Aku melihat banyak kerumunan orang yang aku sendiri tidak tahu siapa mereka dan darimana asal mereka. Satu lagi, aku pun sekarang tidak tahu sekarang aku berada dimana. Tempat apa ini? Kenapa aku bisa ada di sini? Bangunan tempatku berdiri saat ini begitu luas dengan tembok berwarna putih serta keramik lantai berawarna senada. Di bagian tengah ruangan ini terdapat pembatas terbuat dari kaca yang memagar berbentuk persegi panjang, persis seperti atrium di pusat perbelanjaan atau gedung-gedung besar pada umumnya.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan sambil terus memikirkan apa nama tempat ini dan apakah sebelumnya aku pun pernah datang ke sini. Beberapa menit lamanya pandanganku berkelana tanpa henti, namun hasilnya nihil. Aku sama sekali tidak berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku tadi.
Saat aku hendak melangkahkan kakiku untuk mulai menelusuri ruangan besar ini, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki yang seolah memanggilku. Ya, memang benar dia sedang memanggilku, karena di sekitar tempatku berdiri sekarang hanya ada aku seorang.
"Hei! Mau ngapain kamu di sini sendirian?"
Tunggu. Kenapa suara ini terdengar cukup familiar di telingaku? Sepertinya baru-baru ini aku pernah mendengar suara ini. Aku membalikkan tubuhku untuk menjumpai si pemilik suara yang sesungguhnya.
"Hans?" Betapa kebingungannya aku saat ini. Kenapa aku bisa bertemu dengannya lagi?
"Mendingan kamu pulang aja daripada di sini," ucapnya sambil berlalu meninggalkanku. Kini aku kembali sendirian. Mataku masih belum lepas darinya yang berjalan memunggungiku semakin jauh. Apa maksudnya? Kenapa ada dia? Tempat apa ini sebenarnya? Meski banyak pertanyaan atas kebingunganku akan situasi saat ini yang mengganjal di otakku, tidak dapat dipungkiri masih ada terselip kebahagiaan tersendiri saat aku bisa kembali menatap rupanya dan mendengar suaranya. Tanpa sadar kedua ujung bibirku sudah melengkung ke atas. Apa yang kamu pikirkan, Diana?!
"Oh shit!" aku mengumpat untuk memudarkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul ini. Aku berusaha melupakan kejadian tadi dengan mulai berjalan-jalan untuk menelusuri ruangan ini. Banyak orang mondar-mandir, berlari, tertawa, dan sebagainya. Entah sebenarnya apa yang mereka lakukan di tempat ini. Aku terus berjalan dan meihat-lihat keadaan di sini dalam diam sampai aku mendapati ada sesosok laki-laki lain yang berdiri tidak cukup jauh di depanku.
Aku terus mengamati laki-laki berkaos putih yang terlihat seperti sedang mencari seseorang di antara kerumunan orang yang berdiri di depannya. Aku tidak tahu siapa dirinya. Aku sama sekali tidak mengenalnya, ini pun kali pertama bagiku bertemu dengannya, namun entah kenapa hatiku terdorong untuk memanggilnya dan menghampirinya. Lagi-lagi muncul perasaan aneh yang merasukiku. Namun kali ini berbeda dengan perasaan aneh yang kurasakan saat bertemu dengan Hans. Perasaan ini lebih mengarah pada perasaan rindu, sedih, dan kecewa yang bercampur aduk. Entah mendapat kekuatan darimana, tiba-tiba saja bibirku bersuara memanggilnya, "Hey!"
Sayangnya, laki-laki itu mengabaikanku. Ia malah beranjak pergi dari tempatnya semula mengarah ke kerumunan orang di depannya. Mendapati kenyataan bahwa ia menghiraukanku membuat perasaan aneh dalam hatiku memaksa untuk menyeruak ke permukaan. Melihatnya yang semakin menjauh dari pantauanku, aku mulai berlari mengejarnya dan terus memanggilnya, namun semua usahaku gagal. Laki-laki itu kini sudah menghilang di balik banyaknya orang yang sedang berkerumun di situ. Aku berhenti mengejar, menatap kosong ke arah kerumunan itu. Saat ini aku rasa perasaan aneh itu sudah berhasil meloloskan diri ke permukaan sepenuhnya. Semenjak menghilangnya laki-laki berkaos putih itu, kerinduan, kesedihan, dan kekecewaan yang lolos dari hatiku malah meninggalkan kehampaan yang terasa begitu menyesakkan. Kenapa bisa begini?
Aku memejamkan mataku begitu rapat untuk beberapa saat. Saat aku kembali membuka mataku tiba-tiba aku sudah berpindah lokasi dari gedung besar tadi. Kini aku berada dalam suatu ruangan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan gedung tadi. Dari perabot yang menghiasi ruangan ini dapat kuketahui bahwa ini adalah ruang keluarga. Tepat di belakangku terdapat sebuah sofa panjang berwarna abu-abu dan di depanku terdapat televisi berukuran cukup besar menempel di dinding. Rumah siapa ini? Dimana lagi aku sekarang? Aku menoleh kesana kemari namun hanya kesunyian yang kudapatkan, aku tidak menemukan ada eksistensi makhluk hidup lain di dalam ruangan ini.
Dugaanku ternyata salah. Tak lama kemudian aku mendengar ada suara langkah kaki yang masih bersepatu dari belakangku. Kali ini siapa lagi?
"Ini. Minumlah!" Hans? Ia menyodorkan segelas air putih kepadaku lalu beralih menduduki sofa di belakang kami. Tanpa banyak bertanya aku langsung menenggak segelas air putih dalam genggamanku sampai tandas. Ah, segar sekali rasanya. Kuletakkan gelas kosong itu di atas meja yang berada di sebelahku.
"Sini," tangannya memberikan isyarat supaya aku duduk di sampingnya, dan aku menurutinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada otak dan tubuhku saat ini, aku merasa tidak dapat mengendalikannya, semua pergerakan yang kulakukan seolah-olah di bawah kendali orang lain. Kini aku duduk di sampingnya, begitu dekat, begitu rapat. Kepalaku mulai bersandar di bahunya yang kokoh diikuti dengan tangan sebelah kanannya yang sudah memposisikan diri merangkulku, menarikku supaya semakin merapat pada tubuhnya. Lagi-lagi aku menurutinya. Telapak tangannya mulai bergerilya, membelai rambutku berulang-ulang dengan lembut. Mataku terpejam sejenak, merasakan kenyamanan dari belaian Hans atas rambutku, perlahan-lahan aku merasa lebih tenang dibandingkan saat tadi berada di kejadian dimana aku bertemu dengan si laki-laki berkaos putih.
"Aku udah bilang kan. Mendingan tadi kamu langsung pulang aja. Jadinya malah begini kan?" ucapnya seolah-olah mengerti dengan permasalahan yang menimpaku. Aku menghiraukannya dan tetap terdiam di bawah naungan telapak tangannya yang masih setia menari-nari di atas rambutku. Kehampaan yang tadi sempat kurasakan kini berangsur terisi dengan ketenangan, kenyamanan, dan kebahagiaan sama seperti saat kali pertama aku bertemu dengan Hans di trotoar itu. Sungguh ini terasa sangat nyaman bagiku. Dengan perlakuan Hans yang seperti ini aku merasa seperti terlindungi.
Tangan kiri Hans sudah tidak betah untuk berdiam diri saja di lengan sofa. Ia menjulurkan tangan kirinya padaku, menarik lembut kedua tangan yang berada dalam pangkuanku dan membawanya ke atas pahanya. Kini tangannya menggenggam, atau lebih tepatnya meremas kedua tanganku dengan cukup erat namun tidak meninggalkan kelembutannya. Ibu jarinya bermain-main mengusap punggung tanganku yang semakin mengisi perasaan tenang, nyaman, dan bahagia di dalam ruang hatiku.
"Lain kali jangan kaya gitu lagi ya," lagi-lagi Hans berbicara padaku. Hari ini ia jauh lebih sering berbicara daripada di pertemuan kami sebelumnya, dan aku merasa senang. Ia menolehkan kepalanya ke arahku sehingga dapat kurasakan hembusan nafasnya yang teratur di kepalaku. Kemudian aku mendongakkan wajahku untuk menatapnya. Kami saling pandang untuk beberapa saat sebelum aku menyaksikan dengan sendirinya kronologi terbentuknya senyuman Hans yang langka. Manis sekali! Aku malu karena memandangnya dengan tatapan kekaguman yang kentara. Bodo amat!
Hans dengan perlahan mulai mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. Jarak di antara kedua wajah kami semakin terkikis sampai akhirnya kini ujung hidungnya sudah menyentuh ujung hidungku. Masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya, ia menggesekkan ujung hidungnya begitu lembut pada ujung hidungku. Astaga! Menggemaskan sekali! Ia berhenti dan kembali menatapku. Irisnya yang kecokelatan mengunci pandanganku padanya. Hembusan nafasnya kini terasa lebih jelas di wajahku, begitu hangat. Aku menyunggingkan senyumanku padanya. Namun, baru beberapa saat aku tersenyum kini ia sudah mulai kembali melanjutkan 'aksinya' yang sempat terntunda. Menyadari hal itu buru-buru aku memejamkan kedua mataku.
Cup!
Bibir kami saling bersentuhan! Aku menelan pelan ludahku. Jantungku kini berdebar semakin kencang, aliran darah pada tubuhku terasa jauh lebih deras dari biasanya. Ya Tuhan! Ada apa denganku? Kenapa Hans?
Dug! Dug! Dug! Dug! Dug!
"Diana Severin, bukain pintunya!"
Aku spontan membuka mataku pun dengan jarak di antara aku dan Hans kembali merenggang dengan sekejap. Sialan! Siapa sih itu?! Gedoran di pintu masih belum berhenti, dengan terpaksa aku berdiri meninggalkan Hans berniat membukakan pintu untuk mengetahui setan mana yang berani-beraninya menganggu momen terindahku dengan Hans.
Ceklek!
"Merissaaaaa!"