Akhir dari awal yang tak pernah ada

Ruang kerja Reynold Widjaja memang didesain kedap suara dan hal itulah yang memudahkannya untuk melakukan apapun di ruang kerjanya yang luas ini, termasuk bermesraan dengan salah satu sekretarisnya. Reynold mendudukan sekretarisnya diatas meja kerjanya yang sengaja dibuat lebih lebar, lalu ia menautkan bibirnya dengan bibir wanita cantik itu.

Cathleen Sastrawati, telah menjadi seorang sekretaris di perusahaan ini selama dua tahun dan selama itu sudah menjalin hubungan dengan bosnya. Ia tak keberatan menjalani hubungan yang diam-diam karena memang perusahaan tidak mengizinkan adanya percintaan antar pegawai dalam satu departemen yang sama. Ia juga tidak keberatan menjalani hubungan yang tidak bisa dibilang pacaran juga, karena Reynold tidak pernah menembaknya ataupun mengatakan dengan jelas untuk mengajaknya berpacaran. Selama ini, cukup hanya dengan keyakinan bahwa Reynold mencintainya, ia sudah bahagia. Tetapi saat ini, dia merasa ada yang harus diperjelas.

Cathleen kewalahan meladeni ciuman Reynold yang semakin dalam, sementara dirinya sendiri sedang memikirkan hal lainnya. Ia harus memberitahukan sesuatu kepada Reynold, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara memberitahukannya.

Ketika Reynold beralih menciumi leher jenjangnya, Cathleen menarik nafas dalam dan memberanikan diri untuk mulai berbicara.

"Rey, aku... harus bilang... sesuatu," Cathleen mulai berbicara tetapi dengan terbata-bata karena menahan desahan yang ditimbulkan oleh aksi ciuman Reynold di lehernya.

Reynold seperti tidak menggubrisnya, ia malah makin asik berpindah menciumi leher sebelah kanan Cathleen lalu memberikan kuluman dan gigitan disana. Cathleen yakin aksi Reynold ini meninggalkan bekas merah di lehernya.

"Rey .... " Cathleen memanggil pelan.

"Yes, baby?" Reynold kali ini menjawab tetapi masih sambil menciumi Cathleen di belahan dadanya yang terbuka akibat beberapa kancing kemeja yang sudah ia lepas.

"Emmmhhh.... I need .... to talk .... "

Reynold kini mengangkat kepalanya dan memandang Cathleen. Ia mencium bibir ranum Cathleen untuk beberapa detik, lalu menahan nafsunya untuk berbuat lebih. "Bicara apa?" tanyanya.

Cathleen yang kini sudah mendapatkan perhatian Reynold, dapat berbicara mengenai apa yang sedari tadi ia pikirkan. Tetapi Cathleen ragu akan reaksi Reynold ketika mendengar perkataannya ini. Akankah Reynold dapat menerima hal ini? Atau, dia akan marah?

"Apa, Cath?" Reynold kembali bertanya. Ia sudah menahan keinginannya untuk menciumi Cathleen lebih jauh. Jika Cathleen tidak juga berbicara, ia akan langsung menyambar bibirnya dan melumatnya habis-habisan.

Handphone Reynold di depan komputernya berdering, mengalihkan perhatian Reynold dari Cathleen. Sepertinya dari sekretaris utamanya, pak Henri, yang ingin mengingatkan bahwa sudah waktunya untuk Reynold pergi ke bandara. Ya, Reynold harus pergi ke Australia selama satu bulan. Oleh karena itu, Cathleen tidak punya banyak waktu untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan, ia harus mengatakannya sekarang juga.

"Aku hamil," ucap Cathleen akhirnya.

Reynold yang tadinya sudah ingin beranjak mengambil handphonenya, langsung terkesiap dan menatap tajam mata Cathleen.

"Apa?" kening Reynold berkerut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Cathleen menelan ludahnya lalu berkata sekali lagi, "aku hamil."

"Tunggu.... bukannya kamu selalu minum...."

"Ya, tentu saja," Cathleen memotong perkataan Reynold. "Tapi bisa aja kecolongan kan, Rey."

Reynold mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya. Konsentrasinya juga terpecah dengan suara handphone yang berdering sedari tadi.

"Rey...." panggil Cathleen lirih. "Aku tahu kita masih harus sembunyikan hubungan kita, tapi sampai kapan?"

"Cath, kamu tahu ada peraturan perusahaan bahwa ...."

"Aku bisa resign, atau pindah departmen. And then we can tell them all."

Reynold berdecak. Ia mengacak rambutnya, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Rey..." panggil Cathleen lagi.

"Cath... let me think about this first," Reynold menatap Cathleen sambil menghembuskan nafas berat.

"Tapi gak bisa terlalu lama, Rey. Umur kandungan aku udah 2 bulan. Sebentar lagi akan terlihat banget perut besarnya."

"What?!" Reynold menggertakan giginya. "Dan kamu baru kasih tahu aku sekarang?!"

Cathleen menggigit bibir bawahnya pelan. "Aku..... aku gak tahu bagaimana caranya kasih tahu ke kamu."

Tiba-tiba suara ketokan pintu terdengar. Disertai dengan suara dering handphone Reynold yang masih berbunyi. Reynold kembali mengacak rambutnya, terlalu pusing untuk memikirkan apapun. Ketukan di pintu semakin keras dan Reynold akhirnya membuka pintu ruangannya itu.

Pak Henri sudah berdiri di depannya dengan wajah gusar. "Anda sudah terlambat sepuluh menit, pak."

Reynold berdecak kesal. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Cathleen yang untungnya sudah membenarkan pakaiannya dan sedang berdiri di depan meja kerja.

Pak Henri mengangguk singkat melihat Cathleen.

"Cath," Reynold menatap Cathleen. "Kita bicarakan ini di telepon. Okay? Aku harus pergi."

Dan begitu saja, Cathleen menatap Reynold berjalan keluar dari ruangan. Lalu, setelah Reynold pergi ke Australia, tidak ada telepon darinya. Bahkan nomor Reynold tidka aktif ketika Cathleen menelponnya. Akhir dari hubungan mereka berdua yang sebenarnya tidak pernah benar-benar dimulai.

***