Aku meneguhkan hati yang hancur. Mengapa harus dihadapkan pada kenyataan seperti ini? Mengapa nasib memuakkan harus digariskan pada hidupku? Haruskah kujalani yang seharusnya belum boleh dijalani? Haruskah menerima saja seluruh garis takdir yang ditorehkan?
Aku sudah mencoba menghindari, memberontak, dan melakukan apapun. Pada akhirnya, tetap kembali pada garis nasib semula. Harus memilih antara hidup seperti mati atau mati seperti hidup. Kedua pilihan sama-sama menyakitkan.
"Apakah sekarang kau sudah puas? Kau sudah menjadikanku hak milikmu. Aku sekarang barang jaminan atas keluargaku. Kau telah membeli seluruh hidup, masa depan, dan kebahagiaanku! Asal kau tahu, meski kau telah mengendalikan segala atas diriku, kau takkan pernah mendapatkan hatiku. Sampai kapan pun aku tidak akan jadi suami seperti yang kau mau!"
"Aku tidak memintamu jadi suami yang ideal atau ayah yang sempurna. Aku hanya memintamu menjadi suami paruh waktu. Kau boleh pergi ke mana saja. Kau boleh melakukan apa saja. Kau boleh bersama siapa saja. Tapi, ketika kau pulang, kau adalah suamiku."
Aku tertawa. "Kau akan menyesali keputusan yang kau ambil hari ini." Aku melangkah pergi meninggalkannya.