War

Evander yang dapat langsung menyadari akan ada hal buruk terjadi walau di tengah keterkejutannya, segera memegang kuat pedang yang masih berada disarungnya.

Kalantha meraup udara banyak-banyak. Ia hampir mati kesesakan karena gaun sialan itu. Suara kasak kusuk dari setiap kaum menyadarkan Kalantha atas apa yang telah terjadi. Dengan perlahan ia memandang pada bagian bawah tubuhnya. Astaga, ia hanya mengenakan dalaman yang menutup daerah intimnya. Para pejantan menatap penuh nafsu pada Kalantha namun tak dapat berbuat apa-apa. Mereka masih menyanyangi nyawanya.

Berbeda dengan Helios yang matanya telah berkilat marah. Bahkan simbol bundaran yang berada di kening Helios telah bersinar terang, menandakan betapa ia tengah berada di titik didih tertinggi. Ia begitu malu akan apa yang telah terjadi pada Kalantha. Itu adalah sebuah penghinaan. Seorang mempelai yang menunukkan tubuhnya pada orang yang bukan suaminya adalah tindakan terhina. Para dewa harus menjaga kehormatan serta kesucian mereka hanya untuk pasangan mereka kelak.

Namun, tampaknya Kalantha telah melanggar aturan itu. Ia telah menunjukkan lekuk tubuhnya pada semua orang yang datang.

"Kau adalah dewi paling rendah yang pernah aku lihat. Betapa aku menyesal karena telah melamarmu. Kau telah membawa aib bagi kerajaanku. Kau pantas untuk menerima hukaman dari negriku, Kalantha. Dan hukuman yang pantas untuk seorang dewi pembawa aib adalah kematian. Kau tak pantas hidup. Aku, Helios, sang dewa surya memerintahkan kau, Bacilio, untuk membunuh pembawa aib ini." Helios menunjuk Kalantha dengan telunjuknya.

Bacilio kaget atas perintah yang barusan diberikan oleh Helios. "Apa, maksudku, kenapa kau langsung menghukum mati putriku? Tidak dapatkah kau memikirkan hukuman lain? Apa lagi gaun yang dikenakan putriku adalah berasal dari kerajaanmu, dewa Helios.Jadi ku pikir putriku pantas untuk menerima sedikit pertimbangan hukuman yang akan dijalaninya."

Helios menatap garang pada Bacilio. Ia tak terima karena Bacilio seperti menuduh kerajaanya.

"Apa kau bilang? Jadi kau ingin menyalahkan kerajaanku atas aib yang diperbuat oleh makhluk kotor ini?"

"ANAKKU BUKAN MAKHLUK KOTOR, HELIOS."

Semua orang kaget akan suara menggelegar dari dewi bumi. Suara gemuruh dari dalam tanah seperti menjadi suara latar belakang akan kemarahannya.

"Aku adalah ibunya. Berani sekali kau mengatakan hal sekejam itu pada putriku? Sudah jelas-jelas putriku tak bersalah, tapi kau malah tetap menuduhnya. Dimana hatimu kau letakkan? Kau adalah dewa matahari, tapi sikapmu tidak lebih seperti kaum terendah. Bahkan lebih rendah."

"Tutup mulutmu, Chleo!" Pekik Helios begitu kuat.

"JAGA NADA BICARAMU, HELIOS!"

Sontak para prajurit dari masing-masing kerajaan mengambil posisi. Menjaga raja mereka masing-masing.

"Kau melakukan hal yang salah, Bacilo." Helios mengangkat tangannya ke udara. Telapak tangannya seperti memegang sesuatu, dan tiba-tiba saja sebuh tongkat emas sudah berada di genggamannya.

"Akan ku bunuh kalian semua, setelah itu negrimu yang akan kuratakan menjadi sama dengan tanah." Ucap Helios penuh penekanan.

Dan seketika peperangan telah terjadi. Setiap prajurit berperang untuk kerajaan mereka masing-masing. Aleth dan Alena tak dapat melindungi Kalantha sebab para minotaur yang menghadang mereka. Sialan, mereka dikepung.

"Pengecut." Desis Aletha.

"Mari kita selesaikan ini."

Di tengah peperangan itu, Kalantha memilih untuk menepi ke belakang. Mencoba bersembunyi agar tidak menyulitkan mereka yang sedang berperang. Ia harus cukup tahu diri. Namun, kesalahan terbesar adalah menghindari Helios.

Pria itu telah berdiri di depan Kalantha. Membuat gadis itu terpekik kaget dan berniat melarikan diri. Alena yang melihat Kalantha dalam bahaya segera memenggal kepala minotaur terakhir yang mengepung mereka.

Mereka berlari menuju Kalantha, namun sialnya seorang Harpy menghadang mereka. Megaly sialan.

"Menyingkirlah. Aku harus menyelamatkan Kalantha." Teriak Aletha.

"Maaf, tapi dia adalah aib yang harus di basmi."

Gigi Aletha bergeletak. "Sialan, kaum sepertimu bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Kalantha. Kalantha adalah symbol dari kerajaan kami. Dia bahkan tak pernah gila untuk menerima penghormatan dari bawahannya. Dan kau mengatakan dia adalah aib? Lancang kau."

Aletha melayangkap busurnya kepada Megaly dan dengan mudah ditangkis olehnya. Dari belakang, Alena telah mengarahkan pedangnya pada Harpy itu. Namun tampaknya gerakannya telah dibaca oleh Megaly. Megaly balas menyerang mereka. Dan tampaknya semua berjalan seimbang.

Kalantha berjalan mundur. Ketakutan akan sosok mengerikan di depannya. Helios menyeringai senang akan tatapan ketakutan Kalantha. Matanya bahkan sesekali melirik tubuh indah Kalantha. Seandainya saja semua berjalan dengan sempurna, pastilah tubuh itu akan menjadi miliknya. Mungkin mereka akan bermain dengan indah mala mini. Bukannya melakukan peperangan yang Helios sendiri tahu bagaimana akhir dari peperangan ini.

Menyadari tatapan itu, Kalantha segera menutupnya dengan kedua tangan. Chleo yang menyaksikan dari jauh segera berlari ke arah Kalantha. Selendangnya ia lilitkan kepada Kalanta menggunakan kekuatan yang ia miliki. Kini ia telah berdiri di depan kalantha. Menjaga putrinya dari serangan dewa yang sudah gila itu.

"Astaga, Chleo. Kau harus menyingkir sebelum aku membunuhmu juga."

"Kalau begitu kau harus membunuhku dulu, Helios. Karna kau tak akan bisa menyentuh putriku saat aku masih bernafas." Tantang Chleo.

Helios tersenyum mengejek. "Baiklah, itu maumu. Akan ku kabulkan."

Helios mengarahkan tombaknya pada Chleo, namun segera tanaman menjalar itu melilit tangan Helios. Helios sedikit kesulitan melepaskan dirinya dari lilitan tanaman menjalar itu.

"Kau lumayan kuat juga. Tampaknya aku harus mulai darimu lalu putrimu."

Dan Kalantha hanya dapat diam menjadi penonton saat ibunya harus berusaha mati-matian harus nelindunginya. Ia terus merapalkan doa kepada semesta untuk melindungi Chleo dari serangan Helios. Namun, seperti yang memang seharusnya terjadi. Helios adalah pusat dari segala bumi. Chleo tak akan dapat menandingin kekuatan dewa satu itu.

"Ucapkan selamat tinggal pada anakmu, Chleo. Oh, atau lebih tepatnya sampai jumpa. Karena sebentar lagi, putri cantikmu ini akan menyusulmu."

Alena segera kabur, membiarkan Aletha melawan Megaly seorang diri. Bukannya ia bermaksud untuk egois dan mementingkan diri sendiri. Tapi disana, ratunya sedang dalam bahaya. Raja Bacilio sedang terdesak karena harus melawan ratusan kaum dari negri Helios yang kekuatannya cukup kuat. Kaki Alena terbuka lebar. Ia harus segera sampai sebelum terlambat.

Tombak Helios terangkat dan

Crash

"ALENAAA!"

Crash

Aletha segera menghabisi Megaly dengan sihirnya dan berlari menyusul Alena. Anak panahnya ia arahkan pada Helios. Namun yang ada, anak panahnya malah berbalik menyerangnya. Evander segera menepis anak panah tersebut sebelum mengenai Aletha.

"Terimakasih." Aletha segera berlari untuk menyelamatkan Kalantha beserta ratu. Bacilio masih melawan para minotaur dan harpy yang mengeroyokinya. Evandermemilih melindungi menjaga Aletha dari belakang karena elf itu akan menyelamatkan Kalantha.

"Wow, seekor tikus datang lagi. Astaga, kalian semua membuat tanganku menjadi kotor karena darah kalian. Tidak bisakah kalian menghabisi diri kalian sendiri?" ucap Helios seperti frustasi.

"Bedebah. Aku bersyukur di lahirkan di negri putih. Bukan negri langit yang dipimpin oleh dewa sepertimu." Desis Aletha seraya meludah ke tanah.

Dan kembali, Helios harus melawan kedua teman dari Kalantha. Para minotaur datang membantu Helios wakaupun sebenarnya dewa itu tak memerlukan bantuan mereka. Aletha yang sudah kehabisan tenaga tidak dapat mengelak saat pedang minotaur harus menebas tubuhnya. Aletha jatuh ke tanah. Tampaknya ia akan berjumpa dengan Alena sebentar lagi. Tak jauh beda dengan Evander yang telah terpenggal karena Helios.

Kini Helios berdiri di hadapannya. Karena sankin lemahnya, Chleo tak dapat mengeluarkan kekuatannya. Ia masih setia berdiri di depan Kalantha walau nafasnya sudah tersengal-sengal. Helios melangkah mendekati ibu dan anak yang sedang berpelukan didepannya.

"Kini giliran kalian berdua." Helios sudah mengarahkan pedangnya pada mereka berdua sampai sebuah suara yang tiba-tiba saja menghentikan Helios.

"Aku mohon, jangan bunuh anak dan istriku. Aku akan mengabdi padamu, tapi biarkan mereka hidup." Bacilio berlutut di kaki Helios. Memohon belas kasihan dari dewa yang menurut Kalantha sinting.

"Apa buktinya."

Bacilio menyayat tangannya. Darah segar mengalir jatuh ke lantai yang ia pijak. "Aku bersumpah atas darahku, aku akan menjadi pelayanmu yang setia. Hidup dan matiku akan aku berikan kepadamu."

"Suamiku, apa yang kau lakukan." Teriak Chleo berang. "Aku tak masalah mati di tangan iblis itu daripada harus mengabdi padanya."

Helios kembali tersulut emosi. Ia menebaskan pedangnya pada dada kiri Chleo.

"IBUUUUU!"

Bersamaan dengan teriakan Kalantha, lantai berubah menjadi tanah yang begitu kering. Tidak ada lagi bekas darah hasil peperangan. Tubuh Chleo jatuh dengan darah yang masih merembes keluar.

rambut yang hanya sebagian berwarna biru itu kini telah sepenuhnya menjadi biru. Kakinya melangkah mendekati tubuh Chleo. Ia meletakkan Chleo ke pahanya seraya menangkup pipi ibunya.

"IBU...."

Kalantha menangis meraung-raung. Ia tak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia tak memiliki kekuatan apa-apa dalam menyembuhkan seorang dewi bumi. Kalantha menatap Bacilio yang telah terduduk ke tanah. Tak percaya atas apa yang baru saja dilihatnya.

"Ayah, ayah kumohon bantu ibu."

"Kalantha..." suara parau Chleo membuat Kalantha menolehkan kepalanya.

"Ibu, aku mohon bertahanlah. Ayah akan menyelamatkan ibu."

"Diam di tempatmu, Bacilio."

Suara Helios menghentikan langkah Bacilio untuk menyelamatkan istrinya. Matanya membulat menatap Helios yang menyuruhnya untuk berhenti. Ia mencoba untuk tak perduli dan tetap berjalan mendekati Kalantha dan Chleo yang telah sekarat.

"AKU BILANG DIAM DI TEMPATMU, BACILIO."

"APA KAU GILA? ISTRIKU SEDANG SEKARAT."

"Tampaknya kau memang sudah cukup tua untuk mengingat apa yang baru saja kau ucapkan sendiri, Bacilio. Apa kau lupa, kau sudah bersumpah untuk menjadi pelayanku dan itu atas darahmu sendiri."

"Tapi kau telah membunuh istriku, keparat." Jawab Bacilio dengan nada berapi-api.

"Bacilio, aku bahkan belum mengiyakan perkataanmu. Tapi kau sudah mengucapkan sumpahmu terlebih dahulu." Ujar Helios dengan seringainya.

Bacilio membeku. Ia baru menyadari kebodohannya karena mengucapkan sumpah sebelum bernegoisasi dengan Helios. Helios memang belum mengatakan iya atau tidak atas penawaran yang diberikannya tadi.

"Kenapa,Bacilio? Apa kau sudah mengingatnya?" ejek Helios.

Senyum Helios terlihat lebih seperti seringaian iblis. Kalantha bersumpah ia ingin sekali mencakar atau menguliti wajah Helios sampai terlihat seperti binatang. Tapi ia tak memiliki waktu untuk mewujudkan ekspetasinya itu. Ia harus membujuk Bacilio untuk mengobati Chleo.

"Ayah, Ayah ku mohon selamatkan ibu. Dia akan mati jika terus begini." Tangis Kalantha.

Bacilio menangis, lututnya terasa begitu lemas sampai tak dapat menahan berat tubuhnya. Kalantha menggeleng kuat. Apa ayahnya tak akan menyelamatkan ibunya, pusat dari kebahagiaan mereka?

"AYAH..." Kalantha berteriak memanggil Bacilio.

"Sudahlah, Kalantha. Dia tak akan pernah dapat menyembuhkan ibumu tanpa persetujuan dariku. Karena ayahmu sekarang adalah pelayanku. Dan tugas pelayan adalah menuruti perkataan majikannya." Cemooh Helios.

Kalantha menatap Bacilio kembali. Wajahnya memancarkan rasa ketakutan karena ucapan Helios. Kepala Kalantha menggeleng tak percaya.

"Ayah, dia berbohong kan? Ayah, dia itu licik. Ayah tak usah mendengarkan ucapannya, ayah. Ayah, tolong ibu. ku mohon."

Serius, ayahnya tak akan menolong ibunya. Jadi beginikah akhir dari semuanya? Ibunya akan mati dalam pertempuan yang tak masuk akal ini. Tidak boleh, ia tak mau kehilangan Chleo. Ia tak mau kehilangan ibu yang selama ini menjaga dan merawatnya. Ibu yang tak pernah melarangnya seperti Bacilio yang selalu egois kepada kehidupan yang ia jalani.

"Ayah, kau serius tak akan menolong istrimu?" lirih Kalantha.

Ia memeluk kepala Chleo, takut wanita itu akan pergi meninggalkannya.

"Kalantha, putriku sayang." Suara parau ibunya menarik perhatian Kalantha. Kalantha langsung memegang tangan ibunya yang terulur dan meletakkannya ke wajah sembab miliknya.

"Ibu, maaf. hiks Maaf.. aku tak bisa hiks menyembuhkan ibu. Aku mohon ibu, bertahanlah. Aku akan mencari bantuan segera. Hiks hiks hiks." Kalantha mencium telapak tangan ibunya berkali-kali.

Chleo tersenyum lemas. Kepalanya menggeleng begitu kecil. "Sayang, anakku, Kalanthaku, putriku, semestaku. Kau segalanya bagiku. Jangan menangis sayang. Ini bukan kesalahanmu. Apa kau.."

Ucapan Chleo terpotong karena batuknya lalu melanjutkan ucapannya. "Apa kau ingat dengan yang ibu katakan sebelum upacara pernikahanmu dimulai?"

Kalantha mengangguk. Bibirnya bergetar hebat dengan mata yang menyipit.

"Dan jika terjadi sesuatu padamu, ibulah yang akan berdiri di barisan paling depan. Nyawa ibu taruhannya. Dan ibu sudah menepati janji ibu padamu."

"Tidak, ibu tak boleh meninggalkanku."

Kalantha menggeleng-geleng kuat. Suaranya semakin mencicit karena tak kuasa menatap wajah Chleo yang telah begitu pucat karena kehabisan darah. Dia benar-benar merasa tak berdaya karena tak dapat berbuat sesuatu.

"Kalantha, ibu mohon. Pergilah dari sini, nak. Kerjarlah kebahagiaanmu. Ibu hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu." Dan lagi-lagi suara Chleo harus tersendat karena batuknya.

Kalantha meremas tangan Chleo. Suara sesegukan terdengar disertai dengan air mata yang telah mengalir deras. Chleo mengusap wajah Kalantha dengan begitu lembut. Surai biru itu semakin menggelap, menandakan betapa mendung keadaan hatinya.

"Ibu harap, semesta akan bermurah hati untuk menjadikanmu anakku atau aku sebagai anakmu di kehidupan selanjutnya."

Tangan Chleo telah jatuh ke atas tanah, tergeletak lemas. Matanya telah tertutup sempurna. Tidak ada lagi senyuman di bibir indah itu. Tidak ada lagi deru nafas dan detak jantung dari tubuh itu. Kalantha merasa bahwa rohnya seakan terbang melayang dari raganya. Ia terdiam dan membisu. Ibunya telah tergeletak tak bernyawa dalam pangkuannya. Cahayanya, apakah itu sudah padam?

tbc