Kalantha menatap pantulan dirinya di cermin. Dirinya tampak begitu luar biasa. Ia bahkan sampai tak mengenali dirinya sendiri. Ia yakin kalau dialah yang akan menjadi satu-satunya orang tercantik di pesta nanti. Tentu saja, dia adalah mempelai seorang Helios, dewa surya. Sangat mustahil dewa satu itu membuatnya hanya mengenakan gaun sederhana di pernikahan mereka.
Gaun merahnya yang terang menempel indah di tubuh langsingnya. Ujung gaun itu dihiasi dengan sulaman emas yang bila tertimpa cahaya akan terlihat semakin berkilau. Kulitnya terlihat bercahaya karena telah diberi susu saat mandi tadi. Belum lagi aroma mawar yang menguar dari tubuhnya, menambah daya pikat yang memancar keluar darinya.
Tangan Megaly telah lepas dari rambut Kalantha setelah mengepang rambut Kalantha dengan gaya dutch braid pada bagian poninya. Megaly juga menambahkan sebuah tiara dan bunga segar pada rambut Kalantha. Rambut bagian belakang Kalantha dibiarkan terurai.
"Anda sangat cantik, tuan putri." Puji Megaly tulus.
"Raja Helios memang tak salah memilih anda sebagai mempelainya." Tambah Megaly.
"Itu semua berkat tangan ajaibmu, Megaly. Helios pasti begitu mempercayaimu sehingga ia memberimu perintah untuk mendandaniku sebagai mempelainya. Ah, beruntungnya aku." Balas Kalantha dengan mencoba tersenyum.
"Terimakasih pujiannya, tuan putri. Tapi jika memang anda tidak puas dengan hasil kerja saya, saya dapat mengubahnya sesuai seleran anda."
Kening Kalantha berkerut. "Tidak, Megaly. Aku menyukai hasil kerjamu. Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Maafkan hamba jika hamba lancang, tuan putri. Tapi saya sama sekali tidak melihat pancaran kebahagiaan di wajah cantik anda, tuan putri. Sedari saya mendandani anda, wajah anda terus saja tertekuk. Saya tadi berpikir jika anda sedang gugup karena akan menikah dengan raja Helios. Namun, setelah saya selesai mendandani andapun, wajah anda tetap tertekuk. Bahkan semakin masam. Saya jadi merasa kalau riasan saya semakin membuat perasaan anda memburuk." Jelas Megaly tanpa menatap wajah Kalantha.
Kalantha menghela nafas sesaat. Bukan begitu sebenarnya yang menjadi alasan wajahnya tampak muram seperti ini. Kalantha jadi merasa tidak enak karena sudah membuat Megaly merasa bersalah. Harpy itu tak memiliki salah apapun. Bahkan hasil kerja gadis itu begitu sangat memuaskan baginya. Memang benar, wajahnya masam karena pernikahannya yang tinggal hitungan jam lagi. Tapi, bukan karena rasa gugup atau bahagia karena menjadi mempelai dari Helios, melainkan karena ia tak mau menjadi pengantin dari Helios.
Ia sedang berpikir, apakah semesta akan melepaskannya dari jeratan yang disebut pernikahan ini? Apakah ada kesempatan baginya untuk kabur dari istana ini? Sudah pasti jawabannya tidak. Ia tak akan pernah bisa mengelabui para prajurit minotaur itu. Tubuhnya begitu kecil jika dibandingkan dengan para minotaur raksasa itu.
"Tidak, Megaly. Ini bukan salahmu. Aku minta maaf karena telah membuatmu jadi merasa tak enak hati. Aku memang sedang memikirkan suatu hal, tapi itu tak ada sangkut pautnya denganmu. Ini lebih seperti...masalah pribadi." Kalantha mencoba menjelaskan pada Megaly agar harpy itu mengerti.
Megaly akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia merasa lega karena ternyata penyebab kemurungan Kalantha bukanlah dirinya.
"Syukurlah, tuan putri. Hamba lega mendengarnya. Setidaknya hamba tak menjadi alasan wajah cantik tuan putri menjadi murung." Kalantha mengangguk.
Megaly menundukkan badannya hormat, permisi untuk keluar dari kamar Kalantha. Kalantha lagi-lagi hanya membalasnya dengan sebuah anggukan. Setelah Megaly keluar, Kalantha kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya dipenuhi oleh coretan garis teratur berwarna merah dan oranye, dan di dahinya ada sebuah gambar bundaran berbentuk matahari. Simbol dewa matahari.
Namun tidak ada senyuman di sana. Hanya wajah datar nan dingin yang ia dapati. Dari semalam ia tak bisa tidur, memikirkan mimpinya sekaligus pernikahan dadakan yang akan ia laksanakan. Kalantha menarik nafas sesaat. Sial, dia belum siap untuk ini. Apa yang ada di pikiran Helios sehingga memilihnya yang masih begitu muda untuk bersanding dengannya yang telah berusia hampir seabad itu. Kalantha merasa seperti menikahi kakenya walau usia ayahnya sendiri telah memasuki empat abad.
"Kau tampak begitu menawan, putriku."
Kalantha berbalik saat ia mendengar suara yang begitu ia kenal. Chleo, ibunya. Berdiri di sana, seorang diri tanpa ada dayang yang biasa setia mengikutinya. Wanita paruh baya namun tetap tampak menawan itu menatapnya dengan mata berbinar-binar karena bangga dengan penampilan putrinya.
"Kau begitu luar biasa, sayang."
Kalantha menunduk hormat pada dewi bumi. "Salam hormat, yang mulia ratu."
Kalantha cukup terkejut akan kedatangan Chleo yang begitu tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu. Apa tidak ada seorangpun yang berjaga di depan kamarnya? Seingatnya tadi Aletha dan Alena berdiri di luar untuk berjaga-jaga karena dirinya yang tengah dibersihkan. Tapi tampaknya ada hal yang begitu penting sampai membuat kedua orang itu meninggalkan kamarnya.
"Silahkan duduk, ibu." kalantha mempersilahkan Chleo untuk duduk di tempat tidurnya.
Netra seteduh langit biru itu menatap lurus pada putrinya yang kini tengah duduk di depannya. Jemari lentiknya terangkap membelai surai gelap Kalantha yang begitu lembut. Kalantha memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan lembut yang diberikan kepadanya. Dan seperti sebelum-sebelumnya. Surai hitam itu perlahan berubah menjadi putih. Chleo tersenyum karena tahu kalau Kalantha merasa tenang dengan belaian yang ia berikan.
"Anakku, sayang." Gumam Chleo.
"Ibu.." lirih Kalantha.
"Ya, sayangku?" Jawab Chleo.
"Aku akan merindukan ibu dan ayah." ucap suara parau itu.
Kalantha berusaha mati-matian menekan rasa sedihnya agar tak mengubah warna putih yang ada di kepalanya. Wajah Chleo mendadak berubah sendu. Tangannya kini mengusap pipi Kalantha yang sedikit berisi. Menangkupnya dan memberikan sebuah kecupan singkat.
"Maafkan ibumu yang tak berguna ini." Lirih Chleo.
Kalantha menggeleng. Bukan itu maksudnya, ia mengatakan itu karena memang ia akan merindukan sosok dewi bumi itu. Bukannya seperti sedang menyindir Chleo yang tak bisa membatalkan pernikahan ini.
"Maafkan ibumu ini, sayang." Kata Chleo sekali lagi.
Kalantha menarik Chleo ke dalam pelukannya. Menepuk punggung Chleo seolah meyakinkan Chleo ia tak apa. Kepalanya menggeleng kecil dalan lekukan leher sang dewi. Lagi-lagi Kalantha menyempatkan untuk menyesap aroma tubuh ibunya, karena mungkin ini akan jadi yang terakhir ia dapat memeluk ibunya.
"Bukan itu maksudku, bu. Kalantha tak apa dengan pernikahan ini. Anakmu ini akan baik-baik saja. Aku yakin semesta akan melakukan hal yang baik untukku. Aku tak marah pada ibu atau ayah, kejadian kemarin kita lupakan saja. Itu adalah kesalahanku yang melawan ayah, tak seharusnya aku melakukan hak itu."
Chleo melepas pelukan mereka. Matanya sudah memerah karena menangis. Chleo menggenggam jemari Kalantha, mengusapnya perlahan dan meremas pelan.
"Entahlah, putriku. Aku hanya merasa seperti, akan ada hal buruk yang terjadi."
"Maksud ibu apa?" Kalantha tampak tak paham dengan yang ibunya barusan sampaikan.
"Ibu merasa akan ada hal buruk yang akan terjadi saat pernikahanmu dengan Helios akan berlangsung. Ibu rasa ibu perlu membicarakan ini lagi dengan ayahmu." Jelas Chleo dengan matanya yang terlihat khawatir.
Kalantha tersenyum kecil. Tangannya mengusap lembut wajah Chleo, seperti yang tadi dilakukan ibunya padanya. Chleo membalasnya denggan meremas sebelah tangan Kalantha yang berada di pipinya.
"Aku tak apa, ibu. jika memang takdir sudah memutuskan aku akan berakhir dengan Helios, aku tak akan keberatan dengan itu, ibu."
Baiklah, Kalantha tengah berbohong saat dikatakannya ia tak keberatan menikah dengan Helios. Ia begitu keberatan, sangat malah. Menikah dengan Helios adalah urutan terakhir dari daftar hal ingin ia lakukan. Tapi ia tak berbohong saat mengatakan kalau akan tetap melangsungkan pernikahannya karena takdir semesta.
"Aku tak akan mempermalukan kerajaan kita dengan tiba-tiba saja membatalkan pernikahan ini. Aku akan tetap melakukannya walau ibu tahu sendiri apa yang ku rasakan. Dan jika memang Helios bukanlah takdirku, biarkanlah semesta sendiri yang memisahkan kami. Bukan ibu atau lainnya." Jelas Kalantha.
"Kalantha, kau tahu betapa ibu menyayangimu."
Astaga, itu adalah pernyataan yang tak perlu diucapkan oleh ibunya. Ia tentu sangat tahu tentang itu. Orang tua mana yang tak menyayangi anaknya?
"Dan jika terjadi sesuatu padamu, ibulah yang akan berdiri di barisan paling depan. Nyawa ibu taruhannya."
Chleo menekan setiap kalimat yang ia ucapkan. Netranya menatap serius pada Kalantha yang tengah mengernyit heran sekaligus marah. Tentu saja Kalantha merasa marah akan ucapan ibunya. Apa-apaan itu barusan, seolah ibunya sedang mengatakan kalimat perpisahan sebelum bumi memintanya kembali.
"Apa-apaan itu. Aku tak suka saat ibu mengatakan hal konyol seperti itu."
"Tapi kal_"
"Shhht."
Kalantha meletakkan jari telunjuknya ke bibir merah Chleo. Netra senada mereka kini bertemu. Kalantha tersenyum untuk menenangkan ibunya.
"Bu, apa yang akan terjadi, biarlah terjadi. Kita tak punya kekuatan untuk menantang semesta. Aku akan menerima takdirku dengan lapang dada. Karena aku adalah anak dari dewa hutan dan dewi bumi. Aku adalah dewi alam, aku pasti cukup kuat untuk menerima setiap kenyataan yang akan terjadi padaku. Jadi ibu tenang saja, ya."
Ucap Kalantha dengan yakin. Tidak ada nada keraguan dari setiap kalimat yang ia lontarkan barusan. Seperti Kalantha sudah sering mengatakan hal seperti itu. Atau seperti ia telah menghapalkan rentetan kalimat itu dari hari sebelumnya.
Chleo menggeleng kecil sebelum kembali menarik Kalantha ke dalam dekapannya. Entah apa yang harus ia katakan kepada Kalantha, tentang betapa bangganya ia memiliki Kalantha dalam hidupnya. Betapa semesta telah bermurah hati untuk menganugerahi putri seperti Kalantha.
"Terimakasih sudah menjadi anakku."
"Dan terimakasih sudah menjadi ibuku."
***
"Kau sudah siap, putri?"
Kalantha mengangguk malas. "Aku siap."
Dan itu adalah kebohongan mutlak. Sejak kapan ia merasa siap? Bahkan jika alam semesta nanti memberikan dia kehidupan kedua, ia tak yakin akan mengatakan siap. Tapi mau bagimana lagi, ia tak dapat melakukan apapun. Ia hanya dapat berharap semoga akan ada keajaiban.
Alena menatap Aletha. Kedua peri hutan itu sadar kalau Kalantha sedang dalam hati yang buruk. Mereka lalu berjalan di samping kanan dan kiri Kalantha. Merekalah yang akan mengiring Kalantha menuju aula pernikahan. tapi, kalau Kalantha memasang raut seperti itu malah akan membuat rasa penasaran semua kaun negri putih.
"Kalantha, tak bisakah kau mencoba tersenyum?" kata Alena sedikit berhati-hati karena takut membuat perasaan Kalantha semakin buruk.
Kalantha mendengus karena pertanyaan Aletha. Jalankan tersenyum, membuka matanya saat tahu ini adalah hari pernikahannya saja ia malas.
"Cobalah tersenyum, Kalantha. Kau akan membuat semua tamu heran akan wajahmu." Alena mencoba membujuk, berharap itu akan membuat Kalantha mengerti.
"Aku sudah cukup lelah karena menahan rasa sedihku agar rambut ini tak berubah warna. Jadi jangan paksa aku tersenyum, yang ada warna rambutku akan berubah saat pernikahan berlangsung." Balas Kalantha sedikit ketus.
"Baiklah, terserah kau saja."
Alena dan Aletha tampaknya menyerah untuk membujuk Kalantha. Mereka lalu berjalan menuju aula. Alena telah memberikan karangan bunga kepada Kalantha saat masih di dalam kamar, seperti yang biasa digunakan saat pernikahan dilangsungkan. Kalantha berjalan tak nyaman apalagi saat mereka sudah sampai di aula.
Helios beserta tamu lainnya berbalik ketika Aletha dan Alena telah muncul. Semua mata terpana akan penampilan memukai Kalantha. Bahkan Helios sampai menahan nafasnya. Sementara Kalantha tak merasakan apapun ketika melihat Helios di depan sana. Berdiri menantinya di samping pendeta Ashoka.
Langkah Kalantha begitu pelan namun terlihat begitu anggun di mata semua orang. Gaun merah yang dikenakannya berkibar-kibar seiring setiap langkah. Aroma mawar segera mengisi aula, memabukkan setiap kaum. Semua orang begitu memuja dewi alam, sang pengantin wanita. Bahkan orang menganggap Kalantha semakin mempesona karena tak tersenyum.
Helios berjalan mendekati Kalantha. Kalantha dapat melihat senyum di wajah rupawan itu. Namun Kalantha seperti merasa itu bukan senyuman kebahagiaan. Senyuman itu penuh keangkuhan, seolah mengatakan betapa cantik mempelainya. Bukan karena cinta. Kalantha juga melihat sebuah bundaran yang sama di dahi Helios.
Tangannya terulur kepada Kalantha, mengajak Kalantha untuk bergabung bersamanya di atas altar. Kalantha menerima uluran tangan Helios dan bergabung dengan mereka berdua. Aletha dan Alena segera berjalan menuju pintu masuk. Membantu Evander berjaga di luar. Namun, mereka masih dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam.
Ashoka memulai upacara pernikahan dengan membuka mulutnya, berkomat kamit membacakan ayat suci perihal pernikahan para dewa. Kalantha tak terlalu memahami apa yang dikatakan pria tua itu. Ia begitu malas mengikuti pembelajaran sastra kuno di istana sehingga tak memahami satupun kata yang dilontarkan pria tua itu. Matanya sedari tadi sibuk menatap ke arah tamu pernikahan.
Kalantha dapat melihat Chleo yang menyuruhnya menatap Helios, bukan para undangan. Kalantha segera melaksanakan apa yang dikatakan Chleo. Ia tak mau melawan ibunya disaat-saat terakhir ini.
Bacilio mendekap Chleo yang tampaknya akan menangis karena sebentar lagi harus melepaskan putri satu-satunya mereka. Chleo membenamkan wajahnya pada dada Bacilio, menahan air matanya agar tak keluar di tengah-tengah acara. Ia tak mau membuat Kalantha panik karena mengira ia tak sanggup melepaskannya.
Kalantha kembali menatap Helios. Namun tubuh Kalantha langsung menegang kala ia menatap sesuatu di depannya. Betapa kagetnya ia kala melihat seorang berdiri di belakang Helios. Kalantha tak dapat memastikan itu pria atau wanita karena jubah yang menutupi seluruh diri sosok itu, dan jangan lupakan cadar juga. Hanya mata merah itu yang dapat di tangkap oleh netra birunya. Namun, kenapa Kalantha seperti tak asing dengan mata pria itu. Apa tak ada yang menyadari kehadiran sosok itu disana, pikir Kalantha.
"Ya, aku bersedia." Itu suara Helios.
Kalantha tak terlalu menyimak apa yang dikatakan oleh Ashoka sehingga Helios sudah sampai pada sumpah pernikahan. kini tatapan pendeta mengarah kepadanya. Bukan hanya Ashoka, tapi semua orang menantapnya. Kalantha bukan tak tau apa arti dari tatapan itu, tapi ada suatu hal yang membuatnya sangat sulit untuk berbicara. Mulutnya terbuka kecil, meraup udara dengan dada yang mulai naik turun tak karuan.
Alis helios terangkat saat kalantha tak kunjung mengucapkan sumpah pernikahan mereka. Ashoka memanggil Kalantha, meminta dewi itu untuk segera menjawabnya. Namun semua yang disana dibuat terkejutnya akan ucapan Kalantha.
"Sesak."
Suara Kalantha terdengar begitu lirih. Malah seperti sebuah gumaman.
"Kalantha, ada apa?" Tanya Helios.
"Kumohon, tolong. Aku merasa begitu sesak." Ringis kalantha.
Chleo dan Bacilio saling berpandangan. Raut kekhawatiran jelas tersirat karena melihat putri mereka yang tidak kesakitan.
"Kalantha, kau,"
Tangan Helios yang baru saja menyentuh bahu Kalantha langsung di tepis kasar oleh dewi alam itu. Helios tercengang karena penolakan Kalantha. Kalantha melakukan itu bukan karena merasa jijik, tapi karena tiba-tiba saja gaun itu semakin mencekiknya. Apalagi seratnya yang begitu bagus membuat kain itu sulit robek walau hanya sedikit saja.
"AHHHH! Jangan menyentuhku. Ku mohon, baju ini.. semakin mencekikku."
Aletha dan Alena yang melihat dari jauh segera berlari untuk membantu Kalantha. Namun lima langkah lagi mereka sampai, gaun yang dipakai Kalantha telah robek sampai ke pinggang lalu melorot dengan lembutnya ke lantai. Chleo dan Bacilio menatap horor pada Kalantha. Mata mereka terlihat akan terlepas dari tempatnya saking lebarnya mata itu terrbuka. Aletha dan Alena hanya bisa terdiam menatap tubuh kalantha yang begitu terbuka di hadapan semua orang. Oh, tidak. Ini akan jadi masalah besar.
tbc