D O N I E P O V
Kebun karet bukan sekadar deretan tanaman. Ia menyimpan sebuah cerita. Menyimpan suatu dunia. Di antara daunnya yang berguguran, ada sehimpunan pengalaman yang tak terlupakan. Bergerak dan berlari di antara deretan pohon. Memukul ranting dan menerbangkan daun-daunnya. Memanjat dan bergelantungan di dahannya.
Aku akan selalu ingat masa-masa itu, ketika masih kecil dahulu. Ketika awan-awan bergerak di atas pucuk-pucuk karet yang memerah. Ketika berjalan di antara batang karet yang simetris. Saat mengambil getah dari mangkuk-mangkuk kecil yang menempel di batang pohon. Terkesima melihat getah segar putih susu yang merembes setetes demi setetes dari irisan kulitnya.
Saat ini aku seperti mengulang kenangan bertahun-tahun silam. Berdiri di tengah hamparan kebun karet yang melengkung membentuk terowongan. Mengagumi berkas-berkas cahaya matahari senja yang menembus celah-celah daun. Namun, semua keindahan dan kenangan itu seakan sirna saat Tiara melayangkan pandangannya padaku. Aku pura-pura tidak melihat pandangan menyeramkan seperti Medusa itu. Pura-pura memasang wajah polos tanpa dosa adalah pilihan terbaik untuk situasi ini. Sebisa mungkin jangan menatap matanya. Jangan pernah!
"Jadi sekarang gimana? Bagaimana sampai ke desa? Apa kau mau menyuruhku jalan kaki?" sembur Tiara marah. "Berhenti pura-pura memperbaiki. Aku tahu kau nggak bisa. Emangnya sejak kapan kau bisa memperbaiki benda seperti ini? Seorang sarjana agroteknologi coba-coba jadi sarjana teknik mesin? Yang ada, sepeda itu makin rusak!"
"Memperbaiki yang beginian sih, gampang. Sebentar lagi juga selesai." Aku masih berkutat pada rantai sialan yang tiba-tiba putus. Padahal mau mengajak berkeliling sambil menikmati keindahan tempat yang terletak di salah satu Kecamatan Rimbo Bujang ini. Menikmati eksotis aliran Sungai Batanghari yang menjadi sungai terpanjang di Sumatera.
Aku menengadahkan kepala menatap matahari yang kira-kira satu jam lagi akan terbenam. Memandang pasrah pada jalan tanah kuning berdebu yang diapit pohon-pohon karet. Lengang. Tidak ada manusia yang terlihat. Lebih parahnya lagi kami sama-sama pendatang baru.
"Nggak usah memperbaiki sepeda itu lagi. Membuang waktu. Sebaiknya kita jalan kaki sebelum gelap." Tiara mengembuskan napas kesal sambil memandang perkebunan karet.
"Tunggu sebentar lagi. Sepuluh menit lagi, oke?" Aku membalikkan sepeda sehingga posisinya bertumpu pada sadel dan setang, kemudian menatap derailleur—pemindah gigi—dengan bingung. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya agar rantai itu bisa masuk pada posisi semula.
"Don, apa kamu mau kita bermalam di sini? Lihatlah sekeliling …." Tiara mengedarkan pandangan ke deretan batang karet lurus yang berjejer rapi. Batangnya berwarna putih keabuan serta bercabang di bagian atas, mirip barisan korek api yang tersusun tegak.
Aku memandang Tiara dengan kening berkerut. Hendak membuka mulut untuk bicara, tapi segera menutupnya kembali. Percuma saja berdebat dengan gadis yang selalu benar itu. Membuang waktu dan tenaga. "Semuanya berantakan karena sepeda ini!" Aku mendorong sepeda dengan kesal.
Tiara melotot nyaris melontarkan biji matanya. "Jangan salahkan sepeda itu! Salahkan dirimu! Bukankah Kakek udah sarankan pakai motor, tapi kau ngotot dan lagak sok romantis pakai sepeda."
Aku mengikuti gadis dengan rambut dikuncir itu melintasi bayangan di antara batang karet yang kelabu. Sesaat, aku membalikkan tubuh, memandang sepeda pembawa sial itu. Ragu-ragu untuk membawanya kembali, karena akan menambah beban saja. Beban perasaanku saja sudah berat, apalagi beban sepeda tua itu.
"Apakah aku harus membawa sepeda itu?" tanyaku dengan super dungu yang segera kusesali ketika kata itu terloncat dari sela-sela gigiku.
Tiara langsung membalikkan tubuh dengan punggung kaku dan dagu terangkat, seperti peran antagonis di serial India. Alis kanannya melengkung, bibir terkatup rapat, serta mata nyalang menohok langsung pada mataku. Kali ini kubalas tatapannya sambil memamerkan senyum terbaik. Dia pasti luluh seperti biasanya.
Dalam beberapa detik yang terasa cukup lama, kami bertatapan seperti sepasang kekasih. Ah … andai saja seperti itu, betapa bahagianya diriku.
Tiara mengembuskan napas panjang satu kali sebelum melepaskan pandangan dengan jengkel. Aku memandangnya sesaat, lalu berjalan menuju sepeda dan mulai mengiringnya. Tiara berjalan cepat dengan membuat debu sepanjang jalan. Sengaja. Aku tahu. Mataku perih, tapi aku coba menyusul secepat mungkin. Gadis itu berjalan lebih cepat lagi sambil berbelok dekat pondok tua.
"Kau marah?" tanyaku sambil menunjukkan wajah pura-pura khawatir. Padahal sebenarnya aku tahu, ia tidak tahan lama-lama bermusuhan denganku. Begitu juga sebaliknya.
Tiara berhenti mendadak sambil melayangkan pandangan mengerikan. "Siapa yang tidak akan marah dalam keadaan seperti ini? Sekarang udah hampir gelap dan aku harus jalan kaki! Apa kau mau tanggung jawab apabila terjadi sesuatu? Apa kau tahu betapa jauh kita masuk perkebunan? Apakah kau tahu seberapa bahayanya alam liar?"
"Aku bisa menggendongmu jika lelah." Aku memberikan usulan yang segera kusesali. Sudah bisa diprediksi jawaban gadis galak itu. Kalau tak menjerit-jerit pasti memaki-maki.
"Menggendongku? Kemudian menjatuhkanku? Membuat kakiku terkilir? Apa itu yang kau maksud?" Ia mencecarku dengan pikiran-pikiran jorok yang bisa kuperbuat. Padahal dalam pikiranku tidak terlintas sedikit pun hal yang ia pikirankan. "Apa kamu kira kita berada dalam sebuah drama atau novel romantis? Seorang cowok menggendong cewek di tengah hutan pada suatu senja yang indah. Mereka saling jatuh cinta dan hidup bahagia selamanya?"
Aku melepaskan setang sepeda. Berjalan mantap. Menarik pergelangan tangan gadis itu dengan agak kasar. "Kenapa tidak?" balasku cepat, menariknya dalam gendonganku. Sekarang ia tidak bisa menolak lagi jika didesak seperti itu. Aku sudah tahu jalan pikirannya dan bagaimana reaksinya.
"Donie, hentikan!" Ia memukul dadaku. "Apa kau mau meninggalkan sepeda itu?"
Aku menurunkan wajah untuk melihat dengan jelas semburat warna merah muda dari pipinya. Sungguh manis. Aku mengeluarkan sedikit senyuman dan sedikit ancaman juga. "Sekarang kamu pilih, sweety. Sepeda atau kau yang akan kutinggal?" Pertanyaan yang sederhana tapi jawaban yang rumit.
Tiara hanya menatapku seakan tidak tahu harus menjawab apa. Aku pura-pura tidak peduli sambil memantapkan langkah dalam cahaya yang memudar di belakang kami. "Kau tahu tidak …," aku berhenti sebentar agar terdengar dramatis, "aku tidak tahan lama-lama marah denganmu. Bukan aku takut, tapi aku hanya tidak ingin kita lama-lama seperti itu. Kau tahu kenapa? Ya, karena kau bodoh!"
Tiara memukul bagian belakang kepalaku. "Awas aja kalau aku kembali ke Pekanbaru. Kulaporkan apa yang udah kau lakukan padaku. Aku akan bilang pada Zian." Tiara memasang wajah marah tapi tetap melingkarkan lengannya di leherku. Semakin erat malah.
"Bukannya kau udah putus?" tanyaku sambil menatap dalam-dalam matanya. Tiara segera membuang muka sebelum aku mengucapkan kata yang kedua yang telah kupersiapkan. Ia jelas sudah memprediksinya.
"Sejak kapan aku putus dengan Zian? Mau nyebar fitnah, hah?" Jeritnya di dekat telingaku dengan sengaja. Aku tahu betul jalan pikirannya. Ia bisa membuatku kesal dan jengkel, tapi gilirannya kubuat jengkel, malah bersikap anarkis dan histeris. Hidup memang kadang-kadang tak adil.
Tiara menatap kabut yang mulai turun mencium tanah berdebu. Detik berderap dalam pusaran waktu yang lambat. Ia mendongakkan kepala dan memfokuskan matanya ke wajahku. "Sebentar lagi kami akan menikah."
Deg …!
"Me-ni-kah?" intonasi suaraku naik satu oktaf seiring degup jantungku yang memompa darah semakin cepat. Aku takut Tiara bisa merasakan hentakan jantungku yang seakan mau meloncat dari rongganya. "Kau tidak memberitahuku? Apa kau sekarang mulai merahasiakan sesuatu dariku? Kenapa bisa secepat itu? Kau hamil?"
Tiara memukul kepalaku. "Asal ngomong aja, nih, bocah," katanya. "Emangnya kenapa kalo aku nikah? Kau cemburu?"
Aku menghentikan langkah. "Aku cemburu lah. Kamu kira aku tidak cemburu melihat wanita yang kucinta akan menikah dengan orang lain. Patah hati ini mungkin takkan pernah terobati. Sampai kapan pun luka ini akan selalu mengeluarkan darah."
Tiara memukul kepalaku lagi. "Hentikan, bodoh! Aku bukan wanita yang mudah kau tipu seperti kebanyakan pacar-pacarmu. Kita berteman udah lama, jadi aku tahu sifat aslimu. Sekarang coba sebutkan ada berapa pacar—korbanmu—sekarang ini, hah?"
Aku pura-pura berpikir sambil menatap lapisan langit cerah yang terkelupas sedikit demi sedikit menjadi malam. "Ada tiga. Mungkin …." Kujawab apa adanya karena tidak ada guna berbohong kepada gadis bodoh itu. Keadaannya tetap sama meski ia tahu atau tidak.
"Dan kalau aku jadi pacarmu, maka aku akan jadi yang keempat?"
"Tidak! Kau yang pertama dan satu-satunya," sanggahku mendengar ucapannya yang sinis. "Aku akan memutuskan mereka detik ini juga seandainya kau mau jadi kekasihku. Jadi …, maukah kau jadi pacarku dan menikah denganku?"
"Hoi, gila! Berhenti mengucapkan omong kosong itu! Aku menolakmu dan berhentilah merayuku. Apa kau tidak punya malu?" Tiara kembali memukulmu dengan lebih keras. Aku biasa diperlakukan tak manusiawi begitu setiap hari.
Aku dengan sengaja melepaskannya dalam gendonganku. Membuatnya hampir jatuh terpeleset. Aku akan tertawa kalau saja tak melihat wajahnya yang alih-alih jengkel, malah terkesan sakit hati. Tumben ia memasang wajah seperti itu?
"Kenapa kau menurunkanku? Bukannya kau akan menggendongku sampai pulang? Begitu mudahnya kau melupakan janji yang telah diucapkan?" protesnya tidak terima sambil menyipitkan mata jengkel.
"Tidak lagi. Kau telah menolak lamaranku."
Tiara beranjak dari tempatnya semula dan memelukku dari belakang. "Ayo, gendong lagi," rayunya dengan suara dimanja-manjakan. Bagiku tak ada efek dan pengaruhnya setelah apa yang dikatakannya tadi.
"Aku tidak mau!" balasku tetap tak bergerak. "Kau belum menerimanya. Aku tidak mempan dirayu. Apalagi rayuan standar seperti itu tak akan membuatku bertekuk lutut padamu. Jangan harap!"
Tiara mengembuskan napas panjang sambil mengacak-acak poninya, seakan sedang memikirkan cara jitu untuk menggoyahkan pendirianku. Aku berusaha untuk tidak terpukau melihat sikap manisnya seperti itu. Jantungku selalu berdetak kencang tatkala menatapnya dan segala apa yang ada padanya. Detakan yang berbeda dengan sejumlah wanita yang pernah kutemui. Gadis bodoh itu—setiap kali kunyatakan perasaanku—selalu menganggapku bercanda. Aku harus bagaimana lagi untuk menyatakannya?
"Baiklah. Aku menerimanya. Sekarang gendong aku lagi," ucapnya sambil melingkarkan tangan di sekitar tulang belikatku.
"Apakah itu hanya sebuah rayuan belaka? Agar aku bisa jadi kuda beban-mu?"
"Ayolah, Donie, sebelum keburu malam dan keburu aku berubah pikiran. Mau atau nggak?"
Aku pura-pura berpikir selama beberapa saat. "Baiklah jika kau memaksa. Aku nggak punya pilihan." Aku tersenyum sambil menggendong teman sejak kecilku itu. "Sebenarnya aku tahu, pasti akan kena tipu lagi. Sesampai di rumah ia pasti pura-pura amnesia?"
Tiara merendahkan kepala sehingga pipinya menempel di wajahku. "Donie, kau tahu tidak? Kalau kau sedikit lebih manis, lebih setia, dan tak mata keranjang lagi. Pasti aku akan mempertimbangkan untuk menyukaimu. Kau tidak jelek-jelek amat."
"Aku tahu kau bohong. Akui aja kalo aku emang tampan."
Tiara mendengus kesal. "Aku tahu kau nggak akan berubah. Kau tahu bagaimana pandangan orang tentang kita? Seperti sepasang kekasih. Padahal kita nggak pacaran sama sekali. Ingat, waktu sekolah kita dijuluki pasangan paling romantis."
"Aku tidak ingat sama sekali," balasku cepat.
Tiara kembali memukulku, sekarang di lengan. "Jangan menyebalkan! Dengarkan aja aku kalo bicara."
"Punya kuasa apa kau memaksaku mendengar semua yang kau katakan? Kau anggap aku apa?" protesku tidak terima.
"Selingkuhan." Wajahnya menerawang memandang langit. "Kau jadi selingkuhanku aja, Donie. Aku sungguh cinta padamu. Sungguh."
"Jangan mengada-ada. Buat apa aku jadi selingkuhanmu, bila aku bisa dapat wanita yang jauh lebih cantik darimu."
"Tapi, nggak ada yang semanis aku 'kan?"
"Apa kau selalu bilang begitu di depan Zian? Aku manis, aku cantik, aku …." Aku berusaha memasang tampang menyebalkan serta suara merendahkan.
Tiara membekap mulutku. "Jangan katakan! Aku malu jika mengingatnya."
"Malu? Kau malu? Aku juga seorang laki-laki, bodoh! Kenapa kamu tidak malu padaku?" Aku protes tidak terima. Memangnya aku dianggapnya apa? Aku juga seorang lelaki. Sama seperti pacarnya, malahan menurutku, aku lebih keren.
"Buat apa aku malu padamu. Kita kan sudah seperti saudara."
"Aku tidak mau jadi saudaramu. Aku mau menjadi pacar dan suamimu kelak." Aku meninggikan intonasi suaraku, bermaksud menegaskan.
Tiara mengembuskan napas kecilnya yang panas mengaliri tengkukku. "Berhenti mengucapkan omong kosong, Donie. Sekarang percepat langkahmu. Lihatlah langit sudah mulai gelap."
Sebenarnya aku sengaja berjalan pelan-pelan, agar bisa menikmati suasana seperti ini lebih lama. Aku ingin kami seperti ini. Sebagaimana layaknya sepasang kekasih yang saling memiliki. Kami berjalan dalam diam sementara kepala Tiara bersandar di bahuku. Terkadang aku merasa sedih, dia begitu dekat tapi juga terasa jauh. Dia selalu berada di sisiku, tapi tidak bisa kumiliki. Sepertinya tidak akan pernah kumiliki. Kalau saja dia tahu siapa aku sebenarnya pasti semuanya akan berakhir.
"Matahari tenggelamnya indah ya," kataku memecahkan kesunyian. "Suasana yang indah dan romantis untuk mengambil gambar. Sayangnya tadi aku lupa bawa kamera."
Tiara mengangkat kepala. "Menurutku mataharinya biasa saja. Kenapa kamu selalu terobesesi dengan matahari terbenam? Hampir semua hasil potretanmu selalu tentang matahari."
"Karena aku mengagumi warna lembutnya yang merekah indah di sudut langit. Terpencil, kesepian, tapi selalu memberikan kelembutan."
Tiara melongo seperti biasanya. Gadis bodoh. Ekspresinya memicu orang untuk tertawa.
"Tapi kau tahu nggak, kalau matahari terbenam hanya salah satu yang aku suka? Aku menyukai satu hal lagi. Apa kau mau mendengarnya?"
"Sebenarnya aku tidak mau, tapi berhubung kau udah berbaik hati menggendongku, maka akan kudengarkan." Tiara jawab asal-asalan.
"Aku menyukaimu!"
Terdengar keheningan beberapa saat. Sementara matahari terus tenggelam di balik bukit-bukit. Aku merasakan detakan jantung Tiara yang bertalu di punggungku. Aku sudah mengatakannya secara serius yang berasal dari hatiku. Terserah dia mau menerimanya atau tidak, atau masih menganggapku bercanda lagi kali ini.
"Donie, apakah aku boleh jujur?"
"Emangnya kalau mau jujur harus permisi dulu? Selama ini engga 'kan? Kita sama-sama terbuka." Aku berusaha berbicara seperti biasa.
"Baiklah, aku akan jujur. Jalanmu seperti siput. Berhenti mengerjaiku dengan kata-kata romantismu itu!" Tiara berteriak di dekat telingaku yang hampir membuatku kehilangan keseimbangan. "Aku bukan gadis bodoh yang mau kau kadali dengan kata-kata bucin seperti itu."
Aku berusaha mengatur ekspresi wajah dan suaraku seperti biasa. "Aku akan lebih cepat berjalan kalau kamu turun dari punggungku. Kau cuma beban di hidupku." Aku mengembuskan napas kecewa.
"Kalau aku nggak mau turun gimana?"
"Lakukan sesukamu, asalkan membuatmu senang."
Aku terus berjalan melewati jalanan yang sunyi, sementara bayang-bayang perkebunan semakin menggelap di sekeliling kami. Aku tahu, kebahagiaan kami seperti ini akan berakhir. Beberapa tahun lagi mungkin Tiara akan memiliki kehidupan sendiri. Aku juga tahu, suatu saat Tiara akan menikah dengan seorang laki-laki yang dicintainya. Yang jelas itu bukan aku.
Selama ini aku selalu bertanya-tanya. Apakah Tiara pernah memandangku sebagai seorang pria? Atau hanya menganggap sebagai sahabat yang selalu ada? Hingga saat ini aku tidak tahu jalan pikirannya. Dia gadis bodoh yang tidak sadar dengan tanda-tanda atau ungkapan yang sangat jelas kuberikan. Dan aku lebih bodoh lagi telah mencinta dan tak bisa mengungkapkan dengan semestinya.