Bagian 7 : Dulu

"Gue tengkar sama Vero" katanya ke tiga teman dekatnya.

"Biasa dah lo" jawab Zarin, datar seperti sudah tau apa yang akan Lavina katakan dengan wajah lesu itu.

"Dah lah, gak usah sama Vero" saran Aryl, ngaco.

"Tengkar yang lo maksud tuh bukan tengkar Vin. Pasti cuma sekadar Vero gak ngabarin lo, terus lo yang spam chat dia. Tapi tanggepannya dia cuma cuek gitu kan?" tanya Irene, sambil membersihkan kukunya.

"Ya gitu sih" jawabnya pasrah. Memang seperti itu kejadiaanya, mau bagaimana lagi.

"Tuh kan. Lo tuh kayaknya salah memperjuangkan orang deh" balas Irene. Sudah keberapa kali Ia mengatakan itu. Tak bosan-bosannya.

"Gue mau ke ruang paski" katanya, sambil melenggang keluar kelas. Padahal, jam pelajaran akan dimulai.

Namanya sayang, siapa yang bisa melawan. Berkali-kali dikata "putus saja", tapi faktanya juga tak sejalan. Bisa apa? Hati saja tak menyatu dengan pikiran. Berpencar kemana-mana. Yang satu minta pindah, satu lagi memilih tetap singgah.

-

Ruang paskibra yang terletak di depan ruang musik. Membuat Lavina yang akan ke ruang paskibra, melihat Raksa yang sudah memangku bassnya.

Sempat terjadi kontak mata antara mereka berdua. Berakhir, ketika Lavina memutuskan tuk mengalihkan pandangan. Hendak segera masuk ke dalam ruang paskibra.

1 jam. 2 jam. Lavina memutuskan tuk keluar dari ruang paskibra. Toh, dia di dalam hanya duduk berdiam. Menenangkan diri, maksudnya.

Melihat Raksa yang tak segera keluar. Lavina memberanikan diri untuk, masuk ke dalam mengeceknya. Ini sudah cukup lama, untuk terus berdiam.

"Lo, gak balik?" tanya Lavina, berdiri di ambang pintu.

"Gak. Nanti" katanya, tanpa melirik sedikit pun ke arah pintu. Ke arah Lavina, lebih tepatnya.

"Yaudah" balasnya, sambil menutup pintu ruang musik. Dan melanjutkan jalannya menuju kelas.

Masih dengan bassnya, ternyata. Padahal ia lebih menawan saat menekan tiap nada dalam keyboard daripada memetik tiap senar pada bassnya. Melupakan emang sulit Sa. Tapi, jangan berubah. Kamu beda banget sama yang dulu.

Tak sengaja, Lavina mulai memutar hal-hal yang tak seharusnya diputar. Kala itu, Lavina yang memutuskan tuk menjadi seorang sahabat bagi Raksa. Harus berpisah karena Raksa yang terlalu dibatasi Kalina, untuk tak begitu dekat dengan perempuan lain.

Lavina yang memutuskan ganti kontak. Tak kembali berkomunikasi dengan Raksa, semenjak Lavina juga memutuskan tuk pindah kota. Padahal, akhirnya juga bertemu Raksa. Seperti saat ini. Tapi sayang, seperti orang tak pernah saling mengenal. Atau mungkin, lebih parah.

"Heh bucin! Untung aja tadi jamkos lo" kata Zarin, teriak lebih tepatnya. Bersama 2 teman lainnya, datang menghampiri Lavina.

"Coba aja kalo ada pelajaran. Udah dibilang sama guru, lo. Anak paskibra kok kerjaannya cabut pelajaran" lanjut Aryl, dengan menirukan gaya guru yang sedang memberi tahu.

"Berisik" balas Lavina, singkat. Dengan wajah sinisnya. Padahal tadi, senyum-senyum sendiri saat Raksa masuk ke dalam ingatannya.

"Ahahahahahah dikata berisik" tawa Irene, terbahak-bahak. Seakan-akan itu adalah hal yang benar-benar patut untuk ditertawakan.

-

"Ke Raksa skuy" ajak Zeo, sambil menepuk pundak Nafta dan Brandy secara bersamaan.

Brandy yang tulisannya tercoret, karena tangannya tergerak oleh tepukan Zeo. "Heh. Lagi nulis. Marah gue" katanya sambil menghembuskan nafas kasar.

"Hahahahaha badaknya marah" kata Nafta, tertawa.

"Lo duluan aja. Gue sama Brandy belom selesai" lanjut Nafta, sambil serius menulis.

"Oke deh"

Zeo melenggang pergi keluar kelas, untuk menuju ke Raksa. Entah juga, apa yang akan dilakukannya di sana. Hanya numpang ngadem mungkin.

-

"Wei Sa" sapanya sambil membuka pintu ruang musik.

Mendapati Raksa tengah duduk di depan keyboard. Membuat Zeo, kebingungan.

Bisa alat musik apa saja sih, Raksa?

"Apa?" tanyanya sambil berdiri dari kursi keyboard. Beralih mengambil bass ke pangkuannya.

"Lo bisa keyboard?"

"Gak. Lo kenapa kesini?"

"Gapapa. Ngadem doang"

Terjadi keheningan setelah percakapan singkat itu. Sebegitunya.

"Adek lo, punya mantan berapa?" tanya Raksa tiba-tiba. Mengagetkan Zeo.

"Hah?! Gak tau, gue bukan kakak kandungnya. Gak serumah juga" jelasnya.

"Lo suka ya?" lanjutnya menerka-nerka.

"Enggak, cuma kagum aja sama sifat pemalunya" balas Raksa.

Berbeda dengan Kalina yang aktif, periang dan tak bisa diam. Titan memiliki daya tarik berbeda bagi seorang Raksa, yang sempat kehilangan rasa.

"Wah mantap, gak papa lo sama dia aja" kata Zeo, memojokkan.

"Paskibra kan dia?"

"Iya"

"Yaudah"

"Lo cuma nanya gitu doang?" alis Zeo mengernyit tak menyangka.

"Hmm iya"

Percakapan berhenti dengan dikagetkan Nafta dan Brandy, yang dengan tiba-tiba membuka pintu dengan secara tidak halus.

"HEYO WHATS UP KEMBALI LAGI DI CHANEL NAFTA AND BRANDY. JANGAN LUPA SUBSCRIBE YO" kata mereka berdua secara bersamaan, dengan saling merangkul satu sama lain.

"Bego" kata Raksa, sambil tersenyum. Sedikit tertawa, mungkin.

"Bisa-bisanya lo ada disini. Padahal kita bertiga susah-susah ngerjain tugas. Untung aja jamkos lo. Coba kalo enggak, udah ditanyain lo "Raksa mana", "Raksa mana", nyenyenye" kata Brandy, dengan tangannya yang menekuk di sebelah kiri dan kanan. Dan dengan memajukan bibir bawahnya saat berkata 'nyenyenye'.

"Gue udah tau jamkos, makanya gue kesini" jelas Raksa, singkat.

"Parah lo, ga ajak-ajak. Jauhin Raksa, dah gausah ditemeni. Dah dah" kata Nafta, sambil merangkul Brandy dan Zeo. Niat hati, mau diajak pergi meninggalkan Raksa.

"Yaudah sana" balas Raksa, biasa saja.

"Pengen tak hih" suara Nafta yang keluar, sambil memperagakan sedang mencekik seseorang.

"Hih nggilani" kata Zeo, sambil tertawa. Dibarengi dengan Brandy dan Raksa.

-

"Eh, Vin. Gue minta tolong, ini kan nanti ada ekskul paskibra. Jagain kelas 10 ya. Gue sama Levi nanti mau ikut rapat di luar sekolah" kata Tion, setelah memanggil Lavina di kelasnya. Dan berbincang di depan kelas. Tak lupa juga sambil merangkul temannya, Levi.

"Rapat apaan, di luar sekolah? Pelatih kagak dateng?" tanya Lavina.

"Rapat buat pembuatan lomba. Iya, rapatnya kan sama pelatih Van" jawab Levi, salah panggil nama. Di pikirannya, hanya Vana saja. Mungkin.

Karena, mereka sempat ada hubungan yang lebih dari seorang sahabat tapi bukan pacar.

"Van teros sampe mampos" kata Lavina, sambil pergi meninggalkan mereka berdua masuk ke kelas. "Yaudah deh ya"

Tion dan Levi pun melanjutkan jalannya untuk pergi entah kemana.

-

Bel berdering menandakan sudah waktunya siswa tuk pulang, dan melanjutkan aktivitasnya di rumah.

"Aku nanti paskibra, kak Zeo pulang dulu aja gapapa. Tapi jangan lupa jemput aku" kata Titan yang sudah ada di depan Zeo saat pulang sekolah.

"Iya" balas Zeo, sambil mengelus kepala Titan. Tanda memberi semangat, sepertinya.

"Titan" panggil Raksa, mengagetkan. Tidak disangka.

"Ya?" tengok Titan.

Dibarengi tolehan dari Zeo, Brandy, apalagi Nafta. Nafta mungkin orang yang paling kaget diantaranya. Karena, Nafta yang sudah lama tak melihat Raksa memulai bercengkerama dengan perempuan kecuali Bibinya. Setelah Ia, memutuskan tak kembali berhubungan dengan Kalina.

"Lo pulang jam berapa?" tanyanya, dengan wajah biasa saja.

"Jam setengah 6. Kenapa ya kak?"

"Gapapa tanya aja" selesai percakapannya. Raksa seakan-akan cuma menanyakan jam berapa Titan pulang, dan setelah itu tak ada apa-apa. "Yok balik" ajaknya ke tiga teman dekatnya, sambil berjalan mendahului semuanya.

Semua hanya terbelalak, bingung mau bilang apa. Raksa seperti kerasukan sesuatu, yang tak kasat mata. Tapi apa?

Mereka bertiga pun, hanya mengikuti Raksa dari belakang. Dengan posisi, Nafta berjalan di tengah-tengah Brandy dan Zeo.

"Temen lo bego" kata Brandy, sambil berbisik ke telinga Nafta. Tapi perkataannya, masih bisa didengar oleh Zeo di sebelahnya.

"Temen lo juga, bego" balas Nafta, dengan gerak yang sama ke Brandy.

"Heh, gue aduin Raksa semua lo ya" kata Zeo tiba-tiba menyambung.

"Temen lo Brand" kata Nafta, sambil sediki menggerakkan badan menjauhi Zeo. Memperagakan gerakan menunjuk Zeo, dan tangan satunya menutupi mulut membisik ke Brandy.

"Temen lo juga tuh" kata Brandy, lagi-lagi dengan gerak yang sama.

"Bodoh banget, heran" kata Zeo, sambil melirik Brandy dan Nafta. Tapi juga dibarengi senyuman khas Zeo sendiri.

"Kasar. Gak mau temenan sama orang kasar ah" kata Brandy, sambil menggeret tangan Nafta. Niat untuk mengajak menjauhi Zeo.

"Heh ahahahaha kita kenapa sih anjir"  kata Nafta, mulai tersadar kelakukannya mungkin.

-

Seperti biasa, tak henti-hentinya Titan memikirkan Raksa. Untuk apa, Raksa menanyakan Titan pulang pukul berapa. Toh, Raksa juga tak akan menjemputnya. Sekalipun Raksa menjemputnya. Titan juga tak mau mengikut, malu. Lalu, untuk apa?

Begitu terus yang dipikirkan Titan, mengenai Raksa. Sama terus, hanya diulang-ulang saja. Seperti kaset video yang baru dibeli, tak bosan untuk selalu ditonton.

"Titan! Bisa fokus gak? Kamu salah terus dari tadi. Kalo gak kuat, duduk" bentak Lavina, yang sedari tadi melihat Titan tak fokus. Gerakannya selalu salah. Disuruh hadap kanan, dia malah hadap kiri.

Semua gara-gara Kak Raksa.

Serunya dalam hati.

"Iya maaf" balas Titan, dengan wajah bersalahnya.

Selamat menunggu.

-Raksa.