Unexpected 안넼스펰틷

Viva Polo Restaurant

Seoul~Korsel~2019

"Mwo?"

Suara itu terdengar begitu keras, mengusik ketenangan mereka. Para pengunjung restaurant. Beberapa dari mereka berpaling muka. Menatap Irna dengan tatapan tak suka.

Menyadari itu, Irna menggerak-gerakkan kepalanya, memandang mereka yang masih mengawasinya. "Mianhamnida," ucap Irna kemudian kepada mereka seraya menundukkan kepalanya. Dan terlihat beberapa dari mereka hanya geleng-geleng kepala atau bahkan langsung berpaling, tak memedulikan ucapan maaf itu. Menganggap semua itu hanya angin lalu.

Suasana di restaurant pun terdengar normal kembali.

Pria di hadapan Irna mendesah, "Anda mempermalukan saya saja, Nona!"

Irna tersenyum mengejek, lantas mengatakan, "Apa peduli Anda?"

"Apa peduli saya? Justru saya sangat peduli pada Anda, sampai-sampai saya terbaring koma selama tiga bulan hanya karena menyelamatkan Anda yang bodoh ini." Nada bicara pria itu penuh penekanan.

Irna hanya terdiam. Menelan ludah. Itu memang benar, walaupun perkataan itu terdengar sarkasme. 

"Siapa suruh menyelamatkan saya?" Irna masih mencoba berdalih. Tak mau kalah begitu saja. 

"Siapa suruh?" timpal pria di hadapannya itu diiringi tawa mengejek. 

Irna menggerakkan manik matanya, berpaling dari tatapan mata menyebalkan di hadapannya.

"Hanya orang yang tak berperikemanusiaan saja yang akan hanya diam melihat Anda diperlakukan seperti itu." Pria itu memeluk kedua tangannya di dada. Wajahnya tertekuk masygul. 

Irna mendengus. Masih dengan arah berpalingnya.

"Ya, Nona, kenapa Anda terlihat sering melewati jalan yang sama setelah beberapa kejadian menimpa Anda? Apakah Anda tak tahu bahwa di jalan itu sangatlah rawan preman di malam hari, hah? Ah, saya benar-benar tak tahu jalan pikiran Anda. Mengapa Anda terus melewati jalan setapak itu, apakah Anda tak pernah berpikir berjaga-jaga untuk--" Perkataan Pria itu terpotong. 

"Mianhamnida, itu bukan urusan Anda. Terserah saya hendak melewati jalan apa yang saya inginkan. Saya juga tak habis pikir, kenapa selalu Anda yang menyelamatkan saya. Kenapa selalu Anda yang melintas di jalan setapak itu. Aigo, tak adakah orang lain selain Anda di dunia ini untuk menyelamatkan saya? Atau jangan-jangan ... Anda sebenarnya justru sedang menguntit saya?" Raut wajah Irna bertambah kesal. 

Pria itu tersenyum masam. "Ya, Nona, jadi orang itu jangan terlalu kepedean!" sergahnya. 

Irna mendengkus. Pria di hadapannya masih menatap tajam matanya.

"Hmm, kembali ke topik awal. Bagaimana dengan tawaran saya, Anda pilih nomer 1 atau 2?" tanya Pria itu setelah berdeham.

Irna menghembuskan nafasnya kasar. "Ah ... dua-duanya sama-sama buruk, Tuan."

"Tapi Anda harus tetap memilih, Nona." perintah pria itu. 

Irna menggigit bibir. Masygul nian. 

"Aish, kenapa Anda melakukan semua ini, hah? Bukankah semua itu bukan salah saya. Bukankah semua itu kehendak Anda? Ya ... saya berterima kasih atas semuanya karena Anda telah menolong saya malam itu. Saya juga minta maaf karena saya tak tahu. Saya benar-benar tak tahu jika Anda koma selama tiga bulan karena menolong saya itu. Saya minta maaf karena pada saat itu, setelah kejadian itu, setelah saya kembali siuman, saya juga langsung dipulangkan ke negara asal saya beberapa minggu. Dan saya pikir saat itu Anda baik-baik saja karena manager Anda yang membawa saya ke rumah sakit mengatakan, bahwa Anda baik-baik saja. Saya percaya begitu saja tanpa memikirkan apa pun lagi."

Dan terlepas dari gosip para bias, Saya tak peduli tentang gosip idol atau artis lain di dunia entertainment. Itulah mengapa, Saya sungguh tak tahu tentang keadaan Anda. Mianhamnida ...."

Irna tertunduk sesaat. Ia sungguh merasa bersalah dengan tulus saat ini. 

"Saya benar-benar minta maaf dan berterima kasih. Saya berjanji, saya akan melunasi hutang saya kepada Anda. Ya ... saya akan membayar semua biaya pengobatan Anda selama tiga bulan itu. Walaupun itu ... sangatlah besar. Tapi jangan khawatir, saya pasti akan membayarnya, dengan cara ... dicicil." Irna mengigit bibir bawahnya. Pria itu malah bertopang dagu, menatap jalan yang bertepi pohon bunga Cherry blossom yang sudah meranggas dari balik tembok kaca restaurant itu.

Irna menghela napas pelan. Menyadari pernyataannya yang sangat butuh perjuangan untuk diucapkan kepada pria di hadapannya itu justru tak didengar begitu saja. Sial, seharusnya ia tak berucap dengan kepala tertunduk seperti barusan. Pria di hadapannya ini sungguh menyebalkan dengan sikap tak acuhnya. 

Irna masih memandang pria di hadapannya itu dengan bibir mengerucut seraya mengumpat dalam benak. "Aigo, dia benar-benar manusia kurang waras. Sangat menyebalkan!"

Pria itu membetulkan posisi duduknya. Lantas mengatakan, "Saya baru tahu, ternyata ada seorang calon dokter bedah jebolan Seoul National University yang mempunyai otak sebodoh ini. Sungguh memalukan." Lalu menyeringai. 

"Mwo? Anda menyindir saya?"

Pria itu mengedikkan bahu. Tak acuh lagi. 

"Nona, hanya ada dua pilihan. Maka pilihlah satu dari dua pilihan itu. Jangan mengadakan pilihan lain. Mungkinkah kurang jelas penjelasan saya, hah?" Lagi-lagi dengan nada penuh penekanan dan pengejekkan. 

"Ah ... orang ini," desah Irna. 

Pria itu tersenyum melihat tingkah perempuan di depannya yang mulai frustasi. Dan ia sangatlah menikmati suasana demikian. 

"Nona, saya bahkan lupa bahwa selama ini kita hanya saling mengerti, namun kita tidak saling mengenal. Dan mungkin ada baiknya jika kita saling berkenalan dahulu. Mungkin akan membuat kita jadi lebih akrab ke depannya. Bukankah begitu?" kata pria itu. Mencoba tersenyum tulus. Memamerkan lubang kecil di sebelah pipinya. 

Irna hanya terdiam dalam sebalnya. Berpikir keras. 

Pria itu mengulurkan tangannya yang panjang seraya mengatakan, "Perkenalkan, nama saya Park Chan Yeol."

Irna memandang sekilas uluran tangan itu. Lantas menjabatnya dengan sungkan.

"Ne, saya sudah tahu nama Anda. Wajah Anda juga sangat familiar dan viral akhir-akhir ini di mana-mana. Entah itu di media cetak, apalagi di media sosial. Seolah-olah tidak ada manusia lain yang lebih patut diperbincangkan selain diri Anda di Republik Korea ini, hah? Bahkan, Anda juga mengundang saya ke tempat yang penuh oleh foto-foto narsis Anda. Aish!" tukas Irna seraya mencoba melepaskan jabatan tangannya seraya melirik ke tembok sebelahnya yang berisikan foto-foto Chanyeol. 

Chanyeol hanya tersenyum masam dan justru menjabat tangan Irna lebih kuat. 

"Nona, Anda belum mengenalkan Anda," kata Chanyeol kemudian seraya tersenyum lagi. 

Irna menelan ludah. "Orang ini," batinnya geram.

"Baiklah, nama saya Irna Diana," ucap Irna kemudian, mengenalkan dirinya seraya mencoba tersenyum semanis mungkin.

"Ir An Diana. Nama yang tidak begitu buruk," kata Chanyeol mengangguk-angguk seraya melepaskan jabatannya. 

Irna menatap tajam Chanyeol yang telah mengoloknya.

"Mianhamnida, Chanyeol-ssi, nama saya jadi buruk karena Anda menyebut nama saya salah." Irna mengolok balik. Nadanya pun penuh penekanan. 

Chanyeol mengernyit, lantas berucap, "Salah?"

"Ne, nama saya Irna, bukan Ir An. Anda membalik suku katanya. Sebenarnya ... pendengaran Anda ... maaf ... mungkin sedikit terganggu. Apakah Anda butuh diperiksa indra pendengarannya? Mungkin saya bisa bantu, memeriksa Anda di sini sekarang juga," sindir Irna dengan raut muka yang dibuat serius. Mengejek pula. 

"Hmm …." Sembari menengguk ludahnya. Lalu Chanyeol mencoba tertawa. Menghilang kecanggungannya. "Rupanya Nona mempunyai selera humor yang tinggi," katanya kemudian. Dan Chanyeol tertawa lagi.

Irna pun ikut tertawa mengimbangi Chanyeol. Absurd sekali. "Saya rasa begitu, Tuan." timpalnya. 

"Hmm, baiklah, alangkah baiknya kita kembali ke topik awal. Rupanya waktu kita hampir habis hanya untuk bercanda," ucap Chanyeol sembari melihat arloji yang tersemat di pergelangan tangannya.

Irna mengangguk seraya tersenyum karena telah mencetak gol untuk pertama kalinya. Puas. 

"Baiklah, Ir An Diana-ssi, apa pilihan Anda sekarang?" Chanyeol meminta kepastian. Masih membalik suku kata nama Irna. 

Irna menghela napas sejenak.

"Saya memilih ... tawaran nomer pertama, Chanyeol-ssi."

Chanyeol tersenyum. Puas dengan pilihan Irna. Memang inilah yang diharapkannya. 

"Baiklah, kalau begitu Anda bisa memulai pekerjaan--"

"Chanyeol-ssi, saya rasa, saya juga perlu mengajukan sesuatu." Irna mendadak menukas. 

Chanyeol mengernyit. "Mengajukan sesuatu?"

"Ne, untuk kenyamanan saya selama bekerja. Bukankah bekerja juga membutuhkan sebuah kenyamanan?" Irna membenarkan posisi duduknya. 

"Hmm ... saya rasa juga begitu. Kenyamanan apa yang Anda inginkan?" Dahi Chanyeol membentuk lipatan samar. 

"Owh ... agaknya ini sedikit sulit," kata Irna kemudian. Berakting seolah-olah ia juga terlihat bingung dan bimbang untuk mengatakannya.

"Jangan sungkan, katakanlah, saya pasti akan memberikan yang terbaik untuk orang yang bekerja dengan saya." Chanyeol melipat kedua tangannya lagi ke dada. 

"Jinjja?" kali ini Irna membuat wajahnya terlihat sangat berbinar.

"Hmm, saya rasa begitu." Chanyeol mengangguk pelan. 

Irna menghela napas panjang. Mencoba untuk tidak tersenyum dalam hal ini. Dan sebenarnya ia justru ingin tertawa. Menertawakan Chanyeol tentunya. Manusia kurang waras menurutnya yang sebentar lagi gawangnya akan kebobolan untuk yang kedua kalinya. 

"Baiklah, permintaan saya adalah ...."

~See you on the next chapter~

Notes:

Aigo = ya ampun

Mwo = apa

Mianhamnida = maaf [formal]

Jeongmal / Jinjja= sungguh, benarkah ( yang membedakan penekanannya. 'jinjja' terkesan lebih kuat dan shock. 'Jeongmal' terkesan lebih normal)

Ne = iya