"Merissaaaaa!" Diana menggeram kesal dengan kedua mata yang masih terpejam. Kedua tangannya meraba-raba ranjangnya, mencari bantal di sampingnya yang kemudian ia gunakan untuk menindih kepalanya. Sayangnya hal itu masih belum membantunya untuk meredam suara berisik dari luar apartemennya. Gedoran pada pintu apartemennya masih belum berhenti padahal sudah hampir lima menit berlalu.
Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya kali ini Diana benar-benar terbangun. Ekspresi sedih dan kecewa yang bercampur dengan kekesalan tercetak jelas pada wajahnya. Dengan malas ia beranjak dari tempat tidurnya, meninggalkan kamarnya. Sesampainya di balik pintu utama, ia menyipitkan matanya untuk melihat video interkom, dari video tersebut ia dapat melihat sosok Merissa di depan pintu apartemennya.
Ceklek!
"Akhirnya dibukain juga. Kemana aja sih Di semalem? Bolak-balik gue telepon tapi gagal terus. Dan satu lagi, semalem gue juga udah bolak-balik nyamperin tempat lo tapi sama sekali enggak ada tanda-tanda kehidupan. Semalem lo pulang jam berapa? Lo enggak apa-apa kan? Gue khawatir banget tau sama lo, Di! Kalo ini tadi lo enggak bukain pintunya mungkin gue bakal berencana buat nyamperin ke sekolah lo. Ohiya btw pesenan roti tawar sama selai kacang gue lo enggak lupa kan?" Merissa mengoceh panjang lebar tanpa henti. Ia sama sekali tidak memedulikan Diana yang sedari tadi hanya terdiam dengan ekspresi khas orang bangun tidur dan terlihat sedang mengacuhkannya. Baru bisa tertidur sekitar pukul dua belas tengah dini hari namun dipaksa bangun sepagi ini hanya karena Merissa sebenarnya cukup membuat Diana kesal. Karena tidak ingin mendengar ocehan sahabatnya lebih lanjut lagi, ia berbalik meninggalkan Merissa sendirian.
"Hey! Jawab kek, Di!" Merissa mengekor di belakang Diana yang berjalan menuju arah dapur. Diana mengambil kantong kertas berisi sebungkus roti tawar dan setoples selai kacang di atas meja dapur dan menyerahkannya pada Merissa tanpa banyak basa-basi. Saat hendak berbalik meninggalkan Merissa untuk kembali ke kamarnya, Merissa menahannya, "Diana Severin!"
"Apa lagi?!" Diana sudah tidak tahan lagi untuk menyembunyikan kekesalannya. "Oh ya Tuhan, please mending lo pergi dulu aja deh Mer, masih capek gila!" batin Diana. Suasana hening. Mereka berdua saling menatap dan memancarkan aura kekesalan masing-masing.
"Hft!" Diana membuang nafas kesal melalui bibirnya. "Duduk dulu gih!" ia mengisyaratkan pada Merissa dengan gerakan dagunya. Tak lama kemudian Diana menghampiri Merissa di ruang keluarga dengan dua gelas susu vanilla di genggamannya yang kemudian salah satunya ia berikan pada Merissa. Suasana kembali sunyi. Baik Diana maupun Merissa masih fokus dengan segelas susu masing-masing. Dalam diamnya, Diana sedang berproses untuk mengumpulkan seluruh nyawanya yang sebelumnya masih tercerai-berai.
"Semalem gue dibuntutin sama penguntit," ucap Diana kemudian. Melihat kedua bola mata Merissa yang sudah hampir membulat penuh buru-buru Diana menodongkan telapak tangan kirinya tepat di depan wajah Merissa untuk menahan bibir Merissa supaya diam dulu.
"Semalem sekitar jam sembilan gue baru keluar dari gerbang sekolah. Awalnya sih udah mau mesen taksi online aja, tapi setelah gue baca Whatsapp dari lo, yaudah deh gue enggak jadi pulang dulu. Sebenernya pas itu jalanan emang rame as usual, tapi trotoar yang gue jalanin sepi banget cuma ada satu orang, cowok yang jalan di belakang gue. Awalnya sih berasa normal-normal aja, tapi lama-kelamaan gue ngerasa kalau tuh cowok kaya lagi buntutin gue. Gue sempet beberapa kali ngasih ruang biar dia bisa jalan duluan tapi tuh cowok sama sekali enggak nyalip gue. Mulai dari situ gue udah bener-bener yakin kalo tuh cowok emang niat buat nguntit gue. Sempet ngerasa bingung dan sedikit takut karena sama sekali enggak ketemu orang lain yang bisa dimintain tolong, tapi gue sebisa mungkin buat tenang dan enggak panik. Sepanjang jalan gue enggak berhenti berdoa, sampai akhirnya pas hampir sampai di bread shop gue lihat ada cowok yang lagi berdiri di trotoar. Akhirnya gue beraniin diri buat lari nyamperin cowok itu. Bersyukur banget dia udah nolongin gue lepas dari tuh penguntit."
"Gue udah boleh ngomong?" tanya Merissa sesaat setelah Diana mengakhiri ceritanya.
"Orang udah ngomong juga pakai nanya lagi," ucap Diana cuek. Merissa hanya berdecak.
"Lo enggak kenapa-kenapa, Di?" Merissa memandangi Diana dengan pandangan meneliti.
"Kalo kenapa-kenapa ya sekarang gue enggak ada di sini."
"Ish, Di! Gue serius tahu!"
"Abis pertanyaan lo enggak spesifik begitu."
"Maksud gue, sekarang keadaan lo gimana? Perasaan lo gimana?" ekspresi kekhawatiran masih sedikit tercetak di wajah manis Merissa. Merissa merupakan seorang mahasiswa S2 Psikologi yang juga bekerja sebagai seorang konselor di salah satu perusahaan, maka dari itu Diana memaklumi sikap Merissa yang seperti itu, ia sudah sangat terbiasa dengan suasana semacam ini.
"Masih sedikit kepikiran sih sama tuh penguntit. Lebih tepatnya kepo sama motifnya. Kalau emang mau nyopet, kayanya enggak mungkin deh. Enggak sesimpel itu," Diana menerawang, kembali membayangkan kejadian semalam yang menimpanya.
"But it's okay. At least masih aman sampai sekarang. Bersyukur banget dia udah nolongin gue lepas dari tuh penguntit," lanjutnya masih dengan tatapan menerawang yang kali ini ditambah dengan senyuman. Menyadari ada perubahan ekspresi yang kentara pada Diana, Merissa mulai menaruh curiga.
"Yaudala enggak apa-apa. Semoga lain kali enggak ada kejadian begini lagi. By the way, lanjutan ceritanya gimana? Siapa cowok yang udah bantuin lo? Cakep ya? Keren ya?" Merissa kembali melontarkan banyak pertanyaan dengan nada bicara dan senyuman yang menggoda.
"Iih apaan sih lo, Mer! Geli tahu enggak gue dengernya kalau lo ngomongnya begini!" sebisa mungkin Diana berusaha untuk memancarkan ekspresi yang normal, namun rona merah di pipinya tak dapat diajak berkompromi.
"Hahaha! Beneran cakep nih kayanya tuh cowok. Ayo cerita enggak lo!" Merissa terus menggoda Diana untuk menceritakan keseluruhan kronologi semalam.
"Namanya Hans, udah itu doang yang gue tahu dari dia,"
"Ehm okay. Terus kelanjutan ceritanya bagaimana, Nona? Dia udah ngelakuin apa buat bantuin lo? Kalian ngapain aja?"
"Gue meluk dia dari belakang," jeda sejenak. Diana tampak berpikir menyusun rangkaian kata yang tepat untuk menerangkan kejadian semalam.
"And then?" Merissa semakin tidak sabar menunggu kelanjutan dari kalimat Diana sebelumnya yang terdengar menggantung.
"Gue meluk Hans karena gue punya ide buat pura-pura jadi pacarnya. Pas meluk, gue juga ngomong sorry karena udah bikin dia kelamaan nungguin gue biar makin ngeyakinin si penguntit kalau gue emang beneran pacarnya Hans. Sebenernya pas itu gue deg-degan banget antara takut acting gue jelek sama Hans nolak bantuin gue. Pas Hans noleh ke gue, buru-buru gue ngomong minta tolong ke dia supaya bantuin gue buat play along sama drama yang udah gue buat. Pas dia noleh wajahnya datar lagi, gue makin deg-degan aja dah. Gue kira dia enggak akan bantuin gue, tapi ternyata sebaliknya. Actingnya malah lebih bagus daripada gue anjir! Kira-kira ada hampir sepuluh menit kami berdua pura-pura pacaran di trotoar, tapi ternyata tuh penguntit sama sekali enggak ngilang, gila engga? Akhirnya gue ngajak Hans buat makan di restoran Padang sebelah bread shop. Awalnya emang tuh penguntit ga terang-terangan ngikutin kami, tapi sekitar sepuluh menitan kemudian gue ngeliat tuh penguntit mulai masuk ke dalem restoran juga."
"Tunggu, tunggu. Kok lo tahu? Dia ngeliat lo dong?"
"Pas itu keadaan restoran enggak begitu ramai soalnya. No. Untungnya gue sama Hans udah cari posisi yang strategis, jadi enggak bakalan ketahuan. Si penguntit sempet diem agak lama kepalanya sambil celingukan kesana kemari di pintu masuk, dia juga sempet ngobrol sama salah satu pelayan cuma gue enggak ngerti mereka ngomongin apaan, kayanya sih si pelayan juga agak curiga sama penampilannya. Enggak lama kemudian dia jalan ke arah toilet masih sambil celingukan gitu. Pikir gue itu cuma akal-akalannya biar bisa explore restoran dan nyari gue, tapi untungnya dia gagal! Hahaha! Abis itu dia pergi deh, keluar dari restoran," Diana masih sedikit tertawa saat mengakhiri kisahnya.
"Udah? Gitu doang?" wajah Merissa tampak sedikit kecewa, ia merasa apa yang telah diceritakan oleh Diana barusan masih belum sepenuhnya. Dalam hatinya, sebenarnya ia sangat menantikan kisah yang lebih berfokus pada kedua kekasih dadakan tersebut.
"Y-ya iya, mau apalagi yang diceritain?"
"Lo kalo cerita jangan setengah-setengah napa sih, Di? Terus setelah tuh penguntit ilang, lo sama Hans gimana kelanjutannya? Gimana juga ceritanya lo masih nyempetin beliin pesenan gue? Lo semalem pulangnya gimana? Kenapa telepon dari gue ga lo angkat? HP lo emang mati apa sengaja lo matiin? Dih mulai kesel gue," Merissa membuang nafas kesal melalui bibirnya, kini ia sudah menyilangkan kedua lengan di depan dadanya.
"Banyak banget sih Mer pertanyaan lo."
"Hmm," Merissa masih konsisten mempertahankan ekspresi kekesalannya terhadap Diana.
"Gue sebenernya agak males cerita ke lo karena gue takut malah dikira pamer, ntar lo iri lagi sama gue."
"Idih! Kalau enggak mau cerita ya udah, gue balik ke apartemen gue aja," Merissa sudah beranjak dari sofa, mengambil barang-barangnya dan bersiap untuk keluar dari apartemen Diana, namun belum sempat ia melangkahkan kaki sikunya sudah ditahan oleh Diana.
"Iya iya Mer, gue cerita deh. Duduk lagi ya," Diana membujuk Merissa dengan sikap sok manisnya yang dibuat-buat. Melihat sahabatnya yang sudah mulai menujukkan sikap seperti itu, akhirnya Merissa kembali meletakkan barang-barangnya di atas meja dan kembali duduk di samping Diana. Dalam hatinya, sebenarnya ia tersenyum penuh dengan kemenangan.
Hampir setengah jam Diana menceritakan kisah lebih lanjut yang terjadi di antara dia dengan Hans semalam. Diana dengan antusiasnya menceritakan potongan demi potongan kejadian yang di antaranya terasa manis baginya dengan begitu mendetail pada Merissa. Selesai bercerita, Merissa merogoh saku piyamanya untuk mengambil ponsel dengan maksud mengecek jam. Ternyata sudah hampir pukul lima pagi, terasa cepat sekali.
"Lah, ini orang ngapain pagi-pagi gini nge-chat gue?" Merissa bergumam pada dirinya sendiri sambil menatap layar ponsel. Mendengar gumamannya, Diana otomatis mencondongkan tubuhnya pada Merissa untuk ikut melihat siapa orang yang sedang dimaksud oleh Merissa. Di ponsel yang sudah menampilkan ruang obrolan Whatsapp, Diana melihat ada nama 'Pak Edgar' yang tertera di bagian paling atas.
"Pak Edgar?" Diana bertanya pada Merissa, namun tidak ada jawaban karena Merissa sedang fokus mengetik pesan yang kemudian dikirim kepada kontak Whatsapp bernama 'Pak Edgar' tersebut. Selesai mengirim pesan tersebut, Diana yang mulai penasaran langsung menyamber ponsel Merissa bermaksud melihat foto profil dari kontak tersebut. Benar saja! 'Pak Edgar' ini adalah orang yang sama dengan Edgar, teman Hans.
"Ini dia Mer orangnya!" Diana kembali antusias.
"Hah? Edgar yang temennya si Hans itu?" Diana hanya mengganggukkan kepalanya. Mereka berdua kemudian tersenyum bahagia bersaman.
"Gue semakin percaya sama yang namanya takdir."