Bab 2: Pengakuan

Aku baru selesai mandi. Masih mengenakan handuk serta belum erpakaian, ketika Tiara menggebrak pintu kamar. Aku menjerit seperti perempuan dengan mata melotot. "Apa yang kau lakukan masuk kamar orang sembarangan?"

Tiara melangkah santai seolah tidak ada apa-apa. Menghiraukan pelototanku. Tiara sudah mandi dan mengenakan pakaian tidur. Berhubung kamar mandi cuma satu, jadi kupersilakan ia mandi terlebih dahulu sepulang dari kebun karet tadi.

"Aku nggak masuk kamar orang sembarangan. Aku hanya masuk ke kamarmu aja. Masalah?" kata Tiara santai.

"Hanya, katamu? Kau lihat aku sedang apa?" Aku tidak habis pikir kenapa ia begitu menyebalkan. Walaupun kami begitu dekat, ada batas-batas yang harus diketahui dan tidak boleh dilanggar. Entah kenapa, Tiara berusaha menobrak semua itu bila bersamaku.

Tiara berjalan mendekat. "Kau hanya memakai handuk. Itu aja. Apalagi?"

"Gadis gila, keluar sana! Emangnya kau mau melihatku tanpa pakaian? Apa itu keinginanmu sebenarnya?" Aku menarik selimut dan mengibas-ngibaskan. Berusaha mengusirnya. Tiara mengelak, kemudian duduk di atas kasur seenaknya.

"Aku pun sebenarnya nggak sudi melihatmu tanpa pakaian. Merusak mataku aja. Tapi mau gimana lagi, aku udah terlanjur membuka pintu. Nggak mungkin menutupnya kembali." Tiara masih berlagak seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku melemparkan selimut ke kasur. Mengembuskan napas panjang dan memandang gadis itu dengan ekspresi putus asa. "Baiklah, hadap belakang! Aku mau berpakaian dulu. Setelah itu, terserah apa yang akan kau lakukan di kamarku, yang penting aku memakai baju dan celana dulu."

Tiara melakukan apa yang aku suruh. Jarang-jarang dia menurut seperti ini. Biasanya selalu mengomel panjang lebar jika diperintah, tapi anehnya suka memerintah. Tidak dewasa untuk seumurannya. Masih bertingkah seperti remaja seperti dahulu.

"Hoi, jangan menghadap ke arah cermin. Itu sama aja bohong. Masih bisa lihat!"

"Ya ampun,emangnya aku tukang intip apa?" balas Tiara sambil membalikkan tubuh, tapi buru-buru aku cegah kembali.

"Hadap dinding! Jangan menghadap ke belakang. Tatap dindingnya, bukan cerminnya!" Aku mengambil pakaian secara acak dari dalam ransel dan mengenakannya dengan cepat.

"Udah belum?" tanya Tiara yang masih memandang dinding. Gerak-geriknya terlihat bosan menghadap dinding yang putih polos.

"Belum, masih lama, nih," balasku sambil tersenyum jahil berusaha mengerjainya. Biar saja ia memandang dinding seperti orang bodoh begitu. Tapi emang bodoh, sih. Dan aku suka memotret ekspresi-ekspresi bodoh di wajah-wajahnya, terutama ketika sedang tidur dengan mulut ternganga. Tiara mengamuk besar ketika aku mencetaknya dan memajang diam-diam di kamarnya.

Satu menit kemudian ia bertanya lagi. "Kok lama betul, sih? Cuma pake celana dan baju aja!"

"Jangan ngoceh terus. Kalau nggak suka menunggu, silakan keluar. Ini kamarku, jadi aku yang berkuasa." Aku menggantungkan handuk di belakang pintu, lalu duduk di kursi samping meja nakas sambil mengeluarkan buku catatan penelitian perkebunan karet.

"Aku nggak mau keluar. Sekarang aku hitung sampai tiga, kalau belum juga, aku nggak peduli. Biarpun kau telanjang sekalian, aku tidak mau tahu!" Tiara mulai menghitung dengan jeda yang agak lama.

"Jangan! Sebenarnya kau emang ingin melihatku tanpa busana 'kan? Sebenarnya itu niat tersembunyimu selama ini. Semuanya sudah jelas sekarang! Gadis mesum!" Aku mempelajari buku catatam selama beberapa saat sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Catatan penelitianku sudah cukup lengkap mengenai karet, baik dari pra panen maupun pasca panen.

Tiara mengedikkan bahu. "Aku nggak peduli. Emang sejak kapan aku peduli apa yang kau pikirkan tentangku?"

Aku menutup buku catatan dan berdiri. "Baiklah, aku udah selesai. Ada apa menggebrak kamarku tanpa permisi?" Aku duduk di ujung tempat tidur, lalu merebahkan tubuh. "Jangan lakukan hal itu lagi, apalagi kepada cowok lain selain aku."

Tiara membalikkan tubuh dan langsung melotot ketika melihatku rebahan di kasur dengan gaya santai. "Apa?" tanyaku pura-pura memasang wajah polos tak berdosa.

"Tidak ada apa-apa," balasnya sambil mengembuskan napas panjang. "Kau memang berhasil membuatku jengkel di mana saja dan kapan saja."

Aku tersenyum karena berhasil membuatnya kesal.

Tiara mendekat dan duduk di sebelahku. Dapat kucium aroma gadis itu yang menggoda, seperti bau stroberi dan melon. Manis dan segar. "Don, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu. Aku ingin kau mengetahuinya. Aku ingin mengatakan semuanya. Semua yang tidak pernah aku katakan kepadamu selama ini." Tiara menarik tanganku agar aku duduk.

Aku duduk dengan malas sambil menggaruk-garuk leher. "Katakan aja, emangnya selama ini minta izin dulu?" kataku sambil berjalan ke meja nakas untuk memakai minyak rambut, kemudian menarik sisir di saku samping ransel peralatan. Aku memang sering bepergian, karena bekerja sebagai peneliti di bidang agroteknologi. Ketika Tiara mendengar aku akan ke Rimbo Bujang untuk melakukan penelitian tentang kebun karet, ia tiba-tiba ikut.

"Ini serius, Donie. Aku nggak mau membicarakannya di sini." Tiara menatapku dengan wajah yang belum pernah kulihat selama ini.

Entah kenapa, firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku memandangnya dengan wajah muram. "Apa sebenarnya yang ingin kau katakan? Kenapa tidak bisa di sini?" tanyaku cepat sambil mendekatkan wajah ke arah gadis itu. Ingin memastikan ia bercanda atau bukan. Tatatapan polos—bodoh—itu sepertinya sedang tidak bercanda.

Tiara seolah berpikir sambil menatap lantai, kemudian memandangku lagi. Kelihatannya ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Firasatku menjadi semakin tidak enak. Aku tidak bisa menerka apa yang ingin dikatakannya. Buntu. Aku pikir ia baik-baik saja selama. Tidak ada masalah yang berarti, baik dalam urusan pekerjaan maupun orang-orang di sekelilingnya.

"Ada apa?" tanyaku lagi setelah Tiara berdiam diri. Biasanya dia tidak seperti ini. Ada yang salah. Ada sesuatu yang sudah dan akan terjadi. Aku yakin itu. "Apa terjadi sesuatu? Jangan membuatku nggak tenang, Tiara. Jangan membuatku khawatir seperti ini." Aku memegang lembut lengan gadis itu.

Tiara masih menatap lantai, tidak berani melihat langsung wajahku. Aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu. "Apakah sesuatu yang sangat penting?" tanyaku lagi.

"Aku tidak bisa mengatakannya di sini."

"Kalau begitu, kita bicara di luar." Aku bangkit sambil menarik tangan Tiara keluar kamar, dia menurut saja. Membimbingnya melewati pekarangan rumah, menuju jembatan bambu yang di bawahnya mengalir sungai. Di kejauhan, terdengar suara Kakek yang sedang mengobrol dengan tetangga.

"Sebenarnya kau ingin mengatakan apa? Jangan menakuti seperti ini. Sebelumnya kau nggak pernah seperti ini." Aku memandangnya di bawah sinar rembulan yang hampir purnama. Aku bisa melihat kilatan keraguan di matanya.

"Maafkan aku, Don. Aku telah membohongimu." Tiara menatapku dan aku tahu dia sedang menangis.

Aku memandang gadis itu dalam remang dengan kening berkerut. "Berhenti menangis, kau membuatku khawatir. Jangan jual tangisanmu untuk membuatku sedih. Aku tidak suka melihatmu sedih. Aku benci melihatmu tidak bahagia. Katakan, ada apa?"

"Apakah kau mau menerimanya?"

"Aku akan selalu menerima, jika itu terbaik untukmu." Aku masih memegangi pergelangan tangannya. Berusaha memberinya kekuatan untuk bicara. "Jadi, katakan aja semua yang menjadi beban pikiranmu."

"Walaupun selama ini aku sudah berbohong?" Tiara bertanya lagi tanpa berani memandang wajahku. Suaranya bergetar menahan gejolak emosi dalam dirinya.

"Ya, Tiara, katakanlah. Kau tahu kan bagaimana aku?" Aku berusaha membujuk. Semakin dibuat penasaran apa yang ada dalam pikirannya saat ini.

"Tapi ini sangat serius, Don."

Aku mengusap lembut tangan gadis itu. "Katakan sekarang. Semakin lama begini, maka semakin membuatku semakin senewen." Entah kenapa, ia terkesan mengulur-ulur waktu dan membuatku semakin geram saja.

Tiara menatapku dengan wajah yang sulit dijelaskan. Selama beberapa saat, kami berada dalam keheningan. Hanya riak air saja yang mengisi kekosongan. Tiara mengangkat wajah dan menatapku dalam.

"Donie, sebenarnya aku udah nggak virgin lagi."