A Plan

Kalantha mengusap wajahnya. Sinar matahari yang begitu menyengat membuat ia terusik. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan dengan pencahayaan di kamar.

"Pagi, sayang."

Sapaan dari suara berat itu membuat Kalantha sontak terbangun dari tidurnya. Ia menatap ke arah sumber suara. Di sana, dewa tampan itu berdiri. Menatapnya dengan mata setajam elang namun sarat akan kelembutan. Bulunya meremang. Merasakan desiran yang penuh kehangatan.

"Kau, sedang apa kau disini?" Ah, Kalantha menggeleng kuat. "Maaf, tuan. Maksud saya kenapa tuan masih disini?"

Leandro melangkah mendekat pada Kalantha. Wajahnya hanya berjarak satu jari dari dewi itu. Kalantha bernafas dengan sulit.

"Jangan pernah panggil aku tuan setelah kejadian semalam."

Kalantha tak paham dengan kalimat yang baru saja diucapkan Leandro. "Kenapa?"

Leandro menarik dagu dewi didepannya dan memberikan kecupan singkat. Pipi Kalantha kembali merona. Kepalanya spontan saja menunduk menahan rasa malu. Semoga semesta tak mengizinkan dewa satu ini mendengar genderang jantungnya.

"Karena semalam kau baru saja mengklaim dirimu sebagai milikku."

Kalantha mengangkat kepalanya. "Tuan, saya adalah budakmu. Sudah pasti saya milikmu."

Seringai Leandro muncul. "Kau bukan lagi budakku, Kalantha. Kau akan segera menjadi ratuku."

Kalantha membeku. Perkataan pria didepannya ini apakah tersirat akan sesuatu? Apakah pernyataan itu seperti yang dipikirkan oleh kepalanya.

"Kau sangat senang tampaknya." Leandro tersenyum.

"Tidak." Bahkan untuk mengatakan tidak lidahnya terasa kelu.

"Yah, kau bisa membohongiku andai saja warna emas ini tidak muncul di rambutmu."

Kalantha melirik rambutnya. Ya ampun, bagaimana ia bisa lupa kalau suasana hatinya bisa ditebak dengan warna rambutnya.

Kalantha menutup wajahnya. Astaga, ia benar-benar malu sekarang. Bisakah kalian tenggelamkan saja ia ke laut sekarang.

"Bersiaplah sayang. Aku akan mengajakmu dalam pertemuan hari ini." Suara Leandro terdengar sangat dekat di kuping Kalantha. Ia hanya mengangguk tanpa melepaskan tangannya.

Leandro terkekeh pelan. "Kalantha, daripada menutup wajahmu, bukankah lebih baik jika kau menutup tubuhmu?"

Dan kembali Kalantha dengan spontannya melepas kedua tangannya dari wajahnya untuk menatap tubuhnya. Ia menjerit tertahan lalu langsung menarik selimutnya menutup ia sampai kepala. Ia bahkan jatuh tertidur akibat sanking malunya.

Leandro tak bisa menahan tawanya. Ya semesta, kapan terakhir kalinya ia bisa tertawa seperti ini?

***

Kalantha meneguk ludahnya. Ia sangat sulit untuk berpura-pura kalau ia baik-baik saja. Ia ketakutan. Ia malu. Dan ia tak pernah berada di tempat seperti ini.

"Kau gugup?"

Pertanyaan dari Leandro barusan langsung dianggukkan oleh Kalantha. "Aku sangat gugup."

"Kenapa kau gugup?"

"Ini pertama kalinya aku ikut dalam pertemuan seperti ini."

Leandro memegang tangan Kalantha. Berpikir kalau ia bisa memberikan ketenangan pada dewi itu. Dan tampaknya itu sedikit berhasil. Kalantha memberikan senyumanya pada dewa kegelapan.

"Ada aku."

"Aku tahu. Tolong bantu aku ya."

Dan itu tak berlaku ketika ia sudah duduk di antara para kaum negri bawah. Keringat Kalantha tak berhenti jatuh. Terkutuklah Leandro yang menyuruhnya duduk di sebelah Shaila. Belum lagi perempuan yang seperti siluman gagak terus menatapnya dengan seringai yang, entahlah. Mengejek?

"Aku punya rencana baru." Leandro membuka suara. "Aku akan mengambil alih negri putih."

Sebenarnya seluruh negri bawah sudah tahu rencana ini. Alasan satu-satunya Kalantha diizinkan tinggal di negri ini adalah untuk meminta pertolongan rajanya meratakan negri putih. Tapi, semua hal pastilah memiliki resiko.

"Raja, mohon pertimbangkan kembali. Hamba tahu kalau yang mulia memiliki kekuatan yang besar. Namun, hal ini akan berakibat fatal bagi kerajaan kita." Panglima membuka suara. Ia benar-benar menjaga bahasanya ketika berbicara dengan Leandro. Kalantha jadi sedikit meringis mengingat ia sering melawan Leandro.

"Benar, yang mulia. Semesta akan menghukum anda jika melakukan ini." Tambah mentrinya.

Leandro mendengus. "Apa yang harus kutakutkan. Dia bahkan sudah menghukumku saat ini."

***

"Apa yang sedang kau lakukan disini?"

Kalantha berbalik dan menemukan Leandro sedang berjalan kearahnya. Kalantha memberikan senyuman terbaiknya lalu mengapit tangan pria itu.

"Aku menemukannya." Kata Kalantha senang lalu menatap penuh kagum pada hamparan bunga di depannya. Ia kurang tahu nama bunga-bunga di depan sana. Yang ia tahu, bunga-bunga itu cantik.

Leandro tersenyum menatap surai Kalantha yang berubah emas. Dibawah cahaya rembulan Selena, surai dewi itu terlihat bersinar. Senyuman dan dekapannya membuat Leandro merasakan dadanya bergemuruh.

"Bagaimana kau bisa menemukannya?" Tanya Leandro.

"Entahlah. Aku hanya berjalan asal setelah keluar dari ruang pertemuan. Dan tak menyangka kalau aku sampai di sini."

Leandro tak mengatakan apa lagi. Ia membiarkan Kalantha menikmati pemandangan di hadapan mereka. Dulu ia berjanji akan mengajak dewi ini ke tempat rahasia miliknya. Tak sangka kalau Kalantha ternyata bisa menemukan tempat ini tanpa sosoknya. Dia benar-benar hebat.

Beberapa jam berlalu dan Kalantha tak bisa melepaskan pandangannya dari bunga-bunga itu. Leandro meletakkan kepala Kalantha pada bahunya dan itu menambah kenyamanan dewi cantik itu. Perlahan warna emas itu bahkan berubah menjadi putih.

"Kau tidak lelah?" Tanya Leandro.

"Tidak. Apa kau kelelahan karena kepalaku?" Kalantha mengangkat kepalanya karena merasa tak enak pada Leandro namun Leandro menarik kepala dewi itu kembali ke bahunya.

"Tidak. Aku hanya takut kau tak nyaman karena duduk di tanah."

Kalantha tertawa. Apa-apaan pemikiran raja satu ini. Dia bahkan sudah berkelana sampai kakinya tertancap jebakan berduri para serigala.

"Tidak. Aku merasa sangat nyaman." Ia merapatkan pelukannya pada pinggang Leandro. Memejamkan matanya dan menghirup aroma pinus yang menguar dari tubuh raja itu. Aneh, padahal saat di ruang pertemuan aroma pria ini lebih dominan pada aroma dupa. Namun kenapa sekarang beraroma pinus lagi.

"Aku berharap bisa seperti ini terus denganmu."

Leandro mengusap rambut surai Kalantha. "Tentu."

Lalu matanya jatuh pada pohon bulan yang berada di tengah taman miliknya. Bukan pada pohon itu, tapi lebih tepatnya pada apa yang berada di balik pohon itu. Jika saja Kalantha tak memeluknya,sudah pasti ia akan memenggal kepala sosok itu.

Ah, ia salah. Ia tak bisa memenggal kepala sosok itu. Lebih tepatnya ia tak boleh. Karena Kalantha sudah bersumpah kalau ialah yang akan memenggal kepala budak baru Helios itu. Dan tampaknya sosok itu sudah tahu kalau dewa kegelapan itu menyadari kehadirannya. Terbukti dari ia yang menampakkan dirinya lalu menghilang bersama hembusan angin di sertai dedaunan pohon bulan.

Leandro menatap Kalantha. Mengecup pucuk kepala pujaannya lalu berbisik. "Sebentar lagi, sayang. Tidurlah. Kumpulkan semua tenagamu. Setelah itu akan kita ratakan semua kaum yang sudah menghinamu."

Bacilio menatap pada hamparan lautan hijau di depannya. Sangat jauh ke depan. Tepatnya pohon Selena yang menjadi perbatasan dua dunia. Pikirannya melayang pada apa yang belum lama ia lihat disana.

"Yang mulia, hari sudah larut. Sebaiknya anda masuk ke dalam."

Bacilio tahu kalau itu adalah Handri. Tidak ada yang memiliki hak penuh mengganggu dirinya selain pria itu. Bacilio menggeleng. Pandangannya beralih pada lembutnya rembulan malam.

"Handri, apa menurutmu aku gagal menjadi ayah?"

Handri tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa memang Bacilio telah gagal menjadi seorang ayah karena tak bisa menjaga putrinya. Namun ia tak bisa mengatakan itu. Ia tahu disatu sisi rajanya begitu mencintai anaknya sehingga menginginkan Kalantha menikah dengan dewa surya. Tapi satu lagi, Raja itu tetap gagal menjaga istri dan anaknya.

"Jawablah, Handri. Aku tak akan menghukummu."

Handri memilih menghela nafas dahulu seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk dilontarkan pada rajanya.

"Yang mulia, anda memang sudah gagal menjadi ayah."

Bacilio mengangguk pelan. "Kau benar. Aku sudah gagal menjadi ayah. Bukan hanya menjadi ayah, aku bahkan gagal menjadi rajamu."

"Tidak, yang mulia. Kau tidak gagal menjadi Raja. Kau melakukan itu untuk melindungi rakyatmu. Yang terjadi saat ini bukanlah atas kuasa dan kemauanmu."

Bacilio menutup wajahnya. Ia tak ingin satupun ada yang tahu kalau ia sedang menangis. Menangisi kebodohannya. Ia sudah kehilangan istri dan putrinya. Sekarang ia akan membuat negri putih rata karena ulahnya.

"Handri," Panggil Bacilio diikuti tangannya yang ia lepas dari wajahnya. "Jika suatu hari nanti terjadi hal buruk pada kerajaan ini," Bacilio berbalik dan menyentuh pundak pegasus itu. "selamatkanlah Kalantha."

Handri menggeleng. "Yang mulia, hamba adalah penjagamu. Sedangkan dewi Kalantha sudah memutuskan ikatan denganmu. Hamba tidak memiliki kewajiban untuk menjaga dia lagi."

"Handri, apa yang terjadi saat ini adalah karena kesalahanku."

"Yang mulia, sekarang anda adalah budak Helios. Dia memerintahkan anda untuk membunuh Kalantha."

"Yang menjadi budak Helios itu aku, Handri. Bukan kau. Kau adalah orangku. Bukan orang Helios. Jadi aku memerintahkan kau untuk menjaga Kalantha. Apapun yang terjadi nanti, selamatkan dia. Jangan biarkan dia terluka."

Handri berniat menyela Kalimat Bacilio, namun dewa itu lebih dulu bicara. "Bahkan jika Kalantha ingin membunuhku nantinya, jangan pernah halangi dia."

Bacilio melepaskan tangannya dari pundak Handri. Kakinya melangkah masuk kedalam peristirahatannya. Namum langkahnya terhenti karena mendengar pertanyaan dari pegasus kesayangannya itu.

"Kenapa anda harus melakukan ini semua, yang mulia?"

Bacilio memandangi wajah Handri. Tersirat raut wajah tak terima di sana. Mungkin panglima itu berpikir kalau ia akan gagal menjalankan tugasnya jika tak bisa menjaga Bacilio.

Ia memberikan senyum. Senyum yang sudah lama tak ia sunggingkan di bibirnya. "Karena itu adalah sumpahnya. Dan dia adalah putriku. Satu-satunya cahayaku yang tersisa."

***

Leandro menyesap darah pegasus yang diberikan Sergio. Darah ini terasa begitu manis. Sudah dipastikan kalau pemilik darah ini masihlah bayi.

"Ini terlalu manis."

Sergio menghentikan aktifitasnya yang meracik sebuah ramuan. Kepalanya mengarah pada Leandro yang menatap ia dengan mata tajamnya.

"Itu bayi pegasus. Usianya masih dua minggu."

"Aku tahu."

"Kalau begitu tidak perlu bertanya lagi." Sergio kembali pada aktifitasnya.

"Aku tak bertanya. Aku hanya nengatakan kalau ini terlalu manis. Kau tahu kalau aku benci hal yang terlalu manis." Leandro meletakkan cawannya. Ia tak bernafsu meminum darah pegasus itu.

Sergio tersenyum menggoda pada Leandro. Dewa kegelapan itu merasa tak nyaman mendapat tatapan yang menurutnya begitu menjijikan.

"Hentikan tatapan itu atau ku bunuh kau."

Sergio bukannya takut, ia malah tertawa. "Kau bilang tidak suka yang manis. Padahal darah Kalantha sangatlah manis."

Leandro menatap pada arah lain asalkan tidak menatap wajah guru kurang ajarnya itu. Ia heran bagaimana bisa ia lunak pada pria tua itu? Ah, mungkin saja karena pria itu mengetahui rahasianya.

Sergio memasukkan akar pohon yang ia ambil dari negri putih saat berburu darah kaum atas itu. Lalu setelah itu sebuah asap muncul keatas dan menghilang secara perlahan. Ramuannya selesai.

Sergio memindahkan cairan itu kedalam cawan lain lalu memberikannya pada Leandro. Ia duduk di samping raja kegelapan itu.

"Habiskan itu. Setelahnya, minum ramuan ini."

Leandro menatap pada cairan yang berisi aroma dupa. Rasa mual kembali ia rasakan dari perutnya. "Tidak. Aku tak suka. Lagian aku sudah minum darah ini."

Sergio menghela nafas. "Jangan melawan, Leandro. Ini untuk kebaikanmu."

"Kau pernah bilang, jika aku sudah meminum darah kaum atas, maka aku tak perlu lagi meminum cairan menjijikan itu."

Sergio mengangguk. "Memang benar. Hanya saja belakangan ini tubuhmu sering tak stabil. Kadang aku bisa merasakan aura ibumu dari tubuh ini." Sergio memegang pundak Leandro.

Kening Leandro mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Leandro, apa kau tak merasa kalau belakangan ini tubuhmu melemah. Kau bahkan tak bisa mengendalikan aliran energi dalam tubuhmu. Walaupun kau meminum darah itu, aroma ibumu sesekali menguar keluar. Syukurlah itu tak terlalu pekat sehingga tak ada yang tahu."

Leandro akui kadang ia merasa begitu lemah. Lemah dalam artian disini adalah ia mulai memakai nuraninya. Padahal dulu ia tak akan segan-segan membunuh sesuatu, namun belakangan ini ia tampak iba pada segala sesuatu. Tidak selalu, tapi pernah beberapa kali.

"Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tanya Leandro.

"Kau harus minum ramuan yang ku buat untukmu."

Leandro melepaskan tangan Sergio. Memang benar kalau ramuan yang dibuat pria tua itu mampu menutup aroma ibunya, tapi ada dampak yang begitu besar yang ditimbulkan dari cairan hitam pekat itu.

Seluruh organ dalamnya akan terasa dibakar. Ia akan kehilangan banyak tenaga untuk memulihkan dirinya akibat rasa sakit dari cairan itu. Dan jika diminum dalam waktu panjang, maka ia akan berakhir menjadi pengganti raja neraka.

"Aku tak bisa." Kata Lenadro tegas.

"Kau menggali kuburanmu sendiri Leandro." Tekan Sergio berharao Leandro mendengarkannya.

Leandro menggeleng. "Aku tak bisa. Aku harus memimpin pasukan untuk membantu Kalantha membalaskan dendamnya. Aku tak punya waktu untuk memulihkan diriku."

Leandro mengambil cawan yang berisi darah pegasus dan meminumnya dengan sekali teguk. Setelah habis, ia berdiri dan memandang wajah Sergio. "Aku akan menjaga energiku untuk tetap stabil. Aku yakin aku bisa."

Leandro mengatakannya dengan penuh percaya diri, tapi hal itu malah membuat Sergio ketakutan. Leandro berjalan melewati Sergio, meninggalkan gurunya dalam remang ruangan pria tua itu.

Sergio sendiri? Ia menggeleng tak percaya atas apa yang baru saja ia lihat dan dengar. Ternyata dewa kegelapan ini benar-benar jatuh hati pada dewi pembawa aib itu. Ia tak menyangka Leandro akan mengabaikan keselamatannya demi seorang Kalantha. Demi semesta, apa kutukan itu akan segera terjadi?

tbc