Harmaen

Leandro sedang duduk seraya meminum cairan merah pekat yang tadi dibawakan oleh pelayannya. Ia baru saja pulang dari pengasingan dirinya. Lebih tepatnya kabur dari pengasingannya yang seharusnya itu berlangsung satu purnama. Namun tiba-tiba saja Leandro merasa kalau jantungnya berpacu begitu cepat. Bahkan dahi dan sekitar bahunya tadi melepuh.

Dan ia membutuhkan darah kaum putih untuk menyembukan luka itu. Untunglah Sergio selalu membawa persediaan darah untuknya selama mereka mengasingkan diri. Saat itu Leandro kebingungan kenapa tiba-tiba saja ia terluka. Untunglah Sergio mengingatkannya bahwa sekarang ia telah terhubung dengan Kalantha. Jadi pasti ada sesuatu yang terjadi pada dewi itu.

Dan tebakan Leandro benar. Kalantha sedang meringkuk dengan tubuh menggigil dalam kegelapan. Tampaknya dewi itu memang memiliki pikiran yang begitu cerdas karena dapat mengelabui para Cerberus yang dihadiahkan Lucifer padanya. Entah apa yang dipikiran wanita itu sampai kabur dari kamarnya. Leandro sudah memperingatkan dia kalau begitu banyak bahaya di istananya bagi dirinya sendiri.

Leandro kembali menyesap minumannya. Darah ini tak seenak darah milik Kalantha. Leandro menatap lekat-lekat cawan yang sedang dipakainya untuk minum. Darah itu benar-benar pekat. Pasti pemiliknya ini masih sangatlah muda. Mungkin baru beberapa tahun. Tapi tidak seperti milik Kalantha.

Sejenak Leandro menatap tangannya yang tadi telah di cakar oleh Shaila. Lukanya telah mengering. Tapi, Leandro seperti melupakan sesuatu. Tapi apa? Ah, salahkan dirinya yang lari begitu cepat sebelum tiba waktunya. Harusnya ia kembali minggu depan.

Dan tiba-tiba saja, Brak!

Sergio menatap Leandro dengan wajah terkejut. Leandro sedikit heran karena tatapan pria tua itu padanya. Mungkin pak tua itu terkejut mendapati dirinya yang sudah kembali dari pengasingan dan meninggalkannya sendiri dalam gua yang begitu gelap dan lembab.

"Kenapa kau masih di sini?" Tanya Sergio tak percaya.

"Aku malas." Leandro menjawab pertanyaan Serigo begitu santainya.

Sergio melotot. "Malas katamu? Di mana kau taruh otakmu hah? Kau harus cep-"

"Aku sudah bilang aku sangat lelah, Sergio. Dan jaga ucapanmu. Aku rajamu. Kalau kau memang sudah siap kehilangan lehermu, silahkan katakan itu sekali lagi. Lagipula aku sudah bisa mengatur perubahanku."

Sergio menggeram. Tangannya mengepal. Sebenarnya apa yang ada dipikiran Leandro sehingga ia malas. Bukan itu maksud kedatangan ia ke sini. Ini sangat penting.

"Baiklah. Aku memang belum siap kehilangan kepalaku. Tapi aku rasa kau sudah siap kehilangan Kalantha."

Mata Leandro langsung membulat sempurna.

"Entah apa yang terjadi padamu sampai tangannya melepuh. Bahkan tubuhnya berubah menjadi biru seperti keracunan. Aku rasa dia tak akan sanggup melewati malam ini."

Astaga, Leandro ingat sekarang. Kenapa tak terpikir sedari tadi olehnya. Kalantha pasti terkena racun Shaila sehingga tubuhnya menjadi biru seperti yang dikatakan Sergio. Dengan sekedip mata dia menuju kamar Kalantha. Leandro mendapati kalantha yang tengah tertidur dengan tubuh yang berubah biru.

Buru-buru pria itu menggigit bibirnya sampai koyak. Leandro mendekati Kalantha dan memberikan darahnya pada wanita itu. Memang benar, perlahan tubuh kalantha berubah normal. Namun kenapa Kalantha tak kunjung membuka matanya.

"Ada apa ini? kenapa kau tak bangun?"

Leandro menggenggam tangan Kalantha. Ternyata luka cakaran itu juga belum hilang sepenuhnya. Masih ada bekas tusukan yang sedikit dalam dengan ujung yang menghitam. Leandro yakin seharusnya Kalantha dapat bangun dengan meminum darahnya. Darahnya adalah penawar paling kuat. Bahkan racun terkuat apapun tak bisa melukainya, lalu kenapa Kalantha belum sadar.

"Ada apa, kenapa dia belum sadar?"

Leandro bertanya pada Sergio yang telah datang. Sergio menatap Kalantha sebentar. Entah apa yang dipikirkan penyihir itu, Leandro kesal karena Sergio yang begitu lama menjawab.

"Apa yang terjadi, tolol?" Bentak Leandro.

"Dia masih keracunan, Leandro. Apa kau tak melihat bahwa masih ada daerah yang menghitam." Jawab Sergio.

"Tapi bagaimana bisa? Darahku adalah penawar paling hebat."

"Aku akui itu memang benar. Tapi bukan karena kalian terhubung menjadikan darah kalian sebagai penawar masing-masing untuk segala jenis serangan. Bagaimanapun Kalantha tetaplah seorang dewi alam. Tubuhnya menolak penawar dari dirimu karena memang alamlah yang harus menjadi penawar Kalantha."

"Alam menjadi penawar? Bagaimana bisa kita sempat mencari tahu penawar dari alam sedangkan waktu kita tak akan lama?"

Sergio menggeleng kecil. Dia sendiripun tak tahu bagaimana seorang dewi alam mengobati dirinya sendiri. Apalagi ini karena racun. Sergio berpikir bahwa segala penyakit dapat mereka dua sembuhkan apabila saling bertukar darah, namun dia keliru. Tak semua bisa mereka selesaikan dengan darah dan persetubuhan.

"Apa yang harus kita lakukan?" lirih Leandro.

Ia melepaskan genggamannya dari tangan Kalantha. Kakinya berjalan perlahan menuju jendela yang biasa dijadikan Kalantha tempatnya menatap luar. Mata Leandro tampak begitu redup dan Serigo bisa merasakan kecemasan yang begitu dalam dari mata itu. Ini pertama kalinya dalam beratus-ratus tahun terpanjang ia melihat Leandro tampak begitu khawatir.

"Leandro-"

Tangan kiri Leandro terangkat pertanda ia meminta supaya Serigo diam. Sergio langsung bungkam. "Tolong tinggalkan aku."

Sergio mengangguk. Ia berpikir mungkin Leandro butuh menenangkan dirinya karena harus kehilangan Kalantha. Ia tahu kalau Leandro begitu mencintai Kalantha. Jadi wajar saja kalau pria itu tak siap.

Setelah Leandro sendiri, ia menatap pada terangnya bulan di atas. Selena. Dewi bulan itu. Hanya itu yang bisa ia andalkan saat ini. Ia harus rela kembali bertatap muka dengan dewi satu itu lagi demi Kalantha.

Leandro memejamkan matanya lalu berkata, "Selena, aku membutuhkanmu sekarang. Ku mohon."

"Raja Harmaen."

Suara lembut itu membuat Leandro membuka matanya. Di sana, berdiri seorang wanita dengan gaun sutra putih yang sedari dulu menjadi khasnya. Bahkan terakhir kali bertemu dengan dewi itu Leandro masih ingat kalau gaun itulah yang dipakainya . Wajahnya yang teduh menatap penuh kerinduan pada Leandro.

"Aku bukan Harmaen lagi, Selena. Aku Leandro."

"Tidak, raja. Kau tetaplah Harmaean, sang penguasa terkuat."

"Aku katakan sekali lagi, Selena, jangan panggil aku dengan nama seperti itu. Dan satu lagi, aku bukan rajamu."

Selena menatap sendu pada Leandro. "Kenapa kau meninggalkan dunia atas, Leandro? Kenapa kau tiba-tiba saja menghilang dan kembali dengan kondisi seperti ini?" tanya Selena. Selena sebenarnya cukup risih saat harus mengatakan nama Leandro.

"Itu bukan urusanmu. Sekarang cepat sembuhkan Kalantha. Aku tahu kalau kau pernah memberi dia sebuah anugrah saat ia baru saja lahir." Perintah Leandro

Pandangan Selena tertuju pada putrinya yang sedang tertidur. Ternyata Kalantha terkena racun.

"Racun apa itu?"

"Siren."

Selena terdiam sebentar. Ia tahu betapa berbahayanya racun kaum duyung itu. Mereka dianugrahi dengan kekuatan racun yang begitu ampuh karera semesta sempat menakdirkan para siren akan menjadi pelindung bagi dunia putih. Namun karena tak mau hanya menjadi kaum bawah, para siren memberontak dan kabur menuju dunia bawah.

"Aku tak bisa mengobatinya, raja." Kata Selena.

"Apa kau bercanda?" Leandro menahan emosinya.

"Terakhir kali kita bercanda adalah saat kau masih berusia lima belas tahun. Setelah itu kau harus disibukkan dengan tugas sebagai raja dari dunia atas."

Leandro terdiam. Matanya semakin meredup dengan kepala menunduk. Selena menatap Leandro yang tampaknya kembali pada kejadian beratus-ratus tahun lalu. Selena menghela nafas sebentar.

"Anakku..."

Leandro mengangkat kepalanya menatap Selena. Perlahan aroma dupa itu seperti berganti dengan aroma pinus. Namun Selena tak tertalu menyadari perubahan kecil itu.

"Kau harus membawa Kalantha menuju hutan paling dalam. Letakkan dia perlahan pada rumput segar yang dikelilingi dengan begitu banyak pohon besar. Biarkan dia diam disitu dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan yang paling penting, jangan sentuh dia saat kau sudah meletakkan dia. Jangan mendekat dan kau hanya boleh melihat dia dari atas." Jelas Selena.

"Kenapa aku harus melakukan itu?" tanya Leandro.

"Karena kau tidak punya pilihan lain, anakku." Jawab Selena dengan tersenyum.

Leandro diam. Memang benar. Ia tak punya pilihan lain selain percaya pada Selena. Lebih baik ia mencoba daripada melihat Kalantha mati konyol karena racun Shaila. Setelah ini ia berjanji akan membunuh Shaila dan kedua Cerberus tak berguna itu.

Selena berbalik dan hendak kembali. Namun Leandro buru-buru memanggilnya.

"Selena."

"Ya?"

Cukup lama Leandro diam, seperti ia segan untuk mengatakan sesuatu. Ia menarik nafas kecil lalu mengatakan, "Terimakasih, ibu pengasuh."

Dan Selena merasakan ada sesuatu dalam hatinya yang begitu berdebar saat mendengar Leandro kembali menyebutkan kata itu. ia merasa ingin menangis. Namun Selena menggigit bibir bawahnya pelan.

"Sama-sama, raja Harmaean. Aku dan semesta menunggumu kembali untuk membawa keseimbangan di dunia para dewa ini."

Leandro memejamkan matanya. Setelah ia membuka matanya, dewi satu itu sudah tak ada di depannya. Meninggalkan Leandro yang menatap sebentar pada bulan.

“Aku tak pernah bisa kembali, ibu pengasuh. Bukan sekali aku mencoba, tapi ribuan kali.”

***

Leandro membawa Kalantha ke tengah hutan. Seperti yang tadi dikatakan oleh Selena. Ia harus meletakkan Kalantha tanpa menyentuh dan hanya boleh melihatnya dari ketinggian. Leandro memanggil kirin. Hewan peliharaannya sedari ia masih kecil. Kirin adalah hewan yang memiliki tubuh setengah naga dan setengah kuda.

Kirin adalah hewan yang biasa ditunggangi oleh bangsa dewa. Tapi, ada satu hal unik yang tak bisa dilepaskan dari hewan satu ini. Kirin adalah makhluk paling setia. Mereka tak pernah mengganti siapa penunggangnya. Itulah alasan Kirin dibawa oleh Leandro ke negri bawah ini.

Kirin membawa Leandro ke atas. Dari atas, Leandro terus menatap pada Kalantha. Sudah setengah jam berlalu dan tidak terjadi apa-apa. Leandro sudah bosan. Ia menatap pada bulan yang masih bersinar terang diatas kepalanya.

"Apa kau mempermainkanku? Kau mengatakan ini akan berhasil. Tapi kenapa tidak terjadi apapun?" teriak Leandro.

Leandro memerintahkan kirin untuk turun agar mereka bisa menjemput Kalantha, namun tiba-tiba saja, Leandro merasa kalau ada sesuatu yang bergetar. Getarannya cukup kuat sampai membuat Kirin kehilangan sedikit keseimbangannya. Untunglah Leandro segera mengambil alih kemudi.

Leandro melihat sebuah akar keluar dari para pohon yang mengelilingi Kalantha. Akar itu menjalar menuju Kalantha dan membelit gadis itu. begitu banyak sampai membuat Leandro cemas. Ia takut kalau akar itu akan membuat Kalantha kesesakan karena tak bisa bernapas. Belum lagi akar itu sangat banyak dan menindih tubuh wanita itu.

Kalau bukan karena pesan dari dewi bulan tadi, Leandro pasti sudah turun untuk menarik Kalantha kembali menuju istana. Namun ia percaya pada Selena. Ia hanya harus menunggu.

Para pohon itu mengalirkan sesuatu berwarna hijau cerah pada Kalantha. Namun Leandro tak bisa melihat kalantha karena sudah tertutupi oleh semua akar panjang dan besar itu. Gundukan itu bersinar sangat terang. semakin lama semakin terang sampai membuat mata Leandro kesilauan.

Leandro menutup matanya dengan tangan. Wajahnya berpaling pada sisi lain karena sudah tak tahan dengan cahaya silau itu. beberapa menit kedepan, Leandro tak merasakan matanya kesilauan. Ia berbalik dan menatap pada Kalantha yang sudah tak dikelilingi oleh akar yang sialan besar tadi.

Leandro menghampiri Kalantha. Ia meletakkan Kalantha pada pahanya.Tangan wanita itu sudah tak hitam lagi. Bahkan bekas lukanya sudah menghilang. Memang alamlah yang terbaik.

"Kalantha, Kalantha. Buka matamu." Leandro menepuk wajah Kalantha dengan pelan.

Mata Kalantha bergerak perlahan dan terbuka. Dia mendapati Leandro yang sedang menatapnya dengan mata yang menyiratkan akan kekhawatiran yang begitu besar. Ia duduk dan menatap kesegala arah. Ini bukan di kamarnya. Ini hutan.

"Kenapa kita ke hutan?" tanya Kalantha.

"Aku harus mengobatimu dengan alam. Kau terkena racun siren." Jawab Leandro.

"Bagaimana bisa aku terkena racun Siren? Seingatku aku sedang tidur tadi."

"Itu tak penting. Yang penting kau sudah sembuh."

“Sembuh?”

Kalantha merasa begitu kebingungan. Ia merasakan tubuhnya sakit semua seperti habis ditindih oleh berton-ton kayu. Tulangnya terasa begitu remuk. Ia butuh tidur sekarang.

"Aku ingin tidur." Katanya.

Dan Sedetik kemudian, Leandro sudah membawa mereka kembali ke kamar Kalantha. Leandro menyelimuti Kalantha. Setelah memastikan Kalantha tidur, Leandro menghampiri Kalantha dan mencium kening itu.

Mata lembut Leandro seketika berubah menjadi begitu tajam. Besok ia akan memeganggal tiga kepala makhluk bodoh itu. ia butuh istirahat untuk mengembalikan tenaganya yang sudah terkuras habis karena harus menyelamatkan budaknya. Tapi besok, ia tak main-main dengan janjinya untuk menghabisi pelayan bodohnya.

Dan tak jauh di atas sana, Bacilio menangis karena sudah mengetahui apa yang terjadi pada putrinya. Kalanthanya benar-benar menjadi kaum bawah. Anaknya akan datang memenuhi sumpahnya, yaitu meratakan negri putih.

"Anakku. Seandainya aku tak mengiyakan lamaran Helios, aku rasa kita masih dapat berkumpul dan bercerita bersama ibumu."

Bacilio kembali menangis. Matanya menatap pada gelapnya malam di atas sana. "Chleo, bisakah aku dimaafkan atas apa yang sudah terjadi sekarang ini?”

tbc