A Truth

Helios menikmati anggur yang disuapi oleh para megaly. Ini adalah anggur terbaik persembahan pada makhluk bumi padanya sebagai bukti terimakasih mereka pada dirinya.

Manusia adalah orang yang selalu meminta berkat padanya. Karena ia, mereka mendapat sinar surya yang yang terjamin. Mereka bisa memanem karena sinar suryanya. Sudah wajar jika mereka menyembah ia sebagai dewa terbesar.

Namun saat ini, pikiran Helios hanya tertuju pada wanita itu, sang dewi alam. Ia mulai merasakan hal yang tidak enak di dalam dadanya. Seperti rasa cemas.

Sudah satu bulan berlalu, namun Bacilio belum juga memberikan kabar apapun padanya. Tampaknya budanya itu berani melawan dirinya. Helios menatap pada salah seorang megally.

"Beritahu pada panglima kalau aku ingin mengunjungi kerajaan Bacilio. Sekarang juga."

Megally itu menunduk dan mengangkat kedua tangannya di depan kepala.

"Baik, yang mulia." Perlahan ia mundur dan menghilang dibalik pintu besar berukirkan matahari.

Helios menatap pada gumpalan awan berwarna jingga. Sebentar lagi tugasnya akan berakhir untuk hari ini, tapi sayangnya, ia tak bisa beristirahat.

"Kalantha."

Dan tanpa sadar ia menggumamkan nama dewi itu di mulutnya.

***

Langkah kaki lebar namun sedang. Melewati sepinya lorong istana. Mungkin bagi yang pertama kali berjalan di sini akan meras takut. Tapi tidak lagi baginya. Kalantha sudah pernah melewati ini saat ia tersesat dulu.

Kalantha berbelok. Kemarin ia sempat melihat sebuah pintu yang terbuka kecil namun tidak berpenghuni. Namun ia yakin kalau ruangan itu pastilah digunakan oleh makhluk apapun. Dan satu-satunya hal yang terlintas di kepala Kalantha adalah Sergio.

Tangan mungilnya mendorong pelan pintu kayu tebal di depannya. Terimakasih pada engsel yang membuatnya mudah mendorong pintu itu. Mata Kalantha menyapu bersih setiap sisi di hadapannya. Kosong. Yang ada hanyalah tungku besar yang berisi air mendidih. Namun ia yakin kalau air itu bukan air sembarangan karena air itu tidak jernih dan mengeluarkan aroma seperti darah kaum atas.

Kalantha mendapati secangkir cawan kosong di sebuah meja tunggal. Mungkin itu sudaj habis diminum. Ia menggeleng kecil, tak menyangka kalau kaum bawah benar-benar melakukan ini. Dan sialnya dia sekarang seperti bagian dari mereka.

"Ada perlu apa kau kemari?"

Kalantha terkejut mendengar suara penuh tekanan tersebut. Ia spontan berbalik dan mendapati guru Leandro berdiri. Menatapnya dengan mata penuh intimidasi. Tidak seperti tatapan yang diberikan padanya beberapa hari lalu.

"Ah, aku," Dan sialnya, Kalantha seperti lupa dengan maksud tujuan ia datang kemari. Ingin tahu saja kan?

"Kau memata-matai ku?"

Kalantha menggeleng. "Tidak. Aku sempat melihat ruangan ini kemarin dan aku sudah menduga kalau ini adalah ruanganmu. Itulah kenapa aku kembali ke sini." Jawabnya cepat.

Alis Sergio terangkat. "Ada perlu apa kau mencariku?"

"Ini tentang Leandro."

***

Kalantha berjalan sempoyongan. Sesekali tangannya akan memegang tiang yang ada di sebelahnya sebelum kembali melangkah. Kenapa rasanya begitu sesak setelah ia mengetahui ini semua.

Lorong ini begitu sepi. Jika ia pingsan tidak akan ada yang tahu. Tapi ia tak boleh pingsan, ia harus meminta kejelasan. Kalantha berlari sekuat tenaga menuju halaman belakang. Saat ini hanya sosok itu yang perlu ia panggil. Persetan dengan sumpah membunuh Selena dan juga Saffi. Ia harus meminta kejelasan pada perempuan yang sudah lama tak ia temui itu. Kalantha melihat pada jendela yang ia lewati, malam ini langit terlihat begitu cerah. Selena sedang berbentuk sabit.

Sesampainya di sana, Kalantha jatuh, bersujud dengan kedua lutut dan tangan yang satukan. 'Ibu, ibu Selena, kumohon, datanglah.' ucapnya dalam hati.

Kalantha memejamkan matanya sekejap. Hanya sekejap, dan ketika kelopak sesejuk lautan itu terbuka, ia sudah melihat seorang dewi bulan berdiri di hadapannya. Tidak tersenyum seperti biasa atau karena ia menyadari maksud darinya memanggil dewi itu? Entahlah.

"Berdirilah, anakku."

Selena membantu Kalantha untuk berdiri, namun Kalantha menolak. Ia mengeraskan tubuhnya untuk terus membatu pada posisinya bersujud.

"Ada apa ini, Kalantha? Kenapa kau melakukan ini padaku?" Selena tak kuat melihat Kalantha yang seperti dalam suasana yang buruk. Tapi ia tak tahu karena rambut dewi itu tak berubah warna.

"Aku tidak akan berdiri sebelum ibu memberitahuku semuanya."

"Tentang?"

Kalantha mengangkat wajahnya. Matanya menatap ke dalam mata Selena. Ini pertama kalinya Selena melihat keseriusan di wajah cantik itu, selain saat kematian Cleo, ibunya.

"Harmaen."

***

Bacilio menutup matanya. Ia mendengar semua. Ia mendengar setiap kata yang keluar dari mulut kedua dewi itu. Setiap hembusan angin memberitahunya. Jadi benar kalau Harmaen sudah berada di negri bawah. Kalau begitu ia sudah yakin bahwa Kalantha memang akan menyelesaikan sumpahnya.

"Hah."

Dewa alam itu menghembuskan nafasnya. Berat. Sakit. Dan sesak. Ia merasakan itu sebagai bentuk dari kehancuran hatinya. Walaupun begitu, setidaknya ia cukup senang karena Kalantha pastilah akan baik-baik saja. Karena ternyata, dia yang hilang adalah Harmaean. Sang malaikat yang sudah lama hilang.

Bacilio berbalik dan menatap pada panglima kepercayaannya. "Apa Helios sudah datang, Handri?"

Handri mengangguk. "Benar, yang mulia. Dia baru saja sampai."

"Dimana dia?"

"Dia memilih duduk di taman kaca milik dewi Cleo, yang mulia."

Bacilio bergegas menuju taman Kaca milik Cleo. Bukan karena ia takut akan kemarahan tuannya, tapi karena di mana posisi dewa itu beradalah yang membuat ia ketakutan. Taman kaca, itu adalah taman kesayangan mendiang istrinya. Jangan sampai Helios merusak satupun tumbuhan yang sudah susah payah ia jaga.

Namun, syukurlah Helios tidak merusak apapun. Dewa itu tampak dengan anggunnya duduk di sebuah meja yang diletakkan di tengah-tengah taman itu. Meja tunggal berisi tiga kursi.

"Kau terlalu lama, Bacilio."

"Maafkan hamba, yang mulia."

"Ku maafkan. Ah, ini taman yang sangat indah. Bahkan Methuselah tumbuh di sini. Aku rasa dewi bumi benar-benar dicintai oleh semesta. Karena yang aku dengar, Methuselah hanya tumbuh jika semesta mengizinkan." Helios tertawa.

"Astaga, kau adalah dewa hutan, tapi semesta sendiri tak mengizinkanmu memegang kendali atas Mehuselah ini. Ia malah membiarkan istrimu yang berkuasa atas pohon pinus ini."

Bacilio tak marah sama sekali. Kalau boleh jujur, Bacilio malah bangga mendengar pujian pada istrinya itu. Tapi ia memilih hanya memasang wajah datarnya. Namun jawaban dari mulutnya membuat Helios hampir saja membunuhnya.

"Kau benar, yang mulia. Semesta begitu mencintai istriku. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan semesta untuk menghukum makhluk yang sudah membunuhnya. Apakah memenggalnya atau membakarnya. Ah, atau malah memenggalnya lalu membakarnya dengan apa hitam keabadian."

Dan selesai dengan kata terakhir, bacilio bisa merasakan panasnya benda berkilau milik Helios di lehernya. Ia tak takut sama sekali, malah ia berharap supaya benda itu segera memisahkan kepalanya dari tubuhnya. Tapi ia salah, Helios menarik pedangnya dan menyimpan benda itu dengan mantra.

"Bersyukurlah aku masih membutuhkanmu, Bacilio. Jika tidak, aku sudah memenggal kepalamu." Ucap Helios dengan seringai mengejeknya.

"Aku malah akan berterimakasih padamu, yang mulia, jika kau melakukan hal tersebut."

Helios tertawa begitu keras. Tawa yang bisa dirasakan. Tawa yang bisa dijadikan penilaian akan watak dari dewa itu. Iblis. Dia dewa, namun berhati iblis. Dan Bacilio merasakan itu.

"Kau benar-benar kurang ajar padaku, Bacilio. Cukup basa-basinya. Beritahu aku dimana Kalantha, sekarang juga!"

***

Sang surya bersinar dengan cerah pagi ini. Namun tampaknya itu tak sama dengan perasaan dewi alam tersebut. Semalaman ia tak tidur. Pikirannya melayang pada sosok kegelapan yang tak kunjung datang.

Kalantha mengusap wajahnya. Ia menyibakkan selimut yang menutup tubuhnya lalu berjalan menuju jendela kamar. Dari sini ia bisa melihat kalau di bawah sana semua mahluk sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. Tidak sepertinya.

Kalantha mendengar suara deritan pintu. Sebuah sosok masuk perlahan ke dalam kamarnya, tapi yang pasti, itu bukanlah Leandro. Leandro tak pernah masuk seperti itu. Pria itu akan muncul seperti sihir dan hilang dalam sekejap mata. Tapi ia cukup yakin dengan sosok yang datang ke kamarnya. Walau ia tak menyangaka kalau sosok itu berani muncul di hadapannya lagi.

"Apa yang semalam kau lakukan di ruangan Sergio?"

Kalantha memutar badannya. Kini ia bisa melihat siren itu secara langsung. Kali ini wanita itu memakai selendang yang mengikuti lekuk tubuhnya. Dengan belahan panjang pada kaki kirinya sehingga menampilkan lekukan indah kaki siren itu. Namun yang berbeda dari siren itu, dia menggunakan warna hijau. Tidak biasa makhluk bawah memakai warna seperti itu.

"Apa aku punya kewajiban untuk memjawabmu?"

Shaila mengepal tangannya. Ingin rasanya ia meracuni dewi pembawa aib itu sekarang juga. "Tak kusangka kau berani berbicara seperti itu padaku. Ku rasa kau lupa dengan gelar baru yang kau punya sekarang."

Berharap kalau Kalantha akan marah dengan ucapan yang baru ia lontarkan, namun ia salah. Kalantha malah terlihat santai saat menjawab sindiran dari siren itu.

"Apa, budak? Bagaimana bisa aku lupa kalau aku seorang budak sekarang." Kalantha tertawa kecil. Ia berjalan perlahan mendekati Shaila. Tangannya menyentuh pundak siren itu dan mendekatkan bibirnya pada telinga lancip itu seraya berbisik.

"Tapi tampaknya kau lupa kalau aku adalah budak Leandro. Hanya Leandro seorang."

Kalantha tersenyum menang saat Shaila tak berkutik dengan ucapannya barusan. Ia harap kalimat itu bisa menjadi serangab telak bagi siren itu. Namun baru beberapa langkah meninggalkan Shaila, Kalantha mendengar bibir siren itu menghinanya. Lagi.

"Aku tak sangka kalau kau akan sesantai itu dengan gelar rendahan itu. Padahal kau adalah dewi alam, anak dewi bumi dan juga dewa hutan. Astaga,"

Shaila menepuk jidatnya pelan. Ia menuju Kalantha dan berdiri tepat di hadapan dewi itu. "Aku lupa. Ayahmu saja sudah menjadi budak Helios. Lalu kenapa aku harus heran jika anaknya menjadi budak raja Leandro."

Senyuman merendahkan Shaila membuat Kalantha muak. Ia meninggalkan Shaila di kamarnya. Lebih baik ia segera membersihkan tubuhnya kemudian mencari Leandro.

***

Barisan pasukan di depan sana tak luput dari tatapan panglima milik Leandro. Siluman naga. Itu adalah makhluk milik pria itu. Bukan hanya kaum atas yang memiliku naga. Namun kaum bawah juga memiliki siluman naga. Hanya saja, jelas aura yang dimiliki kedua siluman itu berbeda.

Mari kembali ke masa lalu sejenak. Dulu siluman naga adalah satu-satunya makhluk abadi yang tak berdiri di dua kubu. Berada di bawah perlindungan malaikat. Mengabdikan dirinya untuk kerajaan itu.

Art dan Thor. Itulah nama kedua sosok yang menjadi siluman naga. Saudara kembar dan menjadi generasi terakhir bagi siluman naga. Namun, ketika peristiwa besar itu terjadi, Art dan Thor terpaksa harus berpisah. Art harus turun ke dunia atas, sedangkan Thor, ikut bersama tuannya, Harmaean. Menjadi satu-satunya siluman suci yang ikut turun bersama malaikat yang hilang tersebut.

"Bagaimana pasukan kita?"

Thor berbalik dan langsung memberikan hormat pada rajanya. "Hamba rasa ini sudah bisa meratakan dunia putih, yang mulia."

"Kau tahu aku tidak suka dengan perkiraaan." Jawab Leandro.

Leandro menatap pada semua siluman yang berbaris sesuai jenis mereka. Leandro sendiri juga yakin kalau ini sudah cukup untuk meratakan kerajaan putih. Tapi yang membuat dia kurang yakin adalah panglimanya sendiri.

"Apa kau yakin?" Tanya Leandro pada Thor yang masih menundukkan kepalanya. "Dan sebelum kau menjawab, angkat kepalamu."

Thor mengangkat kepalanya. Menatap lurus pada pasukan yang sudab ia latih selama beratus tahun.

"Saya sangat yakin, yang mulia. Saya sendiri yang melatih mereka dri dulu. Bagaimana bisa saya tidak tahu kemampuan pasukan yang saya latih?"

"Kau tahu persis bukan pasukan itu yang ku ragukan."

Alis Thor terangkat sebelah. Ia bingung dengan kalimat yang barusan dilantarkan oleh rajanya.

"Maksudnya, yang mulia?"

Leandro menatap Thor. Tangannya menyentuh pundak siluman naga tersebut.

"Aku menanyakan dirimu, Thor. Apa kau yakin akan memimpin pasukan melawan dunia atas?"

Thor tersenyum. "Kenapa hamba harus ragu, yang mulia?"

"Kau siap melawan saudaramu sendiri?"

Thor terus tersenyum. "Harusnya pertanyaan itu ditujukan pada saudara saya, yang mulia. Apakah dia yakin melawan pemimpinnya sendiri?"

"Aku bukan pemimpinnya lagi."

"Tapi dia tahu persis alasan yang mulia diturunkan ke dunia bawah. Apa dia berani berkhianat pada yang mulia?"

Leandro melepaskan tangannya. Dia menatap lurus pada langit cerah di atas sana. Pikirannya kini melayang pada sosok naga berwarna emas yang mirip dengan Thor. Bagaimana kabar mantan panglimanya itu? Walaupun dia sudah menjadi iblis, dia tak bisa membuang sisi yang diturunkan dari ibunya. Dan ia merasakan rindu pada siluman pria yang dulunya ia anggap sebagai kakaknya.

"Yang mulia, maafkan hamba jika lancang, tapi, apakah yang mulia yakin dengan ini semua?"

Walaupun ia hanya panglima, tapi Thor tetap menyanyangi Leandro. Ia tak mau Leandro mendapat masalah dari semesta jika berani merusak tatanan yang sudah digariskan dari dulu.

"Kenapa tidak?"

Thor bersujud. "Yang mulia, saya mohon pertimbangkan lagi. Saya tidak ingin anda mendapat masalah lagi hanya karena masalah yang dibuat oleh dewi Kalantha."

"Kau salah."

Thor menatap heran Leandro. Dibagian mana ia yang salah?

"Bukan. Ini semua bukan salah Kalantha. Akulah yang membuat ia harus menanggung malu di upacara pernikahannya."

Thor merasakan sebuah dentuman keras di kepalanya. Ia merasakan denyutan yang begitu hebat akibat perkataan dari rajanya. "Bagaimana mungkin?"

"Aku mencintainya."

Dan Thor kembali merasakan dentuman keras itu lagi. Namun kali ini seperti diikuti dengan suara menggelegar dari petir di kepalanya.

"Satu-satunya anugerah sekaligus kutukan yang aku syukuri adalah dia. Aku tak akan membiarkan Helios bisa menyentuhnya. Walau hanya seujung rambut. Tak akan kubiarkan dewiku jatuh ke tangan dewa biadab seperti dia. Dan juga," Leandro menatap mata Thor yang berwarna gelap. Ah, ia hampir lupa kalau dulu warna mata itu adalah emas seperti saudaranya. "Kalantha adalah alasan untuk aku menemukan tujuan hidupku. Aku tak peduli lagi pada semesta. Persetan dengan kutukan yang aku terima. Bahkan sekarang aku sudah menjalani kutukan itu. Lalu apalagi yang harus aku takutkan tentang itu?"

Leandro berbalik. Kakinya melangkah perlahan menjauhi panglimanya yang masih setia memberikan hormat. Namun sebentar raja itu berhenti.

"Satu-satunya ketakutanku adalah, aku tak akan bisa melihat Kalantha lagi."

tbc