CHAPTER 2

Banyak orang yang memandang bahwa kehidupan merupakan panggung sandiwara. Kita adalah aktor/aktris dari sandiwara itu sendiri sementara Tuhan adalah sutradara, yang mengarang dan mengatur alur cerita dari sandiwara ini. Tidak sedikit para penganut ideologi tersebut yang dengan sukarela menyerahkan diri untuk dijadikan seperti apa yang diinginkan oleh sang sutradara, mereka bersikap patuh dan menurut begitu saja atas peran atau takdir yang mereka terima. Terkesan datar dan sedikit membosankan bukan? Walaupun aku kurang setuju ataupun tertarik dengan ideologi seperti itu aku pun juga tidak berhak untuk menjustifikasi bahwa ideologi mereka salah, buruk, dan sebagainya, karena setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda.

Kalau kurang setuju,lalu bagaimana dengan pandangan hidupmu sendiri?

Hidup bukan sekadar panggung sandiwara biasa yang mana kita hanya berlaku seperti aktor/aktris yang hanya memiliki satu peran saja. Dalam sandiwara ini kita bisa menentukan peran dan mengarang plot sendiri sesuai dengan apa yang kita inginkan, dengan kata lain kita adalah sutradara sekaligus aktor dalam sandiwara yang kita jalani.

Lalu, bagaimana dengan Tuhan?

Tuhan adalah produser dari sandiwara yang kita jalani. Ia yang memproduksi, mengelola, mengawasi, dan menjamin seluruh hal yang berkaitan dengan pembuatan sandiwara ini. Sementara tugas kita adalah bertanggung jawab atas plot dan peran yang telah kita rencanakan.

Manusia tidak hanya memiliki satu peran dalam hidupnya. Seorang wanita paruh baya tidak hanya berperan sebagai seorang ibu untuk anak-anaknya, ia juga berperan sebagai seorang anak untuk orang tuanya, menjadi kakak ataupun adik untuk saudaranya, menjadi seorang istri untuk suaminya, dan menjadi siapapun untuk orang-orang dan hal-hal di sekitarnya. Setidaknya begitulah pandanganku terhadap hidup yang kujalani saat ini.

Bagaimana dengan peranmu?

Selama kurang lebih lima tahun terakhir ini, dalam keseharianku lima puluh persen berperan sebagai pemimpin untuk pegawai-pegawai di perusahaanku, sepuluh persen berperan sebagai rekan kerja untuk kolega perusahaan, lima belas persen sebagai sahabat untuk Edgar dan Louis, dan dua puluh lima persen terakhir menjadi seorang ayah untuk malaikat kecilku, Kevin.

"Halo? Masih lama?" tanyaku pada orang di seberang telepon.

"Sabar, Hans. Tau sendiri kan Edgar kaya gimana," balas Louis.

"Kebiasaan," aku memutuskan sambungan telepon di antara kami.

Sudah hampir setengah jam aku berdiri sendirian di depan toko roti favorit Kevin hanya untuk menunggu mobilku yang sedang dibawa oleh Louis untuk menjemput Edgar yang sedang mengurus "bisnis" di salah satu kafe. Entah kali ini ia berurusan dengan siapa lagi. Aku melirik jam tanganku yang menunjukkan angka sembilan lewat sebelas menit. Aku kembali merogoh saku celanaku, mengambil ponsel, mencari kontak telepon dengan nama "Malaikat" kemudian meneleponnya.

"Papa?" suara Kevin di seberang sana tanpa sadar membuat kedua sudut bibirku sedikit terangkat.

"Pa? Kok diem aja sih?" lanjutnya.

"Kamu kenapa belum tidur?"

"Habis ini aku tidur kok, Pa. Papa jangan malem-malem ya pulangnya."

"Iya, sayang. Good night," ucapku penuh dengan kasih sayang.

"Good night, Papa!" kemudian sambungan telepon terputus.

Hap! Tiba-tiba kurasakan ada lengan yang melingkar di tubuhku dengan sangat erat.

"Sayang, maaf ya udah bikin kamu nunggu lama," terdengar suara seorang perempuan yang kini sedang memelukku erat. Walaupun suaranya terdengar cukup tenang, namun dapat kurasakan degup jantungnya dan hembusan nafasnya yang tak teratur. Siapa perempuan ini? Apa maunya? Apa ini salah satu modus penipuan? Beragam pertanyaan muncul di benakku. Aku menoleh ke belakang, menatap tepat di kedua matanya yang berbinar, tercetak jelas raut wajahnya yang kelelahan dan ketakutan.

"Tolong aku, aku dibuntuti laki-laki di belakangku. Tolong berpura-puralah mengenalku," bibirnya sedikit bergetar ketika mengucapkannya. Setelah mendengarkan ucapannya, aku mengedarkan pandanganku secara perlahan untuk mengetahui keadaan di balik perempuan itu. Benar saja, tak jauh dari tempat kami berdiri ada sesosok laki-laki bertudung jaket hitam yang sekarang terlihat sedang berdiri menghadap ke arah jalanan sambil memainkan ponselnya. Saat pandanganku tertuju padanya, tanpa sengaja ia menoleh ke arahku, kedua mata kami saling bertatapan untuk beberapa mili detik sebelum akhirnya ia buru-buru mengalihkan pandangan menuju ponselnya kembali. Perempuan ini tidak berbohong bahwa ia memang sedang dikuntit, aku harus menolongnya.

"Sayang?" aku mulai membuka suara. "Kenapa kamu sampai keringetan begini sih? Kamu gaperlu buru-buru pun akan tetep nungguin kamu," lanjutku dengan gaya bicara dan ekspresi senatural mungkin. Sekilas aku merasakan bahwa penguntit itu menoleh ke arah kami berdua lagi untuk beberapa saat. Sementara perempuan di depanku kini sudah mulai melonggarkan pelukannya terhadapku.

"Aku takut bikin kamu khawatir soalnya," tuturnya.

"Aku memang khawatir karena kamu kali ini telat dateng, tapi aku lebih khawatir setelah ngeliat keadaan kamu yang kaya gini."

"Maafin aku ya," ia sedikit menundukkan badannya.

Laki-laki itu masih belum berpindah juga dari tempatnya, entah apa yang sebenarnya ia inginkan dari perempuan ini atau ada hubungan apa antara mereka berdua.

"Sayang, aku laper. Ayo makan dulu yuk," perempuan di hadapanku kini menunjuk ke arah restoran masakan Padang sebelah toko roti. Aku menganggukkan kepalaku, mengiyakan permintaannya. Ia menarik lengan kiriku yang bebas dan membawa kami memasuki restoran tersebut.

Kami berdua duduk di salah satu bangku yang berada di sudut restoran ini. Karena suasana restoran yang sudah lumayang lenggang, pramusaji dengan sigap menghampiri kami.

"Selamat malam. Tuan dan Nyonya mau pesan apa?" tanya pramusaji itu sopan.

"Selamat malam. Pesan dua porsi nasi Padang, satu porsi ayam goreng rempah, segelas teh manis, dan..."

"Kamu mau minum apa?" tanyanya. Kini pandangannya beralih padaku.

"Ah, aku jus jambu."

"Kita mau makan nasi Padang kamu malah mau pesen jus jambu?" ia merasa sedikit bingung dan heran dengan pesananku. Kami saling pandang untuk beberapa saat dengan raut mukaku yang seolah berkata, 'Apa ada masalah?'

Dia buru-buru memutus kontak mata antara kami dan kembali fokus pada pramusaji, "Ah iya sama segelas jus jambu kalau gitu," nada bicaranya terdengar agak gugup.

"Baik. Apa masih ada pesanan lain?" tanya pramusaji itu lagi.

"Ah, ga ada. Cukup itu aja kok."

"Baik. Jadi pesanan Anda: dua porsi nasi Padang, satu porsi ayam goreng rempah, segelas teh manis, dan segelas jus jambu. Silahkan menunggu, saya permisi dulu," akhirnya pramusaji itu meninggalkan kami berdua.

"Terima kasih," aku menyaksikan perempuan ini tersenyum dengan... manis? Apa yang sedang kamu pikirkan, Hans?!

Aku semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan perempuan di hadapanku ini. Walaupun aku sudah berniat untuk menolongnya, tapi perasaan was-was masih sedikit kurasakan, mempertanyakan apakah perempuan ini adalah perempuan baik-baik atau malah memiliki motif lain yang sama jahatnya dengan laki-laki yang tadi menguntitnya?