Banyak orang awam yang beranggapan bahwa peran seorang guru hanya sebatas mengajar di kelas, berdiri di hadapan murid-muridnya kemudian menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan buku yang berada dalam genggaman dengan suara tegas dan lantang. Sambil memberikan pelajaran, diam-diam mengamati gerak-gerik murid di depannya apakah sungguh-sungguh menyimak materi atau malah mengalihkan konsentrasi pada kesibukan lain, jika mendapati ada muridnya yang demikian langsung mengeluarkan senjata mulai dari tingkat yang paling rendah, berupa teguran singkat hingga tingkat paling tinggi adalah mendepak murid tersebut dari kelas selama jam pelajaran berlangsung ditambah beberapa "hadiah" lainnya. Seorang guru yang beruntung, hari-harinya akan dipenuhi murid-murid patuh, rajin, cerdas, dan berbakat yang tidak banyak memberi beban saat mengajar. Begitulah yang selama ini ada di benak mereka mengenai rutinitas kehidupan seorang guru. Padahal kenyataannya…
"Loh, Bu Diana masih belum pulang?" suara Pak Jaya yang baru saja memasuki ruang guru memecahkan lamunanku terhadap laptop di depanku.
"Hehe iya, Pak, saya lagi nyicil nyusun soal latihan buat anak-anak."
"Sudah hampir jam sembilan malam loh, Bu," ucap Pak Jaya mengingatkan.
"Iya, Pak. Ini sudah selesai kok."
Aku mengemas barang-barang penting ke dalam tas kemudian merapikan meja kerjaku dan mendapati sebuah nasi kotak dan air mineral jatah makan siangku yang tidak belum terjamah sama sekali. Kulirik Pak Jaya yang masih sibuk mebersihkan area pantri kemudian menghampiri beliau untuk memberikan jatah makan siangku padanya.
"Pak Jaya, ini ada jatah makan siang saya yang sama sekali belum saya sentuh, buat bapak saja," aku menyodorkan nasi kotak ke arah Pak Jaya yang sudah membalikkan badan. Dari ekspresinya tergambar ingin menolak pemberianku, buru-buru aku menambahkan. "Saya tadi sudah makan di luar sama guru-guru lain jadinya masih kenyang, tolong diambil ya Pak daripada mubazir ga kemakan," kemudian meyerahkan nasi kotak itu kepada Pak Jaya.
"Saya pulang dulu ya, Pak!"
"Makasih banyak ya, Bu Diana. Hati-hati di jalan, Bu!"
Tidak terasa sekarang sudah pukul sembilan malam. Suasana sekolah sudah sangat sepi, hanya ada beberapa karyawan bagian rumah tangga dan satpam yang bertugas di malam hari.
Aku mengecek ponsel dan mendapati beberapa notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Merissa, sahabatku.
Di, pulang jam berapa? 7:15 PM
Yaelah, lembur lagi? 7:49 PM
Gue yang kantoran kalah sama guru hft 7:49 PM
Pulang jam berapa sih lo, Di? Udah jam 8 juga 8:00 PM
Yaudade tar kalo lo mau pulang, gue nitip beliin roti tawar sama selai kesukaan gue di bread shop deket sekolah lo ya 8:38 PM
Tar kalo udah nyampe kabarin gue 8:39 PM
Setelah membaca pesan dari Merissa, aku mengurungkan niatku sebelumnya untuk memesan layanan taksi online. Keluar dari gerbang sekolah aku mengarahkan kakiku menuju sebuah toko roti yang berjarak kurang lebih tiga ratus meter dari sekolahku.
Meskipun sudah pukul sembilan malam, jalanan ibukota masih ramai desingan knalpot kendaraan bermotor yang setia kesana kemari, berbanding terbalik dengan keadaan trotoar yang kulalui sekarang, sepi hanya ada aku dan sesosok laki-laki bertudung jaket yang dari tadi berjalan di belakangku seolah sedang mengikutiku.
Tunggu.
Oh tidak.
Baru kusadari bahwa sosok laki-laki di belakangku memang sedang membuntutiku. Perasaanku sudah mulai sedikit panik dan khawatir. Tenanglah Diana! Jangan sampai tingkahmu membuat penguntit itu menyadari bahwa kamu sudah sadar kalau sedang dibuntuti.
Aku mengatur nafasku dan menjaga kestabilan langkah kakiku supaya tetap terlihat normal seperti sebelum-sebelumnya. Siapa dia? Apa maunya? Apa dia akan merampok? Apa dia akan berbuat lebih? Stop Diana! Lagi-lagi aku mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan melalui bibirku. Ya Tuhan, lindungilah aku.
Benar saja, sosok laki-laki itu memang berniat menguntitku, sudah tiga per empat perjalanan menuju toko roti namun dia masih terus berjalan di belakangku, tidak ada niatan untuk mendahuluiku meski ada cukup ruang baginya untuk mendahuluiku. Kurasakan tengkukku merinding terkena angin malam ditambah dengan perasaan was-was. Kurasakan derap langkah kakinya yang terdengar lebih cepat dari sebelumnya semakin mengikis jarak di antara kami. Jantungku semakin berdegup kencang, tengkukku semakin merinding, dan keringat dingin mulai menyelimuti telapak tanganku. Tanpa kusadari kini aku juga sudah mulai mempercepat langkah kakiku untuk kembali menciptakan jarak yang jauh antara kami, namun sosok tersebut juga mempercepat langkah kakinya.
Ya Tuhan lindungilah aku.
Akhirnya!
Aku melihat ada sosok laki-laki berdiri tak jauh di depanku. Aku harus menghampirinya, semoga ia bisa menolongku. Melihat adanya harapan di depan mata, aku mulai memberanikan diri untuk berlari untuk menghampiri laki-laki itu.
Hap! Kedua lenganku memeluk tubuh kokoh di hadapanku saat ini.
"Sayang, maaf ya udah bikin kamu nunggu lama," bibirku bersuara setenang mungkin. Kurasakan jantungku masih berdegup kencang, nafasku berhembus tak teratur.
Laki-laki di depanku kini menoleh ke arahku dan menatapku, tercetak jelas raut wajahnya yang terkejut bercampur kebingungan.
"Tolong aku, aku dibuntuti laki-laki di belakangku. Tolong berpura-puralah mengenalku."
"Sayang?"