New Friends

Seorang gadis tengah berjalan dengan anggunnya memasuki hutan. Kakinya yang tak beralaskan apapun tak menjadi masalah baginya saat berjalan. Ia malah senang karena dapat merasakan tekstur kasar dan lembut dari rumput yang saat ini ia pijak. Tangannya terulur menyentuh kuncup bunga yang belum mekar. Namun sedetik kemudian, kelopak bunga itu bergerak melingkar sampai terbuka, menampilkan warna merah cerah. Aroma bunga tersebut menguap, memasuki indra penciuman gadis itu. Sang gadis tersenyum cerah karena aroma memabukkan dari bunga yang telah mekar tersebut.

Ia lalu berbalik, berjalan memasuki hutan lebih dalam. Para penghuni hutan yang melihatnya datang tampak begitu gembira. Setiap langkah gadis itu pasti selalu diiringi oleh para hewan yang begitu menggemaskan di matanya. Gadis itu memilih duduk di bawah pohon ek yang telah mengering. Tangannya menyentuh lembut permukaan batang kering yang telah berwarna keputihan. Cahaya keluar dari telapak tangan putih Kalantha membuat pohon ek bergerak semu menjadi besar. Warna kecokelatan mulai keluar mengganti warna putih kering tadi. Cabang-cabangnya mulai mengeluarkan daun sedikit demi sedikit sampai dapat menutupi sinar surya dari kepala gadis itu.

Seekor hewan bertelinga panjang tiba-tiba saja melompat naik ke pangkuannya, menarik perhatian sang gadis. Si kelinci menatapnya dengan mata lebar yang begitu menggemaskan. Sang gadis tersenyum dan mengelus bulu putih lembut itu. Hewan lain yang berada di sekitarnya iri sehingga datang mendekati sang gadis. Mereka menjatuhkan tubuh mereka pada gadis itu seperti ikut meminta elusan.

Gadis itu tersenyum dan memberikan elusan pada hewan lainnya. Ia memejamkan matanya, lalu menarik nafas. Mulutnya terbuka, mengeluarkan suara bernada yang mampu menghanyutkan setiap pendengar. Hembusan angin membawa suaranya sampai ke telinga penghuni hutan terdalam. Dewi langit yang melihat itu bahkan tersenyum karena suara sang gadis yang begitu indah.

"Tuan putri Kalantha."

Gadis yang ternyata bernama Kalantha itu membuka matanya. Netra setenang langit biru dan sejernih lautan miliknya melihat seorang elf dan dyrad berlutut, memberikan hormat.

"Kalian pasti Aletha dan Alena. Elf dan dyrad yang bertugas menjaga hutan ini bukan? Astaga, aku sungguh beruntung bisa bertemu langsung dengan kalian disini." ucap Kalantha tersenyum riang.

"Begitupun dengan kami, tuan putri. Kami merasa tersanjung karena kedatangan anda ke sini." Ucap mereka hampir bersamaan dan tetap menunduk.

"Tuan putri Kalantha, sungguh sukacita yang begitu besar kami rasakan karena dikenali oleh anda. Seorang putri dari raja Bacilio, sang dewa hutan dan ratu Chleo, dewi bumi." Ucap Alena seraya mengangkat kepalanya dan menatap wajah Kalantha.

"Benar, tuan putri. Bahkan kelahiran anda dihiasi oleh cahaya bulan penuh dari sang dewi bulan, Selena dan mendapat anugrah tak terbatas dari Saffi, sang dewi langit. Anda begitu beruntung dikaruniai begitu banyak berkat." Timpal Aletha dengan senyuman penuh kekaguman pada Kalantha.

Kalantha tersenyum mendengar pujian tulus dari kedua peri namun beda bangsa itu. "Tidak perlu terlalu memujiku. Marilah, duduk di sebelahku. Temani aku yang sedang sendiri ini." Kalantha menepuk-nepuk rumput di sebelahnya setelah hewan-hewan itu telah pergi.

"Tidak, tuan putri. Siapalah kami sehingga pantas duduk di sebelah anda." Tolak Alena tanpa mengurangi kesopanannya.

"Tidak ada yang tak pantas duduk di sampingku, Alena. Bahkan iblispun tak akan kuusir jika duduk di sebelahku. Apalagi kalian yang adalah peri terhormat, penjaga dan pelindung hutan ini. Marilah." Kalantha bersikeras memaksa mereka untuk duduk di sebelahnya.

Akhirnya kedua peri itu menyerah. Mereka bangkit dan berjalan menuju kalantha. Setelah menundukkan kepala-meminta izin- mereka baru meletakkan bokong mereka ke sebelah Kalantha.

"Jadi, beritahu aku. Apa saja tugas kalian selama ini?" Tanya kalantha setelah mereka telah duduk di sebelahnya.

"Tugas kami sepertinya sudah menjadi rahasia umum, tuan putri,"

"Tidak tidak. Jangan panggil aku tuan putri. Ku mohon, panggil aku Kalantha saja. Aku ingin kita lebih akrab sebagai teman, bukan tuan putri atau lainnya."

Aletha dan Alena saling berpandangan mendengar ucapan Kalantha yang tak mau dipanggil putri. Baru kali ini ada putri yang meminta hal seperti itu. Biasanya, mereka akan mendapat amukan jika berlaku tak sopan pada para putrid seperti Kalantha. Namun, kalantha begitu berbeda dari putri lainnya. Ia istimewa.

"Suatu kehormatan, tuan putri." Ucap Aletha dan Alena membungkuk.

"Baiklah, mulailah bercerita. Dan panggil aku Kalantha." Ucap kalantha memperingatkan.

"Baiklah, Kalantha." Jawab keduanya walau agak kaku ketika menyebut nama Kalantha tanpa gelar.

"Seperti yang sudah anda tahu, kami adalah peri hutan. Saya adalah seorang dyrad. Bangsa dyrad sendiri bertugas menjaga dan melindungi seluruh isi dari hutan ini. Terkadang, kami akan menemukan hewan yang terluka, maka kami akan menyembuhkan mereka. Jika kami juga mendapati perilaku hewan yang kurang menyenangkan, seperti berkelahi memperebutkan sesuatu, maka kamilah yang akan turun tangan membantunya. Terkadang pula, ada hewan dari negri hitam menyusup masuk ke dalam hutani ini dan mengganggu keseimbangan hutan. Jika sudah seperti tiu, maka bangsa dyrad akan bekerja sama dengan para elf untuk mengusir mereka." Terang Alena.

"Wow, menakjubkan sekali. Lalu kau sendiri, Aletha?" kini Kalantha bertanya pada Alena.

"Sebagian tadi sudah diberitahu oleh Alena, Kalantha. Kami memang memiliki sihir yang dapat membantu kami bertarung. Sihir kami juga berguna untuk menjaga kesuburan hutan. Bangsaku harus memastikan bahwa setiap tumbuhan berada dalam keadaan yang baik. Tidak boleh ada kekurangan air atau sinar matahari. Mereka harus mendapatkan yang terbaik untuk menjaga pertumbuhan dan kualitas dari tumbuhan itu." Jelas Aletha.

"Benarkah? Lalu kenapa aku tadi mmelihat pohon ini mati kekeringan?" Tanya Kalantha.

"Dia tidak mati, Kalantha. Ini memang sudah waktunya pohon ek itu untuk bereinkernasi. Usianya sudah mencapai 1,5 abad. Kami harus menunggu 500 tahun lagi untuk menghidupkannya agar semua tanaman mendapat kesempatan hidup sepertinya." Jawab Aletha mencoba memberi penjelasan pada Kalantha.

"Astaga. Aku telah melakukan kesalahan kalau begitu. Apa itu akan berdampak buruk pada tumbuhan lainnya?" Kalantha bertanya cemas pada Aletha.

"Tidak terlalu buruk. Tapi aku harus menunda pertumbuhan sebatang pohon karena itu."

Jawaban Aletha membuat Kalantha merasa bersalah karena telah menghidupkan pohon itu. Kasian sebatang ek yang telah menunggu untuk dihidupkan oleh Aletha, namun ia dengan sok tahunya malah menghidupkan ek ini.

"Tidak apa, Kalantha. Jika memang kau tidak menghidupkan pohon ini, berarti memang semesta sudah memnakdirkan ini akan terjadi. Kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Tidak akan aa hal buruk yang terjadi karena hal ini." Hibur Aletha karena telah menyadari perubahan raut wajah Kalantha.

"Benarkah itu?" Raut keceriaan mulai terpancar di wajah rupawan Kalantha.

Aletha dan Alena mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan dewi tersebut. Kalantha langsung merasa lega melihat anggukan kedua peri itu. Setidaknya tidak akan ada hal buruk yang menimpa penghuni hutan karena tindakan cerobohnya tadi.

"Wow, kalian berdua benar-benar hebat. Aku berharap, suatu hari nanti aku dapat menjadi sekuat kalian." Ujar Kalantha.

"Tak perlu menjadi seperti kami, kau sudah kuat, Kalantha. Kau adalah dewi alam. Kau mempunyai kekuatanmu sendiri dan sudah jelas itu berbeda dari kami semua. Lihatlah, aku dan Aletha memang sama-sama bertugas menjaga hutan tapi kekuatan kami berbeda-beda, begitupun denganmu, Kalantha." Alena mencoba memberi penjelasan pada Kalantha agar tak merasa kecil hati.

"Aku tahu itu, tapi aku sendiri tak tahu cara menggunakan kekuatanku. Aku hanya bisa menghidupkan tumbuhan tapi tak bisa melindungi tumbuhan. Jangankan melindungi tumbuhan, aku bahkan tak bisa melindungi diriku sendiri." Ujar Kalantha dengan lirih.

Kalantha menatap kelinci putih yang tadi tidur di pahanya telah berlari menjauh masuk ke hutan.

"Kalantha," Aletha memanggil Kalantha dengan lembut. Tangannya menggenggam tangan Kalantha, seperti menyalurkan kekuatan kepada dewi alam itu."kau memiliki kami di sini."

Kalantha merasakan kehangatan mengalir ke tubuhnya, memberikan kekuatan ke dalam dirinya yang kecil itu. Aletha juga ikut menggenggam jemari milik Kalantha dan memberikan senyuman terbaiknya. Kalantha membalas senyum kedua peri itu.

"Benarkah kalian akan selalu ada disisiku?" Tanya Kalantha penuh pengharapan.

"Tentu, Kalantha. Kau memiliki kami disisimu. Selalu akan begitu." Jawab Aletha mantap.

"Kalau begitu, maukah kalian menjadi sahabatku. Benar-benar sahabatku. Aku tak pernah memiliki teman perempuan di istana, semua orang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Aku ingin punya teman. Jadi maukah kalian menjadi temanku?" Kalantha memohon pada kedua peri tersebut.

Dan lagi, kedua peri itu berpandangan karena merasa aneh dengan sikap Kalantha yang terlalu merendah. Dia memohon padahal dengan memerintahkan saja, gadis itu akan mendapatkan apapun yang ia inginkan hanya dengan memerintahkan saja. Tapi, Aletha dan Alena sadar akan satu hal, Kalantha adalah dewi istimewa. Dia bereda dengan para dewa dan dewi lainnya.

"Kalantha, kau tak tahu betapa senangnya aku menjadi sahabatmu." Aletha menjawab ceria.

Alena tersenyum dan mengangguk setuju. "Terimakasih sudah meminta kami menjadi sahabatmu, Kalantha." Timpal Alena.

"Kalau begitu, berikan aku pelukan sebuah persahabatan." Kalantha merentangkan tangannya seperti isyarat agar kedua peri itu memeluknya dan sedetik kemudian pelukan itu ia dapatkan. Tawa ceria keluar dari ketiga mulut gadis cantik itu. Bahkan mereka sampai jatuh tertidur di atas rumput.

Mereka lalu bercerita banyak hal. Mulai dari kegiatan yang mereka lakukan setiap hari sampai kebiasaan yang sering mereka lakukan di sela kesibukan mereka. Bahkan mereka tak segan menceritakan kebiasaan buruk mereka masing-masing. Dan setelah itu suara tawa akan terdengar lagi dari mulut mereka. Apalagi cerita konyol dari Aletha memuat Kalantha dan Aletha sakit perut karena ketawa yang terbahak-ahak.

Sebuah semilir angin berhembus, menghampiri ketiga gadis itu. Seketika saja mereka terdiam, tak ada sepatah katapun keluar dari bibir mereka. Bahkan alampun tampak enggan untuk bergerak walau hanya seinchi saja. Setelah angin itu menjauh, barulah keadaan kembali normal seperti semula. Kalantha langsung menghela nafas panjang.

"Kalantha, kau harus kembali ke istana."

"Benar, Kalantha. Raja Bacilio sudah memanggilmu untuk pulang." Kata Alena.

Yup, angin tadi bukanlah angin biasa jika kalian mau tahu. Itu biasa di lakukan oleh raja Bacilio memanggil setiap orang tanpa menjumpai orang tersebut. Raja akan membisikkan sesuatu pada udara lalu dihembuskan angin dan di perantarakan oleh pohon agar angin itu tidak salah arah.

"Aku tidak mau pulang. Aku ingin disini lebih lama lagi." Kalantha merebahkan tubuhnya ke atas rumput dan menatap langit biru.

"Kalantha, kau harus kembali. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Raja Bacilio akan marah jika kau terlambat kembali ke istana." Alena mencoba mengingatkan Kalantha yang tak mau juga bangun dari posisi rebahannya.

"Tapi aku masih mau menghabiskan waktu bersama kalian. Untuk kesini saja aku harus kabur dan mengelabui para prajurit ayah." Adu Kalantha pada kedua peri itu.

"Kalantha, kembalilah ke istana. Kami berjanji akan kesini saat kau kembali ke hutan ini lagi." Alena membujuk Kalantha.

Kalantha seketika bangun dari posisi tidurnya dan menatap kedua peri yang ada didepannya. Netra birunya menatap mereka seperti mencari kejujuran di mata kedua orang itu. "Benarkah?"

"Tentu , Kalantha. Aku dan Alena akan kesini. Kami berjanji. Jadi, kembalilah ke istana." Kini Aletha yang angkat bicara untuk membujuk Kalantha pulang.

Kalantha tersenyum cerah. Ia menghambur ke pelukan Aletha dan Alena. Karena terkejut akan pelukan yang tiba-tiba diberikan oleh Kalantha, mereka kehilangan keseimbangan sehingga jatuh telentang di atas rumput.

"Aku akan kembali dan menemui kalian. Percayalah." Kata Kalantha meyakinkan kedua peri itu.

"Iya, Kalantha. Kami percaya apa yang kau katakan. Jadi kembalilah sebelum kau menerima amukan dari yang mulia Bacilio."

Kalantha mengangguk semangat lalu bangkit dari tidurnya. Setelah permisi pada kedua peri hutan itu, Kalantha berbalik meninggalkan hutan. Namun, setelah beberapa jauh, Kalantha berbalik. Alena dan Aletha bingung. Kalantha tersenyum dan melambaikan tangan kanannya tinggi-tinggi seraya berteriak.

"Aku sayang kalian. Sampai jumpa."

Alena dan Aletha tersenyum. Kalantha adalah dewi terbaik yang pernah mereka temui. Perasaan rendah hatinya serta tak memandang kasta membuat dewi alam itu terlihat bersinar lebih terang dari antara dewi lainnya. Selayaknya nama dewi itu, ia adalah yang terindah dari yang paling indah di antara setiap dewi yang pernah mereka temui selama mereka hidup di negri putih ini.

"Kami juga menyayangimu. Jadi segeralah berkunjung lagi, Kalantha." Teriak mereka berdua seraya membalas lambaian tangan Kalantha sebelum gadis itu hilang dimakan jarak.

***

"Puas bermain-main di luar, Kalantha?"

Kalantha tersentak ke belakang karena suara yang tiba-tiba saja mengejutkannya. Ia berbalik dan mendapati sosok pria paruh baya yang sedang berdiri dengan tangannya yang diletakkan dibelakang tubuh kekar itu. Wajahnya masih terlihat rupawan padahal usianya sudah hampir memasuki kepala empat. Kalau kalian berpikir kepala empat yang dimaksud adalah empat puluh tahun, maka kalian salah besar. Dalam dunia para dewa dan dewi, kepala empat yang dimaksud adalah empat ratus tahun.

Dari wajah lelaki itu terpancar kebijaksanaan yang menggambarkan sosoknya memang pantas menjadi seorang raja. Dengan jubah khasnya sutranya yang berwarna putih panjang serta bordiran hijau di bawah, membuat sosoknya semakin terlihat berwibawa. Kerena memang seperti itulah perangai dewa hutan dari dahulu.

"Ayahhanda yang mulia." Kalantha membungkukkan tubuhnya, memberi hormat pada pria yang tak lain adalah ayah serta rajanya.

"Siapa yang memberi kau izin untuk keluar dari istana, Kalantha?"

Suara Bacilio terdengar tenang namun penuh intimidasi. Kalantha tak bisa menutup rasa gugupnya karena pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ditambah lagi netra serindang hutan yang menatapnya dengan sangat tajam membuatnya tak berani bergerak walau hanya seinchi saja. Kalantha segera menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Bacilio.

"Maafkan hamba, yang mulia."

"Kau sudah berulang kali mengatakan maaf, Kalantha. Tapi tetap saja kau mengulangi kesalahan yang sama."

Perkataan Bacilo barusan terasa seperti menohok dada Kalantha. Kalantha semakin menundukkan kepalanya, menolak untuk menatap wajah sang ayah karena rasa bersalah. Bukan tanpa alasan Kalantha sering kabur dari istana, ia sedari dulu selalu dikurung di dalam kamarnya dengan para dayang yang begitu membosankan. Mereka selalu mengajarkan hal yang tak berguna menurutnya namun sebenarnya begitu penting untuk menjaga kehormatannya sebagai seorang dewi.

"Ayah tahu kau begitu bosan, tapi itu semua memang sudah menjadi kewajibanmu sebagai seorang dewi. Kau harus belajar menjadi dewi sejati agar kelak, kau dapat mendampingi suamimu dalam memerintah negri putih ini. Apa kau paham maksudku ,Kalantha?"

Kalantha mengangguk kecil. "Hamba paham, yang mulia. Hamba mohon maaf atas perlakuan hamba yang selama ini telah membuat yang mulia kesal. Hamba berjanji tak akan melakukan kesalahan yang sama lagi."

Kini Kalantha berani mengangkat kepalanya untuk menatap wajah Bacilio. Bacilio mengangguk senang karena jawaban yang diberikan oleh Kalantha.

"Tapi yang mulia, hamba mohon sebagai gantinya yang mulia akan mengabulkan permintaan hamba." Alis Bacilio bertaut. Keningnya langsung berkerut dengan mata yang menyipit. "Yang mulia, Hamba mohon yang mulia memberikan izin pada seorang elf dan dyrad untuk masuk ke dalam istana. Bahkan jika hanya halaman belakang yang dapat kami pakai sebagai tempat untuk bertemu, hamba tak merasa keberatan, yang mulia."

Kalantha berkata dengan tetap menjaga kesopanannya pada pria paruh baya yang berdiri di hadapannya. Walaupun Bacilio adalah ayahnya, ia harus tetap memanggil pria itu dengan sebutan yang mulia. Setidaknya itulah yang diajarkan kepadanya selama ini.

"Apakah yang kau maksud elf dan dyrad itu adalah Aletha dan Alena yang tadi kau temui di hutan?" Tanya Bacilio.

Kalantha sedikit terkejut karena Bacilio bisa tahu orang yang ia maksud. Tapi tampaknya itu bukan hal yang sulit mengingat ayahnya adala seorang dewa hutan. Semua yang terjadi di hutan pasti akan langsung diketahui ayahnya, bahkan sebelum berita itu keluar dari mulut para bawahannya.

"Benar, yang mulia. Saya harap yang mulia tidak keberatan dengan permintaan hamba barusan."

"Kenapa aku harus mengabulkannya, Kalantha?" Bacilio ingin mengetahui alasan putrinya yang langsung meminta izin untuk kedua peri itu masuk ke dalam istana. Tidak semua orang dapat masuk ke istana. Bahkan para dewa lainnya harus memberi kabar minimal sehari sebelum mereka datang bertamu.

Yang mulia, selama ini hamba selalu hidup sendiri di istana. Tidak ada teman yang bisa hamba ajak untuk berbagi cerita. Jika yang yang mulia maksud teman berbagi cerita adalah para dayang yang usia bahkan beratus-ratus tahun lebih tua dari hamba, maka yang mulia sudah keliru. Mereka bukan menjadi teman berbagi, mereka bahkan tak berani untuk menatap hamba. Bagaimana bisa hamba bercerita dengan mereka?"

Bacilio mengangguk, ia sekarang paham dengan yang dirasakan putrinya. Ia kira dengan begitu banyak dayang yang diberikan untuk menemaninya dapat membuat Kalantha tidak merasa kesepian. Sepertinya tidak ada salahnya ia mengizinkan kedua peri itu menemani putri.

"Baiklah, Kalantha. Tapi bukan sebagai teman yang hanya datang berkunjung?"

Kalantha mengernyitkan keningnya. "Kalau begitu sebagai apa, yang mulia?"

"Aku akan menjadikan mereka sebagai pelayan pribadimu. Mereka yang akan menemanimu kemanapun kau pergi. Kau mengatakan kau butuh teman untuk berbicara semua masalahmu bukan? Maka disamping menjagamu, mereka juga dapat menjadi temanmu. Jadi kau tidak perlu kabur untuk keluar masuk ke dalam hutan lagi."

Mendengar itu, Kalantha merasa begitu senang sekali sebab ia akhirnya dapat terus bersama dengan kedua teman barunya itu. Ia tak menyangka kalau sayang ayah akan memberi izin kepadanya untuk berteman dengan Aletha dan Alena. Kalantha segera memeluk Bacilio, melupakan fakta bahwa itu dilarang walau ia adalah seorang putri. Bacilio dengan sigap membalas pelukan Kalantha. Tangannya ia lingkarkan di pinggang ramping Kalantha sambil menepuk-nepuk punggung Kalantha dengan pelan.

"Benarkah itu, ayah?" Tanya Kalantha masih tidak percaya dengan yang barusan ia dengar.

Bacilio tertegun kala mendengar kata ayah yang keluar dari bibir Kalantha. Sudah lama ia tak mendengar kata itu, terakhir kali ia mendengar kata itu adalah saat Kalantha masih berusia tujuh tahun. Sudut bibirnya terangkat ke atas.

"Ayah rasa telingamu masih bagus kan, Kalantha?"

Kalantha tertawa dalam pelukan Bacilio. "Terimakasih, ayah. Aku sangat menyayangimu."

"Aku juga."

Kalantha memberi kecupan di pipi Bacilio lalu melepas pelukannya. Ia lalu memberi hormat dan berbalik masuk menuju ke dalam kamarnya.

tbc