Bab 3: Aku Tidak Sakit, Hanya Hancur

"Tiara, kau tahu ini tidak lucu 'kan? Bercandamu kali ini keterlaluan. Bagaimana mungkin kau mengatakan hal yang tidak masuk akal begini?" Aku melontar pandangan tidak percaya pada Tiara. Pasti ini jebakan, aku tidak akan jatuh perangkapnya lagi. Sudah sering ia mengerjaiku, tapi sekarang kurasa keterlaluan.

Tiara menunduk menatap aliran air yang terpantul sinar bulan, kemudian memegang pergelangan tanganku. "Aku udah menduga kau akan bereaksi seperti ini. Tapi, kenyataannya emang seperti ini adanya. Aku hanya ingin jujur. Itu aja."

"Aku nggak mau dengar lagi! Ini benar-benar nggak lucu!" Aku menepis tangannya yang memegangi pergelangan tanganku.

"Tapi ini kenyataannya. Aku nggak bercanda! Aku minta maaf udah buatmu marah dan kecewa seperti ini. Aku pun nggak tahu harus bagaimana agar kita tidak saling marahan." Tiara berusaha mendekat, tapi aku beringsut ke belakang.

"Aku lebih dari sekedar marah! Aku kecewa! Sangat kecewa!"

"Maaf, karena tidak memberitahumu sejak awal. Aku takut, beginilah reaksimu. Aku takut kehilanganmu. Aku takut kau tidak menerimaku lagi dan mengakhiri persahabatan kita." Tiara memandang tepat ke manik mataku. Kurasakan getaran yang begitu nyata di dada. Rasanya yang bercampur menjadi satu dan sulit dijelaskan.

Aku berjalan mendekat dan mencengkram lengan gadis itu agak kuat. Aku tidak peduli meski ia kesakitan. "Siapa yang melakukannya? Siapa yang melakukannya, Ra?" Suaraku naik saku oktaf. Keadaan sunyi di sekeliling, menambah kesan menakutkan dari nada suaraku.

Tiara tidak berusaha melepaskan cengkramanku, meski wajahnya menunjukkan kesakitan. Aku yang tidak tega, akhirnya melonggarkan cengkeramku di lengannya. "Aku tidak mau mengatakannya, Don. Udah lewat juga. Biarlah berlalu." Tiara menggeleng sambil menurunkan pandangan. Seakan menyembunyikan sesuatu.

Aku menautkan alis dengan raham tegas, lalu menaikkan dagu gadis itu agar bisa menatap wajahnya. "Kenapa? Siapa sebenarnya? Apa dia memaksamu melakukan? Bilang siapa orangya dan akan kuhajar sampai mampus!"

Tiara menunjukkan wajah ragu-raga, sehingga membuatku semakin naik darah. Tiba-tiba, suatu bayangan terlintas di benakku. Bayangan yang membuatku benci ketika mengingatkannya. "Jadi kau ngelakuinnya atas dasar suka sama suka?" Aku menatap Tiara dengan ekspresi terkhianati. "Selama ini aku udah salah menilaimu? Siapa laki-laki brengsek itu?" kataku lagi dengan berapi-api.

Tiara merundukkan wajah, berusaha menyembunyikan air mata. Gerak-geriknya terlihat ragu dan semakin tersudutkan. Sementara, aku memandangnya dengan wajah yang sulit diartikan, antara sakit hati, marah, kecewa, benci dan berbagai perasaan lain.

"Beritahu aku siapa yang melakukannya? Apa Zian?"

Tiara menggeleng. "Bukan Zian, ia tidak akan melakukan itu."

Aku tersenyum dengan kecut. "Wah, jadi selama ini ada lelaki lain selain Zian?" Aku menengadahkan kepala memandang langit malam sambil berkacak pinggang. "Kau sungguh hebat! Selama ini aku udah tertipu dengan tampang polosmu. Udah berapa banyak pria yang menidurimu? Apakah aku bisa masuk antrian berikutnya?"

"Hentikan, Don!" Tiara menampar wajahku sambil berurai air mata. Dan aku tersadar bahwa ucapanku terlalu jahat. "Kau tega ngomong seperti itu padaku? Kau pikir, aku orang lain di hidupmu? Kau pikir sendiri gimana aku selama ini! Teganya kau menuduhku sebagai wanita murahan!"

"Kau yang membuatku sampai pada pemikiran seperti itu. Soal rasa sakit, mana yang lebih sakit? Aku atau kau?" Aku kembali tidak bisa mengontrol kata-kata. Saat ini, aku hanya ingin membalasnya sama dengan rasa sakit yang kurasakan. Kata-kata yang akan kusesali kemudian hari.

"Aku nggak nyangka kau memandangku serendah ini. Apa arti semua hal yang kita lalui? Apa sebenarnya arti diriku selama ini?" Tiara berkata pelan dengan wajah terluka.

Aku berjalan mendekat dan memandang dekat-dekat wajah gadis yang sebenarnya sangat aku cintai itu. "Seharusnya aku yang bilang semua itu. Apa arti diriku selama ini? Aku nggak nyangka kau serendah itu. Asal kau tahu, kau sendiri yang membuatmu rendah di mataku. Selama ini aku udah salah menilai. Selama ini aku telah meletakkan hatiku pada orang yang salah. Selama ini aku terlalu bodoh. Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Aku memukul kepalaku sendiri dengan tangan berulang-ulang.

Tiara menahan tanganku. "Cukup, Don! Kenapa kau melukai diri sendiri? Aku tahu, udah mengecewakanmu melebihi rasa kecewaku ini, tapi setidaknya bisakah kau menerimanya? Bisakah kau bersikap lebih tenang dan dewasa?"

"Aku tidak akan menerimanya. Takkan pernah! Dan aku tidak pernah dewasa di matamu!"

Tiara berusaha menahan tanganku, tapi aku menepisnya dengan ekspresi jijik.

Tiara melangkah semakin dekat. "Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa menerimaku dan memperbaiki keadaan seperti semula? Aku emang bohong karena sejak awal aku takut reaksimu akan seperti ini."

Aku berjalan menjauh, lalu mengembuskan napas yang panas pada udara malam yang dingin. Selama beberapa saat, kami berada dalam keheningan. Aku berusaha mengontrol emosi. Aku memang susah mengontrol diri ketika sedang marah. Terlebih lagi menyangkut hal-hal sensitif seperti ini.

Setelah beberapa saat dan merasa cukup tenang, baru aku kembali bicara. "Kau nggak harus lakuin apa-apa. Aku nggak seharusnya marah seperti ini. Aku minta maaf karena udah memarahimu dan bersikap kasar. Aku hanya temanmu, nggak lebih dan nggak kurang. Kau bukan kekasihku. Seharusnya aku nggak marah sejak awal. Aku dan kau nggak ada hubungan apa-apa." Aku berusaha menekankan satu persatu kalimat yang kuucapkan.

"Bukankah selama ini kau mencintaku?"

Aku menatap wajah Tiara. Berusaha menunjukkan wajah setegar mungkin. "Benar, aku emang mencintaimu. Tapi nggak lebih dari sahabat. Jangan berharap lebih dari itu. Jangan pernah. Aku takut kau akan kecewa."

"Jadi, apa maksud kata-katamu selama ini?"

Aku tertawa dengan muak. "Apakah kau tidak tahu siapa aku selama ini? Aku kira kau lebih mengenalku? Aku kira kau tidak sebodoh wanita yang aku pacari?"

"Jadi, semua kata-kata cinta yang kau ucapin itu hanya rayuan dan dusta belaka?"

Aku mengangkat bahu. "Apalagi? Emangnya aku bilang begitu karena tertarik padamu?" Aku mendekatkan wajah ke arah Tiara. "Aku hanya ingin mendapatkanmu lalu meninggalkanmu. Itu hanya sebuah obsesiku, bukan cinta. Mulai sekarang, kau harus bedakan itu."

Tiara menatapku dengan wajah kecewa. Air matanya kembali menetes. "Aku bodoh! Aku bodoh telah mempercayai semua kata-katamu selama ini. Semua hanya kebohongan yang pernah kau ucapkan kepada wanita yang ingin kamu pacari? Dan kau juga menganggapku sama dengan mereka?"

"Sekarang aku emang menanggapmu sama dengan mereka. Kenapa? Kau nggak terima?"

Tiara berusaha membendung tangisnya. "Aku kecewa!"

Aku memandangnya dengan kemarahan secara terang-terangan. "Aku yang seharusnya kecewa. Ada suatu kesalahan yang bisa dan tidak bisa diperbaiki. Dan kau melakukan kesalahan yang tidak pernah bisa diperbaiki sampai kapanpun!" Aku berlalu meninggalkannya tanpa memandang lagi. Aku benci, marah, muak, dan hancur.

Aku tidak peduli ia terluka mendengar kata-kataku. Karena sakit di hatiku melebihi apapun. Sakit ini mungkin tidak akan terobati. Jika ia menusukkan pisau ke tubuhku, mungkin tidak sesakit ini. Setelah menusukkan pisau itu lalu dia meminta maaf, maka aku akan memaafkannya.

Tapi tidak dengan yang satu ini. Meski berulang kali dan seumur hidup memohon maaf padaku, aku tidak akan pernah memaafkannya. Tidak akan pernah. Seharusnya ia tahu bagaimana sifatku dan bagaimana aku menjaganya selama ini. Aku merasa terkhianati secara terang-terangan. Merasa jadi laki-laki paling bodoh sednia. Dan lebih bodoh lagi aku telah meletakkan cinta yang kepada orang yang salah.