"Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called 'present'," perkataan dari Master Oogway di film Kung Fu Panda yang pernah kutonton bersama dengan Kevin masih terpaku jelas di ingatanku. Hidup memang menyimpan banyak misteri sehingga di setiap langkah yang kita tempuh sering kali terasa seperti sebuah kejutan. Ada kejutan yang mendatangkan suka, ada pula kejutan yang ternyata mendatangkan duka. Begitu pula dengan sandiwara kehidupan yang kita jalani saat ini. Sebagai seorang aktor yang juga merangkap sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, terkadang atau bahkan sering kali alur cerita yang telah kita rencanakan untuk masa depan harus direvisi kembali atau malah mengubahnya secara total.
Tidak semua yang telah kita persiapkan bisa langsung seratus persen disetujui oleh sang produser, karena tidak semua yang kita inginkan pun sejalan dengan apa yang Ia pikirkan. Ada cukup banyak misteri yang Ia rahasiakan dalam diam yang membuat kita hanya mampu memendam tanya. Tak ada seorang pun yang sepenuhnya mengetahui pemikiranNya dengan pasti, yang dapat dilakukan hanyalah sekadar memprediksi dan mempersiapkan diri. Ada beragam jenis kejutan, entah itu kejadian, benda mati, ataupun eksistensi makhluk hidup lain yang semuanya memiliki esensi tersendiri bagi sandiwara yang kita jalani.
Hari ini aku menerima kejutan itu. Tiba-tiba bertemu dengan seorang perempuan muda dalam kejadian tak terduga yang membuat kami menjadi pasangan kekasih selama kurang lebih dua jam. Setelah kami melewati percakapan singkat, tidak, lebih tepatnya ia yang lebih banyak berbicara daripada aku, hal kebetulan lainnya yang kuketahui adalah bahwa ia adalah seorang guru tingkat SMP di Sekolah Citra Gemilang, yang mana Kevin juga sedang menempuh pendidikan tingkat SD di sana. Selain itu, juga merupakan sekolah yang dalam waktu dekat ini akan meneken kontrak kerjasama dengan Techsense Edu Corporation dalam rangka pengembangan teknologi pendidikan. Benar-benar kebetulan beruntun yang tak terduga, dan entah kenapa aku cukup merasa bahagia dengan kejutan dari sang produser kali ini.
Setelah memarkir mobil, aku memasukkan kembali kedua boks berisi kue tart ulang tahun untuk Kevin ke tas karton dengan hati-hati kemudian berjalan memasuki rumahku yang langsung disambut hangat oleh Bibi Yani.
Bibi Yani adalah asisten rumah tangga paruh waktu yang bertugas untuk menemani Kevin ketika aku masih sibuk dengan urusan perusahaan. Beliau adalah sosok wanita berusia enam puluh tahun yang selama tujuh tahun terakhir ini telah setia bekerja untuk membantuku dalam merawat Kevin. Peran atas kehadirannya dalam hidup kami berdua lebih dari sekadar asisten rumah tangga, aku dan Kevin sudah sepakat untuk menganggap beliau sebagai keluarga kami. Bibi Yani adalah wanita lemah-lembut dan bijaksana yang mampu mengisi peran dan posisi kosong sebagai seorang nenek yang memberikan kenyamanan bagi Kevin. Oleh karena itu aku meminta Kevin supaya memanggil beliau dengan sebutan nenek. Walaupun sudah bekerja bertahun-tahun lamanya, Bibi Yani tidak pernah bersedia untuk tinggal di rumah kami kecuali saat aku sedang ada urusan perusahaan yang membuatku terpaksa meninggalkan Kevin dalam waktu yang cukup lama, selebihnya Bibi Yani memilih untuk pulang ke rumahnya yang berada di kawasan perkampungan di luar kawasan perumahanku.
"Kevin udah hampir dua jam tidur, Hans," Bibi Yani melapor padaku. Melihat barang bawaanku, Bibi Yani langsung dengan sigap mengambil alih tas karton pada genggamanku, "Sini biar Bibi bantu."
"Makasih, Bi."
"Kok beli dua kue, Hans?"
"Besok aku berencana mau buat perayaan ulang tahun kecil-kecilan di kelas Kevin, Bi."
"Oh yaudah. Ini kuenya yang mana yang buat acara besok biar aku simpan di kulkas."
"Yang cokelat bundar yang disimpan di kulkas ya, Bi."
"Oke."
Sementara Bibi Yani sedang mengurus kedua kue tart tersebut di dapur, aku menghampiri wastafel di kamar mandi untuk mencuci tanganku terlebih dahulu sebelum menghampiri kamar Kevin.
Kevin sudah tertidur pulas di kamarnya. Dengan perlahan aku memposisikan diri untuk duduk di ranjangnya. Aku melonggarkan dasi yang sudah seharian mengikat leherku dan membuka dua kancing teratas kemejaku kemudian menyandarkan badanku di kepala ranjang. Kevin tertidur lelap dengan posisi memunggungiku sambil memeluk gulingnya sehingga selimut yang melapisinya sedikit tersingkap. Aku membenarkan selimutnya yang tersingkap dengan pelan-pelan karena takut membangunkannya. Selama hampir sepuluh menit aku di sini hanya untuk memandangi malaikat kecilku yang tidak terasa sebentar lagi akan menginjak usia ke tujuh tahun. Walaupun sepuluh menit tidak melakukan apapun, aku merasa nyaman dengan posisi seperti ini, karena aku sudah terbiasa dengan rutinitas seperti ini selama bertahun-tahun lamanya.
Pintu kamar sedikit terbuka, menampilkan bayangan dari Bibi Yani dari luar kamar. Dengan pelan-pelan beliau membuka pintu untuk menghindari suara gaduh.
"Kamu memang Papa yang hebat buat Kevin, Hans," Bibi Yani memujiku. ���Enggak kerasa kamu udah ngerawat Kevin selama tujuh tahun sendirian. Kamu laki-laki yang kuat, Hans."
"Kalau enggak ada Bibi aku juga enggak yakin bisa jadi sehebat ini," ucapku tulus.
"Jelas dong. Itu karena aku tulus merawat kalian berdua," beliau sedikit bercanda. "Oh iya, kuenya yang cokelat udah kusimpan di kulkas. Kue tart yang bola basket udah aku keluarin dari boks, aku taruh di nampan. Lilin, korek api, sama sendok udah aku siapin di sebelahnya. Aman, enggak akan ada semut yang merubung," beliau menjelaskan.
"Makasih banyak ya, Bi. Maaf hari ini aku tiba-tiba molor dari jadwal yang seharusnya, jadinya Bibi harus pulang selarut ini."
"Enggak apa-apa, yang penting akhirnya kamu sampai rumah juga."
"Aku udah mesenin Bibi taksi online buat nganter Bibi pulang, harusnya lima menit lagi sampai di depan rumah," aku sudah bersiap-siap meninggalkan ranjang Kevin untuk mengantar Bibi Yani sampai gerbang rumah.
"Pelan-pelan," Bibi Yani memperingatkan. Kemudian kami satu per satu meninggalkan kamar Kevin dengan tenang berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun.
"Pak, hati-hati di jalan ya!" ucapku pada supir taksi online yang akan mengantar Bibi Yani.
"Siap,Pak!"
Seiring dengan kepergian mobil taksi online yang masih belum terlalu jauh, aku terus melambaikan tanganku sampai akhirnya mobil sudah tidak terlihat setelah berbelok di persimpangan jalan.
Masih ada satu setengah jam dari sekarang sebelum pukul dua belas tepat tengah malam. Aku memanfaatkan waktu yang tersisa untuk membasuh diriku di bawah guyuran shower kamar mandi, walaupun air yang keluar dari shower terasa cukup dingin, namun mampu memberikan suasana rileks pada tubuhku.
Selesai mandi, aku mengecek keadaan dapur. Di dalam lemari es terdapat beberapa wadah berisi lauk-pauk masakan Bibi Yani yang dipersiapkan untuk sarapan kami berdua esok hari. Ada sayur sop, keripik bayam, dan perkedel yang esok tinggal dipanaskan terlebih dahulu di microwave sebelum disantap. Melihat bulatan-bulatan perkedel entah kenapa aku kembali teringat akan nasi Padang yang tadi aku makan bersama Diana.
Sedang apa perempuan itu sekarang? Tiba-tiba bayangan akan ekspresi Diana yang ketakutan akibat dibuntuti oleh penguntit tergambar di benakku. Apakah sekarang dia sudah baik-baik saja? Aku takut kejadian tadi akan berpotensi meninggalkan trauma padanya. Kini aku memikirkannya. Tunggu. Apa yang kamu pikirkan, Hans? Kenapa kamu jadi lebay begini? Apa hubunganmu dengan Diana?
"Oh, shit!" aku mengumpat dan buru-buru menormalkan kembali pikiranku yang sudah sedikit mulai kacau gara-gara Diana. Aku memasukkan kembali wadah-wadah berisi lauk ke dalam lemari es dan menatanya seperti semula. Aku menyingkirkan tudung saji di meja dapur yang menutupi kue tart milik Kevin, kemudian mulai menata lilin di atasnya dan memasukkan korek api yang tergeletak ke dalam saku celanaku.
Dengan hati-hati aku membawa nampan yang memuat kue tart berjalan menaiki tangga menuju ke Kamar Kevin. Sudah pukul sebelas lebih lima puluh lima menit, sebentar lagi. Sampai di depan kamar Kevin aku mengeluarkan korek api dari dalam saku untuk kemudian menyalakan lilin berbentuk angka tujuh di atasnya. Pukul sebelas lebih lima puluh tujuh menit. Aku membuka pintu kamar, menyalakan lampu kamar dan mulai menyanyikan lagu 'Happy Birthday to You' yang langsung membuat Kevin terbangun dari tidurnya.
"Papa!" terdengar suara pekikan kecil Kevin yang terdengar begitu antusias dan gembira.
Aku mengabaikannya dengan tetap terus bernyanyi semakin antusias, "Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Kevinku!"
"Thankyou, Papa!" Kevin yang sudah berdiri di ranjangnya tiba-tiba menarik leherku ke dalam pelukan lengannya yang kecil.
"Eh.. eh!" akibat serangan tiba-tiba ini tubuhku sedikit kehilangan keseimbangan untuk berdiri. Untung saja kue yang kubawa tidak terjatuh. Melihat kelakuanku yang seperti ini Kevin malah tertawa dengan senangnya. Tawanya kini menulariku, membuatku ikutan tertawa juga.
"Aduh, aduh! Lepasin leher Papa, Vin!"
"No! Aku kangen Papa! Aku pengen meluk Papa!"
"Make a wish sama tiup lilin dulu baru nanti bisa peluk Papa lagi," ia melepaskan kaitannya pada leherku. Suasana menjadi hening. Kulihat putraku yang telah memejamkan kedua kelopak matanya. Bibirnya terus bergerak sedang merapal doa dan harapannya di ulang tahun yang ke tujuh tahun ini. Tepat saat ia mulai membuka kembali kelopak matanya aku mulai menyanyikan lagu tiup lilin. Tidak ada prosesi potong kue seperti ulang tahun pada umumnya, aku selalu mengganti pisau dengan sendok supaya Kevin bisa langsung menyendok kue yang kemudian disuapkan padaku. Setelah saling suap beberapa sendok kue, kami berdua menuruni tangga menuju dapur untuk meletakkan kembali kue yang tersisa ke dalam kulkas. Selesai menggosok gigi, aku menggendong Kevin di punggungku untuk kembali ke kamar.
Aku menurunkannya di atas ranjang. Kami berdua memposisikan tubuh untuk berbaring di ranjang dan menmbenarkan selimut untuk menyelimuti kami berdua. Ya, malam ini aku tidur di sini, menemani putraku di hari spesialnya.
"Selamat ulang tahun ya malaikat kecil kesayangan, Papa. Semoga kamu makin jadi anak yang hebat kebanggaan Papa," aku menggapai tubuh kecilnya ke dalam pelukanku.
"I love you, Papa!" ia mencium pipi kiriku. Aku tersenyum. Suasana kembali hening.
"Pa, mana kadoku?" Kevin mencicit.
"Rahasia dong," kudengar ia sedikit mendengus. Senyumku masih belum pudar.
"Papa boleh tahu enggak, tadi kamu bikin wishes apa?"
"Rahasia dong!" ia membalasku.
"Yaudah deh kalau rahasia, Papa juga enggak kepo kok."
"Aku minta sama Tuhan biar Papa Hans tetep sehat dan sukses biar bisa nemenin Kevin sama ngasih hadiah buat Kevin terus," gumamnya dengan suara memelan.
Aku yang mendengarnya memeluknya semakin erat, "Anak Papa pinter banget sih."
"Aku juga minta sama Tuhan biar nemenin Mama Hana sama Papa Ken di surga."