Bab 8: Harga Sebuah Rahasia

Aku terbangun dengan kaget ketika mendengar seseorang berteriak. Aku membuka mata dan melihat sekeliling. Kamar Tiara. Mataku bertemu dengan Tiara yang tak kalah kagetnya juga, lalu melirik hati-hati ke sumber suara.

"Apa yang kalian lakukan?" Mitha berteriak sambil mengganti pandangan antara aku dan Tiara. "Kalian melakukannya?"

"Tidak! Kami tidak melakukan apa-apa," jawabku dan Tiara hampir bersamaan. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi tadi malam. Bagaimana bisa aku seceroboh ini sampai ketiduran di kamar Tiara. Apa mungkin faktor hujan, membuat tubuh memproduksi hormon melatonin lebih banyak, sehingga rasa kantuk lebih cepat menyebar.

Aku berusaha menggali ingatan semalam. Memang, kami tidak melakukan apa-apa. Tiara hanya memintaku untuk menemaninya sedikit lebih lama. Berhubung karena masih hujan, jadi apa salahnya menemani gadis itu sampai tertidur.

"Tidurlah, udah larut. Jaga kesehatanmu. Besok aku kembali lagi." Aku menarik selimut hingga menutupi batas leher Tiara. Di luar hujan masih rintik-rintik mengikuti pola ritmis tertentu, membuat perasaan nyaman dan tenang.

Gadis itu tersenyum dan menahan tanganku. "Nggak bisa kau menemaniku malam ini?"

"Waw! Kau mau menghabiskan malam bersamaku?" Aku mengigit bibir bawah dengan ekspresi nakal.

Wajah Tiara memerah. "Donie, lupakan perkataanku yang tadi. Aku nggak sungguh-sungguh tentang itu. Sebenarnya, aku juga takut kalau kau benar-benar melakukannya." Tiara memukul lenganku, tapi dengan sigap, aku mengelak dan menangkap pergelangan tangannya.

"Bukannya kau akan senang kalau aku melakukannya? Bukankah itu yang kau tunggu-tunggu selama ini?" Aku menaikkan sebelah alis.

Tiara menarik tangannya dalam genggamanku, lalu mencubit pipiku dengan kuat, membuatku menjerit kesakitan. "Aku nggak serendah itu, Donie. Jangan buat aku semakin ingin menyiksamu."

"Bukankah tadi kau tidak menolaknya sama sekali?" kataku tidak terima sambil memegang pipi yang merah dan panas.

Tiara menutup wajahnya dengan selimut. "Aku nggak mau membahasnya lagi, buat malu aja."

Aku menarik selimut gadis itu dengan paksa. "Jadi, sekarang kau udah punya malu? Aku kira kau nggak pernah malu padaku?" tanyaku sambil mendekat padanya dan gadis itu langsung mendorong dadaku untuk menjauh.

"Sekarang kau udah pacarku, jadi aku malu. Berhenti membahas itu!" Tiara mendorongku ke ujung ranjang. "Jangan terlalu dekat, takutnya kau khilaf." Tiara berusaha menutup wajahnya dengan selimut, walaupun tidak berhasil.

Aku semakin mendekat ke arah gadis itu, lalu berbisik di telinga. "Coba ulang lagi," ucapku selembut mungkin, lalu menarik tubuh agak menjauh. Aku berusaha agar tidak lebih dekat lagi. Tiara malam ini begitu menggoda. Aku benar-benar takut khilaf.

"Ulang apa?" tanya Tiara bingung.

"Sebut lagi kalau aku pacarmu." Aku tersenyum.

Tiara membalas senyumanku. "Pacarku! Kau sekarang udah jadi pacarku."

"Sekali lagi!" Aku sengaja mengerjain gadis bodoh itu.

"Nggak mau!" Tiara merenggut seperti anak kecil yang membuatnya semakin menggemaskan. Membuatku tidak tahan jika ia bersikap seperti itu terus. "Kita bukan remaja lagi. Bersikaplah seperti orang dewasa," tambahnya.

"Ya, udahlah. Padahal kau dari tadi bersikap seperti anak kecil. Sok manja!" Aku mengangkat kedua bahuku seakan tidak peduli. "Mau kuucapin selamat malam?" tanyaku lagi berusaha mengakhiri pembicaraan, kalau terlalu lama di sini maka akan terjadi sesuatu. Apalagi suasana dan momen mendukung. Hujan begitu romantis.

Tiara mengangguk.

"Selamat tidur, pacarku. Nggak usah mimpikan aku, karena dunia nyata lebih indah dari mimpi." Aku mengusap puncak kepala Tiara selama beberapa saat, lalu bangkit dari tempat tidur. Tapi, langkahku terhenti ketika Tiara menahan tanganku. Aku membalikkan badan untuk menatap wajahnya. "Apa? Masih menginginkan itu?" tanyaku sambil tersenyum penuh arti.

"Tidak! Bukan itu Donie!" Tiara memukul lenganku, sehingga selimut bagian bawahnya tersingkap, memperlihatkan pahanya yang putih mulus. Kepalaku tidak bisa dialihkan, mataku fokus pada satu titik, beruntung Tiara buru-buru menutupnya dengan selimut.

"Ada apa?" tanyaku dengan canggung. Aku rasa Tiara tidak menyadari. Beruntung ia tidak melihat wajahku dalam mode brengsek seperti tadi.

"Maukah kau menemaniku lebih lama lagi? Sampai aku tidur?" pinta Tiara dengan lembut.

Aku menghela napas, lalu balik duduk di tempat tidur. "Sekarang, tidurlah, aku akan menemanimu sampai terlelap. Jangan manja seperti anak kecil."

Tiara tersenyum senang dan mencari posisi nyaman untuk berbaring. "Ayo cerita lagi, Don."

"Cerita apa?" tanyaku sambil memandang hujan yang membahasi jendela. Berusaha melupakan gambaran tadi yang terekam dalam kepalaku.

"Apa aja. Asalkan jangan diam-diam gitu. Aku takut, diam-diam kau sedang merencanakan sesuatu padaku," kata Tiara setengah bercanda.

"Bukannya kau yang seperti itu?" balasku tidak terima. "Apalagi hujan-hujan seperti ini. Kau mau?"

"Enak aja! Aku sebenarnya hanya mengujimu aja sejak kemaren. Apa kau termasuk cowok brengsek atau bukan. Tapi, setelah dipikir-pikir kau cukup manis." Tiara berusaha mencari alasan.

"Kenapa kau tiba-tiba bilang hal seperti itu di kebun kemarin? Pasti kau udah merencanakan sesuatu, tapi tidak berjalan mulus karena aku pergi 'kan?" tanyaku masih penasaran apa motivasi dan alasannya mengatakan kebohongan itu. "Kau tahu, aku udah ada rencana untuk menikmati momen-momen di sana. Kau malah merusaknya. Menyusahkan!"

"Nggak tau juga. Spontan gitu aja tanpa direncanakan," balas Tiara dengan wajah tanpa dosa.

Aku memandang tidak suka ke arah gadis itu. "Padahal aku ingin menikmati waktu di sana lebih lama lagi seperti kecil dulu. Berjalan-jalan di kebun karet, membantu Kakek menyadap getah, atau main-main ke pinggir hutan seperti dulu. Siapa tahu bisa bertemu dengan Bungo lagi."

"Bungo? Kenapa kau nggak bilang? Padahal aku ingin ketemu juga. Terakhir kudengar dari Kakek kalau Bungo udah nikah dan punya anak," kata Tiara antusias sambil berusaha bangkit, tapi aku mendorong jidatnya dengan jari agar tidur kembali.

Bungo adalah sahabat Tiara waktu kecil. Ia berasal dari Suku Anak Dalam atau biasa disebut suku Kubu. Terkadang, Suku Anak Dalam memang menampakkan diri di sekitar pemukiman atau perkebunan untuk menjual hasil hutan, seperti madu atau damar untuk ditukar dengan rokok, roti, dan bahan makanan lainnya. Waktu itulah Tiara bertemu dengan Bungo, dan mereka jadi akrab, sedikit-sedikit Tiara mempelajari bahasa mereka.

Kehidupan Bungo dan keluarganya yang nomaden membuat mereka jarang bertemu. Hanya sesekali saja. Kemudian Bungo muncul ketika aku berlibur ke tempat Kakek. Aku takut setengah mati sampai menangis ketika melihat Bungo, Tiara malah mengejekku anak cemen dari kota. Waktu kecil aku memang penakut, terlebih lagi aku anak kota yang tidak pernah tinggal di desa. Namun, melihat Bungo yang akrab dengan Tiara, aku akhirnya tidak takut.

Mengenai Kakek dan Nenek Tiara sendiri, mereka adalah orang Jawa yang melakukan transmigrasi ke Sumatera pada masa Orde Baru. Mereka ditempatkan dan diberikan lahan untuk berkebun sawit dan karet di daerah Jambi. Mama Tiara besar dan sekolah di sana, kemudian bertemu dengan papanya ketika kuliah di Pekanbaru. Mereka menikah dan menetap di Pekanbaru. Jika sedang libur, Tiara sering mengunjungi kakeknya, dan di sanalah ia bertemu dengan Bungo.

"Kapan terakhir kali kau bertemu?" tanyaku lagi setelah kami terdiam. Mengingat kenangan waktu kecil dahulu. Saat-saat kami bermain di antara kebun karet, memandang pucuknya yang memerah, atau mengambil getah segar dari batangnya.

Tiara tidak langsung menjawab, ia terlihat sedang berpikir. "Mungkin sekitar lima atau enam tahun lalu. Udah lama juga. Sekarang mereka udah banyak yang hidup di desa, meninggalkan hutan, dan bersosialisasi dengan masyarakat luar. Walaupun sebagian besar masih nyaman hidup di hutan."

"Kapan-kapan kita harus ke kebun Kakek lagi," kataku. "Siapa tahu bisa bertemu sama Bungo dan anaknya."

Tiara hanya mengangguk.

Aku berdiri sambil melirik jam di pergelangan tangan. "Sekarang, tidurlah. Udah lewat jam satu. Besok pagi aku ada rapat dengan instansi pemerintah. Dan aku tidak mau terlambat."

"Sebentar lagi, Don. Masih hujan juga," ucap Tiara yang entah kenapa berubah jadi manja. "Kalau nggak teduh juga, kau bisa tidur di kamar sebelah. Masih banyak kamar kosong di rumah ini yang bisa kau pakai."

Aku hanya menghela napas, lalu duduk di sebelah gadis itu lagi sambil menceritakan kisah-kisah waktu kecil kami yang tidak akan terulang lagi. Terkadang kami tertawa, kadang tersenyum, kadang ada rasa sedih yang menghinggapi hati.

Aku tidak tahu berapa lama bercerita hingga jatuh tidur. Rasanya terjadi begitu saja tanpa disadari. Suasana di luar memang melenakan untuk terlelap. Kemudian yang aku dengar selanjutnya suara jeritan Mitha. Hanya seperti itu, tidak ada yang spesial terjadi sampai pagi. Semuanya tidak seperti yang terlihat. Kami tidak melakukan apa-apa.

Sekarang, Mitha masih mempelototi kami. "Kalian tidur berdua? Ya, ampun, aku harus telepon Mama. Harus!" Mitha yang berpakaian seragam putih abu-abu itu berjalan keluar kamar sambil meraih ponselnya dari dalam tas.

Aku dan Tiara saling pandang ngeri, kemudian berlari menyusulnya. "Kami nggak lakuin apa-apa. Aku hanya ketiduran. Jangan telepon mamamu, nanti aku bisa dibunuhnya."

Mitha menghentikan langkah dan menatapku tajam. "Benar, kalian nggak lakuin apa-apa? Tapi, kok aku masih nggak percaya, ya." Mitha memandangku penuh selidik. Jelas sekali ia tidak percaya setelah kami tertangkap basah.

"Emangnya aku berani melakukan itu pada Tiara? Kami 'kan nggak pacaran, buat apa melakukannya? Kami hanya berteman." Aku berusaha meyakinkan Mitha yang terkenal keras kepala itu.

"Aku masih nggak percaya," jawab remaja itu sambil melanjutkan langkah menuju tangga.

Langkahnya terhenti ketika Tiara keluar kamar. Ia menatapku dan Mitha bergantian. "Mit, kau nggak serius 'kan nelepon Mama?"

Mitha terlihat berpikir selama beberapa saat. "Aku sungguh-sungguh, sih, Kak. Awalnya aku sungguh-sungguh, tapi sekarang nggak jadi." Mitha memandang aku dan Tiara selama beberapa saat, kemudian melanjutkan perkataannya. "Setelah dipikir-pikir, sayang kesempatan langka ini dibiarkan begitu aja. Jadi, aku minta syarat untuk tutup mulut."

"Syarat tutup mulut?" tanyaku bingung.

Gadis itu mengangguk. "Anggap sebagai sogokan."

Aku mendeham. "Baiklah, aku kuturuti. Kau mau apa sebagai syarat tutup mulut?"

"Jangan turuti permintaanya! Dasar gadis licik!" cegah Tiara sambil melotot ke arah adiknya.

Mitha malah mengeluarkan senyum lebar, membuatku bertambah bingung. "Kakak tahu aja," katanya dengan wajah berseri-seri.

Aku memandang Tiara dan Mitha bergantian. "Kalian bahas apa?"

Tiara menggelengkan kepala. "Don, jangan turuti semua permintaannya. Aku tahu betul sifat liciknya itu. Ia berusaha memanfaatkan keadaan untuk mencari keuntungan."

Mitha berjalan santai dan duduk di kursi. "Aku udah kasih pilihan. Terserah kalian mau yang mana. Mau jalan yang mudah atau jalan yang sulit? Jangan lama-lama berundingnya, aku mau berangkat sekolah." Ia memperhatikan kuku-kukunya dengan gaya cuek.

"Apa syarat untuk tutup mulut?" tanyaku tidak sabar. Kenapa pagi-pagi harus ada drama seperti ini. Membuang waktuku saja untuk berangkat kerja. Terlebih lagi yang mengancamku gadis SMA labil.

Mitha langsung sumringah. Ia bangkit untuk memandangku lebih dekat. "Baiklah, pertama, beliin novel box set favoritku. Harganya nggak mahal, paling sekitar dua juta aja."

"Dua juta? Novel apaan semahal itu?" protes Tiara tidak terima.

"Itu kan novel box set, banyak seri, dan limited edition. Pasti mahal lah."

"Oke, selanjutnya apa?" kataku setuju.

Tiara memasang wajah memperingati ke arah adiknya. Mitha sepenuhnya mengabaikan kakaknya. "Kedua, kakak harus pura-pura jadi pacarku selama satu hari. Satu hari aja. Aku mau pamer ke teman-teman, kalau aku bisa dapat cowok keren juga."

"Lupakan! Kami tidak akan turuti!" Tiara menarik tanganku menjauh.

"Bagaimana kalau ia melapor ke mamamu?" tanyaku dilema. Sebenarnya aku juga malas menuruti permintaan bocah labil ini. Tapi, daripada memperpanjang urusan, lebih baik turuti saja. Lagian aku juga mau berangkat ke Kalimantan, jadi permintaan keduanya itu tidak akan bisa dituruti dalam waktu dekat. Semoga saja ketika aku kembali ia sudah lupa.

"Aku terserah aja ia mau bilang atau enggak. Aku nggak peduli, pokoknya syarat kedua itu nggak boleh kau turuti," jawab Tiara dengan wajah galak.

"Kenapa? Kakak cemburu?" tanya Mitha bangkit dari kursi.

"Baiklah, aku setuju," kataku mengakhiri pembicaraan ini. Kalau dibiarkan, akan terjadi cekcok antara dua kakak beradik ini dan urusannya semakin panjang.

Mitha tersenyum licik ke arah Tiara yang dibalasnya dengan wajah angker. "Aku berangkat sekolah dulu ya, Kak Donie. Nanti aku telepon, ya. Dan selamat menikmati waktu kalian." Remaja itu melenggang turun dengan ceria.