Bagian 11 : Terpenuhi

"Eh ini surat gue Van" suara dari Zeo, sambil memberikan Vana sebuah amplop. Dengan langkah yang tergesa saat itu, membuktikan bahwa dirinya tidak sedang bersantai-santai.

"Lah tu Zeo" kata Nafta, sambil tangannya melenggang ke pundak Raksa.

Raksa yang sedari tadi menunduk bermain handphone, mengangkat wajahnya untuk melihat Zeo.

"Tanya Naf, cepetan"

"Wei mau kemana Ze?" tanya Nafta, tapi dengan sedikit teriak.

"Nanti, nanti gue ceritain di chatting" jawab Zeo, lebih teriak. Karena, Ia menjawab saat sudah di luar kelas.

"Brand" panggil Raksa.

Tak ada jawaban.

"Brandy" panggilnya kedua kali.

Raksa mencoba untuk melihat Brandy, lebih detail lagi. Dan Ia menemukan earphone yang sedang bergelantung dari telinga Brandy. Karena Raksa yang malas untuk bersuara lebih keras lagi, akhirnya Ia mengumpul dan menggumpal beberapa kertas untuk dilemparkan.

"Aduh!" lirih Brandy, mengelus kepalanya sambil menoleh kanan kiri.

"Heh" panggil Raksa, lagi.

"Apa?" tanya Brandy, sambil melepas earphonenya.

"Zeo, masukin aja ke grup chatting yang kita bertiga" kata Raksa, sambil memasang earphonennya lagi.

Hold Me While You Wait - Lewis Capaldi

-

"Jadi tadi gue keburu gara-gara mau nyusul Titan ke rumah sakit, rumah sakit yang di seberang Kopi Senja itu loh. Tadi pagi, waktu gue mau jemput Titan, tetiba mamaknya nelpon katanya 'gausah jemput Titan, Titan mau dibawa ke rumah sakit. Nyusul aja ke rumah sakit kalo mau' ya gue panik dong. Trus gue ganti baju aja sekalian bikin surat, terus habis itu gue langsung ke sekolah aja. Sebenernya gue gak begitu kaget sih, toh kemarin dia maksain diri buat ke sekolah. Ya lo bayangin aja sehari setelah kena DB, apa ya udah sembuh. Kan kagak ya bambang"

"Anjir cerewet bat dah si Zeo" kata Nafta pelan, menoleh melihat Raksa.

Raksa hanya terdiam, raut wajahnya seperti tak bahagia saat itu.

"Sa?" panggil Nafta, halus.

"Sama kayak Kalina, Naf" suara Raksa, pelan.

"Sama apanya?"

"Keras kepala"

"Sa..."

"Pagi itu, 2 tahun yang lalu Kalina yang barusan kecelakaan. Dateng ke kelas gue, ngasih gue bekal yang dia buat. Bekalnya baru gue bawa di ambang pintu kelas, sambil lihat Kalina balik ke kelasnya. Baru beberapa langkah Naf, dia jatuh. Hubungan gue sama dia berakhir tanpa penjelasan, usai tanpa kepastian saat itu juga"

"Heh udah, lo mau sampe kapan galmove dari Kalina brow?"

"Gatau" katanya mengakhiri percakapan.

-

"Vin!" panggil Raksa, saat melihat Lavina berjalan menyusuri lobby sekolah.

Tak ada jawaban, Vina hanya berhenti dan mematikan sejenak lagunya.

Matehatika - Figura Renata

"Ke taman belakang yuk" ajak Raksa, yang sudah di sebelah Lavina.

"Hah, ngapain?" kaget Lavina.

"Udah ikut aja" kata Raksa, sambil menggandeng tangan Lavina, mengajaknya ke taman belakang.

-

"Maaf ya, waktu dulu ... " belum selesai kalimat Raksa, sudah dipotong oleh Lavina.

"Nah kan, gue udah nebak lo bakal omong ini alias gak usah diomongi lagi lah ya. Masa lalu Sa, ga baik diungkit-ungkit terus. Toh, gue juga udah agak lupa" balas Lavina, berbohong. Padahal Ia masih jelas ingat bagaimana cara Raksa meninggalkannya 2 tahun yang lalu.

"Hmm yaudah deh, oya gue mau curhat nanti malem. Lo bisa gak? Nanti gue jemput deh" ajak Raksa, lagi.

"Bertele-tele, nanti pulang sekolah langsung aja ke Kopi Senja. Gimana?" saran Lavina.

"Gak. Gue mau ganti baju dulu Vin" jawab Raksa.

"Yaudah iya. Gue ke kelas ya" pamit Lavina, sambil pergi meninggalkan Raksa.

Raksa hanya membalasnya dengan senyuman. Lalu memasang kembali earphonenya, dan bersandar ke belakang.

Sesekali Tan, gimana kalo kita coba ngobrol disini berdua.

-

Tak terperhatikan, 3 pasang mata menyoroti gerak-gerik Lavina dari tadi.

"Oh, jadi lo udah kenal Raksa" kata Aryl, dengan gaya seperti perempuan yang melabrak pembuat masalah.

"Loh kalian?" Lavina yang tak menyangka kejadian itu pun, kaget.

"Heh gausah mengalihkan pembicaraan lo" jawab Zarin.

"Iya iya gue udah kenal. Dia sahabat gue 2 tahun yang lalu" jelas Lavina, dengan nadanya yang lesu.

"TERUS USAHA GUE NANYA AGAMA RAKSA TUH PERCUMA?" teriak Irene, yang setelah itu diberhentikan paksa oleh Lavina.

"Kagak, gue lupa beneran waktu itu agama dia apa" jawab Lavina, lagi.

"Ceritain semuanya dong Vin" pinta Aryl, sambil keempatnya melanjutkan jalan kembali ke kelas.

-

"Lo kenal Titan?" tanya Raksa, memulai percakapan dengan Lavina di Kopi Senja.

"Kenal. Adek kelas itu kan?"

"Iya"

"Kenapa?"

"Gue kayaknya suka sama dia"

"Heh Raksaaaa. Gue seneng banget, setelah 2 tahun lo ga suka siapa-siapa"

"Shhtttt. Tapi dia keras kepala"

"Terus?"

"Ya dia ga pantes sama gue. Toh gue juga keras kepala, ga pas gitu lo. Jadi kayaknya gue ga jadi suka"

"Ih bisa kali, perasaan di cancel kek gitu" kata Lavina. "Makasih mbak" lanjutnya, halus kepada pelayan yang barusan mengantarkan pesanan mereka berdua.

"Gue mau move on" kata Raksa, sambil melahap kentang goreng miliknya.

"Heh! Lo tuh belum ada hubungan ya. Ngapain move on. Istilahnya ya, belum saja menggenggam sudah susah-susah untuk melepas. Terus yang dilepas itu apanya?"

"Aduh gue malah tambah bingung. Dah ah, mending nyeritain lo sama Vero. Kenapa kemarin?" tanya Raksa, gantian.

Lavina pun menceritakan semua masalahnya dari awal, kepada Raksa.

-

"Makasih ya Sa. Balik lo ati-ati" kata Lavina sambil membuka pagar rumahnya, dan melambaikan tangannya.

Raksa hanya melambaikan tangannya, lalu mengendarai motornya untuk segera pulang.

Tak lama, Raksa merasa handphonenya bergetar tanda ada telepon. Raksa memilih untuk menepikan motornya, dan mengangkatnya.

"Halo Sa" suara laki-laki, jauh di sana.

"Gue boleh minta tolong gak?" tanya laki-laki itu.

"Titan hilang, tolong bantu cari. Karena dia barusan hilang, kayaknya belum jauh dari area rumah sakit. Tolong lo cari di luar, gue cari yang di dalem" katanya dengan nada terburu, panik mungkin.

"Makasih ya Sa" katanya sebelum Raksa menutup telepon.

Siapa lagi kalau bukan Zeo. Akhirnya, Raksa kembali mengendarai motornya ke arah rumah sakit.

Raksa memilih menghentikan motornya dan pergi mencari Titan dengan jalan kaki. Berlari, dengan tergesa. Dengan sepasang mata yang menyoroti setiap sudut satu demi satu. Memastikan dimana seseorang yang sedang Ia cari.

Gerimis. Nafas yang terlalu terburu-buru membuat Raksa berhenti sejenak, menghela nafasnya dengan santai berkali-kali.

"Aduh, maaf mas" suara perempuan yang baru saja menabrak Raksa.

Raksa menoleh, dan mendapati Titan sedang membungkuk sambil menghela nafasnya.

Di bawah rintikan hujan.

"Tan" panggil Raksa, halus. "Ayo ke rumah sakit lagi. Lo belum sepenuhnya pulih, yang ada lo malah tambah sakit. Semangat buat sehat bukan tambah parah. Udah gerimis juga, jangan memperlambat. Ayo" kata Raksa, sambil merangkul Titan berniat membantunya untuk berjalan.

"Kak Raksa kok kesini?" tanya Titan, di sela-sela rintiknya hujan yang kian berebutan untuk saling jatuh.

"Khawatir" hanya itu jawaban Raksa.

Dengan satu tangan yang merangkul Titan, satu tangan milik Raksa sibuk mencari handphone untuk menghubungi Zeo. Baru saja mau dihubungi, Raksa sudah melihat Zeo berlari menghampiri.

Di saat yang sama. Titan jatuh, tak sadarkan diri.

-

"Besok lagi, lo kalo mau beli minum, pintunya dikunci. Udah tau adek lo keras kepala gitu" kata Raksa, berhadapan dengan Zeo. Di depan ruangan, Titan.

"Iya. Gak lagi. Btw makasih loh" balas Zeo.

Titan, cepet sembuh ya.

batin Raksa, sambil menoleh ke arah Titan terbaring.

"Gue balik ya" ucap Raksa, menepuk pundak Zeo dan pergi keluar ruangan untuk pulang.

-

Lin, lagi apa. Aku ketemu seseorang yang mirip kamu banget nih, boleh gak aku jatuh cinta sama dia? Tapi tenang aja Lin, karena selamanya kita akan tetap menjadi yang pernah ada.

Di bawah gerimis yang kian menjadi-jadi, Raksa mulai tersadar rencananya beberapa waktu lalu.

'Mengantar pulang Titan', ya walaupun bukan ke rumahnya. Tapi sudah termasuk terkabul kan?

Selamat menunggu

- Raksa