"SUARA!"
Benar saja, suara itu benar-benar tinggi dan penuh dengan emosi. Bisa gadis itu bayangkan seberapa besar kemarahan dan emosi yang dirasakan oleh sang ibu kala itu.
"Ibu sudah bilang sama kamu, kan? Kamu itu ada tv di rumah jangan buat menonton sesuatu yang menakutkan. Ibu yakin kamu tidak melihat apa-apa. Tidak ada apapun juga yang menhgampiri kamu. Itu hanyalah bayangan kamu saja. kamu halu, gila kau ini Suara!"
Suara hanya bisa menangis. Walau dia sudah berusaha untuk menguatkan diri jika telfon dan mengadu pada sang ibu. Tapi, tetap saja. nyatanya dia adalah seorang gadis yang lemah.
Padahal, sebelumnya dia juga telah membuat pilihan untuk dirinya sendiri. Diam dan memnendam segala masalah dengan segala resiko ditanggung sendiri. Atau melapor pada ibu, dikatai halu dan sebagainya. Namun pada akhirnya, semua juga tetap dia hadapi sendirian. Tidak ada yang bantu kasih solusi.
'Bodoh kamu Suara. Kau selalu seperti itu saja sejak dulu. Melakukan kesalahan yang sama, dan jatuh di lubang yang sama pula!' runtuk Suara dalam hati. Jelas itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Neni… kamu kenapa marah dan teriak-teriak seperti itu?" terdengar seorang pria menayai pada ibunya dengan nada yang lemah lembut.
"Benci aku, Mas! Ini anak tidak berguna itu menelfonku lagi melaporkan hal-hal yang tidak masuk aka. Kehabisan cara aku bagaimana harus bicara padanya selain marah aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Jika saja tidak takut dipenjara, mungkin sudah kubunuh saja boch sialan itu sejak dulu!"
Jelas, suara itu terdengar jelas di telinga Suara. Dia diam dan menahan tangisannya agar tidak sampai bersuara. Ia sendiri tidak tahu kenapa ibunya begitu sangat membenci dirinya. Salah apa dirinya. Padahal, sebagai seorang anak dia sudah berusaha menjadi yang terbaik dari segala hal.
Dari prestasi yang dia raih selama bersekolah. Tidak pernah dia tidak masuk tiga besar. Di rumah dia juga adalah anak yang rajin. Mau membantu melakukan pekerjaan ibunya. Hanya saja, karena dia tidak bisa masak, dia tidak pernah masak. jadi, semua kerjaan rumah mulai dari beberes rumah, mencuci piring baju melipat hingga menyetrika adalah dia semua. Tapi, itu masih saja tidak membuat sang ibu merasa puas.
Marah dan mengeluh saja jika melakukan pekerjaan. Padahal hanya memasak sayur dan lauk saja. nasi juga sudah dikerjakan oleh Suara. Dari sejak kelas tiga SD Suara sudah dilatih mandiri. Kelas empat SD dia sudah diuntut untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Sementara sang ibu dengna bapak tirinya bekerja di sawah. Pulang jelang magrib, jika di musim panen padi, dan malamnya setelah magrib berangkat lagi untuk geblok padi.
Jelas sebagai anak kecil, dia telah melewatkan masa kanak-kanaknya. Jika semua anak seusia dirinya semua pada asik bermain dengan teman-teman yang lain, dia hanya bisa diam dan mengintip dari jendela rumah. Karena, saat tidak ada pekerjaan rumah, dia bisa menggunakan kesempatan untuk mengerjakan PR.
Ibunya memang menuntut dirinya supaya pintar dan memiliki nilai tinggi. Tapi, jika melihat Suara belajar, atau memegang buku dia selalu marah-marah dan nyuruh mengerjakan segala kerjaan rumah yang selalu ada dan seolah tak pernah ada habisnya.
"Sudah lah, sudah… kamu gak boleh seperti itu. walau bagaimana pun, dia adalah anak kamu sendiri. Kamu harusnya bisa melindungi Suara dengan baik, bukan mengatainya dengan kata-kata tidak layak seperti itu," ujar pria itu lagi. Berusaha meredam kemarahan sang ibu.
Suara semakin teriris hati mendengar suara pria itu yang mengingatkan ibunya. 'Andai saja bapk tiriku kemarin seperti om ini… aku pasti akan hormati dia tidak seperti Rudi sialan. Dengan sengaja menjebakku agar selalu terlihat salah di depan ibu. Setelah itu, dia koar-koar agar aku dihajar oleh ibuku sendiri. Huh nasib, terlanjur buruk. Masih bisa diperbaiki, kan?' batin Suara sambil menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya, hingga dia jelek, berminyak dan kedua matanya bengkak.
"Kamu, sih Mas bicara begitu enak. Gak tahu rasanya jadi aku. kamu tidak tahu, kan betapa menyebalkannya dia?" ujar Neni. Masih dengan nada kesal. Hanya saja, emosinya sudah tidak meluap-luap seperti tadi. Tadi, dia sudah benar-benar terlihat ge,as dan seolah sudah ingin membunuh Suara saja. tapi, lain dengan kali ini dia sudah mereda dan emosinya hanyalah sebatas mencari perhatian pria yang sedang bersama dengannya saja.
"Kapan kamu akan ke sana melihatnya? Boleh aku ikut bertemu dengannya?"
"Boleh lah jika kau mau. Tapi, jika sudah tahu dia, kamu jangan nyesel dan jangan berani mencari yang lain selain aku jika ke sini."
"Janji. Aku yakin, dia adalah gadis yang imut dan menyenangkan seperti ibunya."
"Aku mau bicara dengan dia dulu," ujar Neni, selalu merasa muak jika seseorang memuji Suara.
"uang kamu sudah habis?" tanyanya dengan ketus.
"Masih, hanya kepake duaribu buat naik bus saja tadi PP ke sekolahan," jawab Suara. Suaranya sangat jelas seperti orang yang baru saja menangis.
"Ya sudah, nanti aku akan pulang dan menginap. Awas kamu kalau macam-macam, ya? Aku ngajak teman. Ingat untuk bersikap yang baik dan sopan di depannya!"
"Iya, Ibu!" jawab Suara. Baru saja ia masih ingin berkata lagi, tiba-tib panggilan sudah dimatikan saja.
Tidak apa-apa. Apapun yang tadi telah dikatakan oleh sang ibu tak perlu dimasukkan ke dalam hati. Mau seperti apapun, Suara tetap anaknya. Sebagai seorang anak juga akan butuh ibu. Begitu pula ibunya kelak jika sudah tua renta dan tak bisa berbuat apa-apa. Pasti juga akan membutuhkan sang anak untuk merawatnya kelak hingga tutup usia.
Meskipun kedua matanya sembab sampai bengkak, Suara merasa lega dan senang sekali setelah mendengar kabar bahwa ibunya akan pulang.
Setelah membayar tagihan dari Wartel segera, gadis itu bergegas pulang. membereskan sebelah kamar yang tidak ditempati, dan biasanya hanya ia gunakan untuk meletakkan pakaian yang bersih dan belum dilupati.
Dengan giat Suara segera menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan cepat. Dia tidak ingin nanti saat ibunya pulang masih terdapat pakaian berserakan di sini. Karena, setiap kali ibunya marah, tidak pernah kira-kira. Entah itu ada orang atau tidak... terus, kata-kata yang dikeluarkan itu layak atau nggak juga tak pernah peduli.
Setelah pekerjaan sudah selesai, dan menyimpan semua baju-baju di dalam lemari, kembali Suara dikejutkan dengan suara aneh dan bau amis darah dari belakangnya.
"Aaaaaaaaa!" teriak gadis kecil itu histeris. dia berlari melompat keluar rumah sambil menangis ketakutan. Hari sudah mulai petang. tidak ada seorang pun di luar. Suara bingung. depan rumahnya adalah belakang rumah mbak Narti. halamannya sangat luas. dia ketakutan. tapi, masuk ke dalam rumah juga tidak berani.