"The Wedding Crasher"

Bandara Schiphol. Musim semi 2010.

Dian mendarat pukul 09.15 CET. Setelah dari imigrasi ia langsung menuju Schiphol Railway Station di lantai bawah bandara.

Dian segera membuka aplikasi google maps diponselnya. Diperkirakan ia hanya butuh 13 menit untuk sampai Sloterdijk Station. Kemudian 10 menit jalan kaki ke XO Hotels tempatnya menginap. Ia memang memilih hotel itu karena dekat dengan pusat kota Amsterdam. Begitu pula dengan Rumah Sakit OLVG.

Dian sudah berkonsultasi dengan dr. Paul Van Ivens. Ia ingin melahirkan di Amsterdam. Kandungannya memang masih berusia 3 bulan. Tapi rasanya ia ingin segera keluar dari sumpeknya Jakarta. Lagipula tidak ada lagi yang memperdulikannya. Pria yang dicintainya memilih menikah dengan bule mantan sekretarisnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Satu-satunya jalan keluar yang terbaik adalah pergi.

Sendiri.

Dian juga berencana untuk mempersiapkan diri menempuh studi S2 dinegara kincir angin ini. Ia memang bercita-cita menyandang gelar LL.M (Lex Legibus Master - gelar master untuk Sarjana Hukum). Sabtu besok rencananya Dian akan mencari rumah mungil yang dapat disewa. Tabungannya selama ini dijamin habis jika terus menginap dihotel.

Dian berjalan agak tertatih. Ia meringis pelan saat bayi dikandungannya terasa menendang perut. Ia mengelus perutnya sambil tersenyum. Dian pun berhenti berjalan. Kopernya diletakkan disamping kirinya. Perlahan ia duduk disebuah kursi didepan stasiun itu. Berpikir untuk naik taksi. Pikirannya kemudian melayang.

"Tidak!" sentak Alex sambil menepis Dian yang mencoba untuk mencium pipinya.

Dian tertunduk sambil menangis. Napasnya tersenggal. Namun Alex hanya berdiri disitu dengan muka sekeras batu. Malam ini Alex ingin mengucapkan kata berpisah untuk terakhir kalinya dengan Dian.

"A..aaku...aku sayang kamu, Mas..." rintih Dian perlahan. Tangannya memegang perut yang terasa sakit karena menangis.

"Tapi besok aku menikah! Kamu berharap apa?" ujar Alex cepat.

Tidak ada.

Sejujurnya memang sudah tidak ada yang diharapkan Dian. Ia sudah jauh hari memesan tiket ke Singapura dan Amsterdam. Ia ingin pergi. Karena ia tahu ia tidak mengharapkan apapun dari Alex. Termasuk malam itu. Dian hanya ingin berpisah baik-baik. Tapi nyatanya...

Dian mencoba menghapus kenangan-kenangan itu. Ia mengalihkan pandangannya ke seantero kota. Musim semi di Amsterdam kali ini terasa lebih hangat. Bunga tulip mulai bermekaran. Udara berhembus sangat segar dipagi hari itu. Dian menutup matanya sambil menghirup udara sedalam mungkin.

Terasa damai.

Tiba-tiba Dian mengerutkan keningnya. Bola matanya terbelalak lebar melihat seorang pria menghampirinya dari jauh. Pria itu nampak pincang. Terlihat pula mukanya yang hancur lebur. Kepalanya diperban. Hidungnya patah. Mata kirinya membengkak sampai tidak terlihat lagi. Sementara pipi kanannya terlihat jahitan sepanjang 10 cm. Dekat ke mata kanannya.

Pria itu kemudian bersimpuh didepan Dian. Menunduk sangat lama. Dian terpekur tanpa tahu apa yang harus dilakukannya. Ia benar-benar shock. Namun perlahan ia mengangkat muka pria yang sudah tidak berbentuk itu.

"Kenapa?" tanya Dian menatap matanya. Pria itu menggeleng pelan.

"Kenapa, Mas Alex?!" tanya Dian agak keras.

Kembali pria itu menggeleng. Kemudian pria itu berdiri dan menggandeng tangan Dian. Tanpa berkata sedikit pun ia berjalan menemani Dian untuk mencegat taksi.

************************

"Flight attendants, prepare for landing please. Cabin crew, please take your seats for landing"

Terdengar suara Pilot Cathay Pacific itu memberikan pengumuman jika pesawat sebentar lagi mendarat. Para penumpang yang tertidur dibangunkan oleh kru kabin untuk merapihkan meja dan meminta mereka memakai sabuk pengaman.

Alex terbangun dari lamunannya. Dilihatnya kota Hong Kong dibawah sana. Terlihat megah dengan deretan menara pencakar langitnya.

"Ladies and Gentlemen. We are now approaching Hong Kong International Airport where the local time is twenty three past fifty. At this stage you should be in your seat with your seat belt firmly and fastened. Personal television screens, footrests and seat tables must be stowed away and all hand luggage stored either in the overhead lockers or under the seat in front. Please ensure all electronic devices including laptop and computers are turned off. Thank you"

Malam ini Alex akan beristirahat dulu di hotel Peninsula. Besok pagi ia akan bertemu Ang Bun. Bakal menjadi hari yang panjang. Batin Alex. Ia pun menguap. Pesawat nampak masih berputar-putar menunggu giliran mendarat. Hari ini sepertinya sangat sibuk.

Masih ada waktu" batinnya.

Lalu ia kembali menutup mata.

Sementara diluar bandara, Cimenk sedang menunggu didalam ditaksi sambil asyik memainkan pisau komando andalannya. Ia nampak membersihkan darah kering yang masih menempel pada pisaunya: Fairbairn Sykes.

Pisau ini panjangnya 29 cm. Diciptakan bukan untuk mengiris namun menusuk. Pisau ini bisa menembus sela tulang iga manusia sehingga mampu tembus ke jantung.

Hari ini pisau buatan Inggris itu sudah terbukti keampuhannya. Cimenk tersenyum sendiri ketika ingat Sulaiman hanya terbelalak saat pisau itu menembus dadanya.

Eksekusinya tergolong mudah.

Sulaiman tinggal di rumah yang didesain berbentuk pipa beton dikawasan Tsim Sha Tsui. Rumah itu berdiameter hanya 3 m dengan luas total 10 m2. Cimenk tinggal menunggunya dibilik kamar mandi. Kecilnya ruangan membuat Sulaiman tidak dapat berlari. Dengan mudah ia ditusuk dari belakang tanpa sedikit pun perlawanan.

00.05.

Sebentar lagi targetnya yang lain akan muncul. Cimenk menguap lalu merenggangkan badannya. Mempersiapkan diri. Fairbairn Sykes itu lalu dimasukkan ke pinggangnya.

************************

Mereka ke Paris hari itu.

Alex ingat saat mereka hendak mencegat taksi namun Dian justru berjalan menuju tempat keberangkatan bus di depan Sloterdijk Station. Alex hanya mengikutinya dari belakang. Ternyata Dian menaiki bus menuju Paris. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu.

"Tujuh jam..." keluh Alex membatin. Tapi demi seorang wanita yang semakin menggendut didepannya itu membuat Alex menguatkan dirinya. Ada yang harus disampaikan.

Perjalanan dari Amsterdam menuju Paris ini melewati Belgia. Sepanjang jalan terlihat daerah pertanian khas Eropa. Damai. Sebetulnya banyak waktu untuk bercerita. Namun Alex masih diam. Dian juga tidak memaksanya untuk bicara. Matanya tetap menatap keluar menikmati suasana pedesaan.

Bis berhenti setelah melewati Akena Hotel. Ternyata ada penggantian supir. Memanfaatkan waktu berhenti itu Alex kemudian turun dari bis dan menyalakan rokoknya. Pria itu nampak berjalan berkeliling sambil menghembuskan asap rokoknya. Dian nampak menyusul dari belakang.

"Sudah mau cerita?" ujar Dian sambil menatap lurus kedepan sambil memasukkan tangannya kedalam saku mantel berwarna putih gading itu. Dinginnya cuaca musim salju masih belum hilang sepenuhnya.

Alex mematikan rokoknya. Ia menginjak puntung itu dan menendangnya ke selokan. Kemudian ia menarik napas panjang. Berusaha mengatur kata. Mulutnya terasa tercekat. Ada rasa pahit dilehernya. Dadanya seperti tertimpa batu. Lalu dengan gerakan perlahan ia menunjuk jahitan dipipi kanannya.

"Ini luka pertamaku..." ujar Alex pelan.

Dian mengerutkan alis sambil memperhatikan guratan diwajah pria itu. Nampak dalam dan memanjang menuju mata. Beberapa gigi depannya juga terlihat hilang.

Alex kembali menunduk. Matanya memperhatikan puntung rokok yang ditendangnya barusan. Dian pun ikut memperhatikan. Lalu ia menggelengkan kepalanya pelan. Ia ingin menyampaikan sesuatu. Tapi sepertinya bukan waktu yang tepat. Dian pun menunggu sambil menarik nafas berat.

"Sisca menusukkan gunting saat aku bilang tidak bisa menikahinya" lanjut Alex menunduk semakin dalam.

Dian terperangah. What?! Uap putih nampak keluar dari mulutnya yang terbuka. Ia pun segera menutup mulutnya dengan mata terbelalak lebar.

"Saat aku mencari kain untuk menahan darah tiba-tiba Sisca kembali bersama ayahnya..."

Alex kemudian terdiam. Kakinya membuat putaran kecil ditanah. Tidak ada artinya. Ia hanya nampak berpikir untuk mengatur kata-kata selanjutnya. Dian menunggu dengan sabar. Tangannya sempat keluar dari saku mantel untuk memegang tangan Alex. Ingin rasanya memeluk pria itu. Memegang jemarinya hanya untuk menyakinkan Alex bahwa ia tidak sendiri.

Tapi kemudian Dian mengurungkan niatnya. Kembali ia memasukkan tangannya ke dalam saku. Jangan bego. Pikirnya mengingatkan diri sendiri. Ia pun hanya menatap Alex. Menunggu cerita selanjutnya.

Wajah Alex memang cukup mengerikan. Luka jahitan dipipi kanannya nampak jelas. Bibirnya jontor. Sementara matanya yang bengkak justru membuat auranya menjadi bengis dan angker seperti tentara pulang perang. Bayangan Dian terhadap Alex yang dulu benar-benar lenyap.

Alex nampak meringgis. Luka dimukanya terasa sangat perih. Terutama luka bekas jahitan. Giginya yang sebagian rontok terasa sangat nyeri.

"Mereka memukuliku dengan segala benda yang ada. Meja. Kursi. TV" lanjutnya pelan.

"Tentu aku melawan. Tapi aku tidak bisa melukai Sisca. Akhirnya aku dihajar habis"

"Kenapa?" ujar Dian memecah hening.

Alex nampak terpekur. Sementara Dian mengeluarkan tangan dari saku dan kemudian meniupinya agar hangat. Ia mengalihkan pandangan kearah bis mereka. Nampak masih menunggu penumpang lain yang akan naik.

Lalu Alex terlihat menggeleng. Ia berusaha mengangkat kepalanya namun kembali tertunduk. Ia nampak hendak menyalakan rokoknya kembali namun diurungkan. Ia ingat Dian sedang mengandung. Ia memasukkan kembali rokoknya kedalam saku. Kembali terpekur cukup lama.

Apa yang bisa diceritakan? Bahwa kejadian pagi itu adalah kesalahan? Bahwa Dian adalah kesalahan semata?

"Aku tidak bisa menikahinya" jawab Alex pendek.

Alex memilih untuk tidak menjelaskan apapun. Tidak ada guna menerangkan panjang lebar. Tidak ada guna menceritakan aib Sisca yang merusak dan menghancurkan barang setiap kali keinginannya tidak tercapai.

Alex juga semakin tidak tahan karena Sisca terlalu money oriented. Sementara Alex hanyalah seorang mantan anak kost yang dulu bahkan tidak sanggup membeli sebatang rokok. Anak kost yang giat belajar demi cepat lulus. Murni agar ayahnya tidak terbebani biaya kuliah. Anak kost yang selalu berhutang agar bisa makan ayam di Warung Edah. Atau berpura-pura tidur karena tidak punya uang saat diajak ke kafe.

Ia hanyalah seorang anak yang sangat menghargai nilai tiap selembar uang. Seorang anak yang berani bermimpi dan berani bangun menghadapi realita. Menjalani kenyataan yang tidak selalu sesuai dengan mimpinya. Namun terus berusaha mewujudkan mimpinya sampai titik darah penghabisan.

Bukannya tantrum.

Bis nampak hendak berjalan. Supir itu memanggil tiap penumpang yang masih diluar. Alex dan Dian segera berjalan menuju bis. Angin sepoi menerpa wajah mereka. Matahari masih nampak menyembul dibalik awan. Malam sebentar lagi menjelang. Alex menatap wajah polos Dian. Wajah yang selama ini memberikan kedamaian baginya.

Sejujurnya Alex tidak menyangka bisa jatuh hati kepada Dian. Ia adalah anak kliennya yang sedang menuntut ilmu hukum di UI. Peristiwa pemerasan yang dilakukan oknum Yakuza membuat mereka semakin dekat. Sampai akhirnya kejadian pagi itu di apartemen...

Alex mendesah pelan. Ia teringat semua kenangan indah itu. Pagi itu. Rintik hujan saat itu. Kamar itu. Alex pun segera mengusap wajahnya. Ia membuang pandangannya jauh ke depan.

Alex memang tidak menyangka segalanya menjadi rumit. Dian hamil. Padahal ia sudah memberikan janji menikahi Sisca.

Sekarang satu-satunya korban adalah Dian.

Alex menatapnya sedih. Ia pun mengulurkan tangannya untuk memegang jari Dian. Namun dengan gerakan pelan wanita cantik itu menarik jemarinya dan kembali masuk ke saku mantel. Menolak dipegang oleh pria yang menyakiti hatinya. Kemudian ia berjalan cepat sambil menunduk. Meninggalkan Alex yang berjalan dibelakangnya.

Tiba-tiba Dian ingat sesuatu. Ia pun menoleh ke belakang. Menatap Alex tajam.

"Ambil puntungnya" semprot Dian sambil menunjuk puntung rokok di ujung sana.

"Buang ditempat sampah"

"Kampungan amat sih" gerutu Dian sambil memutar badannya lalu berjalan cepat menuju bis.

Pria itu hanya melongo.

Footnote:

1. Rumah desain mikro menyerupai pipa beton yang terselip di sela bangunan adalah konsep "OPod Tube Housin" yang dikembangkan olehJames Law Cybertecture. Dibuat untuk mengatasi kondisi perumahan di Hong Kongyang memprihatinkan.