Rapat kali ini terasa membosankan. Biasanya aku selalu antusias jika membahas penelitian baru. Terlebih lagi ini masalah batubara yang cukup menyita perhatian. Selain maraknya penambangan illegal dan bekas galian lubang tambang yang memakan korban, masalah lingkungan pun menjadi isu yang cukup serius akhir-akhir ini. Entah kenapa, aku tidak begitu minat kali ini.
Aku tidak bisa konsentrasi selama rapat berlangsung. Wajah Tiara terbayang terus dalam pikiranku. Apalagi hari ini kencan pertama kami. Padahal, ia hanyalah Tiara—gadis bodoh yang selama ini menjadi sahabatku. Padahal kami sudah sering bertemu, makan bareng, jalan-jalan, dan melakukan hal-hal lainnya. Tapi, kali ini terasa berbeda.
Rapat selesai sekitar jam empat. Aku permisi terlebih dahulu sambil menyalami para petinggi yang memimpin rapat satu persatu, dimulai dari pihak dinas, pengusaha, pengamat lingkungan, dan seterusnya. Ketika melangkah keluar dari convention hall, Tiara kebetulan menelepon.
"Aku udah siap, Don. Kau di mana? Rapatnya udah selesai?" tanya gadis itu di seberang telepon.
"Barusan selesai. Aku segera ke rumahmu. Tunggu di sana, awas kalau nggak dandan yang cantik," jawabku sambil menuju basement hotel.
"Aku nggak dandan, masih pakai baju tidur semalam," jawab Tiara sambil tertawa. "Kau masih mau mengajakku kalau dandan seperti itu?"
"Tunggu aja kalau emang benar, akan meninggalkanmu dan cari cewek lain," balasku bercanda sambil berjalan di antara deretan motor yang terparkir di basement.
"Udahlah, berhenti mengancamku seperti itu. Aku nggak takut. Aku tutup teleponnya, ya. Si Nenek Sihir baru aja pulang sekolah. Sampai jumpa pacarku." Tiara memutuskan sambungan telepon dengan tiba-tiba.
Ketika Tiara menutup telepon, aku sudah sampai di motor. Sigap, aku memakai jaket, mengenakan helm, menghidupkan motor, lalu meninggalkan basement hotel. Aku keluar dari kawasan hotel dan disambut jalan raya yang padat karena sudah jam pulang kerja.
Kurang dari satu jam, aku sudah sampai di rumah Tiara. Sekuriti segera membukakan pagar ketika melihat kedatanganku. Aku memasuki halaman yang luas, lalu memarkirkan motor di garasi. Ternyata Tiara sudah menunggu. Ia terlihat manis mengenakan jumpsuit putih yang dipadukan dengan wedges hitam, serta sling bag abu-abu.
Aku berhenti tanpa mematikan mesin motor, lalu memandang Tiara dengan senyum lebar. "Siap menjelajahi Neverland, Wendy?" tanyaku sambil memparodikan kisah Peter Pan.
Tiara agak kaget mendengar ucapanku, lalu tersenyum tanda mengerti. "Tentu aja, Peter Pan. Bawa aku terbang ke tempat-tempat menakjubkan, mengarungi Neverland, lalu menari-nari bersama peri," jawab Tiara sambil berjalan mendekat.
"Ya, udah. Sesuai aplikasi ya, Neng?" jawabku lagi setelah Tiara duduk di motor.
Tiara terbahak, lalu memukul lenganku.
Setelah itu, kami menjelajahi Pekanbaru yang berarak senja. Menikmati langit bulan September yang menakjubkan. Bagiku, langit adalah kanvas Tuhan paling indah yang diberikan pada manusia. Maka nikmatilah hasil karya Tuhan yang begitu menakjubkan.
Kami berhenti di Taman Putri Kaca Mayang, lalu menikmati keramaian yang beranjak malam. Taman itu terletak di seberang kantor walikota yang selalu ramai pengunjung, terutama anak-anak. Lampu-lampu taman mulai dinyalakan, sehingga menambah indahnya taman.
"Kalau kita sedang jalan seperti ini, kau harus pegang lenganku, dong," kataku memberitahu Tiara untuk merangkul sebelah lenganku. Saat ini, kami sedang berjalan di pedestrian taman sambil melihat-lihat pedangan kaki lima yang menggelar dagangannya.
"Nggak mau, malu," jawab Tiara sambil terus mengelak ketika aku hendak meraihnya.
Aku menaikkan alis. "Apa sekarang kau akan selalu bersikap malu-malu seperti itu?" tanyaku sambil berjalan mendahuluinya, kemudian duduk di bangku taman yang agak sepi dan terlindung.
"Nggak juga," jawab Tiara ikut duduk di sebelahku. "Aku hanya ingin ngerjainmu aja." Tiara tertawa sambil memperagakan dua jarinya membentuk lambang piece.
Aku tersenyum lebar, lalu menarik paksa ke dalam pelukanku. Tiara meronta-ronta ingin melepaskan diri, tapi aku berusaha mendekapnya semakin erat.
"Apa yang kau lakukan, Don? Nanti dilihat orang, gimana? Kau mau kita digelandang Satpol PP? Nggak lucu tahu!" Tiara melirik kiri kanan setelah aku melepaskannya.
"Biarin orang lihat, yang penting sekarang kau milikku. Nggak ada yang akan melarang dan mempertanyakan hubungan kita lagi. Kau milikku seutuhnya. Lagian di sini remang-remang, ngga ada yang akan lihat."
Tiara melontarkan pandangan mengancam. "Walaupun kau udah resmi jadi pacarku, tetap aja nggak bisa melakukan berbagai hal sesukamu. Bukankah kau sendiri yang mengatakan, ada batas-batas dan norma yang seharusnya nggak kita langgar?"
Aku memiringkan kepala. "Emang aku pernah bilang, ya? Kapan? Kok nggak ingat?" ucapku pura-pura lupa. "Tapi, aku nggak peduli soal itu. Kalau aku sedang ingin menciummu, walau di depan orang banyak pun akan kulakukan."
Tiara berdiri sambil berkacak pinggang. "Coba aja kalau kau berani?" kata Tiara menantangku.
"Emangnya aku tidak berani? Apa kau kira hanya gertakan?" Aku bangkit dengan cepat dan menarik Tiara dalam pelukanku, lalu menciumnya. Tiara meronta-ronta, tapi aku terus memegangi kepalanya dengan kuat. Ia memukul-mukul punggungku, tapi aku tetap saja melanjutkan apa yang telah kumulai.
"Kau kira aku tidak berani, 'kan?" Aku tersenyum penuh kemenangan setelah menciumnya.
"Kau! Dasar playboy! Mesum! Bejat!" Tiara menunjuk ke arahku dengan wajah marah sambil memukulkan tasnya ke tubuhku. "Apa kau kira kalau udah jadi pacarmu, bebas melakukan apa pun terhadapku tanpa permisi?" Tiara terus mengomel karena tidak terima atas yang kulakukan.
Aku hanya berteriak kesakitan sambil melindungi kepala dengan kedua tangan.
"Awas kalau kau berani melakukannya lagi!" Ancam gadis itu setelah puas memukuliku. Aku mengangkat kepala dan memandangnya dengan ngeri. Tiara melayangkan pandangan mengancam, lalu mulai berjalan menjauh. Aku bangkit dan berusaha menyusul.
"Tiara, maafkan aku, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku janji. Masa hari pertama kita jadian udah bertengkar seperti ini? Ayolah, maafkan aku."
"Kau yang cari gara-gara, bukan aku!"
"Aku mengaku salah dan minta maaf. Kau mau aku lakukan apa agar memaafkanku? Aku akan lakukan apapun, asal jangan yang aneh-aneh."
Tiara mengembuskan napas. "Aku hanya mau kamu diam dan bersikap penurut."
"Penurut? Emangnya aku …."
"Jangan membantah! Sekarang ulurkan tanganmu." Tiara memotong ucapan dengan cepat.
Aku melakukan yang disuruhnya tanpa berkomentar lagi. Tiara tersenyum dan menggandengku. "Kalau kau nggak macam-macam, kau terlihat manis."
Aku pura-pura merapikan rambutku yang memang dibiarkan acak-acakan. "Akui aja kalau aku ini tampan dan keren. Nggak perlu malu-malu lah. Kalau aku nggak tampan, mana mungkin kau sampai jatuh cinta padaku dan melakukan hal-hal gila seperti semalam."
Tiara buru-buru membekap mulutku sambil melirik sekeliling. Beberapa orang yang kebetulan berada di sekitar kami memandang dengan curiga. Kami seperti remaja yang kasmaran dan dunia hanya milik berdua.
"Donie, udah kubilang, jangan ungkit masalah semalam. Aku malu ketika mengingatnya."
"Kau malu mengingatnya, tapi nggak malu melakukannya. Dasar aneh!" balasku tanpa menurunkan nada suara. Sekali lagi, orang-orang mengarahkan pandangannya pada kami. Aku hanya tersenyum senang, sementara Tiara menunduk malu. Setelah orang-orang itu menjauh, Tiara melayangkan pandangan menyeramkan dan seperti ingin mengulitiku hidup-hidup. Aku pura-pura tidak melihat, masih memasang wajah seolah tidak ada apa-apa.
"Kalau kau mengungkit, menyindir, atau membahas tentang masalah semalam, aku nggak akan sudi menemuimu lagi," ancamnya sambil menunjuk-nunjuk ke wajahku.
"Aku nggak peduli, biasanya kau yang datang mencariku."
Tiara mengembuskan napas kesal. Wajahnya yang cantik terlihat lucu ketika marah. "Ayolah Donie, jangan menyebalkan. Aku tahu kau orang yang baik, yang akan memaafkan dan melupakan kesalahan orang."
"Ya, aku emang orang yang baik, akan memaafkan kesalahan orang, kecuali kesalahanmu." Aku memandang langit malam yang berbintang. Setelah semalam hujan lebat, hari ini langit begitu cerah.
"Jangan bersikap menyebalkan lagi, deh. Aku nggak mau kencan pertama kita penuh dengan pertengkaran dan perdebatan nggak jelas begini." Tiara memandangku lebih dekat. "Jadi, kau harus janji tidak akan mengungkit-ungkit lagi."
Aku menggeleng. "Tidak akan. Dengan kejadian semalam, aku bisa meledekmu seumur hidup."
Tiara kembali melayangkan pandangan marah. "Apa kau mau merasakan tasku lagi?"
Aku menarik paksa tas yang tersampir di lengannya, lalu meletakkan di bahuku. "Sekarang kau nggak bisa melakukan kekerasan lagi padaku."
"Aku masih ada senjata lain. Kau kira aku cuma punya tas?"
"Aku nggak takut! Kalau kau memukulku lagi, kita putus."
"Oke, kita putus!"
Tiara berjalan dengan kesal meninggalkanku. Aku hanya diam, karena tahu ia akan kembali. Aku menghitung dalam hati, sampai hitungan berapa ia akan berbalik. Ternyata hanya dalam hitungan ketujuh, Tiara membalikkan tubuh dan menatapku yang masih di posisi semula. Dengan langkah semakin kesal, ia berjalan kembali ke arahku. "Oke, kita balikan lagi."
Aku tersenyum dan memeluknya, meski ia memukulku lagi. "Aku nggak tahan melihat tingkahmu seperti anak kecil itu. Berhentilah melakukan hal-hal yang akan membuatku semakin jatuh cinta padamu," kataku berbisik di telinga.
Tiara tersenyum memandangku dengan penuh perasaan. Aku balas menatapnya dengan lembut. Mata kami bertemu. Kurasa, teori Einstein mengenai dilatasi waktu bekerja pada kami, waktu terasa melambat dan berhenti. "Ada apa, Tiara? Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Tiara mengangguk pelan. "Aku udah lapar dari tadi, ayo cari makan!"
Aku menghela napas. "Yah …, kirain kau akan ngucapin sesuatu yang romantis. Padahal tadi momennya pas sekali."
"Aku nggak bisa rangkai kata-kata yang romantis dan berbunga-bunga jika perutku kosong. Di sekitar sini ada kafe enak, lho. Kita ke sana aja, ya?" Tiara menarikku meninggalkan taman.
Aku mengangguk dan menggandeng Tiara melewati jalan kecil dengan lampu berwarna-warna, hingga sampai di arena teater. Sambil bercanda, kami terus melewatinya, hingga ponselku bergetar. Aku mengeluarkan ponsel dan melihat siapa yang memanggil. Seketika, langkahku terhenti. Aku memandang tidak percaya pada nomor yang tertera di layar ponsel.
Tiara juga menghentikan langkah, lalu memandangku, ingin tahu. "Kenapa nggak diangkat?"
Aku mengalihkan wajah dari ponsel, lalu memandang Tiara. Ada perasaan ngilu merayapi hatiku. Sangat ngilu sekali.
"Donie, teleponnya diangkat!" Tiara memperingatiku yang masih terdiam.
Setelah menghela napas satu kali, aku mengangkatnya dengan berat hati. Dan, ketakutanku benar-benar terjadi setelah mendengar suara di seberang telepon. Mengapa harus sekarang dan dalam situasi seperti ini? Padahal Tiara baru saja kumiliki. Aku masih ingin menghabiskan waktu dengannya lebih lama lagi. Aku sangat mencintainya, teramat sangat.
Aku menutup telepon itu dengan lesu dan memandang Tiara dengan raut wajah sedih. Perasaan ngilu di hatiku datang lagi, perih, dan menyesakkan. Rasa tidak berdaya itu datang lagi. Bagaikan mimpi buruk yang tidak pernah sudah, selalu menghantui.
"Ada apa, Don?" tanya Tiara hati-hati, sementara matanya tak lepas dariku. "Setelah menerima telepon tadi, aku melihat perubahan di wajahmu."
Aku berusaha tersenyum untuk memperlihatkan kalau tidak ada apa-apa. "Ayo kita makan. Mau makan di mana tadi?"
"Benar nggak ada apa-apa? Ekspresi wajahmu menunjukkan sesuatu. Ada yang ngak beres?" Tiara sekarang memandangku tidak percaya.
"Nggak apa-apa. Semuanya baik-baik aja dan pasti akan baik-baik aja." Aku kembali tersenyum. Entah kenapa, udara yang kuhirup sekarang terasa berat, seperti ada selubung yang tak kasat mata menutupi.
Belum lagi kami melanjutkan langkah, ponsel Tiara berbunyi. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas, melihat layar ponselnya sekilas, kemudian memandangku dengan ragu. "Zian!" katanya singkat sambil memperlihatkan nama yang tertera.
Aku mengangguk, menyuruhnya menerima telepon tersebut. Tiara menatapku dengan pandangan bertanya. Namun, akhirnya mengangkat juga. Mereka bicara tidak lama, tapi aku tahu maksud dari pembicarannya.
Tiara menutup telepon, lalu memandangku. "Zian dalam perjalanan dari Padang ke sini. Setengah jam lagi ia akan sampai," kata Tiara memberitahu.
Aku berusaha tersenyum, walaupun perasaanku kacau. Semuanya terjadi dalam waktu bersamaan, tanpa diduga sama sekali. "Temuilah, kau harus menemuinya dan jangan katakan apa-apa tentang kita. Bersikaplah sewajarnya."
"Tapi, Don." Tiara hendak membantah perkataanku, tapi langsung berhenti ketika aku memotong pembicaraanya.
"Ini yang terbaik untuk kita. Kau harus lakukan seperti yang kuminta. Bersikaplah seperti biasanya." Aku berusaha meyakinkan Tiara, meski ada keenganan di wajahnya. "Aku mau pergi dulu, ada urusan yang sangat mendesak. Kau bisa pulang sendiri 'kan? Atau mau kucarikan taksi?"
"Tapi, Don, ini kan kencan pertama kita. Emangnya kau mau ke mana? Ada urusan mendesak apa?"
"Aku harus pergi. Maaf, aku tidak bisa memberitahumu untuk sekarang ini." Aku mengucapkannya dengan sungguh-sungguh dan wajah menyesal.
"Kau mau pergi ke Kalimantan? Mendadak seperti ini?" tanya Tiara kaget.
Aku menggeleng. "Bukan ke Kalimantan. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan terlebih dahulu. Kemungkinan lusa, atau nggak tubin, aku berangkat ke Kalimantan. Jika selama itu aku nggak menghubungimu, jangan cari aku."
"Ada apa, Don? Kau kenapa? Apa yang kau sembunyikan? Siapa tadi yang meneleponmu?"
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Tiara untuk sekarang ini. Aku terikat pada perjanjian sialan itu. Saatnya aku pulang dan menjadi miliknya.
"Don, apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Tiara lagi setelah aku diam saja.
Aku menggengam tangan gadis itu. "Pasti. Kita pasti akan bertemu lagi," kataku meyakinkannya. "Maaf, aku nggak bisa menganta pulang. Aku harus pergi secepatnya." Aku memegang lembut pipi Tiara dengan kedua tanganku. "Aku mencintaimu. Kau harus selalu ingat itu." Aku mengecup puncak kepalanya dan berlalu pergi.
Ketika aku melangkahkan kaki semakin jauh, aku tidak tahu apa bisa kembali lagi atau tidak? Aku berharap bisa kembali. Sangat berharap bisa kembali ke sisi Tiara. Tapi, perjanjian itu mengikatku.
Note: tubin (kbbi) = hari keempat dari sekarang