CHAPTER 4

Gara-gara penguntit itu aku hampir saja melupakan pesanan roti tawar dan selai kacang kesukaan Merissa. Untungnya ada Hans yang mengingatkanku secara tidak langsung. Ketika aku hendak membawa nampan belanjaanku ke kasir Hans masih berdiri di situ sejak pertama kali aku memasuki toko roti ini. Sebenarnya dia sedang apa sih? Saat aku menghampirinya, tak lama kemudian muncul pelayan toko dari balik dapur membawa sebuah kue tart cokelat berbentuk bundar dengan hiasan sederhana namun tampak elegan. Dengan cekatan pelayan toko mengemas kue tart tersebut ke dalam boks berwarna hitam dengan pita berwarna emas yang tidak kalah elegan. Indah sekali. Ingin sekali menanyakan tentang kue tersebut padanya tetapi ia masih berpaku pada layar ponsel di genggamannya. Hey! Buat apa kamu kepo? Sudah jelas, pasti untuk seseorang yang spesial lah! Ah, kenapa sekarang aku merasa sedikit menyesal?

"Belanjaannya ini saja, Non?" kini pelayan itu beralih tugas untuk melayaniku.

"Iya ini saja," aku merogoh isi tasku untuk mencari dompet.

"Totalnya empat ratus enam puluh lima ribu,"

"Hah?!" spontan aku mendongakkan kepalaku menatap nanar pelayan toko roti di depanku. Bagaimana bisa harga sebungkus roti tawar ditambah dengan setoples selai kacang berbobot lima ratus gram bisa sampai menembus langit seperti itu? "Salah hitung ini mbak, mana mungkin bisa sampai segitu harganya," protesku.

"Mungkin aja," Hans sekilas menoleh ke arahku sebelum menyerahkan kartu kreditnya kepada si pelayan. "Belanjaanmu digabung sama kue tart pesananku," imbuhnya menjelaskan. Bibirku sedikit menganga setelah mendengar penjelasannya yang singkat, mataku terus mengikuti setiap pergerakan tubuhnya, namun tubuhku hanya diam berdiri saja. Unpredictable banget orang ini!

"Apa kamu mau nginep di sini?" aku mulai tersadar, kini ia sudah pindah posisi di dekat pintu masuk toko. Aku hanya menanggapinya dengan tawa hambar yang pelan kemudian menggerakkan tubuhku supaya mengikutinya. "Ini," ia menyerahkan kantong kertas belanjaan milikku kepadaku sebelum kami keluar dari sini. Kemudian ia membukakan pintu dan mempersilakan aku keluar lebih dulu. Aahhh kenapa rasanya seperti ada yang aneh? Pipiku sedikit memanas karena berusaha menahan senyum yang memberontak ingin keluar untuk menghiasi wajahku. Untuk menutupinya, aku menyembunyikan wajahku di balik kantong kertas yang berada dalam dekapanku untuk beberapa saat. Aku merasakan dirinya sekarang menyamai langkahku sehingga kami berjalan berdampingan. "Makasih, ya udah bayarin belanjaanku," aku menolehkan kepalaku ke arahnya dan sedikit mendongakkan wajahku supaya dapat memandang wajahnya. "Heem," ia sekilas mengangguk ke arahku menampilkan ekspresi datarnya sebelum akhirnya kembali berfokus pada jalanan di depan. Orang ini?!

"Tapi kenapa kamu bayarin pun-…"

"Mana kuncinya?" dengan cepat namun tetap tenang ia mendahuluiku menghampiri Edgar dan Louise. Orang ini?! Tenang Di, sabar Di, ini hanya akan berlangsung sampai malam ini saja. Aku terus-menerus menguatkan hatiku.

Louis melempar kunci pada Hans yang langsung ditangkap Hans dengan tangan kanannya, kemudian balik menyerahkan tas karton berisi kue pada Louise. Saat aku hendak membuka pintu kanan belakang kemudi tiba-tiba Hans mencegahku, "Kamu duduk di depan, biar mereka yang duduk di belakang."

"Iya kamu duduk depan aja, aku sama Louis turun sebelum kamu. Kalo kita berdua turun kan Hans enggak kaya jadi supir pribadi" Edgar menambahkan.

"Hmmm oke."

Ini adalah pengalaman pertamaku satu mobil bersama dengan para lelaki yang belum ada tiga jam ini saling mengenal. Ya, setidaknya mengenal nama satu sama lain. Untuk selebihnya aku masih belum berani berinteraksi lebih dalam lagi. Siapa yang tahu setelah ini apakah kami masih bisa saling bertemu? Ahh iya, bagaimana jadinya kalau semisal selepas malam ini kami kembali menjadi orang asing yang tidak pernah bertemu? Mungkin aku akan selalu mengenang malam ini, dan… Merindukan kekasih 'dadakan' dua jamku. Ahh konyol banget sih kamu, Di!

Suasana di dalam mobil begitu hening, semua bungkam. Aku sedari tadi hanya memandangi keadaan jalan di depan dan samping kiriku secara bergantian. Sementara Hans begitu fokus dengan jalanan di depannya, di jok belakang ada Louis fokus menjaga tas karton berisi kue tart spesial dengan hati-hati, dan Edgar yang fokus pada layar ponselnya, namun sesekali aku mendapati dirinya memandang jalanan sama sepertiku.

"Lo kenapa beli cake lagi, Hans? Bukannya pas lo masih nunggu gue sama Louis uda ngambil pesenan lo ya?" Edgar memecah keheningan.

"Gue pesen dua cake."

"Buat apaan?"

"Satu buat nanti, satu lagi buat besok."

"Tumben banget dadakan begini ngerayainnya?"

"Berisik banget, lo. Gue lagi nyetir" balas Hans cuek. Louis hanya berdeham kecil mencoba untuk tidak tertawa atas keributan kecil antara Hans dan Edgar. Sementara aku, dari tadi bertanya-tanya tentang siapa orang di balik dua kue tart spesial itu. Apa itu pacarnya? Atau bahkan tunangannya? Aku kembali mengedarkan pandangan ke jalanan melalui kaca mobil, berharap bisa segera sampai di apartemen. Kini mobil sudah memasuki area apartemen yang juga merupakan salah satu kawasan elite di Jakarta. Saat sampai di lobi, mobil berhenti dan Edgar sudah bersiap-siap untuk keluar. Sebelum sepenuhnya turun dari mobil ia kembali mengoceh, "Gue titip salam ya buat malaikat. Salam aja, wishesnya besok. By the way, Diana, moga kita bisa ketemu lagi. Bye!"

"Ahaha iya, semoga aja," jawabku tulus. Ya, semoga saja ya, pintaku dalam hati.

Edgar sudah memasuki apartemen dan mobil sudah kembali berjalan keluar meninggalkan kawasan apartemen ini. Suasana kembali hening selepas kepergian Edgar. Kini hanya ada tiga manusia yang menurutku sama-sama bisa menikmati keheningan ini. Namun, tidak begitu lama Louis kembali buka suara, "Tar pas gue turun cakenya gapapa ditinggal sendirian di jok belakang?"

Aku memandang kue tart, Louis, dan Hans secara bergantian. Hans tampak sedang mempertimbangkan nasib kue tart tersebut, melihat hal tersebut entah kenapa tanpa adanya aba-aba bibirku langsung begitu saja membuka suara, "Biar aku aja, Uis. Nanti biar aku pangku." Setelah aku memberikan penawaran mereka berdua menatapku dengan tatapan yang menyiratkan sedikit keraguan. "Enggak apa-apa kok. Aku bisa jagain. Tenang aja," tambahku.

"Oh, oke deh kalo gitu," Louis menyetujuinya. Bagaimana dengan Hans? Tentu saja masih dengan sikap diamnya yang acuh.

Beberapa saat kemudian mobil kembali memasuki kawasan perumahan baru yang ada di daerah ini dan memasuki gerbang salah satu klaster terdepan. Hanya perlu melewati dua blok rumah, kini mobil Hans sudah berhenti di depan rumah Louise. Rumah berukuran sedang namun memiliki halaman yang cukup luas. Terlihat ada sebuah mobil sedan berawarna hitam yang diparkir di carport. Sesaat setelah Louis turun dari mobil dan hendak menyerahkan tas karton berisi kue tart padaku, ada seorang gadis cantik yang keluar dari pintu rumahnya dan berjalan menuju tempat kami. Dari jarak cukup jauh pun aku dapat menilai bahwa gadis itu cantik sekali, wajahnya pun terlihat serasi apabila disandingkan dengan Louis. Apa gadis itu pacarnya? Terlihat dari penampilannya sepertinya usianya seumuran dengan Louis.

"Dia, adikku. Kembaranku," ucap Louis seolah mendengar pertanyaan dalam hatiku. Ia membantuku meletakkan tas karton di pangkuanku dengan hati-hati kemudian sekilas tersenyum kepadaku.

"Ohh gitu. Pantas lumayan mirip sama kamu," aku memujinya.

"Yaiyalah. Sama-sama cakepnya, kan?" kini gadis itu sudah sampai di tempat kami dan tersenyum kepadaku. "Heem," aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum menyetujui perkataanya. Sementara Hans yang ada di sampingku malah berdecak ketika mendengarkan percakapan singkat di antara kami. Apa-apaan orang ini?

"Baru balik ke Jakarta udah memperbudak gue buat jadi supir kembaran lo. Nyusahin aja," celetuk Hans.

"Kurang sih. Sebenernya gue juga pengen minta lo biar sekalian jadi pembantu di sini."

"Cih!" Hans kembali berdecih.

"Udahlah, mending lo cepet anterin Diana pulang," kali ini Louis menengahi mereka berdua.

"Awas tubuhmu," Louis memperingatiku. Aku mengatur posisi dudukku sebaik mungkin, kemudian Louis menutup pintu mobil.

"Dah sana. Hati-hati!"

Tanpa basa-basi lagi Hans mulai memutar kemudinya berbalik meninggalkan rumah Louise dan kawasan perumahan ini. Mobil kembali hening. Kini sama sekali tidak ada percakapan atau basa-basi yang terjadi di antara kami sampai akhirnya tiba di lobi apartemen tempat aku tinggal.

Oke, sekarang aku bingung harus bagaiamana. Di pangkuanku ada kue tart sementara di kakiku ada belanjaan yang menghalangi. Belum sempat aku meminta tolong pada Hans, laki-laki itu sudah turun dari mobil dan membukakan pintu untukku. Ia membantuku menyingkirkan kantong kertas belanjaanku dan mengangkat tas karton miiknya dari pangkuanku supaya aku dapat keluar. Setelah aku turun, masih dalam keadaan diam ia mengeluarkan dua boks dari dalam tas karton tersebut dan menatanya di jok tempatku duduk dengan hati-hati.

"Makasih ya udah bantu jagain kuenya."

"Enggak apa-apa kok. Aku yang seharusnya bilang maaf sama makasih karena udah banyak ngerepotin kamu," tuturku tulus. "Aku bersyukur karena hari ini bisa ketemu kamu, Louis, sama Edgar," lanjutku. Aku tersenyum padanya.

"Masuklah! Lain kali lebih berhati-hati lagi. Aku pulang dulu," balasnya sambil tersenyum. Tersenyum?! Benar saja, kali ini ia tersenyum padaku. Ya Tuhan, manis banget! Batinku kembali menjerit melihat pemandangan seperti ini. Tanpa basa-basi lagi kini ia sudah kembali memasuki mobilnya dan meninggalkanku sendiri berdiri di sini. "Hati-hati!," gumamku lirih.

Selama pertemuan kami sejak hampir dua jam yang lalu ia selalu diam dan tampak begitu dingin padaku, hanya sesekali ia bersikap lebih hangat dan ramah, namun kenapa ketika memasuki saat-saat terakhir seperti tadi ia baru menampilkan senyumannya yang membuatnya dua kali lebih tampan? Senyuman manis tanpa paksaan yang kehangatan dan ketulusannya pun dapat kurasakan sampai saat ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Ya Tuhan, apakah takdirku dengan Hans hanya berakhir sampai di sini saja?