Seperti sebelum-sebelumnya. Kalantha bangun dengan bermandikan cahaya surya yang masuk ke dalam kamarnya. Tubuhnya terasa mulai baikan. Semalaman ia tidur dengan tubuh yang terasa begitu remuk dan minta untuk dipijat. Sial, apa yang sebenarnya terjadi kemarin malam? Kenapa Leandro mengatakan ia terkena racun siren?
Setelah membersihkan dirinya, Kalantha memakai gaun yang memang selau disediakan setiap ia selesai membersihkan diri. Kalian tanya bagaimana Kalantha membersihkan dirinya padahal ia sendiri tak bisa keluar dari kamar ini? Itu jawaban mudah.
Kamar ini memiliki kolam berukuran kecil. Kolam itu berada di balik pintu yang terletak di sebelah kasurnya. Jadi kalantha tak perlu repot-repot keluar kamar hanya untuk mandi. Kali ini gaun Kalantha berwarna biru laut. Sangat indah dan cerah. Kalantha yakin hanya ia yang memakai gaun berwarna cerah di sini. Para penghuni dunia bawah ia lihat kebanyakan berpakaian sedikit gelap. Bahkan warna cerah yang mereka pakai hanyalah warna putih yang sudah sedikit menguning.
Selesai menggunakan gaunnya, kalantha mulai menyisir rambutnya dan mengelabang setengah rambutnya. Sudah lama ia tidak mengelabang rambut hitamnya ini. Ah, Kalantha baru sadar kalau ternyata rambutnya sudah sepanjang pinggang. Sudah berapa lama dia di sini? Apakah sudah ada satu purnama? Mungkin lebih.
Kalantha mendengar suara langkah yang begitu cepat berlalu dari kamarnya. Bukan hanya satu atau dua kali. Tapi sudah banyak. Kalantha bangkit dari duduknya berjalan menuju pintu masuk.
Dia heran karena tak melihat para ceberus di sisi pintu kamarnya. Tapi dia lebih penasaran apa yang membuat para iblis itu semuanya berjalan tergesa-gesa. Apakah akan ada pesta? Kalantha memilih memanggil seorang pelayan daripada mati karena penasaran. Ayolah, dia memang orang yang begitu mudah penasaran pada suatu hal.
"Hei, ada apa? Kenapa kalian berjalan begitu cepat?"
"Kami juga tidak tahu, tapi raja Leandro menyuruh kami semua untuk berkumpul di halaman belakang." Jawab pelayan yang ternyata ia adalah siluman tikus.
Dalam negri bawah, siluman tikus adalah kasta terendah. Itulah kenapa mereka biasanya berakhir menjadi santapan para serigala, ogre, dan jika mereka beruntung, mereka bisa dijadikan pelayan diistana seperti ini.
"Untuk apa? Pesta?" tanya Kalantha.
"Apa? Pesta? Oh, itu tak mungkin terjadi di istana ini. Biasanya jika raja menyuruh kami berkumpul di halaman belakang, pasti ada yang akan dihukum mati."
Mata kalantha menyipit. Setelah pelayan itu pergi, Kalantha masih mematung di tempatnya berdiri. Leandro akan menghukum mati? Siapa? Tampaknya istana pria itu aman-aman saja. bahkan Kalantha tak mendengar ada yang harus dikhawatirkan.
Sebenarnya Kalantha sudah hendak kembali ke kamarnya. Namun entah kenapa hatinya begitu penasaran. Setelah semua pelayan itu berlalu, Kalantha mengikuti mereka dari belakang.
Sesampainya di halaman belakang, Kalantha melihat ada begitu banyak orang yang sudah berdiri mengisi pekarangan yang luasnya tak terukur mata Kalantha. Mereka semua berdiri dengan berkelompok. Kalantha tak tahu inginnberrdiri dengan siapa, tapi dia juga tak ingin terlihat oleh Leandro. Kalantha jadi memilih untuk berdiri bersama pelayan.
"HARI INI, KITA AKAN MENYAKSIKAN KEMATIAN DUA PELAYAN YANG SUDAH LALAI DALAM MENGERJAKAN TUGASNYA."
Kalantha sangat yakin kalau itu adalah suara Leandro. Ia mencoba menjinjit agar bisa melihat wajah Leandro. Namun ia hanya bisa melihat kaki pria itu saja. Kenapa ia begitu pendek. Ia rasa ayah dan ibunya dulu bisa dikatakan cukup tinggi.
"KALIAN TAHU KALAU AKU BEGITU BENCI DENGAN ORANG YANG LALAI DALAM MENGERJAKAN TUGASNYA. UNTUK ITU, HUKUMAN YANG AKU BERIKAN BUKANLAH HAL YANG MUNGKIN TAK KALIAN SUKAI. TAPI AKU SUKA MELAKUKANNYA. JADI INI AKAN MENJADI PERINGATAN PADA KALIAN YANG MENCOBA UNTUK LALAI DALAM TUGAS KALIAN"
Kalantha menyusup melalui para pelayan yang entah seperti apa bentuk tubuh mereka. Setelah sedikit berada di depan, Kalantha mulai dapat melihat dengan jelas. Di depan sana, berdiri kedua ceberus yang biasa menjaga di depan pintu kamarnya.
Mata Kalantha melotot lebar saat melihat Leandro mengangkat tangannya, seperti hendak melakukan sesuatu pada kedua makhluk itu. Sebelum Leandro sempat melakukan sesuatu pada kedua ceberus itu, Kalantha berteriak dengan sangat kuat sampai membuat semua orang yang ada di sana melihat ke arahnya.
“BERHENTI!”
Leandro menatap Kalantha dengan begitu tajam. Ia begitu terkejut melihat Kalantha berada di luar kamarnya. Kalantha berlari menghampiri Leandro. Matanya tak kalah tajam menatap Leandro.
"Apa yang kau lakukan di sini, Kalantha?" Desis Leandro.
Jika itu adalah prajurit biasa, pasti mereka sudah ketakutan dan gelagapan menjawab pertanyaan Leandro. Bukannya Kalantha tak ketakutan. Kakinya bahkan seperti kehilangan kekuatan untuk berpijak jika tak ia coba kuatkan. Aura membunuh Leandro tak bisa disangkal. Hanya saja ia tak terima jika melihat ceberus itu dihukum mati. Kalantha ingat betul jika ceberus itu dua puluh empat jam selalu berdiri di depan pintu kamarnya tanpa kemanapun. Jadi apa kesalahan yang mereka perbuat sampai harus dihukum mati seperti ini.
"Kenapa kau menghukum mereka, raja Leandro?" tanya Kalantha.
"Itu bukan urusanmu."
"Tentu itu urusanku. Seingatku mereka selalu berada di depan pintu kamarku. Jadi kesalahan apa yang mereka perbuat sehingga mereka pantas mendapat hukuman mati?"
"Mereka lalai dalam mengerjakan tugasnya.”
“Kapan?”
“Mereka membiarkan orang lain masuk dan tak bisa menjagamu."
“Hanya itu?”
“Mereka bahkan tak tahu kalau kau keluar dari kamar. Apa kau pikir itu kesalahan kecil?”
Kalantha menggeleng tak percaya. Hanya karena masalah sepele kedua makhluk itu harus dihukum mati. Itu tak adil bagi Kalantha. Kalantha sudah pernah melihat ketidak adilan terjadi dan ia tak ingin jika itu terjadi lagi di depan matanya.
"Kau tidak bisa melakukan ini, Raja Leandro. Yang bersalah di sini adalah aku. Bukan mereka. Kau seharusnya menghukum aku dan bukan mereka. Tidakkah kau kasihan pada pelayanmu itu?"
"Kasihan? Itu hanya akan membuatku semakin lemah, Kalantha. Dan lagi, tugas tetaplah tugas. Jika mereka tak bisa melakukan tugas semudah ini, mereka tak pantas untuk hidup."
Wajah Leandro begitu datar saat menjawab itu, sangat datar. Sampai Kalantha merinding karena tak melihat ekspresi empati di wajah rupawan Leandro. Kalantha menggeleng tak percaya. Kalantha lalu menatap kedua ceberus yang ternyata juga menyaksikan perdebatan mereka. Wajah kedua ceberus itu begitu memprihatinkan. Bagi Kalantha, mereka juga tetaplah makhluk hidup seperti di negri putih.
"Turun dari sini. Apa kau tidak punya malu sehingga berani mendekatiku yang sedang ingin memberi mereka hukuman?"
Memang semua orang sedari tadi menyaksikan pertengkaran sang raja kegelapan dengan budaknya itu. tidak ada yang menyangka akan ada orang yang berani melawan Leandro seperti Kalantha. Apalagi status wanita itu hanyalah budak.
"Malu? aku rasa aku sudah kehilangan rasa Maluku, Leandro." Jawab Kalantha.
Semua orang terkejut saat mendengar Kalantha dengan beraninya menyebut nama raja mereka. Sergio yang semula tak berminat menyaksikan hukumam mati ceberus, tiba-tiba saja mulai tertarik karena kejadian yang terjadi di depannya itu. para mentri Leandro juga tak kalah terkejut melihat keberanian Kalantha menentang raja mereka. Shaila sudah tersenyum licik. Ia sangat yakin kalau Leandro akan membunuh Kalantha karena perempuan itu sangat berani menentangnya. Tidak pernah ada yang selamat sebelumnya.
Leandro menggeram. "Pergi ku bilang. Atau,"
"Atau apa? Kau ingin membunuhku, silahkan. Aku tak masalah."
Leandro menggeram. Ingin sekali ia memberi sebuah pelajaran pada kalantha yang terlihat begitu berani padanya. Padahal ia hanyalah seorang budak. Tapi mengingat ia akan terluka jika Kalantha terluka membuat dia urung.
Leandro kembali melanjutkan proses hukum matinya. Kalantha sudah begitu takut saat pria itu mulai mengeluarkan kekuatannya. Tiba-tiba saja ceberus itu merintih kesakitan. Kedua hewan itu mengaum begitu kuat karena sakit yang teramat sangat. Bahkan Kalantha bisa merasakan sakit mereka secara batiniah.
Kalantha menangis, memohon pada Leandro untuk menghentikan aksi kejamnya. Tapi Leando seperti tuli. Ia tak mengindakahkan permintaan Kalantha. Rambut Kalantha berubah menjadi warna biru. Simbol saat ia tengah bersedih. Semua yang hadir begitu terkejut akan kekuatan Kalantha. Kalantha menyentuh tangan Leandro.
"Ku mohon hentikan. Mereka kesakitan." Isak Kalantha.
"Aku tak peduli. Itu urusan mereka."
Kalantha tak punya cara lain. Tapi hanya ini yang tiba-tiba saja melintas di kepalanya. Ia tak mau kedua ceberus itu mati apalagi karena kesalahan yang ia perbuat.
"Leandro, jika kau tidak menghentikan ini..."
Leandro menatap Kalantha. Alisnya terangkat sebelah menunggu kelanjutan perkataan wanita itu.
"Kau akan melihat mayatku tergantung di kamar."
Leandro masih kekeh dengan hukumannya. Ia masih belum melepaskan kedua ceberus itu. Kalantha menggeleng pelan.
"Aku serius, Leandro."
Dan sedetik kemudian tangan Leandro turun. Kedua ceberus itu jatuh karena kelelahan menahan sakit yang diberikan oleh raja mereka. Kalantha melihat keduda ceberus itu dan langsung mengucap syukur namun tidak pada semesta.
Shaila begitu terkejut saat Leandro menghentikan hukumannya. Sejak kapan Leando bisa diperintah oleh orang lain? Bahkan orang itu adalah budaknya sendiri. Sergio tersenyum penuh arti. Ia tahu kalau hanya Kalantha yang bisa melakukan ini.
Leandro lalu menghilang, meninggalkan Kalantha yang terdiam di tempat ia berdiri. Tak berapa lama, semua yang ada di situ mulai meninggalkan tempat yang membuka sejarah baru. Seorang Leandro mendengarkan orang lain.
"Wow, Shaila. Gadis itu benar-benar istimewa bukan. Dia bahkan bisa menghentikan raja Leandro. Ah, pantas saja raja meminta ia menjadi budaknya. Itu hanyalah alasan agar Kalantha selau berada dalam pengawasannya."
"Tutup mulut jelekmu, Croni."
Perempuan bernama Croni itu tertawa kuat karena berhasil memancing amarah siren satu ini. Memang mudah sekali membuat Shaila marah. Apalagi jika itu menyangkut Leandro. Dasar tidak tahu diri. Sudah ditolak, namun ia masih terus mengejar rajanya.
Kalantha berlari mendekati kedua makhluk ceberus itu. Ia melihat tak ada luka, namun dari kedua mulut ceberus itu keluar darah berwarna hitam. Kalantha mencoba mengingat mantra yang dulu pernah di ajarkan oleh Alena padanya. Setelah mengingat-inagt, Kalantha menyebut dengan lantang mantra kuno itu.
"Bona valetudo melior"
Dan benar, kedua ceberus itu mulai sedikit baikan. Tak ada lagi darah yang keluar dari mulut ceberus itu. Kedua hewan itu bangkit dan mencium pipi Kalantha. Kalantha memeluk keduanya dan menangis.
"Maaf, maafkan aku. Karena kesalahanku kalian harus dihukum seperti ini."
Kedua hewan itu hanya menggeleng. Mungkin hendak menyampaikan tidak apa-apa. Ceberus itu kemudian kembali mendekat pada Kalantha. Kalantha menangis kuat tanpa menyadari kalau ada sosok yang sedari tadi belum beranjak dan terus memperhatikannya. Pria itu tersenyum lalu berjalan masuk ke dalam istana. Tampaknya akan banyak yang terjadi di istana mereka mulai saat ini.
***
Lagi dan lagi terjadi. Leandro tak lagi muncul. Kalantha sudah menunggu beberapa hari dan jawaban dari penantiannya adalah kosong. Kalantha yakin kalau pria itu sangat marah padanya. Tapi saat ini mereka haruslah bicara. Bukannya diam seperti ini.
Kalantha menatap malas pada langit cerah di atas sana. surya. Kapan ia akan menyelesaikan sumpahnya pada dewa laknat itu? Leandro belum memberi dia aba-aba apapun ataupun sekedar pemberitahuan tentang perang yang akan mereka lakukan.
"Kau menunggu Leandro?"
Kalantha langsung berbalik. Jantungnya seakan mau copot dari tempatnya karena dikejutkan oleh suara pria yang tiba-tiba saja masuk ke kamarnya.
"Maaf, apa aku mengejutkanmu?" tanya pria itu.
Kalantha hanya diam. Dia tidak mengenali sosok di depannya ini. Tapi kenapa orang ini begitu berani masuk ke kamarnya? Bukankah Leandro hampir membunuh dua ceberus karena membiarkan orang masuk ke kamarnya. Dan lagi kenapa orang ini berani memanggil Leandro tanpa gelarnya.
"Jangan takut." Kata pria itu.
Kalantha tidak takut. Ia hanya berjaga-jaga. Barangkali pria ini adalah iblis yang mengincar nyawanya. Ia harus mengantisipasi untuk keselamatan dirinya.
"Aku Sergio. Aku adalah guru Leandro."
Kalantha baru beroh ria saat tahu pria itu adalah guru dari tuannya. Itu cukup menjelaskan kenapa orang ini berani memanggil Leandro tanpa gelarnya.
"Aku Kalantha. Budaknya Leandro."
"Aku sudah tahu itu."
Kalantha mengangguk. Siapa yang tidak mengenalnya sekarang. Satu-satunya dewi yang berubah menjadi budak di negeri bawah. Sungguh memalukan sekaligus memilukan. Semesta tampak ingin bermain-main dengannya.
Yah, budak yang begitu istimewa bagi Leandro. Kata Sergio dalam hatinya. Ia kembali pada topik awal dia kemari. Alasan Sergio menemui Kalantha tidak lain adalah menyangkut Leandro. Pria itu sudah menghilang selama beberapa hari setelah insiden Kalantha yang menghalangi hukuman mati para ceberus. Sergio merasa Leandro mungkin marah dan malu karena Kalantha yang menghentikannya di depan para pengikutnya sendiri.
"Terserahmu. Tapi ada yang lebih penting dari pada membahas statusmu di sini." Kata Sergio.
"Kau benar. Di mana Leandro?"
"Menenangkan dirinya, mungkin."
Kalantha menggigit bibir bawahnya. Leandro menenangkan diri pasti karena dirinya yang sudah mempermalukan pria itu di muka umum. Pria itu harus menarik kata-katanya karena budak seperti dia.
"Aku harus menemui dia." Ujar Kalantha.
Sergio mengangguk. "Kau memang harus menemui dia. Dia sudah lama meninggalkan kerajaan."
Mata kalantha terbelak. Leandro tak ada di kerajaan. Jadi dimana tuannya sekarang?
"Dimana dia sekarang?"
"Gua tengah hutan. Kau mungkin akan kesulitan mencarinya."
"Tak masalah. Aku akan berusaha menemukan tempat itu. Aku harus meminta maaf pada Leandro dan membawa dia kembali ke istana." Kalantha berkata dengan penuh tekat.
Sergio bisa melihat kesungguhan di mata Kalantha. Wanita itu benar-benar ingin membawa Leandro pulang. Tapi, mungkin Kalantha tak tahu kalau Leandro adalah pria yang sangat rumit.
"Dia tidak mudah dibujuk." Kata Sergio memperringatkan.
Lagi dan lagi mata Kalantha meredup. Kenapa ia lupa dengan sikap Leandro yang begitu sulit untuk ditebak. Pria itu bahkan tak pernah menerima perinta dari orang lain. Apa lagi dirinya yang seorang budak. Lalu bagaimana caranya agar ia bisa mengambil hati tuannya itu.
"Aku tak tahu bagaimana membujuk dia juga." Kata Kalantha pelan.
"Kenapa tak kau coba lakukan apa yang dia suka?" saran Sergio.
"Apa yang dia suka?"
Sergio mengedikkan bahunya. Selama ini ia tidak pernah melihat Leandro begitu bersemangat akan suatu hal. Bahkan hal termahal di dunia para dewa tak membuat jiwa iblisnya bangkit. Satu-satunya hal yang ia tahu tentang kesukaan Leandro adalah Kalantha. Tapi Sergio kurang yakin dengan sebuah ucapan bujuk rayu bisa membuat Leandro luluh.
"Aku tidak tahu. Tapi mungkin kau tahu."
Kalantha menggeleng. Bagaimana bisa ia tahu apa yang disukai oleh Leandro sedangkan pria itu mirip dengan es. Sangat dingin dan sulit diselami. Ditambah lagi dengan suasana hati yang buruk karena dirinya yang mencari perkara dengan pria itu.
"Aku tak tahu, Sergio. Di sini kaulah gurunya. Aku hanya budak."
"Bukankah kalian pernah menghabiskan waktu bersama? Aku rasa kau tahu apa yang paling disukai oleh muridku itu." jawab Sergio.
Mereka memang sering menghabiskan waktu bersama. Tapi ia tak yakin kalau yang dimaksud Sergio adalah dengan adegan-adegan seperti itu. itu terlalu memalukan jika ia lakukan bersama Leandro saat ini. Apalagi jika ia yang memulai. Ia terlihat seperti jalang.
"Aku tak mau melakukan itu."
"Terserahmu. Tapi ku rasa kau tak menginginkan untuk melihat kemarahan Leandro bukan?"
Kalantha terdiam sejenak. Merenungi perkataan Sergio padanya. Kemarahan Leandro bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Selena dan Alena pernah memberi tahu dirinya kalau Leandro sendiri bahkan lebih hebat dari Helios bajingan itu. Bisa jadi pria itu akan meratakan seluruh dunia karena emosinya yang tak terlampiaskan.
Sial, jadi apakah dia harus melakukan ini?
***
Bacilio menatap langit yang bersinar begitu cerah. Ia saat ini berada di balkon kamar miliknya. Di sebelah Bacilio ada kursi kosong yang sama seperti miliknya. Itu adalah kursi milik istrinya, Chleo. Tidak seperti dulu. Dulu mereka sering menghabiskan siang hari bersama seraya menatap langit. Atau sesekali mengintip putri mereka yang kabur ke dalam hutan lagi.
Namun sekarang, ia hanya sendiri. Dengan secangkir teh hijau yang selalu ia dan keluarganya nikmati saat berkumpul. Tidak ada lagi suara lemah lembut istrinya. Tidak ada lagi tingkah konyol anaknya. Tidak ada lagi yang tersisa. Hanya ia dan penyesalan yang begitu mendalam.
"Permisi, yang mulia."
Bacilio mendengar suara Handri. Seorang Pegasus yang bertugas menjaga negri putih dari atas. Semenjak kematian sepupunya, Evander, Handri diperintahkan Bacilio untuk turun mengawasi kerajaan dan mengajar prajurit daun.
"Ada apa, Handri?"
"Yang mulia Helios datang, yang mulia."
Bacilio yang semula tak melihat Handri langsung berbalik saat mendengar nama dewa surya tersebut. Matanya menyiratkan keterkejutan akan kehadiran Helios yang menurutnya sangat mendadak.
"Ada apa dia datang kemari?"
"Hamba tidak tahu, yang mulia."
Bacilio mengangguk. Seharusnya daru dulu ia mengetahui kalau Helios penuh dengan sikap semena-menanya. Jelas-jelas tertulis aturan mengenai kunjungan ke kerjaan lain haruslah minimal sehari sebelum mereka berkunjung. Bacilio lalu bangkit dan langsung memasuki ruang singgasananya. Betapa kagetnya Bacilio saat mendapati Helios duduk bertopang di kursi singgasananya.
"Kenapa kau duduk di situ, Helios?" tanya Bacilio mencoba menahan amarahnya.
"Ah, itu karena kursi milikmu lebih nyaman daripada kursi itu. Astaga, Bacilio, kenapa istanamu begitu payah sekali. Bahkan kursi tamuku lebih nyaman dari singgasanamu." jawab Helios enteng.
Handri hendak mengacungkan pedangnya pada wajah sombong Helios. Dewa satu itu benar-benar membuat ia begitu geram. Dia tidak memiliki sopan santun dalam berbicara dengan orang lain. Dan Helios seperti sedang mengatakan kalau istana mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan istana dewa surya itu. Namun Bacilio memberi peringatan kepada Handri.
"Itu milikku, Helios. kau tidak boleh duduk di kursi singgasana milik dewa lain." Ujar Bacilio dengan desisan yang begitu tajam.
Helios menatap remeh pada Bacilio. Dia merasa perutnya digelitik karena ucapan Bacilio.
"Apa kau sedang melawak, Bacilio?"
Bacilio diam. Dia sedang tak melawak. Kursi itu adalah hal dan miliknya. Hanya penguasa dewa hutan yang bisa menduduki singgasana itu.
"Kau melupakan fakta tentang status barumu, Bacilio. Ah, tak masalah. Aku bisa mengingatkanmu. Kau sekarang adalah budakku, Bacilio."
Bacilio mengepalkan tangannya begitu kuat. Rahangnya terasa mengeras dengan mata yang menatap tajam pada Helios. Helios bukannya takut, ia malah menertawakan wajah Bacilio. Semua yang ada di ruangan itu hanya menunduk. Tak berani melihat penghinaan yang tega dilakukan oleh dewa surya pada raja mereka.
"Kau bisa duduk di kursiku, Bacilio. Jangan membuat dirimu lelah dengan berdiri seperti itu. Aku tak tega melihat budakku kelelahan seperti itu. ayo, duduklah."
Bacilio hanya melirik sebentar pada kursi yang seharusnya menjadi tempat duduk tamu istana. "Tidak apa. Aku akan berdiri saja."
Helios menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Tak masalah. Aku rasa di usiamu yang sudah menua itu kau tidak bisa terlalu banyak duduk. Kau harus sering-sering meluruskan lututmu agar tidak terlalu lelah."
Setelah menenangkan dirinya, Bacilio mulai membuka suara. Ia menanyakan alasan Helios yang datang tiba-tiba seperti ini. Sudah diwajibkan agar memberi kabar sehari sebelum kedatangan datang mengunjungi ke negeri dewa lainnya.
"Aku ingin menanyakan di mana keberadaan putrimu sekarang?"
"Untuk apa kau mencari puttriku?" tanya Bacilio penuh selidik.
"Aku merasakan sesuatu semalam. Tengah malam jika aku tak salah. Aku merasa kalau itu berhubungan dengan putrimu."
Bacilio menggeleng. "Aku tidak tahu."
"Jangan membohongiku, Bacilio. Aku tahu kalau kau tahu dimana keberadaan putrimu. Kau adalah dewa hutan. Aku yakin kalau hutan akan memberitahumu dimana keberadaan Kalantha." Seingai Helios.
"Aku memang tidak tahu, Helios. Tapi kenapa kau harus susah payah datang keistana tak seberapa ini hanya untuk menanyakan anakku yang kau bilang adalah sumber aib bagimu?'
Helios tersenyum pada Bacilio. Dia bangkit berdiri. Kakinya melangkah menghampiri Bacilio. Bacilio hanya diam tak membalas senyuman Helios. Ia tahu kalau itu bukanlah senyuman dengan maksud baik. Ia tahu ada hal buruk dibalik itu.
"Aku pikir aku harus menganggap serius ancaman yang dia berikan padaku."
"Kau ingin mencoba untuk membunuhnya?"
Helios mengerutkan bibirnya. Wajahnya seperti menyiratkan kalau ia sedang berpikir serius. Ia mengangguk kecil.
"Aku rasa aku tidak akan mencoba untuk membunuhnya."
Bacilio menghela napas lega. Namun tiba-tiba saja Helios melanjutkan perkataannya yang membuat jantung Bacilio begitu berdebar ketakutan.
"Tapi aku akan membunuhnya." Senyuman Helios begitu mengerikan.
"Jadi aku memerintahkanmu untuk mencari putrimu. Di manapun dia berada. Aku akan memberimu waktu satu purnama untuk mencari lokasi keberadaan dia. Jika kau melewati batas yang aku tentukan, maka bersiaplah melihat rakyatmu rata dengan tanah."
tbc