CHAPTER 3

Seorang laki-laki berjaket hitam bertudung dengan masker yang menutupi separuh wajahnya memasuki sebuah restoran masakan Padang yang sedang sepi pelanggan. Langkahnya sejenak terhenti di depan pintu masuk, mengedarkan pandangannya menyapu tiap sisi dari dalam restoran tersebut. Nihil. "Mangsa" yang sedari tadi berada dalam pengawasannya kini telah menghilang entah kemana.

"Permisi, Tuan. Apa ada yang bisa saya bantu?" salah seorang pramusaji menghampirinya dengan sopan meski ada sedikit perasaan was-was akibat penampilan dari pelanggannya yang terlihat sedikit mencurigakan.

"Apa saya boleh menumpang untuk ke toilet?"

"Boleh, tapi maaf sebelumnya saya minta supaya Anda melepaskan tudung jaket dan masker Anda demi keamanan," tutur pramusaji itu dengan tenang.

Demi menghindari kesan yang mencurigakan, akhirnya laki-laki tersebut hanya melepas tudung jaketnya saja dan berdalih, "Maaf saya sedang sakit dan alergi, jadi tidak bisa melepas masker ini. Apa masih tidak diizinkan?" ditambah dengan akting layaknya orang yang sedang kebelet. Dengan aktingnya yang cukup lihai, akhirnya si pramusaji meloloskan permintaan laki-laki tersebut.

Sementara itu, sepasang 'kekasih dadakan' di sudut lain dari restoran tersebut diam-diam mengawasi gerak-gerik si penguntit berkedok pelanggan kebelet itu dari balik tanaman-tanaman hias yang dedaunannya menjulang.

"Apa kamu lagi berhutang sama rentenir?" celetuk Hans.

"Enak aja! Enggak lah!" jawab Diana dengan ketus.

Ada apa dengan perempuan ini? Apa tidak bisa menjawab dengan nada baik-baik? Padahal Hans pun menanyainya dengan sopan. Baru kali ini Hans menemui orang perempuan yang sudah ditolong tetapi malah bersikap ketus padanya. Kini Hans masih menatap perempuan di sampingnya yang sama sekali tak menghiraukannya karena masih begitu fokus mengawasi si penguntit yang baru saja keluar meninggalkan restoran tersebut.

"Hft, akhirnya pergi juga," akhirnya kini Diana dapat bernafas dengan lega. Ia membalikkan tubuhnya sehingga membuatnya kembali berhadapan dengan Hans, pacar dadakannya. Hans masih setia memandangi perempuan yang duduk di hadapannya sambil menyilangkan kedua lengannya di depan dada, memancarkan ekspresi datarnya yang khas, menunggu penjelasan.

Suasana di sini terasa lebih dingin dan canggung. "Kenapa laki-laki ini sekarang berubah jadi dingin sih?"

Diana sedikit menundukkan kepalanya, mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan melalui bibirnya, bersiap untuk memberikan penjelasan dan mengucapkan terima kasih pada laki-laki yang sudah berbaik hati mau menolongnya. aku Saat kembali mendongakkan wajahnya entah kenapa serangkaian kalimat yang sudah ia persiapkan mendadak pudar dari ingatannya.

Mereka saling berpandangan lagi. Untuk pertama kalinya Diana mulai menyadari betapa tampannya seorang Hans Julio. "Cakep banget, Ya Tuhan!" batin Diana menjerit.

"Perempuan ini kenapa lagi sih?"

"Ehm. Jadi?" Hans memecah suasana canggung di antara mereka berdua.

"Aah... M-maaf, aku masih sedikit cemas sama kejadian tadi," Diana berbohong dan sedikit tergagap saat menjawab. "Malu-maluin, bodoh!"

"Ayo kita mulai dari awal. Kenalkan, nama saya Diana Severin, saya guru di SMP Citra Gemilang. Hari ini saya lembur nyusun soal latihan buat murid-murid saya makanya pulang selarut ini. Rencananya saya mau beli roti tawar sama selai di toko roti sebelah, tapi pas perjalanan ke sini saya ngerasa kaya ada yang ngikutin, ternyata memang bener. Untungnya ada Anda yang tadi berdiri di depan toko roti dan mau menolong saya buat play along. Terima kasih, ya. Maaf sudah sangat merepotkan Anda," jelasnya dengan lancar.

Mendengar penjelasan Diana yang terkesan lebih formal, Hans sedikit tertawa dalam hatinya. Pikirnya, Diana cukup lucu. Belum ada setengah jam yang lalu perempuan itu bersikap sangat santai padanya, bahkan hingga berani menimpali Hans dengan kalimat ketus, namun kini membalikkan keadaan dengan rangkaian kata-kata semi-formal yang meluncur dengan lancar dari bibirnya. Benar-benar pandai berakting. Tanpa sadar Hans sedikit memunculkan smirk tak kentara. Karena merasa diabaikan Diana kembali menambahkan, "M-maaf, karena tadi sikap saya sama Anda begitu lancang." Tanpa sadar Diana sedikit menggigit bibirnya, kebiasaan yang muncul ketika ia mulai merasa gugup.

"Kenapa kamu gugup gitu sih, sayang?" akhirnya Hans membuka suara. Terdengar jelas penekanan pada kata "kamu" dan "sayang" yang disengaja. Mendengar kalimat tersebut Diana mencoba tertawa tetapi hasilnya terdengar hambar. "Apa dia sedang menyindirku?"

"Ahaha m-maaf," ia menenggak teh manisnya dengan buru-buru sampai tandas karena sekarang ia merasa semakin gugup. Akibat kebodohanya itu ia tesedak, dan membuatnya terlihat semakin bodoh. Melihat pemandangan yang cukup konyol di hadapannya, Hans dengan sigap merogoh saku jasnya untuk mengambil selembar saputangan yang terlipat rapi lalu mengarahkannya tepat di bibir Diana berniat untuk membantu membersihkan bibirnya. Bertepatan dengan momen tersebut, tiba-tiba ada Edgar dan Louis yang berjalan menghampiri mereka berdua.

"Hans?!" seru Edgar sambil menunjukkan ekspresi terkejut yang terang-terangan, sementara Louis berusaha menutupi keterkejutannya dengan berpura-pura merapikan rambutnya yang tidak berantakan.

Hans dan Diana yang mendengar seruan itu berbarengan menoleh ke sumber suara. Mereka berdua mematung. Diana masih dengan ekspresinya yang tampak sedikit konyol dan Hans masih dengan ekspresinya yang datar.

"I-ini saputangan. Pakai saputangan ini aja," Hans memberikan saputangan dengan agak gugup yang kemudian diraih oleh Diana tak kalah gugupnya. "Makasih," sahut Diana cepat.

"Bukannya tadi ada yang nelpon lo, karena takut mobilnya dibawa kabur?" Edgar bertanya pada Louis dengan nada dan ekspresi yang menyindir. "Giliran uda dibalikin ke tempat semula, yang punya malah ngilang. Berkali-kali ditelepon selama hampir lima belas menit tapi enggak ada yang diangkat," lanjutnya. Edgar menarik kursi di sebelah Diana dan mengambil posisi untuk mendudukinya, menatap Hans dan Diana secara bergantian. Sementara itu, Louis dengan tenang menduduki kursi di sebelah Hans.

Suasana macam apa ini? Apa mereka berdua temannya? Diana mulai merasa tidak nyaman duduk di antara laki-laki ini. Saat ia sudah bersiap untuk pamit dan meninggalkan mereka. Hans yang paham dengan sikap Diana saat ini, ia menghadang niat Diana untuk meninggalkan tempat ini dengan mengatakan, "Nanti biar kuantar pulang."

"Berhentilah membuat nona ini tidak nyaman, Pak Edgar," akhirnya Louis angkat bicara. "Maafin kami yang tiba-tiba dateng dan bikin kamu merasa enggak nyaman," tuturnya lembut.

"Ahaha ng-ggak kok. Ini enggak seperti yang Anda pikirkan," Diana menatap Edgar dan Louis secara bergantian. Buru-buru bibirnya memutar kembali serangkaian kalimat penjelasan yang tadi sudah ia sampaikan kepada Hans. Hans menilik jam tangannya. Sudah hampir pukul sepuluh malam rupanya. Ia memanggil pramusaji supaya membawakan tagihan padanya.

"Kenapa dia malah diem aja sih? Bukannya bantuin jelasin malah tenang banget sikapnya. Hft," keluh Diana dalam hati.

Tepat setelah dia selesai memberikan penjelasan pada Louis dan Edgar, pramusaji datang membawakan struk tagihan atas makanan yang sudah dipesan. Melihat Hans yang sedang membuka dompetnya, Diana buru-buru berkata pada pramusaji itu, "Bayar pakai OVO ya."

"Oh, baik Nyonya," pramusaji itu berbalik meninggalkan mereka untuk mengambil mesin pembayaran non-tunai.

"Hey, biar Tuan besar Hans aja yang bayar billnya," celetuk Edgar.

"Jangan! Biar aku yang bayar sebagai tanda terima kasih buat Pak Hans," timpal Diana sambil tersenyum. Kali ini dia sama sekali tidak merasa gugup seperti tadi. Menurutnya, dengan mentraktir makan Hans sudah cukup setimpal atas pertolongan Hans padanya. Hans tidak banyak bicara, ia menghargai niat baik dari Diana dengan memilih membiarkan Diana supaya membayar tagihan. Selesai melakukan transaksi dengan pramusaji, Diana mengecek ponsel yang layarnya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga belas menit. Dia harus segera memesan layanan taksi online sebelum jam terus berputar semakin larut.

"Bukannya aku tadi udah bilang biar kamu aku antar pulang?"

"Ah enggak usah, aku enggak mau bikin repot lagi."

"Mendingan kamu pulang bareng kami aja lebih aman. Takutnya penguntit itu masih ada di sekitar sini, pas tau kamu keluar sendirian nanti malah ngikutin kamu lagi," Louis mendukung Hans.

"Lebih baik siaga daripada nanti malah kenapa-kenapa lagi," Edgar ikut menambahkan.

Mendengar pernyataan-pernyataan tersebut membuat Diana menjadi tertegun. Beberapa saat kemudian akhirnya ia memutuskan supaya diantar pulang oleh ketiga laki-laki tampan tersebut. Mereka berempat satu per satu meninggalkan bangku beranjak keluar dari restoran. Edgar dan Louis berjalan berdampingan mendahului Hans dan Diana di belakang mereka. Baru saja keluar dari restoran, Hans kemudian teringat akan perkataan Diana sebelumnya yang berniat membeli roti tawar dan selai di toko roti sebelah. Tanpa basa-basi Hans meninggalkan mereka bertiga menuju toko roti yang untungnya masih belum tutup.

"Hans? Mau ngapain apalagi lo?" tanya Edgar.

"Beli kue," balas Hans singkat.

"Ohiya! Roti sama selai buat Merissa!" tiba-tiba Diana kembali teringat akan pesanan sahabatnya itu dan buru-buru mengekor di belakang Hans memasuki toko roti. "Maaf, tunggu sebentar ya, aku juga mau beli roti dulu," Diana meminta izin pada Edgar dan Louis. Kini hanya tersisa Louis yang berdiri dengan menyembunyikan kedua tangannya ke dalam saku celana dan Edgar yang bersandar di mobil Hans dengan kedua lengannya yang terlipat di depan dada.

"Menurut lo kenapa Hans masuk kesana lagi? Bukannya tas karton yang dia bawa isinya kue buat Kevin?" Edgar bertanya pada Louis.

"Diana," jawab Louis sambil tersenyum tipis.

"Hah?"

"Bukannya tadi pas Diana cerita dia bilang kalo sebelumnya mau beli roti dulu?"

"Hahaha bener juga! Baru inget gue!" kemudian mereka berdua saling bertukar pandang dan tersenyum penuh arti.