Bab 7: Ketika Hujan Jatuh Diam-Diam

Malam turun bagaikan selubung kelabu, mengganti latar kota dengan titik-titik cahaya di berbagai penjuru. Jalan aspal yang basah, memantulkan cahaya dengan proyeksi berbagai warna, terlihat indah dan romantis. Aku mengancingkan jaket, lalu mengendarai motor menuju rumah Tiara. Udara dingin dan gerimis menerpaku sepanjang jalan. Kalau bukan karena tiga pesan yang dikirim Tiara, lebih baik aku pulang saja.

Dua puluh menit kemudian, aku sampai di rumah bergaya victoria itu. Aku enggan masuk. Entah kenapa, seperti berada di tempat yang salah. Aku turun dari motor, lalu berteduh di dekat pos jaga sekuriti. Aku memeras baju yang terasa berat karena basah. Tanpa kusadari, ada seseorang yang berjalan mendekat. Tiara. Ia menatapku selama beberapa saat, lalu meneduhiku yang sudah basah kuyup.

"Kenapa nggak masuk saja, Don? Pagarnya nggak dikunci. Tadi aku udah beritahu sekuriti kalau kau akan datang." Tiara memberikan handuk tebal bergambar Hello Kitty padaku.

"Aku nggak bisa masuk ke rumah orang lain tanpa izin. Apalagi hampir tengah malam seperti ini. Aku hanya menunggu seseorang untuk membukakan pintu," ucapku sambil menepis handuk yang diberikannya.

"Orang lain? Apa aku orang lain bagimu? Bukankah selama ini kau selalu datang dan pulang sesukamu?" Tiara meletakkan handuk di kepalaku, meski aku menepisnya. "Pakai handuknya, kau kedinginan! Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini?"

"Sampai hari ini aja. Seterusnya, aku nggak akan bersikap seperti ini lagi. Beberapa hari lagi aku akan pergi ke Kalimantan."

"Ke Kalimantan? Untuk apa?"

"Ada kerjaan yang harus kuselesaikan. Aku pergi bersama instansi pemerintah untuk mengecek tambang batubara. Setidaknya, aku memberimu kabar sebelum pergi."

Tiara menarik tanganku. "Kita nggak bisa bicara di sini, Don. Masuk dulu, ganti pakaian. Sepertinya bajumu masih ada yang tertinggal di sini. Aku nggak mau bicara ketika kau dalam kedinginan seperti ini."

"Kita bicara di sini saja, aku nggak punya banyak waktu."

"Terserah! Yang penting kau harus ganti baju dulu," kata Tiara sambil menarikku melintasi halaman yang berlantai paving batuan itu. Mau tak mau, aku menurut saja. "Sampai kapan kau akan membenciku, Don?" tanya Tiara lagi ketika hampir sampai di teras samping.

"Aku tidak membencimu," jawabku singkat, berusaha menjauh darinya. Meski ia terus menarikku mendekat ke bawah payung.

"Lalu kenapa kau menjauhiku?"

Aku memandang Tiara sekilas, lalu menaiki tangga yang diapit dua pilar simetris. "Aku hanya ingin sendiri. Aku butuh waktu untuk berpikir dan nerima semua ini."

Tiara mengatupkan payung, lalu menarikku masuk ke dalam rumah yang terbilang mewah itu. Pakaianku yang basah, menitikkan air ke lantai. Tiara hanya tinggal berdua saja dengan adiknya, Mytha. Kedua orang tuanya lebih sering bepergian karena tuntutan pekerjaan.

"Kita bicara di sini aja. Pakaianku basah, nggak mungkin ke dalam. Takut mengotori rumahmu," kataku beralasan agar segera menyelesaikan masalah ini dan cepat-cepat pergi.

"Sejak kapan kau sungkan-sungkan?" Tiara melayangkan pandangan tidak suka. Ia berjalan menuju pintu, lalu mengunci pintu. "Sekarang kau tidak akan pergi lagi," katanya berjalan mendekat, lalu menarikku menuju lantai dua.

"Kita bicara di sini aja. Nggak ada yang akan dengar juga, selain adikmu." Aku masih terus protes.

Tiara membalikkan badan. "Aku nggak mau kau basah kuyup, kau harus ganti baju dulu. Aku akan mengambilkannya. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana dan mencoba pergi lagi dariku. Awas aja kalau kau lakukan!"

Aku hendak protes, tapi mengurungkannya. Aku hanya berdiri memandang kepergian Tiara. Kemudian, mataku tertumbuk pada pigura-pigura foto Tiara dan Zian. Foto awal mereka pacaran. Akulah yang memperkenalkan mereka, karena selama ini Tiara belum punya pacar. Aku dan Zian masih terbilang sepupu dan dekat sejak kecil, jadi aku kenal sifat Zian. Orang yang baik dan tidak macam-macam sepertiku. Aku merasa berhasil mendapatkan pasangan yang tepat untuk Tiara.

Waktu itu, aku belum merasakan apa yang kurasakan seperti sekarang ini. Aku belum menyadari perasaan itu. Sampai mereka pacaran, baru aku sadar, kalau aku mencintai Tiara, tapi itu sudah terlambat. Ketika aku mengenalkan Tiara kepada Zian, gadis itu datang kepadaku sambil menangis. Aku masih belum menyadari arti tangisan itu. Barulah akhir-akhir ini aku paham. Bahwa Tiara mencintaiku, bukan Zian, tapi aku malah memberikannya pada orang lain.

Aku masih ingat kata-kata yang diucapkan Tiara waktu itu. "Apakah ini wujud rasa sayangmu selama ini, Don? Mencarikan laki-laki lain untuk menyayangiku? Apakah hanya sebatas itu aku di matamu? Apakah kau benar-benar nggak tahu gimana aku selama ini?" Waktu itu, aku hanya tertawa dan menganggapnya bodoh. Pasti gadis itu terlalu senang telah memiliki pacar, lalu berpikiran kalau aku tidak akan berteman lagi dengannya.

Aku menghela napas sambil mengingat kejadian waktu itu. Sebenarnya, aku yang bodoh, tidak mengerti arah dan maksud perkataannya.

"Don, ini baju gantimu." Tiara menyentuh lenganku sambil menyerahkan handuk dan baju. Aku agak kaget karena Tiara telah berada di sampingmu. "Kenapa kau lihat fotoku dan Zian seperti itu? Kau udah beritahu Zian tentang ini?"

Aku menyelimutkan handuk besar yang diberikan Tiara ke tubuhku. "Aku nggak akan beritahu. Itu urusan kalian berdua. Aku nggak mau ikut campur. Aku hanya temanmu, sedangkan ia pacarmu. Aku nggak berhak apa-apa atas dirimu."

Tiara mengembuskan napas, seolah jenuh mendengar ucapanku. "Kalau kau hanya kuanggap teman, aku nggak akan beritahu semua ini. Kenapa bukan Zian yang kuberitahu, bukankah ia pacarku?" Tiara menatap lurus ke arahku, kedua mata kami bertemu. "Seharusnya, dari kata-kataku kau bisa memahami satu hal. Tapi, kau nggak pernah peka," lanjut Tiara lagi.

"Benar, aku nggak pernah peka dan menyadari apa-apa," kataku berusaha memasang wajah tak peduli.

"Ya, udahlah, kau masih sama seperti dulu. Aku pun udah lelah mengatakannya. Sekarang, ganti baju, aku tidak mau kau sakit. Bukan, aku tidak mau kau membasahi lantai rumahku," katanya bercanda untuk mencairkan suasana. Sayangnya, tidak berhasil.

"Nggak lucu sama sekali." Aku merebut baju yang di tangannya dan berjalan masuk ke kamar sebelah untuk mengganti baju. Tidak berapa lama, aku keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Tiara masih menungguku. Malam ini ia terlihat cantik memakai romper biru muda yang mengekspos bagian pahanya.

"Kam mau minum sesuatu, Don?" tanya gadis itu ketika aku menyerahkan handuk padanya.

"Nggak usah," tolakku cepat. "Aku nggak akan lama, sekarang katakan siapa pelakunya?" kataku langsung pada topik pembicaraan. Aku tidak mau berlama-lama, dan Tiara sengaja mengulur-ulur waktu. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya sebenarnya.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Tiara menarikku ke dalam kamar. "Jangan bicara di sini, nanti Mytha dengar. Kita bicara di dalam aja."

Aku melotot. "Di kamar? Kau tahu sekarang jam berapa? Aku laki-laki dan kau perempuan, nanti apa yang dikatakan orang tentang kita? Ada batasan-batasan yang seharusnya tidak boleh kita langgar."

"Apa sekarang kau mempedulikan pandangan orang-orang? Biarkan aja orang berkata apa, yang penting kita nggak lakuin apa-apa. Mereka hanya mengomentari hidup kita tanpa tahu sebenarnya." Tiara kembali menarikku ke dalam kamar dengan gaya memaksa seperti biasanya.

"Tetap aja, Ra. Kita sekarang bukan anak kecil lagi. Walau kita nggak melakukan apa-apa, tetap saja melanggar norma. Aku hanya ingin membuat hubungan kita sehat, sebagaimana layaknya hubungan antar sesama teman. Jangan campur adukkan antara teman dan cinta, semuanya akan kacau seperti yang kita alami sekarang ini."

Tiara mengembuskan napas kesal, kemudian memaksaku melangkah masuk ke kamarnya. "Kau sekarang beda, Don. Nggak seperti yang aku kenal lagi. Semuanya harus berdasarkan penilaian orang lain. Apa kau hidup demi mereka atau demi diri sendiri?"

"Karena kaulah aku berubah. Karena sikapmu lah aku sekarang memikirkan hal-hal yang dipikirkan orang tentang kita. Aku sekarang hanya menjaga jarak agar kita nggak terlalu dekat lagi, yang akan menimbulkan salah paham."

"Mengapa kau selalu melibatkan orang lain di antara kita?" balas Tiara dengan mata memerah. "Kalau bukan karena orang lain, aku nggak akan melakukan semua ini."

"Jadi kau nyalahin aku atas yang terjadi pada dirimu?"

"Lalu, aku harus nyalahin siapa? Kau yang menghadirkan Zian di hidupku, di kehidupan kita berdua. Kau menghancur segala hal yang udah kita bangun sejak lama. Kenapa kau hadirkan Zian di hidupku? Apa aku memintanya? Aku nggak pernah meminta apapun padamu, selain dirimu sendiri!"

Aku berjalan dengan cepat dan mencengkeram lengan gadis itu. "Jadi benar Zian yang lakuin?"

"Bukan! Aku ingin kau yang melakukannya, tapi kau terlalu bodoh!"

Aku melonggarkan cengkeraman tanganku dan menatapnya tidak percaya. "Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?"

"Lakukan padaku! Lakukan apapun yang kau inginkan. Aku udah nggak suci lagi, jika kau lakukan, nggak akan mengubah apa-apa."

Aku terperangah mendengar ucapan teman sejak kecilku itu. "Kau gila, Ra. Aku anggap nggak pernah mendengarnya." Aku berjalan ke arah pintu dan memutar gagangnya. Terkunci. Aku membalikkan tubuh dan memandang Tiara dengan marah.

"Buka pintunya sekarang juga!" kataku tidak main-main.

Tiara berjalan mendekat, tiba-tiba menarik kerah bajuku dan menciumku dengan canggung. Aku menebak, ini pasti pertamakali mencium seseorang, gerakannya kaku sekali. Aku menepis Tiara dengan kuat, lalu mencengkeram kedua lengannya. "Sadar! Apa yang merasukimu? Kenapa kau jadi seperti ini? Kau sedang mabuk atau sakau?" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan kuat. Aku tidak mengenali sifat Tiara yang dulu. Entah kenapa, ia jadi berani dan agresif seperti ini.

Tiara tiba-tiba menangis. Aku melonggarkan cengkraman tanganku. Sejenak, ada perasaan bersalah menghinggapi hati.

Tiara memandangku dengan sorot mata yang belum pernah kulihat selama ini. "Kau tahu nggak, Don? Untuk membawamu ke sini, aku udah mempertaruhkan segalanya. Tapi, hingga akhir pun kau nggak pernah memandangku sebagai seorang wanita, kau hanya menganggapku teman. Aku merasa bodoh karena memelihara cinta yang salah, cinta yang nggak akan pernah terbalas. Pada akhirnya, kau nggak akan pernah kumiliki. Pada akhirnya, kau akan meninggalkanku dan hidup dengan wanita yang kau cintai. Aku takut memikirkan hari di mana kau benar-benar meninggalkanku. Aku takut kehilanganmu, bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang wanita yang mencintai seorang laki-laki."

Aku melepaskan tanganku dari Tiara, berjalan menuju jendala dan menatap hujan yang turun. Cukup lama aku terdiam, berusaha mencerna rentetan masalah ini. Aku membalikkan tubuh dan menatap Tiara dengan bimbang, lalu kembali memandang hujan yang turun diam-diam.

Tiara berjalan ke arah jendela dan berdiri di sebelahku. Aku memutar kepala, menggenggam tangannya dengan lembut, lalu menariknya dengan kasar ke ranjang. Tiara terlihat bingung sekaligus ketakutan, matanya siaga memandangku dengan maksud yang sulit diartikan. Aku mengelus rambutnya, turun ke wajah, bibir, leher, dan aku berhenti di sana, tidak melanjutkan. Aku tersenyum miring.

"Gadis bodoh," gumamku sambil mengusap puncak kepalanya. "Apa senekat itu hanya untuk menyatakan cinta pada seorang?" Tiara tetap diam dan masih mempertahankan ekspresi tadi. "Apa nggak ada cara lain yang lebih beradab untuk menyatakan perasaanmu? Kenapa harus mengurungku segala dan menyuruhku melakukan yang bisa membuktikan perasaanku padamu?"

Tiara tidak mengatakan apa-apa.

"Seandainya aku menolak, gimana? Apa kau akan mengurungku seumur hidup atau membunuhku? Sayangnya, aku takut kedua hal itu. Jadi, aku akan menyatakan perasaanku, kalau aku juga mencintaimu." Aku tersenyum, sementara Tiara masih diam. "Mencintaimu sebagai seorang wanita, bukan sebagai seorang teman. Kau senang?"

Tiara langsung menghambur ke pelukanmu, membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di kasur. Tubuh Tiara menindih tubuhku, dapat kucium aroma rambutnya yang berbau buah. Aku harus menahan diri agar tidak terpancing. Aroma Tiara begitu memikat.

"Hei, hei, hei, meskipun aku udah menyatakan perasaan, kita masih belum boleh melakukan itu. Jauhkan tubuhmu dariku!"

Tiara menatapku sambil tersenyum manis. "Apa kau nggak sedang bohong, Don? Apakah ini hanya untuk membuatku tenang?" tanya gadis itu sambil mengangkat tubuhnya dariku.

"Apa wajahku terlihat main-main?"

"Aku masih tidak percaya."

Aku menarik Tiara dengan kasar, sehingga posisinya berada di bawahku. Napas Tiara naik turun tidak beraturan. Aku tahu, ia ketakutan, tapi tetap diam saja dan pura-pura berani. "Sekarang, apa aku boleh membuktikan cintaku?"

Tiara menutup matanya sambil memiringkan wajah ke samping. Dapat kulihat lehernya yang putih mulus. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan."

Aku menghela napas yang membara, lalu mendekatkan wajah ke leher Tiara. "Apakah kau tidak akan menyesal?"

"Tidak. Kalau kau lakukan pun, tetap nggak akan mengubah apa-apa karena aku udah nggak …."

"Diam!" potongku cepat, sehingga Tiara tidak melanjutkan ucapannya. Aku tidak mau mendengar itu dari mulutnya. Biarkan noda itu tersimpan, jangan ungkit dan ingatkan lagi.

Aku menjelajahi leher gadis itu dan berbisik. "Kalau bukan kau, aku mungkin udah melakukannya. Tapi ini kau, Ra. Aku tidak mau melakukannya tanpa ada ikatan. Aku nggak akan menodai apa yang telah kita lalui selama ini. Meskipun kau udah nggak itu lagi, aku akan mencoba menerimanya daan nggak akan membuatnya jadi lebih buruk."

Aku menarik tubuhku, sementara Tiara masih menutup mata. Setetes air mata jatuh di pipinya. "Bangunlah," kataku lembut.

Tiara duduk dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia mengusap air mata yang jatuh menuruni pipi.

"Sekarang kenapa lagi kau menangis? Bukankah semua udah berjalan sesuai keinginanmu?"

"Aku minta maaf, Don." Tiara tidak berani menatap wajahku.

"Minta maaf kenapa?"

"Aku udah bohong."

Aku menghela napas. Berusaha setenang mungkin, tidak mau merusak momen langka ini. "Sekarang katakan, kebohongan apa lagi yang kau buat?" Aku memandang serius ke manik mata gadis itu. Entah kenapa, begitu banyak kebohongan dalam hidupnya yang tidak pernah aku tahu.

"Tapi janji, kau nggak akan marah?"

Aku memikirkan selama beberapa saat. "Aku nggak tahu, tergantung apa yang kau ucapan dan seberapa parah kebohongan itu. Aku bukan malaikat yang nggak bisa marah, jadi jangan coba-coba memancing kemarahanku lagi."

Tiara tersenyum. "Aku bohong kalau aku udah nggak virgin lagi."

Aku membelalakan mata dengan wajah melongo. "Coba bilang sekali lagi, apa aku nggak salah dengar?" Sekarang aku menatap lekat-lekat wajah cantik Tiara yang pura-pura polos tanpa dosa.

"Aku masih virgin, bodoh!"

Aku menjitak kepala gadis itu saking kesalnya. Tiara langsung memegangi kepalanya dan tersenyum. Aku melayangkan pandangan mengerikan. "Dasar gadis bodoh, kau tahu, itu kebohongan yang nggak bisa dimaafkan begitu aja. Kau tahu gimana hancurnya aku ketika mendengar semua perkataanmu itu?" Aku merapatkan gigi sambil berbicara, benar-benar marah.

"Aku hanya mau kau …." kata Tiara hendak membela diri.

"Jangan potong ucapanku! Aku nggak mau terima alasan apapun. Beraninya kau buat kebohongan mengerikan seperti itu. Kau mau buatku mati frustrasi? Bunuh diri? Kenapa nggak katakan sekalian kalau kau udah menikah dan punya anak?"

Tiara kembali tersenyum, mengabaikan sepenuhnya kemarahanku. "Aku hanya ingin mengetahui perasaan …."

"Jangan menyela! Aku 'kan udah bilang, jangan menyelaku!"

"Itu karena kau terlalu bodoh! Mau aja percaya semua yang kukatakan. Kau tahu sendiri pacarku hanya Zian dan jarang sekali ketemu. Aku selalu bersamamu setiap hari, jadi di mana aku kenal cowok lain?"

"Itu bukan alasan untuk mengatakan kebohongan. Kenapa bisa kau memikirkan kebohongan seperti itu? Kau nggak mikir konsekuensinya ketika mengatakannya?" Aku masih mempertahankan ekspresi marah.

"Agar kau mau menyentuhku, makanya kulakukan itu. Mungkin kalau aku udah nggak suci lagi, mungkin kau mau melakukan …."

"Berhenti! Aku nggak mau dengar!"

Tiara tersenyum mendengarkan ucapanku, membuatku semakin mengamuk. "Kenapa kau tersenyum?"

"Kau tambah imut kalau lagi marah, Don." Tiara kembali melontarkan senyuman terbaiknya, dan membuatku tidak tahan lama-lama memasang wajah marah.