Setelah percakapan tadi, kami kembali terdiam, sibuk dalam pikiran masing-masing. Viona hanya menatap ke luar jendela yang membiaskan matahari terbenam. Sementara aku bermain-main dengan Nino, menunjuk mobil-mobil besar pengangkut hasil bumi. Nino sangat senang melakukan hal tersebut untuk mengurangi sedikit kebosanannya.
"Nino suka mobil yang mana?" tanyaku sambil menunjuk mobil besar yang kami lewati satu per satu. Nino menunjuk sembarangan sambil tertawa senang. Aku juga ikutan tersenyum. "Yang besar itu?" tanyaku lagi sambil menunjuk truk yang mengangkut sawit. Nino kembali memperlihatkan wajah senang.
Aku memutar kepala ke arah Viona yang masih menatap ke luar jendela. "Aku akan coba bicara dengan suamimu itu, siapa tahu aja dia mau mendengarku. Aku akan coba membujuknya agar lebih menerima kalian."
Viona memendang ke arahku sambil menggeleng. "Jangan ikut campur dan menambah masalah. Aku udah terbiasa seperti ini."
"Aku nggak bisa diam aja dan seolah nggak terjadi apa-apa. Aku pasti akan bicara dengan suamimu tenang masalah ini cepat atau lambat. Hubungan kalian nggak bisa dibiarin seperti ini terus. Nino semakin lama semakin besar dan ia butuh seorang ayah untuk membimbingnya." Aku terus memberikan usulan agar Nino bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang sebenarnya.
"Aku nggak ingin kamu lakuin itu." Viona kembali menggeleng dengan pandangan memohon.
"Lalu harus gimana?"
"Jangan lakukan apa pun. Itu pilihan terbaik untuk saat ini. Sekali kamu bilang padanya, pertemanan kalian akan berantakan. Aku nggak mau dengan masalah ini hubungan kalian jadi buruk."
"Apa kamu akan seperti ini selamanya?"
"Jika itu harus, aku akan menanggung itu selamanya. Aku nggak bisa mundur lagi. Ketika aku minta Papa untuk jodohin aku dengan dia, berarti aku udah siap menanggung risikonya."
"Tidakkah kamu ingin bahagia seperti wanita lainnya? Punya seorang suami yang mencintai serta melimpahkan kasih sayang kepada keluarga kecilnya? Tidakkah kamu bermimpi punya keluarga seperti itu?"
"Aku udah bahagia bersama Nino. Aku nggak harapin apa pun lagi." Viona berhenti sesaat untuk menarik napas dan aku memandangnya sambil menaikkan alis. "Aku udah bahagia, Zian, jadi jangan cemasin aku lagi."
"Kamu tidak bisa membohongiku, Viona. Sekuat apa pun kamu menyangkal dan mengatakan bahwa kamu bahagia, tapi tatapanmu begitu kosong dan kesepian. Aku juga sering melihatmu melamun dan memandang Nino dengan wajah sedih. Apa itu yang disebut bahagia? Apa itu definisi bahagia menurutmu?"
Vione mengembuskan napas panjang. "Baiklah, aku memang nggak bisa berbohong darimu. Meski begitu, jangan lakukan apa pun. Kamu nggak bisa mengubah hubungan kami."
Aku memandang kilauan air yang terpantul oleh cahaya matahari sore ketika mobil melintasi jembatan. "Kalau begitu keputusanmu, aku tidak bisa apa-apa lagi. Terkadang aku hanya ingin membantu. Aku merasa tidak tenang jika kamu diperlakukan seperti ini selama bertahun-tahun," kataku sambil menyerahkan Nino kepada Viona, lalu mengeluarkan ponsel untuk menelepon Tiara. Sebentar lagi akan sampai, dan aku akan memberikan kejutan untuknya.
Aku menelepon sambil tersenyum dan membayangkan wajah Tiara yang berbinar bahagia menerima teleponku. Selama beberapa detik, aku menunggu panggilan terhubung sebelum suara Tiara menyapa dari seberang sana.
"Ada apa meneleponku, Zian?" tanya Tiara dengan nada cepat. Aku sedikit kecewa mendengar intonasi suaranya seperti itu.
"Aku punya kejutan dan aku yakin kamu pasti suka." Aku tersenyum membayangkan Tiara yang melongo melihatku telah berdiri di depan matanya.
"Kejutan apa? Kenapa tiba-tiba?"
"Bukankah kejutan harus tiba-tiba? Mau tahu apa enggak, nih, kejutannya?"
Tiara tidak langsung menjawab. Aku rasa dia sedang berpikir. "Baiklah, kejutannya apa?" tanyanya agak sedikit antusias.
"Kejutannya …. sebentar lagi aku akan sampai. Sekitar 1 jam lagi, soalnya udah lewat Bangkinang," kataku sambil memberitahu sudah melewati salah satu kabupeten di Riau itu.
"Apa? Kamu ke sini? Kok nggak ngasih kabar dulu?"
Aku tersenyum. "Ini kan kejutan, masa harus beritahu duluan?"
"Ya, setidaknya kamu kasih tahu aku, agar aku bisa siap-siap."
Aku agak kecewa mendengar tanggapan Tiara yang kurang antusias. Aku hanya menghela napas dan bersikap positif. "Jadi kamu nggak suka dengan kedatanganku yang tiba-tiba seperti ini?" tanyaku memastikan.
Terdengar jeda selama beberapa detik, aku menunggu dan mulai merasakan kehadiranku tidak disambut dengan baik atau lebih tepatnya, tidak diharapkan. "Tiara, kamu masih mendengarku?"
"Iya, aku masih di sini. Aku senang banget kamu datang, kok. Hanya sedikit terkejut. Jadi sekarang gimana? Kamu naik travel atau bawa mobil? Apa aku jemputmu ke terminal?"
"Tunggu aku di rumah aja. Nggak usah jemput."
"Kamu nggak nyetir sendiri, kan?" tanya Tiara khawatir.
"Nggak. Aku sama Viona dan Nino juga," kataku sambil melirik Nino yang mulai terlelap di pangkuan ibunya.
"Kamu sama Kak Viona juga?" tanya Tiara tidak percaya. Tiara dan Viona belum pernah bertemu selama ini. "Baiklah, aku harus tutup teleponnya sekarang juga. Aku harus siapin makan malam sebelum kalian sampai. Kalian pasti lapar. Sampai jumpa, Zian. Aku rindu kamu." Tiara pun menutup telepon sebelum aku sempat menjawab.
Aku hanya bingung beberapa saat, lalu senyum bahagia terbit di bibirku. Sebentar lagi kami akan bertemu, setelah beberapa bulan terpisah antarkota.
"Jadi gimana dengan Tiara?" tanya Viona dengan ekpresi yang sulit sekali aku tebak. Aku belum pernah melihat Viona seperti itu.
"Nggak gimana-gimana. Aku hanya kasih kabar kedatangan kita."
"Kamu sangat mencintainya?"
"Kenapa kamu nanyain itu?" tanyaku heran. Biasanya Viona tidak pernah memedulikan hubunganku dengan Tiara.
"Aku hanya ingin tahu."
"Aku sangat mencintainya, belum pernah aku mencintai seorang wanita seserius ini," kataku terus terang sambil menjaga ekspresi wajahku agar tidak tersenyum. Saat itu Nino terbangun dan aku segera mengambilnya dari pelukan Viona.
Viona menghela napas sambil menyerahkan Nino padaku. "Kalian pasangan sempurna yang saling mencintai."
Aku tidak membalas perkataan Viona, aku memilih diam sambil memerhatikan bangunan-bangunan yang mulai menjulang. Pikiranku kembali berkelana awal bertemu Tiara dan tahun-tahun yang telah kami lalui. Aku masih tidak menyangka hubungan kami akan bertahan sejauh ini meski hanya bertemu dua tahun sekali.
Cukup lama kami terdiam melewati jalanan yang sedikit macet, ketika Viona memandangku. "Ada apa?' tanyaku sambil memperbaiki posisi Nino yang sekarang tidur di pelukanku.
"Dia menelepon," bisik Viona.
"Dia siapa?" tanyaku bingung.
"Papanya Nino," kata Viona tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca, yang membuatku semakin sedih. Begitu besar harapannya kepada suami yang tidak pernah mengharapkannya.
"Cepat angkat," kataku sambil memberinya semangat.
Dia segera mengangkat dan mendengarkan semua yang dikatakan suaminya tanpa mengatakan apa pun selain jawaban 'ya'. Setelah menjadi istri lelaki brengsek itu, Viona menjadi penurut. Dulu dia tidak seperti itu. Dulu Viona gadis egois kaya yang melakukan apa saja untuk mendapatkan kemauannya, termasuk suaminya yang sekarang ini.
"Dia ngomong apa?" tanyaku setelah Viona mengakhiri percakapan singkat itu.
Viona tersenyum sekaligus terharu. "Dia akan menjemput kami, tapi dia menyuruh kami turun di jalan. Katanya nggak boleh langsung ke rumahnya."
Aku mengerutkan kening. "Kenapa? Kamu nggak merasa kalau dia berusaha sembunyiin sesuatu?"
"Aku nggak tahu dia menyembunyikan sesuatu atau tidak. Meski terbukti pun, aku nggak bisa lakuin apa-apa."
"Karena perjanjian brengsek itu?" kataku tanpa sadar menaikkan intonasi suara. Aku baru tahu beberapa bulan lalu kalau mereka melakukan kesepakatan setelah menikah. Viona membebaskan suaminya melakukan apa saja, termasuk bersama wanita lain. Mereka menyebutnya Part-time Husband. Aku marah sekali mendengar kesepakatan seperti itu. Jelas-jelas merugikan Viona dan menguntung suaminya dari segi apa pun.
"Aku nggak mau membahas tentang perjanjian itu," kata Viona berusaha menghindar. "Mendengar dia akan menjemput kami saja aku udah senang. Aku nggak menyangka saat bahagia seperti ini akan datang begitu cepat."
Aku berbicara setenang dan sepelan mungkin. "Aku yakin sekali kalau dia menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin kamu ketahui. Makanya dia tidak mau kamu datang ke rumahnya. Tidakkah kamu merasa aneh dan cemburu?"
Viona menggeleng cepat, membuatku akhirnya menyadari kalau dia begitu bodoh dan cinta butanya sudah berurat-urat dalam hatinya. "Baiklah, aku udah memperingatimu. Jangan salahkan aku jika dia mengecewakanmu lebih dalam lagi. Aku bukan mau menakut-nakuti, tapi hanya berusaha memperingati."
"Terima kasih udah mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik aja. Dia sebentar lagi akan datang." Viona menyebutkan lokasi suaminya menjemput kepada sopir, lalu mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku mencium Nino satu kali kemudian menyerahkan kepada ibunya. Viona terlihat bahagia, tapi firasatku mengatakan ada sesuatu yang serius yang disembunyikannya. Itu sesuatu yang lebih dari perjanjian sialan itu.