari dalam mobil.
Inilah saatnya, kami harus berpisah lagi. Aku tidak tahu apakah kami akan bertemu kembali atau tidak; hal itu membuatku takut.
Aku menatapnya lagi untuk… mungkin yang terakhir kali.
Aku tidak ingin ini berakhir! Jeritku dalam hati.
Tapi, aku harus merelakan ini semua. Karena cepat atau lambat kami pasti menghadapi saat-saat ini. Kami harus kembali ke dunia dan kehidupan kami masing-masing.
Aku sungguh membenci perpisahan, demi tuhan!
Kutarik napas sekali lagi, setelah itu kubuka pintu mobil.
"Bye, Mike," ucapku tanpa melihat ke arahnya. Aku tak sanggup.
Sebisa mungin kutahan air mataku yang mendadak sudah menuntut untuk keluar.
Tanpa repot-repot menunggu respon darinya, aku pun bergegas keluar. Tapi ketika hendak akan menutup pintu, kurasakan ada sesuatu yang mengganjal. Aku menoleh untuk memeriksa, ternyata tangannya sedang menahan pintu tersebut.
Aku terkejut saat mendapati Mike keluar dari dalam mobil, dan menutup pintunya.
"Kumohon, jangan ada lagi ucapan perpisahan," ujarnya, yang sekarang sudah berdiri tepat di hadapanku.
Beban yang beberapa saat tadi kembali terasa di atas kedua pundakku, perlahan mulai menghilang setelah Mike berkata seperti itu. Aku bisa merasakan bibirku perlahan tertarik ke samping. Senyumanku pun kembali.
Beberapa detik kemudian, Uber pun berlalu.
Sekarang, kami berdua terlihat seperti dua remaja yang sedang kasmaran; berdiri berhadapan di pinggir jalan, saling melempar senyuman malu-malu kepada satu sama lain.
Anehnya, kali ini rasanya lebih mendebarkan ketimbang pada saat berada di atas feri tadi.
Mike berdeham. "Umm... kau tidak akan mempersilahkanku masuk?" tanyanya malu-malu.
Otomatis kucubit tanganku sendiri. Aku takut kalau aku sedang bermimpi lagi. Tapi ketika kurasakan sengatan pada tanganku, maka bisa kupastikan kali ini aku tidak sedang bermimpi.
Sungguh, ini semua benar-benar di luar dari dugaanku. Mendapati dirinya sedang berdiri sekarang di depan gedung apartemenku di New York, rasanya seperti—aku tidak tahu, sebuah keajaiban?
"Oh! Tentu," jawabku gelagapan.
Aku mengajaknya berjalan menuju pintu depan gedung apartemenku, sembari merogoh tasku untuk mengambil kunci.
Saat kami sudah berada di pintu depan gedung, Kulihat dari sudut mataku, Mike sedang memperhatikanku dengan sabar. Aku sangat gugup mendapati kenyataan kalau dirinya ada di sini. Saking gugupnya beberapa kali aku gagal membuka kunci, tapi akhirnya aku berhasil.
"Selamat datang di apartemen yang seadanya ini," candaku.
Mike terkekeh. Lalu mengikutiku menaiki tangga menuju apartemenku.
"Disini tidak ada lift," aku memberitahunya. "Apa yang kuharapkan dengan hanya 1800 dollar per bulan? Dapat apartemen murah saja aku sudah bersyukur. Meskipun ini masih belum cukup murah bagiku," lanjutku, mengangkat kedua bahu.
"Hmm," Mike hanya menganggukkan kepalanya. "Gedung ini berapa lantai?"
"Empat lantai."
"Apakah di sini aman?" tanyanya lagi.
Ketika aku melirik ke arahnya, kudapati kedua mata Mike sedang mengobservasi sekeliling apartemen.
"Sejauh ini aman-aman saja, karena aku pasti akan segera tahu jika ada tetanggaku yang ternyata seorang pembunuh berantai," candaku lagi sembari terkekeh.
Mike tidak ikut terkekeh kali ini, dia nampak tidak senang dengan ucapanku.
"Lana, jangan bercanda. Kau memang senang membuatmu khawatir, hah?"
Aku menoleh kepadanya. Dia sedang menatapku dengan wajah serius. Tiba-tiba aku jadi merasa bersalah sekaligus gembira mengetahui dirinya mengkhawatirkanku.
"Sorry."
Aku menghembuskan napas lega ketika kami tiba tanpa hambatan di depan pintu apartemenku di lantai 3. Sepanjang menaiki tangga tadi, aku berdoa dalam hati semoga tidak ada yang berpapasan dengan kami. Karena aku tidak mau para tetanggaku sampai tahu kalau seorang rock star yang mereka sukai sedang berada di sini dan membuat kehebohan. Aku berkata seperti itu karena aku yakin sekali kalau setengah dari para penghuni apartemen ini adalah penggemar Infinity Dusk. Aku pernah mendapati beberapa di antaranya sedang mendiskusikan lagu-lagu Infinity Dusk. Malah tetanggaku di lantai 2, sering terdengar sedang menyetel lagu-lagu dari album Morbid atau Enigma setiap kali aku berjalan melewati pintunya kala aku akan pergi bekerja.
"Here we are," kataku, seraya membuka kunci, setelah itu membuka pintunya lebar-lebar.
Mike memandang ke sekeliling bagian dalam apartemenku dari ambang pintu. Dia tidak beranjak. Aku menunggunya sejenak.
"Jadi ini apartemen 1800 dollar per bulan?" dia bertanya.
Aku tahu apa yang sedang ada di dalam pikirannya sekarang. Mike pasti meringis melihat kondisi apartemenku yang memang seadanya ini.
Apartemenku berbentuk studio. Artinya semua terletak dalam satu ruangan, jadi tidak ada dinding pemisah antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Bagian dapur, bagian ruang tamu, bagian tempat tidur, semua menyatu. Kecuali kamar mandi saja yang memiliki ruangan tersendiri.
Aku mengangguk. "Silahkan masuk, anggap saja seperti di rumah sendiri meskipun tidak sebanding," ujarku sambil berlalu masuk ke dalam.
Ketika kutengok, Mike sedang mengikutiku, kemudian menutup pintu di belakangnya.
"Aku tidak akan mengeluh," timpalnya.
Atmosfir di dalam apartemenku langsung berubah seketika. Padahal tema apartemenku ini jauh dari kesan feminin, namun ketika Mike masuk, testosteron mulai mengisi semua sudut ruangan. Mike terlihat terlalu jantan berada di dalam ruangan ini.
Aku berjalan ke dapur, menaruh tasku di atas meja makan, lalu membuka kabinet dan mengeluarkan dua gelas. Kemudian meletakkannya di atas counter dapur.
"Kau ingin minum?" kubuka lemari pendingin.
Mike menghampiriku, lalu bersandar ke counter dapur. "Boleh," jawabnya.
"Well, aku tidak memiliki banyak pilihan minuman di sini. Hanya ada kopi hitam, wine dari bulan kemarin, lemonade, minuman berenergi, air mineral, susu," aku mengumumkan seraya memeriksa satu per satu stok minuman dan makanan yang masih tersisa di dalam lemari pendinginku. Sepertinya aku butuh berbelanja, aku mengingatkan diriku sendiri.
"Kalau begitu aku akan minum apa pun yang kau minum," katanya.
Aku menimbang-nimbang pilihanku sejenak. Sebenarnya aku butuh tequila atau whiskey, aku perlu sesuatu yang cukup kuat untuk menenangkan perasaan gugupku karena kehadirannya di sini.
Ya! Dia ada di sini sekarang! Di apartemenku! Astaga! aku masih belum bisa mempercayainya!
Kujatuhkan pilihanku ke satu-satunya wine yang kupunya. Kuambil wine, lalu aku berbalik menghadap Mike dan mulai menuangkannya ke dalam gelas-gelas tadi.
Kami berdua terdiam selama beberapa saat; yang kami lakukan hanyalah menyesap wine di dalam gelas masing-masing.
Mike melihat lagi ke sekeliling, kedua matanya kadang tertuju kepada foto-foto yang tergantung di dinding di ruang tamu. Lalu mengamati foto-foto yang ada di lemari tv. Setelah itu, kedua matanya kembali menelusuri sekeliling.
Mungkin aku tahu apa yang ada di dalam benaknya ketika melihat foto-fotoku itu. Ya, aku sudah tidak lagi menyimpan dan memajang foto-fotonya. Aku meninggalkan semua foto dirinya di dalam box yang kusimpan di kolong tempat tidurku di Santa Monica. Aku tidak membawa barang kenangan akan dirinya kemari. Mungkin hanya satu, gelang pemberiannya dulu.
"Apa kali ini kau betah tinggal di sini?" tanyanya tiba-tiba. Dia tidak melihatku ketika bertanya. Sambil menyesap wine-nya, Kedua mata Mike tertuju ke tempat tidurku yang berada di seberang ruang tamu.
Aku jadi teringat apartemenku yang berada di Los Angeles dulu. Apartemen itu jauh lebih nyaman ketimbang di sini.
"Kalau aku boleh jujur pada awalnya, tidak begitu. Tapi kali ini aku cepat beradaptasi. Dan seiring waktu berlalu aku pun mulai betah. Sebenarnya betah tidaknya kita yang buat sendiri. Dan aku juga sudah capek kalau harus pindah apartemen lagi," jelasku, sambil mengangkat kedua bahu.
Mike menatapku cukup lama, kemudian mengangguk. "Baguslah," katanya, lalu menyesap wine-nya lagi.
"Karena menurutku, apartemen ini terlihat cukup nyaman. Meski lebih kecil dari apartemenmu dulu di L.A," lanjutnya.
Aku setuju. "Ya, aku tidak akan mengharapkan lebih di New York. Mengingat pekerjaanku sekarang."
Setelah aku berkata demikian, Mike tidak berkata apa-apa lagi. Yang dilakukannya hanya menyesap wine sampai habis.
"Kau mau lagi?" aku menawarinya, seraya meraih botol wine.
Mike menggeleng. "Tidak usah. Sudah cukup untuk sekarang," dia menatapku.
Tatapan itu.
Aku menghentakkan napas cepat sebelum berpaling darinya. Kemudian aku berbalik menghampiri lemari pendingin dan membukanya kembali, memeriksa isinya sekali lagi.
Sebenarnya aku hanya ingin menenangkan perasaanku yang sangat gugup ini tanpa membuatnya curiga. Kupejamkan kedua mataku sejenak sembari menghela dan menghembuskan napas berkali-kali.
Mengapa aku merasa gugup sekali?
Kembali berada dalam satu ruangan hanya berdua bersamanya, ternyata perasaan gugupku terasa lebih intens.
Tapi kembali aku diinterupsi oleh rasa lapar yang tiba-tiba menyerangku. Namun, aku sungguh bersyukur karena setidaknya ada sesuatu yang bisa kulakukan.
"Kau lapar?" tanyaku. Kemudian aku menoleh kepadanya.
"Ng… sepertinya begitu," Mike menjawab, sambil meraba perutnya. Perut kencangnya.
Dulu sewaktu aku masih menjadi kekasihnya, Mike belum memiliki otot perut six-pack, tapi otot perutnya sangat kencang dan rata. Sekarang, perutnya berubah.
Pada suatu hari sepulangnya aku bekerja, saat itu aku melewati kios majalah, tanpa sengaja kulihat dirinya ada di sampul depan sebuah majalah dewasa. Mike berpose topless (tidak mengenakan atasan) di foto itu. Kuhentikan langkahku seketika saat melihat majalah tersebut, dan tanpa ragu lagi aku langsung membelinya. Aku tersenyum-senyum sendiri ketika menatap foto Mike di sampul majalah itu, terutama saat menatap bagian perutnya yang six-pack. Sekarang aku ingin melihat perut six-pack itu secara langsung.
Shit! Apa yang sedang kau pikirkan, Lana!
Buru-buru kupalingkan pandanganku darinya ke dalam lemari pendingin lagi.
Kupaksakan perhatianku untuk fokus kembali ke isi lemari pendingin, dan merasa lega ketika kutemukan beberapa sayuran dan dada ayam yang sempat terlupakan. Dengan segera kuambil semua itu dari dalam sana.
"Aku juga lapar. Kalau begitu, aku akan memasak sesuatu," seruku seraya membalikkan badan dan berjalan kembali ke counter. Bahan-bahan makanan yang sudah kuambil tadi kutaruh di atasnya.
"Apa yang akan kau buat?"
Aku berpikir sejenak. "Umm.... mungkin salad ayam.
Berhubung bahan-bahan yang kupunya hanya tinggal ini saja," balasku sembari menunjuk apel, kacang walnut, daun bawang, beberapa tomat dan seledri, serta ayam yang ada di hadapanku.
"Butuh bantuan?" Mike berjalan mengelilingi counter dapur, sedetik kemudian kudapati dirinya sudah berdiri di sampingku.
"Tidak perlu repot-repot membantuku. Hanya salad. Kau duduk saja," aku menoleh sambil melemparkan senyuman padanya.
Dia menggelengkan kepala. "Aku ingin membantu," katanya keras kepala.
Oookee...
"Hmm..." aku mengetukkan jari telunjuk ke bibirku.
Apa yang harus dia kerjakan? Pikirku.
"Kau bisa mencuci sayurannya," ujarku, sambil menunjuk ke semua sayuran yang sudah kutaruh ke dalam keranjang saring.
"Oke," dia membawa semua sayuran itu ke sink. Dan mulai mencucinya.
Diam-diam aku melirik ke arahnya. Mike melakukan semua itu dengan cukup baik. Aku jadi teringat masa lalu ketika dia suka ikut nimbrung kala Mom dan aku sedang berada di dapur rumahku. Tentunya Mom yang akan memasak, sementara aku memotong apa pun yang Mom perintahkan. Sedangkan Mike, Mom selalu menyuruhnya untuk mencuci sayuran, atau menata peralatan makan di atas meja.
Tanpa sadar, aku sedang tersenyum-senyum sendiri.
"Rasanya tidak ada yang berubah," dia mengagetkanku.
Cepat-cepat kualihkan perhatianku kembali ke dada ayam yang akan kupotong.
"Hah?" aku menoleh kepadanya, berpura-pura tidak memperhatikan.
Mike mengeringkan semua sayurannya terlebih dulu, lalu kembali berdiri di sampingku dan menaruh sayuran yang sudah dicucinya di atas counter.
"Iya, sudah jelas kan, kalau tugasku tidak pernah berubah dari dulu. Selalu aku yang mencuci sayuran," katanya, melambaikan sebelah tangan ke sayuran-sayuran itu.
Ternyata dia juga ingat.
Aku terkekeh, yang kemudian disusul olehnya.
"Well, karena kau pasti mengacau kalau melakukan hal yang lebih dari itu," ledekku, kunaikkan sebelah alisku kepadanya
"Ouh, jadi menurutmu aku tidak bisa melakukan lebih dari itu?" Mike menaikkan kedua alisnya. "Baiklah, akan kubuktikan kalau aku juga sudah bisa memasak sekarang. Berikan itu kepadaku!" serunya seraya meraih pisau dari tanganku.
Tapi dengan cepat aku menghindar. Kurentangkan tanganku yang sedang memegang pisau sejauh mungkin dari jangkauannya.
"No! Aku bilang kau akan mengacaukannya," sanggahku.
Tanpa diduga-duga, Mike melangkah maju ke hadapanku, dekat sekali. Lalu Mike meraih tanganku yang tidak sedang memegang pisau, kemudian dia menariknya, sehingga tubuh bagian depanku membentur dadanya. Oh tuhan!
Kemudian yang kudengar selanjutnya hanyalah suara pisau yang kupegang, jatuh membentur counter dapur.
Jika menurutmu apa yang terjadi selanjutnya seperti apa yang kau bayangkan, mungkin memang benar.
Sedetik kemudian yang kutahu adalah aku sudah berada dalam dekapannya lagi. Mike melingkarkan kedua lengannya di pinggangku. Kuangkat kedua tanganku dan bertumpu pada bahunya. Tatapan kami saling bertemu.
Mike menatapku dengan begitu intens, sehingga aku nyaris tidak memiliki kekuaatan untuk berpaling darinya—kalaupun memang aku memiliki kekuatan sekalipun, aku tidak ingin berpaling darinya lagi.
Kami hanya seperti itu; berdiri saling berhadapan, Mike mendekapku dan saling menatap satu sama lain.
Rasanya berbeda dengan saat kami berada di atas feri tadi. Kali ini udara di sekitar kami terasa sangat menuntut.
Dengan sendirinya kedua tanganku bergerak, menelusurinya. Perlahan kuraba kedua pundak Mike yang terasa keras di bawah kedua telapak tanganku. Tanpa melepas pandanganku darinya, kuraba kedua lengannya, yang sekarang lengan itu tampak berotot dari sebelumnya. Mike mengencangkan dekapannya padaku seakan-akan dia ingin melenyapkan tubuhku ke dalam tubuhnya. Kedua tanganku kembali meraba kedua pundaknya, lalu meraba leher kokohnya. Ketika aku sedang membelai lehernya dengan ibu jariku, kulihat kedua kelopak matanya bergetar hampir terpejam, dan bibirnya terbuka sedikit. Kudengar napasnya memburu.
Aku sungguh bahagia dan bersyukur sekali malam ini, karena telah mendapatkan kembali keistimewaan untuk menyentuhnya lagi. Aku hampir kewalahan dengan rasa suka cita ini, sehingga rasanya aku ingin menangis saking terharu.
Mike menikmati sentuhanku. Aku senang kembali melihatnya seperti ini; membuatnya tidak berdaya di bawah sentuhanku. Perlahan Mike menurukan wajahnya kepadaku, dengan seketika jantungku berhenti berdetak. Napasku tersentak. Dia menyandarkan dahinya di dahiku. Hidung kami saling bersentuhan. Oh! Apakah kami akan berciuman, batinku.
Awalnya kupikir dia akan menciumku, tapi ternyata Mike hanya diam seperti itu. Kulihat kedua matanya terpejam.
Rasanya seperti sudah berjam-jam kami terdiam dengan posisi seperti itu, tetapi mungkin hanya beberapa detik saja.
Dengan kedua mata yang masih terpejam, Mike akhirnya berbicara. "Bisakah kita seperti ini saja?" suaranya terdengar sangat dalam, sehingga kupu-kupu di dalam perutku kembali terbangun, menggelitik, lalu berterbangan.
Aku mengangguk pelan.
Percayalah, aku pun ingin seperti ini saja, Mike.
Kulepas topi yang sedari tadi dikenakannya, dengan tanpa menoleh, kutaruh topi itu di atas counter. Jari jemariku menyisir rambut hitam lurusnya, dan menggaruk lembut kulit kepalanya. Mike selalu menyukai jika aku melakukan hal ini. Setelah itu dengan perlahan kutarik-tarik rambutnya. Kudengar Mike mengerang pelan. Aku tersenyum bahagia.
"Kita pesan sesuatu saja. Aku tidak ingin melepasmu," gumamnya. Kali ini kedua matanya terbuka lebar, dia menatapku.
Aku tidak bisa menggambarkan bagaimana lebih tepatnya perasaanku saat ini. Bahagia, senang, rasanya kata-kata itu kurang begitu mewakili perasaanku. Sebab aku merasakan lebih daripada itu semua.
"Kau tidak ingin memakan masakanku? Sayang sekali," godaku. Aku pura-pura cemberut.
Mike terkekeh. "Bukan begitu. Hanya saja kalau kau memasak, artinya aku harus melepasmu. Aku tidak menginginkan itu," tatapannya serius.
Kubelai kedua pipinya. "Kau masih bisa memelukku saat aku sedang memasak."
Dia menjauhkan wajahnya dariku. Mike mengamatiku sejenak.
"Kau tidak ingin memelukku juga?" tanyanya. Wajahnya ditekuk.
Aku tidak bisa menahan kekehanku saat melihatnya seperti itu. Mike yang manja. Dari dulu aku menyukai sisi manjanya, selalu.
Aku mendesah. "Baiklah, kita pesan makanan saja kalau begitu," kataku.
Tanpa berpikir panjang aku mengecup bibirnya.
What the hell!
Aku terkesiap ketika tersadar apa yang telah kulakukan terhadapnya itu.
"Maafkan aku!" pekikku seraya membekap mulutku dengan kedua tangan.
Mike sama terkejutnya denganku. Kedua matanya melebar dan napasnya tersentak. Tapi bedanya dia pulih dengan cepat.
"Kau tidak perlu meminta maaf, Lana," serunya, menatap kedua mataku lekat-lekat.
Setelah sekian lama, ternyata tarikan itu tidak pernah padam. Seperti medan magnet yang akan selalu menarik apa pun yang ada di sekitarnya. Mike seperti itu terhadapku. Hanya saja beberapa hari yang lalu sampai pada beberapa menit sebelumnya, dengan sekuat tenaga aku berusaha menahannya. Tapi pada akhirnya aku hilang kendali juga, yang berakhir dengan mengecupnya barusan.
Kurasa aku baginya pun seperti itu. Karena setelah aku mengecupnya, Mike kembali menundukkan wajahnya kepadaku. Setelah itu kau bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.
Mike mencium bibirku dan aku menyambutnya.
Kami berciuman di dapurku. Dari ciuman yang awalnya lembut hingga menggairahkan. Membangkitkan semua sistem di dalam diriku.
Tiga tahun lamanya, aku harus bergelut dengan rasa rindu akan sentuhan dan rasa cintanya terhadapku. Namun pada malam ini semua itu seolah terbayar. Kerinduanku yang sudah membucah di dalam dada, tanpa bisa kutahan lagi, akhirnya meledak ketika Mike menciumku seperti itu.
Kami berciuman sementara kedua tanganku dengan rakus menjelajahi tubuhnya. Mulai dari dadanya yang bidang, pundak, lengan, leher lalu kugenggam rambut hitamnya. Mike melakukan hal yang sama. Aku tersengat ketika dirinya meraba punggungku, leher, pinggangku, lalu satu tangannya kembali meraih leherku dan memegangnya. Sedangkan satu tangan yang satunya melingkar di pinggangku, mendekapku sangat erat. Aku bisa merasakan jari-jemarinya menancap ke dalam kulitku. Sedikit menyakitkan, tapi tidak kupedulikan.
Aku yakin kami sudah menghabiskan waktu berjam-jam, karena rasanya cukup lama kami berciuman seperti itu.
Tak lama berselang, Mike mulai melepaskan ciumannya padaku. Kami kehabisan napas. Kami berdua pun terengah-engah, kemudian saling bersandar ke dahi masing-masing kembali. Kulihat kedua bibirnya memerah, lipstik merahku menodainya. Kuraba bibir itu menggunakan ibu jariku, dan menyeka noda lipstik yang menempel pada bibirnya. Entah mengapa aku selalu menganggapnya seksi jika lipstikku sudah menempel seperti itu pada bibirnya.
"Barusan itu cukup intens," candanya. Lalu dia tersenyum.
Aku mengangguk. "Ya," bisikku di hadapannya, dengan masih meraba-raba bibirnya.
Kami terdiam lagi.
Dan....
"Aku mencintaimu, Lana," desahnya.
Hatiku rasanya mau jatuh mendengar kalimat itu lagi darinya kali ini, tidak seperti sebelumnya. Aku tidak mengerti, tapi sekarang kalimat itu kembali direspon seperti seharusnya; membuatku terbang tinggi.
Tak disadari aku sudah terisak, air mataku mengalir deras dari kedua mataku tanpa bisa kucegah.
"Aku... mencintaimu, Mike," bisikku, sambil terisak-isak. "Selalu."
Mike menatapku dengan ekspresi bahagia luar biasa. Kuperhatikan kedua matanya pun berkaca-kaca. Setelah itu Mike memelukku erat ke tubuhnya.
Aku menangis tanpa suara di dadanya, seraya meremas t-shirt hitamnya. Mengeluarkan semua kesedihan, kegalauan, kerinduan, dan rasa cinta yang tak pernah padam kepadanya selama tiga tahun ini. Mike mendekapku begitu erat, sembari mengecup puncak kepalaku berulang-ulang, sementara aku masih terisak-isak dalam dekapannya.
Rasanya seperti merasa utuh kembali. Sebagian dari diriku yang sempat hilang, telah kutemukan lagi. Dunia pun terasa benar setelah sekian lama dalam kekacauan. Segala macam penderitaan, kesakitan yang pernah melanda, akhirnya sembuh dan menghilang pergi. Rasanya begitu tenang dan damai.
Akhirnya, aku kembali bernyawa setelah tiga tahun merasa mati.
Waktu dan bumi ini, ingin sekali rasanya untuk menghentikannya. Aku ingin waktu berhenti di saat ini. Aku ingin bumi berhenti berputar kali ini. Aku ingin semua berakhir di sini. Karena Aku dan Mike, kami sudah menemukan jalan kembali kepada satu sama lain. Kami telah kembali bersama. Dia mencintaiku, begitu pula aku kepadanya. Lantas apalagi? Aku takut jika waktu terus berjalan dan bumi masih berputar, momen ini akan kembali berubah. Aku takut jika harus mengalami kehilangan dirinya lagi. Aku sudah terlalu lelah jika harus kembali hidup tanpa dirinya. Mengapa semua itu tidak berhenti di sini saja? Agar kami bisa terus seperti ini selamanya.
...
Sinar matahari menuntutku untuk membuka kedua mata. Menyakitkan rasanya mendapati sinar terang menusuk ke dalam kedua mataku meskipun sedang terpejam. Aku menyerah, lalu perlahan kubuka kelopak mata dan mendapati sinar matahari sedang memblokir penglihatanku. Terang sekali sinarnya sehingga membutakanku. Kunaungi penglihatanku menggunakan sebelah tangan. Samar-samar kulihat jendela apartemenku terbuka. Aku kemudian ingat, oh ya aku lupa menurunkan tirainya semalam.
Baiklah, akan kututup tirainya, batinku.
Tapi kemudian sebuah realita menghantamku. Dan aku sungguh bersyukur ketika mendapati kenyataan itu pagi ini.
Aku tengah berbaring bersamanya di atas tempat tidurku.
Kami berdua hanya berbalut selimut quilt musim panasku. Mike berbaring terlentang, sementara aku tengkurap dalam dekapannya. Satu tangan Mike melingkar di pinggangku.
Dengan grogi kuangkat sedikit wajahku dari dadanya.
Senyumanku perlahan mengembang ketika aku melihatnya. Mike masih tertidur dengan lelap dan damai. Aku berpikir mungkin ini pertama kali dirinya bisa tidur nyenyak tanpa bantuan obat penenangnya. Semalam, Mike tidak memakan obatnya itu. Aku tersenyum lega.
Kuamati kembali wajahnya. Wajah tampannya selalu terlihat polos ketika sedang tertidur. Aku tidak bisa menahan doronganku untuk menyentuhnya, maka tanpa berpikir dua kali kutelusuri dengan lembut wajah itu menggunakan ujung jari telunjukku.
Mulai dari rambutnya, dahi lebarnya, kedua alisnya yang tebal. Kemudian ke kedua matanya yang masih terpejam. Lalu kusentuh hidungnya, perlahan turun ke bibirnya. Hatiku kembali bergetar ketika kusentuh bibirnya. Bibir itu masih terlihat memerah dan sedikit membengkak.
Seketika aku mengenang tentang tadi malam, tubuhku gemetar ketika mengingat apa saja yang sudah dilakukannya terhadapku dengan bibir itu. Lalu aku beralih ke dagunya yang berjanggut. Dia tetap mempertahan janggut itu dari semenjak kami lulus dari SMA.
Aku sudah sangat hafal dengan wajah itu; setiap lekukannya, setiap bentuknya, jarak antara kedua alis dengan hidungnya, bentuk matanya, bibirnya. Aku pun hafal dengan bekas luka yang ada di bawah dagunya.
Mike mendapatkannya ketika dia terantuk gitar Seth di atas panggung saat mereka sedang manggung di sebuah bar di Santa Monica. Aku meringis ketika melihat darah mengucur deras dari dagunya kala itu. Mike pun harus mendapatkan delapan jahitan karenanya.
Dulu, Aku sering melakukan hal ini kepadanya setiap kali terbangun dari tidurku. Aku akan menyentuh dan mempelajari wajahnya—menyimpannya dalam ingatan. Aku penasaran apakah Mike pernah melakukan hal yang sama kepadaku bila aku sedang tertidur. Sampai saat ini aku belum pernah memergokinya.
Kuturunkan pandanganku dari dagu ke dadanya yang sedang naik turun akibat bernapas. Dada itu. Sekarang dada lebarnya tampak sangat kekar. Warna kulitnya pun terlihat lebih eksotis dari sebelumnya. Seketika itu pula aku melirik ke arah perutnya. Jantungku kembali berdebar kencang ketika mengingat malam tadi, saat aku meraba perut six-pack-nya. Mike bertanya apa aku menyukainya, setelah aku mengatakan 'sangat', dia menciumku dalam.
Dulu Mike sempat memiliki keinginan untuk membentuk otot perutnya. Dia rewel karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk pergi nge-gym. Padahal aku sudah meyakinkannya kalau aku sudah tidak peduli lagi dengan perut six-pack, aku mencintai dirinya yang apa adanya. Saat itu Mike hanya ketakutan aku akan berpaling darinya karena dia tidak seperti para mantanku yang berperut six-pack. Dia memang agak konyol kadang-kadang.
Kusingkap sedikit selimut quilt milikku yang menutupi perutnya, lalu kuamati perut six-pack itu kembali. Ingin sekali aku merabanya sekali lagi.
Tubuh Mike telah mengalami perubahan yang cukup kentara. Bukan berarti dulu tubuhnya tidak seseksi ini. Mike sudah memiliki tubuh yang berisi dan bugar, malah terbilang seksi. Hanya saja ini lebih atletis dari sebelumnya. Terutama di bagian kedua lengan dan perutnya. Dengan kehidupannya yang sekarang, sudah pasti Mike akan lebih memperhatikan tubuhnya.
Aku kembali teringat wanita-wanita yang pernah berkencan dengan dirinya. Rasa cemburuku menggelitik, aku tidak rela mereka pernah menyentuh, meraba dan merasakan tubuh Mike yang sekarang. Cepat-cepat kukibaskan pikiran tersebut dari dalam kepalaku. Aku tidak ingin hal itu merusak momenku pagi ini bersamanya.
Kupusatkan kembali perhatianku pada wajahnya, kemudian kubelai pipinya. Lalu kukecup.
Aku tidak lagi memperdulikan sinar matahari yang masuk melalui jendelaku yang terbuka. Yang kuinginkan sekarang hanya kembali memeluknya dan berbaring bersamanya, sambil mengenang apa saja yang telah kami lakukan tadi malam.
Setelah kami mendeklarasikan perasaan cinta kami terhadap satu sama lain, Mike membawaku ke tempat tidur—Lebih tepatnya menggendongku. Kami berdua sudah tidak peduli lagi dengan perut lapar serta sayuran dan dada ayam di atas counter dapur. Kami hanya menginginkan satu sama lain.
Kami melakukan hal paling intim yang pernah terampas dari kami berdua. Kami menyatukan kembali jiwa raga kami dalam balutan cinta dan hasrat untuk yang pertama kalinya lagi setelah tiga tahun lamanya. Rasanya sungguh menakjubkan. Mike terus menerus mengucapkan kalimat 'I love you' kepadaku. Kami melakukannya sampai tak tahu waktu, hingga kami sudah merasa sangat kelelahan. Dan ketika sang fajar sudah mengintip dari balik awan siap untuk menampakkan dirinya, kami berdua pun akhirnya terlelap.
Aku tidak pernah membayangkan bahkan bermimpi akan hal ini. Tapi kembali, kenyataan sepertinya telah berpihak kepadaku. Malah lebih dari itu. Kenyataan seperti sedang memberiku semacam penghargaan yang sangat istimewa setelah semua pengorbananku selama ini. Well, sepertinya aku mulai menyukai realita.
Beberapa lama setelah kembali merebahkan kepalaku di atas dadanya, kurasakan Mike bergerak di bawahku. Aku menengadah untuk melihatnya. Ternyata Mike sudah terbangun dari tidur pulasnya. Dia langsung melihatku dengan kedua mata yang masih sayu.
"Selamat pagi," ucapnya. Suaranya berat dan serak. Mike memang selalu terdengar lebih seksi ketika bangun tidur.
"Selamat pagi," balasku.
Dia menatapku. Lalu menyibak rambut yang jatuh menutupi sebelah mataku dengan satu tangannya.
"Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak," gumamnya.
Lalu dia menghembuskan napas panjang. Kemudian dengan perlahan bibirnya menyunggingkan senyuman.
Meski ekspresi wajahnya masih telihat mengantuk, tapi dia tampak berseri-seri. Mike membelai punggungku naik turun, kembali ke rambut panjangku, lalu ke punggungku.
Nyaman sekali rasanya.
"Kau tidak akan memberiku ciuman selamat pagi?" katanya lambat-lambat.
"Kau ingin aku menciummu?" godaku.
Mike menaikkan kedua alisnya. "Bukankah kau selalu seperti itu setiap kali aku bangun tidur?"
Dia ingat. Aku terperangah senang.
Benar sekali, dulu aku selalu menciumnya di pagi hari ketika dia baru terbangun dari tidurnya.
Tanpa berbasa-basi lagi, aku mendekatkan wajahku kepadanya, kemudian menunduk lalu menciumnya dalam.
Satu tangannya menyibak rambutku yang jatuh ke wajahnya, dan menyelipkannya ke belakang telingaku.
"Aku mencintaimu," ucapnya di tengah-tengah ciuman kami.
"Aku mencintaimu," balasku.
Ketika ciuman kami perlahan mulai berubah—yang semula lembut lalu kembali memanas, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara dering ponsel yang entah berasal dari mana. Mike melepas ciumannya dariku dengan segera.
"Sepertinya itu ponselku," gumamnya di bibirku.
Oh.
Aku kesal ketika ponsel itu menginterupsi kami berdua. Aku masih berharap bisa bercinta lagi dengannya.
Aku menatapnya sejenak, kulihat ekspresi wajahnya berubah. Mike mendadak terjaga dan terlihat tegang.
"Aku harus menerimanya," dia memberitahuku.
Dalam sekejap dia sudah bangun dari posisi tidurnya. Mike duduk dengan membelakangiku, dia meraih boxer-nya yang tergeletak di lantai lalu memakainya. Setelah itu meraih celana jeans dan mengenakannya. Tanpa repot-repot memakai kembali t-shirt-nya, Mike berjalan ke arah ponsel itu berada. Ponselnya tergeletak di lantai juga. Aku tidak tahu mengapa ponsel Mike bisa tergeletak di lantai. Semalam kami memang terlalu bergairah sehingga semua pakaian yang kami kenakan berhamburan di mana-mana. Mungkin ponselnya terjatuh, pikirku.
Sembari menarik selimut menutupi dadaku, kuamati punggung berotot Mike dari tempat tidurku. Sekarang dirinya sedang berdiri menghadap ke jendela kamar seraya menerima panggilan.
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas dari sini. Mike hanya bicara sedikit-sedikit, seperti 'aku sedang di luar', 'hmm', kemudian bertanya 'kapan', lalu 'aku akan ke sana', lalu dia memutus panggilannya. Setelah itu Mike menunduk menatap ponselnya cukup lama, seperti sedang membaca pesan. Lalu mulai mengetik sesuatu.
Aku bertanya-tanya di dalam hati, apa yang sedang terjadi.
Tak lama dari situ, Mike memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Kemudian berbalik dan berjalan ke tempat tidur.
Kuamati, ekspresi wajahnya tampak tegang, mulutnya terkatup rapat. Tapi saat dia melihatku ekspresinya seketika berubah. Wajahnya kembali berseri-seri.
Mike merangkak kembali ke atas tempat tidur dan berbaring di atasku sambil memelukku erat.
Dia mendadak jadi pendiam.
"Ada apa?" tanyaku seraya mengelus-elus punggungnya.
Mike hanya menyembunyikan wajahnya ke dalam lekuk leherku. Dia tidak menjawab.
Tapi kemudian sesuatu yang kutakutkan terjadi.
"Sepertinya aku harus pergi," gumamnya di leherku. Nada suaranya terdengar tidak senang.
Aku diam membeku.
Aku tidak menginginkan ini berakhir cepat. Aku tidak ingin dia pergi. Tolong, jangan pergi lagi dariku.
Mike merasakan sikap diamku ini. Karenanya dia mengangkat sedikit tubuhnya untuk melihatku.
"Aku akan menghubungimu. Aku berjanji," tegasnya. Tatapannya meyakinkanku.
Aku masih tidak berkata apa-apa. Yang kulakukan hanya memandangi bibirnya.
"Baby...."
Kupaksakan diri untuk kembali menatap kedua matanya.
"Aku harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dulu. Setelah itu aku akan menghubungimu. Dan aku akan segera kembali kemari," jelasnya.
"Kau bekerja hari ini?" dia menambahkan.
Kulirik jam digital di atas nightstand. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00. Aku tidak tahu apakah aku akan bekerja hari ini atau tidak.
"Aku tidak tahu," jawabku tidak bersemangat.
Mike membelai wajahku. "Hey, percayalah aku tidak ingin pergi. Aku ingin berbaring di sini bersamamu. Aku mencintaimu Lana. Aku tidak mungkin melepasmu lagi.
Percayalah."
Dia membaca pikiranku. Setidaknya dengan dia berkata seperti itu, perasaanku kembali terasa ringan.
"Jadi, apakah kita berdua—kau tahu—akan bersama lagi?" tanyaku, takut-takut.
"Tentu saja, sayang! Kita pasti akan bersama lagi. Aku berjanji," dia bersungguh-sungguh.
Aku lega, sangat lega. Akhirnya kami memiliki harapan dan masa depan kembali. Inilah yang selalu kuinginkan selama ini; Kami benar-benar kembali bersama.
Aku tersenyum. "Syukurlah."
Setelah itu dia mencium bibirku lama dan dalam.
Setelah Uber pesanannya datang, Mike pun meninggalkan apartemenku. Sebelumnya dia memeluk dan menciumku lagi, lalu mengatakan betapa dia mencintaiku. Dan meyakinkanku sekali lagi dengan berkata, "aku akan menghubungimu dan kembali kemari. Aku berjanji."
Setelah itu Mike berjalan pergi dari apartemenku.
Meninggalkanku yang berdiri di ambang pintu dengan hanya berbalut selimut quilt pada tubuhku.
Setelah pintu ditutup, aku bergegas ke meja makan dan menyambar tasku. Lalu merogoh isinya, dan mengeluarkan ponsel yang kumatikan dari sejak kemarin malam. Setelah kunyalakan dan menunggunya untuk sepenuhnya hidup, beberapa pemberitahuan langsung menyerbuku. Tanpa sempat kulihat dari siapa saja, aku sudah mendial nomor Mom.
Mom mengangkatnya pada dering keempat.
"Beritahu aku kabar buruk apalagi kali ini?" ujarnya santai di ujung saluran telepon.
Aku tidak memutar bola mataku kali ini, melainkan terpekik kegirangan.
"Kau tidak akan percaya apa yang akan kuberitahu kali ini!" sahutku.
Lalu aku menceritakan semuanya kepada Mom. Mom memekik tidak percaya ketika aku memberitahunya, sampai-sampai aku harus menjauhkan ponsel dari telingaku. Kemudian Mom terisak, lalu tertawa, terisak lagi selama mendengarkanku bercerita. Aku tahu apa yang sedang dirasakannya.
"Aku sungguh tidak mengira. Oh sayang, aku hanya berdoa untuk kalian berdua. Semoga kali ini nasib baik berpihak pada kalian. Aku sangat bahagia mendengarnya, Lana," isaknya, sambil membuang ingus ke tissue atau sapu tangannya. Lalu dia menambahkan, "Oh ya, jangan lupa nanti kalau dia sedang bersamamu, aku ingin ber-video call. Aku Ingin sekali melihatnya."
Setelah aku mengiyakan keinginannya, dan mengucapkan 'bye', aku pun memutuskan panggilan. Aku yakin Mom pasti sedang berjingkrak-jingkrak kegirangan sekarang. Atau mungkin dia langsung menghubungi Zoe.
Membayangkannya membuatku tersenyum-senyum sendiri.
Kutaruh ponsel di atas meja, lalu aku duduk sejenak di kursi meja makan. Kuserap kembali semua yang telah terjadi. Aku masih belum mempercayai apa yang sudah terjadi padaku kemarin dan pagi ini. Tapi inilah yang terjadi dan aku sangat bersyukur. Aku juga tidak bisa menjabarkan apa yang sedang kurasakan, karena semua hal yang menyangkut kebahagiaan sedang bergejolak di dalam diriku sekarang. Tapi ada satu rasa yang masih mengganjal di dadaku. Rasa itu muncul sedari Mike menerima panggilan telepon dari seseorang pagi ini. Aku tidak tahu, tapi rasanya sesuatu sedang terjadi.
Namun kembali, cepat-cepat kusingkirkan pikiran negatif itu dari dalam kepalaku. Dan mulai menggantinya dengan momen-momen tadi malam dan pagi ini.
Aku tersenyum-senyum sendiri saat mengingatnya lagi.
Aku tidak pernah menyangka akan seperti ini jadinya. Ya tuhan, aku mohon jangan lagi ada sesuatu yang menghalangi jalan kami berdua.
Kumohon jangan ada lagi hambatan dan rintangan yang menghadang di hadapan kami. Aku ingin kali ini berhasil, kami bersama lagi untuk selamanya, aku berdoa dalam hati.
Aku sudah merindukan Mike dari semenjak dirinya melangkahkan kaki keluar dari apartemenku. Lalu tanpa berpikir panjang, kuraih kembali ponsel dari atas meja, kemudian mulai mengetik pesan untuknya.
*Ya Tuhan, aku sudah merindukanmu. I love you.*
Aku sungguh tidak bisa menahan diri. Setelah pesan terkirim, aku kembali menaruh ponsel di atas meja.
Ketika hendak akan berdiri, tiba-tiba ponselku berdering. Jantungku kembali berdegup kencang.
Dia langsung menghubungiku, ya ampun. Kurasa dia merindukanku juga. Mike...
Kusambar ponsel lalu kulihat siapa yang menghubungiku.
Seketika itu pula aku langsung berdiri. Rasanya semua darah lenyap dari dalam tubuhku. Senyuman di wajahku pun menghilang dan semua perasaan bahagia yang sedang kurasakan ikut memudar.
Ternyata bukan Mike.
Aku sudah melupakan seseorang ini hanya dalam waktu semalam. Astaga! Aku sungguh lupa akan dirinya.
Kutatap sejenak layar ponselku yang masih berdering itu.
Aku benar-benar tidak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya.
Tapi akhirnya kuberanikan diri untuk menerima panggilan darinya.
"Ya," bisikku.
"Lana, Mengapa kau tidak bisa kuhubungi dari kemarin?" katanya.
Bibirku sungguh kelu. Aku hanya terpaku mendengarkannya.
"Oh ya, kau sudah membaca pesan singkatku?" dia melanjutkan.
Pesan singkat? Aku mulai panik. Pesan singkat darinya. Kuperiksa sejenak layar ponselku. Dan mendapati 7 pesan singkat yang belum terbaca, 5 di antaranya dikirim olehnya.
Shit!
"Umm...aku.. aku belum sempat membacanya, maaf," balasku ketika kutaruh ponsel kembali ke telingaku.
Dia mendesah. "Setidaknya kau memberitahuku terlebih dahulu kalau kau akan mematikan ponsel. Kumohon..."
"Oke," ucapku singkat. Pikiran-pikiran tak karuan berkejaran di dalam otakku.
"Baiklah. Kalau begitu tebak, apa yang akan kuberitahu?" dia terdengar sangat senang.
Oh Lord!
"Apa?" suaraku tak lebih dari bisikan.
"Aku sedang berada di New York! Pesawatku baru saja landing. Aku akan langsung menuju ke apartemenmu sekarang. Kau ada di sana, kan?"
SHIT! SHIT! SHIT!
"Y—ya." Astaga! Bagaimana ini!
"Baguslah. Kalau begitu sampai bertemu di apartemenmu. Oh! dan satu hal,—" katanya.
Dia terdiam.
Kemudian...
"Aku mencintaimu, Lana."
Setelah itu panggilan terputus.
Dia ada di sini.
Jamie.
Kulirik tempat tidurku yang berantakan. Momen-momenku bersama Mike perlahan mengabur dalam penglihatanku.
Jamie ada di New York.
FUCK!