Make a Friends

Kalantha melangkahkan kakinya cepat menuruni tangga istana yang terbuat dari bebatuan alam. Gaun sutra hijau sepanjang mata kaki yang dikenakannya bergerak senada dengan langkah kakinya. Aroma ekaliptus yang terpancar dari tubuhnya membuat setiap pelayan yang ia lewati memejamkan matanya. Menyesapi aroma memabukkan dari dewi alam itu. Ditambah dengan senyuman merekah Kalantha membuat setiap pelayan yang melirik itu terpesona akan kecantikan sang dewi.

"Evander!"

Seorang pria setengah Pegasus itu berbalik kala mendengar namanya dipanggil. Mengetahui siapa orang itu, Evander segera menaruh tangannya di dada kirinya dan membungkuk hormat.

"Hormat hamba, Tuan putri."

Suara dengusan kesal keluar dari hidung Kalantha. "Sudah berapa kali kukatakan padamu, Evander? Jangan panggil aku tuan putri, cukup panggil Kalantha. Usiamu bahkan dua ratus tahun lebih tua dariku. Aku baru saja memasuki usia lima belas bulan lalu. Kau bisa menganggapku adikmu kalau kau mau. Asalkan jangan panggil aku tuan putri."

Jelas Kalantha yang sudah kesekian kalinya. Entah kenapa, ia memang tak suka dipanggil dengan gelar seperti itu. Ia merasa ada jurang pemisah karena pemakain gelarnya itu. Lagipula, ia dan panglima satu itu dapat dibilang cukup dekat. Hanya saja Evander tidak memiliki cukup waktu untuk meladeninya karena terlalu sibuk untuk mengurus para prajurit daun.

"Itu bukanlah hal yang bagus, tuan putri. Hamba akan kehilangan leher hamba jika yang mulia Bacilio mendengar itu." Jawaban Evander yang sudah bisa ditebak kalau ia menolak untuk memanggil Kalantha tanpa gelar.

"Apa begitu susahnya kau memanggilku Kalantha?" Kalantha mulai jengkel dengan Evander.

"Maaf, tuan putri. Tapi hamba hanyalah seorang chrysaor yang beruntung di angkat menjadi panglima kerajaan ini. Hamba bukan seorang dewa yang dapat memanggil tuan putri seperti itu. Sudah kewajiban hamba untuk menjaga kesopanan dan rasa hormat hamba pada seluruh anggota keluarga kerajaan." Evander mencoba menjelaskan pada Kalantha.

"Tapi bagiku kau adalah anggota keluarga kerajaan. Bukan hanya kau,tapi seluruh orang disini adalah anggota keluarga bagiku. Bahkan sepupumu, kaum pegasus itu juga adalah anggota kerajaan walau aku sangat jarang melihat batang hidungnya di istana. Tidak ada istilah hamba atau tuan. Jadi jangan menolak memanggilku Kalantha, karena ini adalah perintah."

Kalantha berkata dengan nada yang terdengar begitu kesal. Tidak menyiratkan bahwa ia adalah seorang dewi atau tuan putri. Ia berbicara layaknya kaum biasa.

Evander mengangguk. "Baiklah, sesuai perintah tuan putri. Saya akan memanggil anda Kalantha, tapi hanya jika kita di luar istana." Ujar Evander yang tak bisa membantah lagi.

Kalantha tersenyum penuh kemenangan. Sedangkan Evander, ia sibuk mengagumi sosok Kalantha yang menurutnya begitu rendah hati. Evander tak pernah melihat seorang putri yang mau dipanggil tanpa gelar di belakang nama mereka, bahkan setiap dewa atau dewi yang ia temui tak jarang menuntut rasa hormat pada bawahannya, tapi tidak dengan Kalantha yang ingin diperlakukan layaknya seperti keluarga. Kalantha bahkan akan memarahi orang tersebut jika terlalu memuji dan hormat kepadanya.

"Jadi Kalantha, hal penting apa yang membuatmu sampai menjumpaiku di tempat latihan prajurit seperti ini?" Evander terdengar sedikit kaku saat menyebut nama Kalantha dari mulutnya.

Kalantha menepuk jidatnya yang terbuka lebar karena rambutnya yang ia ikat setengah ke belakang. "Astaga, hampir saja aku lupa. Aku ingin menanyakan padamu, apakah kau mendapat perintah dari ayah untuk menjemput kedua temanku? Mereka adalah seorang elf dan seorang dyrad dari hutan."

"Apakah yang dimaksud itu adalah peri yang akan menjadi pelayanmu?" Evander balik bertanya.

Kalantha menatap tak suka kala kata pelayan itu keluar dari bibir Evander. " Sudah kukatakan mereka bukan pelayanku. Mereka adalah temanku. Begitupun semua yang ada disini. Jadi jangan katakana hal menyebalkan seperti itu lagi sebelum aku mengubah bokong pegasusmu itu menjadi bokong angsa."

Evander tertawa saat mendengar omelan Kalantha yang malah seperti sedang melucu. Inilah yang ia sukai dari Kalantna. Lagi. Sikap lembut dan penuh kasih Kalantha benar-benar membuat Evander tersentuh. Kalantha lebih suka merangkul daripada memukul. Ia suka menolong semua orang bahkan kaum yang berbeda darinya. Gadis itu suka berlari, memeluk, tertawa lebar dan juga terkadang akan mengusuili para prajurit daun yang sedang ia kerjai. Kalantha juga pernah mengantar makanan kepada para pelayan istana dan seluruh prajurit saat yang mulia Bacilio beserta Ratu Chleo pergi mengunjungi makam para leluhur mereka. Kalantha melakukan itu karena katanya ruang makan tak cukup untuk semua penghuni istana dan ia tak memiliki cukup waktu untuk membuat tenda dari tumbuhan.

Dan kalian tahu apa yang lebih parah lagi? Kalantha pernah tidur bersama penjaga kuda. Kala itu, Xi, kuda terkuat istana tengah melahirkan. Karena sankin senangnya, Kalantha kecil menyelinap malam hari untuk melihat kuda kecil Zi. Penjaga kuda saat itu sudah memohon agar Kalantha kembali ke istana. Tapi, Kalantha tetaplah Kalantha. Dengan keras kepalanya ia menolak dan mengatakan akan tidur bersama dengan Zi. Karena takut dengan ancaman Kalantha yang mengatakan akan menghukumnya membuat penjaga itu pasrah saja.

Kalantha begitu menakjubkan. Istana begitu beruntung karena memiliki sosoknya yang seperti bunga. Menebar keindahan dan membawa sukacita pada setiap orang yang melihatnya.

"Mereka akan datang sebentar lagi, Kalantha. Kalau kau memang merasa bosan menunggu mereka, aku tak keberatan mengajarkanmu cara menggunakan senjata perang."

Tawaran Evander tersebut menarik minat Kalantha. "Benarkah? Tapi bagaimana jika ayah marah?" Kalantha tiba-tiba saja kepikiran akan sosok Bacilio yang tak suka degan sikap bar barnya. Walau Kalantha yakin bahwa ia tak sebar bar yang ada di pikiran ayahnya itu.

"Selama kau dalam pengawasanku, aku pikir itu tak akan menjadi sebuah masalah." Seketika senyuman Kalantha kembali menghiasi wajahnya.

"Pilihlah senjata yang ingin kau pakai."

Kalantha lalu menatap satu persatu senjata dengan beragam bentuk di atas meja batu berbentuk lingkaran itu. Semuanya terlihat begitu menakjubkan dan tampak berat. Apalagi terbuat dari seratus persen logam sudah dapat memastikan kalau benda itu memiliki massa melebihi berat tubuhnya. Namun, ada satu benda yang tidak terbuat dari logam. Memiliki bentuk yang begitu ramping dan terlihat elegan bagi si pemakainya.

"Aku ingin memanah." Kalantha memekik kuat sambil menunjuk busur yang terbuat dari batang pohon jati itu. Dengan warna putih mengkilau membuat Kalantha terpesona untuk memegangnya.

"Pilihan yang tepat, Kalantha." Puji Evander.

Evander segera mengambil busur itu. Tak lupa dengan anak panahnya. Evander menarik busur panah itu dan membidik pada bundaran merah yang terletak kurang lebih lima puluh meter. Ia membidik dengan mata kirinya lalu melepas anak panahnya.

Anak panah itu menancap di sebelah bundaran merah itu. Kalantha membuka mulutnya, terkagum akan hasil panah Evander yang mendekati sempurna tanpa pria itu bersuah payah dalam membidik.

"Wow, kau memang pantas menjadi seorang panglima. Sekarang giliranku."

Kalantha mengambil busur dari tangan Evander dan anak panah dari meja bundar itu. Ia menarik busur itu seperti yang dicontohkan oleh Evander, namun bukannya menancap ke titik merah itu. Anak panah itu malah jatuh tepat sepuluh langkah dari kakinya. Kalantha mendengus kesal dan hendak mengambil anak panah lagi.

Set

Kalantha dan Evander menatap kaget akan anak panah yang tiba-tiba saja mendarat di titik merah papan itu. Astaga, siapa yang melakukan itu? Itu begitu tepat.

"Begitulah cara memanah yang tepat, tuan chrysaor."

Kalantha segera membalikkan badannya begitupun juga dengan Evander. Mata Kalantha membulat. Namun seketika itu terganti dengan senyuman yang mengembang saat tahu siapa orang yang melakukan hal itu.

Disana, berdiri kedua orang peri berwajah rupawan. Di tangan Aletha, ada sebuah busur panah hijau bersinarkan cahaya kuning dan dililit akar pohon kecil. Itulah sihir. Kaum elf memang dianugerahi sihir yang dapat membantu mereka untuk melindungi diri dan juga melaksanakan tugas mereka.

Aletha dan Alena berjalan mendekati Kalantha. Mereka menunduk hormat kepada Kalantha dan Evander. "Hormat kami, tuan putri."

Bukannya membalas hormat tersebut, Kalantha malah memeluk mereka berdua. "Akhirnya kalian datang juga. Aku begitu senang. Aku sudah menunggu kedatangan kalian dari tadi."

Kedua peri itu tersenyum dan membalas dekapan Kalantha.

"Bagaimana perjalanan kalian? Apa kalian kelelahan? Tunggu sebentar, aku akan menyuruh seseorang membuat minuman untuk kita." Kalantha bertanya setelah ia melepas pelukannya.

Aletha dan Alena menggeleng. "Perjalanan kami baik, tuan putri. Kami tidak merasa haus sama sekali. Jika kami haus, kami akan mengambil minum kami sendiri. Jangan membuat diri anda lelah, tuan putri." Alena berkata begitu lembut.

"Benar, putri. Anda tidak perlu repot-repot membuat minum. Kami adalah pelayan anda sekarang." Timpal Aletha.

"Tidak. Kalian bukan pelayanku. Sudah kukatakan kemarin, bukan? Kalian berdua adalah temanku. Dan aku tak mau kalian memanggilku dengan gelar itu lagi. Kalian semua adalah keluarga bagiku. Iya kan Evander." Kalantha langsung menatap Evander dan dibalas anggukan sekali dari pria itu.

Setelah Kalantha kembali menatap kedua peri berbeda kaum itu, Evander kembali mengamati peri yang telah menghilangkan panah ajaibnya.

"Jadi putri, kau sedang apa sebenarnya tadi?" Tanya Alena.

"Ck, jangan memanggilku putri jika ayah tak ada. Cukup Kalantha. Aku sedang belajar memanah bersama Evander. Evander adalah panglima prajurit setelah sepupunya Hadrin, seorang Pegasus. Nah, Evander. Perkenalkan, mereka adalah teman yang tadi aku ceritakan. Ini namanya Alena, dia adalah seorang dyrad. Dan yang satunya itu adalah Aletha, seorang elf." Kalantha memperkenalkan mereka.

Evander membungkuk hormat sebagai salam perkenalan, begitupun dengan mereka berdua. Saat mengangkat kepalanya, tanpa sengaja pandangan mata Evander dan Aletha bertemu. Sedikit ada jeda yang mereka berikan sebelum menegakkan tubuh mereka masing-masing. Entah kenapa, Aletha jadi merasa tubuhnya panas karena tatapan tajan namun mempesona dari Evander.

"Kalantha, kalau kau memang begitu menyukai panahan, kau harus belajar dengan Aletha. Bangsa elf sangat hebat dalam hal satu itu. Mereka dianugerahi kemampuan memanah terbaik dari segala kaum. Tidak ada yang dapat menandingi itu" Alena berkata dengan lancarnya dan itu membuat Aletha jadi salah tingkah sendiri karena dipuji begitu.

"Benarkah? Astaga, beruntungnya aku. Kalau begitu tunjukkan padaku bagaimana cara memanah yang tepat." Kalantha meminta pada Aletha dengan begitu antusias.

Alis Aletha terangkat ke keatasa. "A, apa?"

"Tunjukkan pada Kalantha cara memanah yang benar, Aletha. kau adalah pemanah yang handal bukan. Bahkan kau bisa memanah tanpa busur sekalipun."

Alena mengatakan hal yang memang benar itu adalah kenyataanya. Tapi dipuji di depan seorang Evander, entah kenapa membuat Aletha merasa malu. Aletha bahkan daoat melihat sebelah alis Evander yang terangkat naik. Ya dewa, entah kenapa ia jadi semakin gugup.

"Ayolah, Aletha." Kalantha merengek untuk menyaksikan pertunjukan panahan seorang elf perempuan itu.

"Cobalah, Aletha." Evander memberikan busur yang ada di tangan kananya berserta anak panah yang jumlahnya dua.

Tatapan mereka dua kembali bertemu. Aletha merasa pipinya memanas. Semoga saja itu tak memerah, doa Aletha. Namun Evander dapat melihat itu. Bahkan cupingnya yang tajam itu sudah memerah dan bergerak-gerak kecil. Membuat Evander gemas.

Aletha mengambilnya dan mulai memanah kedua anak panah itu. Dan lagi-lagi, bahkan di tengah kegugupannya, anak panah itu dapat membelah kedua anak panah yang ada di papan itu. Dan anak panah yang baru ini menancap lebih dalam dari semula. Menunjukkan seberapa kuat tarikan yang diberikan oleh Aletha saat menarik busurnya.

Semua orang berdecak kagum menatap kemampuan elf cantik itu, tak terkecuali dengan Evander. Ia tersenyum kecil yang ia yakini hanya ia yang menyadari hal itu. Kalantha terpekik kagum sambil member tepukan tangan yang meriah.

"Kau sungguh hebat, Aletha."

"Terimakasih, putri."Aletha tersenyum mendengar pujian yang diberikan Kalantha kepadanya.

Kalanta lalu bertanya kekuatan yang dimiliki oleh Alena, namun Alena mengatakan kalau kekuatan mereka berbeda dari peri elf. Sihir mereka tidak sama dengan bangsa elf yang hanya perlu memikirkannya akan keluar, melainkan menggunakan mantra.

Lagi-lagi kalantha dibuat kagum akan kemampuan yang dimiliki kedua peri itu. Evander yang melihat itu tersenyum lega. Setidaknya Kalantha akan aman di tangan kedua peri itu. Apalagi dengan kemampuan yang dimiliki mereka, setidaknya mereka dapat melindungi Kalantha dari serangan kaum yang berniat buruk.

"Kalantha, saya mohon permisi undur diri."

"Kau mau kemana, Evander?" Kalantha bertanya heran Karena Evander yang ingin pergi.

"Saya harus melatih para prajurit daun, tuan putri." Kalantha tersenyum masam saat Evander kelepasan memanggionya putri. Baiklah, ia harus maklum karena ini pertama kali.

"Melatih untuk apa, bukankah tidak ada perang? Kau seharusnya bisa lebih senggang sedikit kan?"

Evander tersenyum. "Tidak bisa, Kalantha. Bagaimanapun, prajurit harus dilatih setiap hari. Jadi kalau tiba-tiba ada yang menyerang istana, kita tidak akan kalah." Terang Evander.

"Ya ampun, Evander. Siapa yang akan menyerang istana kita saat sepupu pegasusmu selalu berkeliling setiap detiknya. Aku jadi bingung. Apakah Hadrin memiliki waktu untuk membersihkan dirinya dan mengisi perutnya." Aletha dan Alena tertawa mendengar ucapan Kalantha yang seperti mengejek panglima tertinggi kerajaannya. Evander juga tersenyum namun tak mengeluarkan tawa.

"Kalau begitu, hamba mohon undur diri, Kalantha." Sekali lagi Evander berpamitan.

"Astaga, kau benar-benar menyebalkan. Apakah kau tak mau menghabiskan waktu denganku dan Aletha dan Alena. Kau bisa belajar memanah dari elf ini. Iya kan Aletha?"

Aletha gugup karena ditanya tiba-tiba oleh Kalantha. Bukan karena ia tak bisa menjawabiya atau tidak, namun karena Kalantha seolah menyuruh panglima kedua itu belajar darinya sehingga mereka akan megabiskan waktu untuk berlatih.

Aletha menggeleng kecil, mencoba mengenyahkan khayalannya tentang panglima itu.

"Kau tak mau mengajari Evander, Aletha?" Tanya Kalantha karna melihat gelengan kepala Aletha.

Aletha menggeleng cepat. "Bukan begitu, Kalantha. Dia adalah panglima dan tidak pantas aku mengajarinya lagi. Lagipula ia punya urusan yang lebih penting ketimbang mempelajari hal yang sama sekali lagi."

Kalantha mengangguk paham. Apa yang dikatakan Aletha ada benarnya. Ayahnya pasti akan memarahi Evander habis-habisan kalau pria itu meninggalkan tugasnya yaitu melatih para prajurit.

"Kalau begitu saya permisi duluan. Saya titipkan putri kecil kerajaan kami pada kalian berdua. Aku harap kalian bersabar menghadapi sifatnya yang begitu bersemangat ini." Evander berkata seperti tengah menggoda Kalantha.

Kalantha yang terpancing dengan godaan evander mencubit lengan panglima itu dengan sangat kuat. Namun Evander tak merasakan sakit sama sekali. Pria itu malah tertawa terbahak-bahak yang juga diikuti tawa Aletha dan Alena. Kalantha memukul lengan Evander sekali lagi. Aletha dan Alena yang melihat kedekatan mereka merasa begitu senang. Kalantha seolah menunjukkan bahwa Evander adalah kakaknya.

Kalantha bukan terlihat seperti seorang putri, dan mereka juga baru menyadari kalau Kalantha tak memakai aksesoris atau mahkota apapun. Gadis itu benar-benar sederhana. Namun tak mengurangui keindahan dari sosoknya yang begitu lemah lembut. Sudah dibilang tadi kan, Kalantha adalah bunga yang indah dari negri putih.

tbc