Z I A N P O V
Aku menatap hamparan bukit-bukit hijau yang semakin mengecil dengan hati berbunga-bunga. Bagaimana tidak? Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Tiara. Gadis cantik dan manis yang telah menjadi pacarku selama tiga tahun ini. Ya, hubungan paling lama sepanjang kisah percintaanku. Biasanya cuma bertahan satu sampai enam bulan. Bukan aku yang memutuskan, tapi mereka yang mengakhiri hubungan. Sebenarnya aku tipe lelaki setia, hanya saja selalu mendapatkan wanita yang tidak tepat, sehingga hubungan kami selalu berumur pendek.
Hanya Tiara yang berbeda. Setiap kali aku mengucapkan namanya dalam hati, selalu ada sebuah kekuatan positif memenuhi pikiranku. Dia adalah sosok yang sempurna untuk menjadi pendamping hidup. Walau aku tahu banyak yang lebih cantik darinya, tetap saja hatiku tidak bisa berpaling. Tiara hanya sempurna jika bersanding denganku, begitu juga sebaliknya.
Selain cantik, dia juga sabar dan setia. Itu adalah daya tarik tersendiri yang selalu aku kagumi, yang jarang dimiliki wanita lain yang datang silih berganti dalam hidupku. Meski kami hampir selalu melakukan hubungan jarak jauh, tapi dia selalu sabar menungguku. Apakah lagi yang aku cari? Tidak ada. Pencarianku sudah cukup. Aku sudah menemukan seseorang yang tepat untuk mendampingi hari tuaku.
Selama tiga tahun ini, aku bertemu dengan Tiara bisa dihitung jari. Enam kali, hanya enam kali selama ini. Namun, Tiara tidak pernah mengeluh sedikit pun. Kadang aku merasa sedih juga bila memikirkannya, tapi mau bagaimana lagi. Aku tinggal di kota yang berbeda, setiap hari selalu sibuk dengan pekerjaanku. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan begitu saja. Beruntung Tiara mengerti bagaimana pekerjaanku dan kegiatanku sehari-hari.
Hanya dalam dua kali setahun aku bisa menemuinya dan itu pun tidak lebih dari tiga hari. Namun, kedatanganku kali ini tidak akan membuatnya menunggu lagi. Aku akan memberikan kejutan. Dia tidak akan kesepian lagi. Dan aku tidak akan pernah pergi lagi dari sisinya.
Aku terus melamun, menatap keluar dari jendela mobil yang terus membawaku menuju orang tercinta. Letih perjalanan selama satu hari ini tidak lagi kurasakan ketika membayangkan wajah Tiara. Aku berangkat pagi-pagi sekali dari Padang, lalu berhenti sebentar di Payakumbuh untuk silaturahmi dengan keluarga di sana. Jarak Padang dengan Pekanbaru sekitar sembilan jam perjalanan mobil. Biasanya aku lebih nyaman naik pesawat, karena singgah dulu di Payakumbuh untuk urusan keluarga, jadi aku harus naik mobil. Terlebih lagi aku membawa seseorang bersamaku.
Mobil terus melaju melewati Bangkinang, kurang dari dua jam lagi, aku akan sampai di Pekanbaru. Aku terus memperhatikan pemandangan dengan perasaan nyaman, hingga lamunanku dibuyarkan oleh Nino, keponakanku yang baru berumur dua tahun .
"Nino mau duduk sama, Om?" tanyaku sambil mengulurkan tangan ke arah Viona, ibunya. Viona adalah kakak tiriku dari pihak ayah. Usia kami hanya terpaut beberapa tahun saja. Aku mengenalnya sejak kecil dan siapa sangka kami sekarang menjadi saudara.
Nino mencondongkan tubuh dan aku menyambutnya dengan senyum lebar. Nino menunjukkan wajah senang sambil menunjuk-nunjuk keluar jendela, ke arah mobil yang lalu lalang.
"Udah kasih tau papanya kalau kalian akan datang?" tanyaku sambil memutar wajah ke arah Viona.
Viona hanya mengangguk, kemudian mengalihkan wajah menatap matahari yang semerah saga. Seakan ia enggan untuk membahas itu. Aku tahu bagaimana perasaan Viona. Aku tahu bagaimana pedihnya menjadi dirinya. Punya suami, tapi serasa tidak. Suaminya bebas melakukan apa saja. Tidak pernah ingat bahwa ia punya rumah untuk pulang dan punya anak istri untuk diberi kasih sayang.
"Apa katanya?" tanyaku lagi, meminta penjelasan lebih lanjut.
"Dia masih belum berubah, masih dingin seperti biasanya. Aku nggak apa-apa, karena selama ini aku hidup dengan sifatnya yang seperti itu." Viona menundukkan wajah. Berusaha mengumpulkan segenap ketegaran dirinya yang masih tersisa.
Aku mengembuskan napas. "Aku nggak bisa bedain antara bodoh dan terlalu cinta. Kalau dia suamimu, seharusnya dia lebih bertanggung jawab, sekurangnya demi anaknya. Sudah berapa lama dia nggak pulang? Hampir satu tahun, 'kan? Apa kamu mau hidup seperti itu selamanya?" Aku mengatakan hal yang sama untuk kesekian kalinya. Aku tahu, perkataanku kali ini masih dianggap angin lalu.
Viona kembali membuang muka. "Aku yang memilih hidup seperti ini, nggak mungkin juga aku sesali. Aku udah memilih, dan pilihan itu adalah dia. Seandainya aku disuruh memilih, aku akan tetap memilihnya."
"Anggap aja kalau kamu bisa menahan semua perlakuan dan sikapnya. Gimana dengan anakmu? Anak kalian menjadi korban atas keegoisan ini! Dia kehilangan figur seorang ayah sejak bayi." Aku mengelus rambut keponakanku yang masih sibuk memperhatikan kendaraan yang lalu lalang.
"Aku hanya berharap, suatu hari dia akan berubah dan bisa nerima Nino. Kalau dia masih anggap aku benda mati, nggak apa-apa. Asalkan dia menyayangi Nino, itu udah cukup bagiku. Biasanya, seangkuh apa pun seorang lelaki, akan luluh jika berhadapan dengan anaknya. Aku masih menunggu itu."
"Sampai kapan?"
"Entahlah …."
"Menunggu yang nggak pasti itu menyakitkan, lho."
"Biarlah, itu risiko yang harus kutanggung untuk mendapatkannya."
Aku memeluk keponakan kecilku. Nino korban dari semua ini. Andainya saja waktu itu aku mencegah pernikahan Viona, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Apalah dayaku, waktu itu aku hanya anak kelas 3 SMA. Aku tidak tahu apa-apa tentang akuisisi perusahaan dan sejenisnya. Perjanjian apa yang telah orangtua kami buat sampai melibatkan anak-anak mereka.
Aku menghela napas panjang. "Percuma aku bilang semua ini. Pada akhirnya, kamu selalu pada pendirianmu semula. Kamu mencintainya dan dia nggak pernah sedikit pun mencintaimu. Kamu masih belum juga menerima kenyataan itu."
Viona hanya diam saja mendengar perkataanku yang demikian. Dia hanya menatap lurus dan mengeraskan ekspresi wajah. Seolah dia adalah wanita yang paling tegar di dunia ini.
"Aku bukan ingin ikut campur. Aku hanya ingin menyadarkanmu dan coba mengubah hidupmu yang menyedihkan ini. Bukan aku benci, tapi aku peduli. Kamu kakakku dan aku peduli terhadapmu dan Nino. Maaf jika aku terkesan terlalu ikut campur dalam rumah tangga kalian."
"Nggak perlu minta maaf, karena pada dasarnya semua itu emang benar. Setelah jadi istrinya pun, aku masih belum dapatkan hatinya. Setidaknya, aku memiliki dirinya meski belum mendapatkan hatinya." Viona mengucapkan itu tanpa menoleh dan merubah ekspresi sedikitpun.
Aku mengembuskan napas lelah dan tidak menjawab perkataan Viona lagi. Rasanya sudah kehilangan akal untuk menyadarkannya. Apa untungnya bisa memiliki orang yang dicintai di sisi kita, bila kita sendiri menderita. Terkadang cinta memang sebodoh itu. Aku hanya berharap tidak jatuh pada cinta yang demikian.
Aku bersyukur karena Tiara berbeda. Dia setia dan dia wanita yang tepat untukku. Kami saling mencintai, bukan seperti Viona yang hanya di satu sisi. Aku selalu meyakini bahwa Tiara tercipta untukku. Dia tulang rusukku yang hilang, walau bagaimanapun ia akan kembali padaku. Aku selalu meyakini tentang filosofi tulang rusuk itu.
Aku tidak ingin jadi lelaki yang kejam seperti suami Viona. Walaupun aku tahu, berat jika berada di posisinya. Dipaksa menikah di usia semuda itu dengan wanita yang tidak dicintai dan lebih tua beberapa tahun. Ketika masih ingin menikmati masa-masa remaja, tapi harus dihadapkan dengan persoalan rumah tangga. Walaupun begitu, aku tetap tidak bisa menerimanya. Itu bukanlah alasan untuk membenci.
Terkadang aku sempat terpikir, apakah suaminya yang terlalu kejam atau Viona sendiri yang terlalu bodoh? Membiarkan suaminya melakukan apapun, sedangkan mereka terikat dalam hubungan suami istri. Aku masih mengingat jelas kejadian satu tahun silam. Meski Viona tahu bahwa suaminya mempunyai wanita lain, dia tetap saja diam. Padahal aku ingin sekali menghajar lelaki berengsek itu.
Setelah usut punya usut, ternyata Viona sendiri menyuruh suaminya melakukan itu. Mereka punya kesepakatan dengan istilah suami paruh waktu, atau apalah namanya yang tidak aku pahami. Viona membebaskan dan tidak mengekang suaminya. Bahwa lelaki itu boleh melakukan apa saja dan bersama siapa saja. Viona hanya meminta, ketika pulang dan di hadapan keluarga besar, berpura-puralah menjadi suami yang sempurna.
Ini hubungan paling gila yang pernah aku dengar. Dan aku masih tidak percaya terjadi pada kakakku sendiri. Terkadang aku merasa sedih terhadap mereka bertiga. Pernikahan yang dipaksakan dan memiliki anak yang dipaksakan. Hanya karena hubungan bisnis, masa depan mereka yang seharusnya bahagia, malah hancur seperti ini.
Aku memeluk tubuh Nino dengan perasaan sedih. Aku kasihan pada anak sekecil ini telah menanggung masalah yang seharusnya tidak melibatkannya. Semuanya karena keegoisan dari berbagai pihak yang menekan mereka. Para orang tua tidak pernah terpikir kalau pilihan-pilihan yang diambil akan menyengsarakan anak-anak mereka. Apa artinya bisnis jika hidup menjadi tidak realitis. Apa artinya harta jika hidup menjadi tidak bahagia.
Entah bagaimana caranya agar membuat mereka menjadi dekat. Setidaknya demi Nino yang masih butuh sosok ayah dan ibu untuk membentuk karakternya. Selama ini, akulah yang berusaha menggantikan figur ayah bagi Nino. Aku mencintai Nino sebagaimana seorang ayah mencintai anaknya. Aku akan memberikan apa yang tidak pernah diberikan ayahnya padanya. Setidaknya, aku menjadi pengganti sampai ayahnya siap menjadi sesuatu yang bisa diandalkan.
Aku terus berharap hari itu akan terjadi.