Pintu rumah terbuka saat Sai tiba, cowok itu memutar bola matanya sadar bahwa hal tersebut ada ulah Jay. Rai kontan melepas dan melempar jas yang ia kenakan ke atas sofa ruang tamu begitu saja. Sai melihat sekeliling mencari keberadaan Jay, khawatir kalau kalau bocah itu bikin ulah lagi. Setelah tak menemukan Jay di lantai satu, cowok itu bergegas menuju ke lantai dua, matanya menatap kesal menyadari pintu kamar sudah terbuka lebar.
"Lo ngapain masuk2 kamar orang segala sih anjir." Buru Sai sambil membanting pintu kamarnya sekuat tenaga.
"Eh kasian noh pintu. Orang dia kaga salah apa apa juga." Balas Jay dengan nada bodo amat.
Sai tak menjawab, cowok itu diam dengan mukanya yang merah padam.
"Oy bang, jangan kek patung…." Jay beranjak dari tempat tidur dan menepukkan kedua tangannya tepat dihadapan muka Sai yang langsung membuatnya kian kesal.
"Sai, Oy… Kembarannya matahari, mo nanya nih bang… sejak kapan lo ngoleksi buku-buku sains karangan atau mirip rekayasa dari Prof. Dr. Icarus Madhiaz?"
"Kepo, ya suka-suka gue lah…"
"Ye tong, baru gue tau lo suka baca buku beginian, perasaan dulu terakhir gue masuk kamar lo isinya majalah-majalah yang covernya cewek cewek seksi atau ngga aktris-aktris cantik yang lagi hits."
"Idih, itu mah bacaannya si pisang monjrot noh."
"Pisang monjrot? Sapaan dah?"
"T A Y lahhhhhh"
"Lo pikir dari kita bertiga yang paling belangsak kelakuannya siapa." Sai melanjutkan dengan gumaman pelan yang hanya dibalas anggukan oleh Jay
Tak banyak basa basi lagi, Sai mendorong Jay keluar dari kamarnya, lengkap dengan bantingan pintu tepat 2 cm dari hidung Jay. Jay bersiap memaki, namun urung. Cowok itu hanya terdiam menatap buku digenggamannya. Dibukanya, halaman terakhir buku itu, lalu Jay mengambil sebuah kartu yang terselip didalamnya. Kartu yang bertuliskan "Chatter Json L.".
Jay memandang lekat-lekat kartu itu, perlahan air matanya mengalir "Apa lo di baliknya, Sai? Kalau iya, berarti gue sukses… gue sukses menyelamatkan lo dari segala keputus asaan persis seperti kala itu lo nyelametin gue. Seberkas memori masa lalu menenggelamkan Jay sedalam-dalamnya.
Malam itu, hujan cukup deras, Jay berteduh dibawah payung hitam yang sesekali hampir terbang diterpa angin. Cowok itu berhenti disebuah gang sepi, mendapati 3 orang anak kecil yang duduk di tepi gang berusaha berteduh dari derasnya guyuran hujan dengan kardus yang tak lagi kaku.
"Halo, Boleh aku bergabung?" Sapa Jay, wajahnya yang mengenakan masker hitam dan juga hoodie selutut berwarna hitam itu membuat ketiga anak tersebut tidak dapat mengenalinya dengan jelas. Salah satu anak yang paling kecil mengangguk namun satu yang paling besar menolaknya, memasang sikap waspada.
"Hai, aku tidak akan berniat jahat pada kalian… aku akan membantu kalian." Jay berusaha menenangkan, Anak itu tak langsung percaya namun melihat kondisi adik adiknya yang menggigil kedinginan, ia pun mengiyakan ajakan Jay.
Jay menggendong anak yang paling kecil, sedangkan kedua anak lainnya mengikuti dia.langkah ketiganya berhenti pada sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang dipenuhi bunga-bunga indah. Jay memmpersilakan ketiganya masuk, memberikan beberapa bajunya yang sudah tentu saja kebesaran, namun tentu saja hal tersebut lebih baik dibanding membiarkan ketiganya kedinginan dengan baju mereka yang basah.
Selesai memberikan ketiganya pakaian, Jay menuju dapur dan memasak beberapa bungkus mie instant berkuah yang langusng disantap ketiganya dengan lahap, walau perlu waktu hampir 15 menit anak-anak itu menatap aneh kepada makanan tersebut dan enggan menyentuhnya sampai Jay berkata "makan lah, aku tau kalian lapar.", namun hal tersebut masih belum juga menghilangkan keraguan ketiganya, ya walau pada akhirnya mereka tetap menyantapnya.
Melihat ketiganya sibuk dengan makanan masing-masing, Jay pun lebih memilih masuk ke kamarnya. Cowok itu tak menghiraukan masker dan hoodie basah yang masih dia kenakan dan lebih memilih mengobrak abrik lemari, membuka buku-buku tebal yang warna kertasnya tak lagi putih melainkan kuning kecoklatan. Dibukanya lembar demi lembar buku itu, tiba-tiba seseorang mengetuk jendela kamarnya, Jay melihatnya sesaat, tak ada seorang pun disana. Dia pun segera memeriksa keluar rumah, memastikan sekali lagi.
Langkah Jay terhenti saat matanya beradu pandang dengan sepasang mata dengan tajam milik seorang pria yang tak pernah ia kenal "Aku titip mereka, jaga mereka." Sosok itu kemudian menyodorkan sebuah buku tua yang dapat dengan mudah Jay kenali, itu buku diary tua.
"Berikan ini pada mereka… Sayangi adik-adikku, siapapun kamu." Ujarnya yang kemudian menghilang serupa hembusan angin, Jay berusaha mengejar. Dia masih dapat dikatakan sebagai seorang vampir, walaupun darahnya adalah darah campuran, cowok itu masih keturunan salah satu ilmuan vampir yang menikah dengan manusia. Namun sayangnya, kemampuannya terbatas, cowok itupun tak mampu menemukan sosok tersebut.
Jay memutuskan kembali masuk kedalam rumah, ketiga anak itu kini sedang memeluk erat anak yang paling besar yang Jay duga itu adalah kakak mereka. Jay tak menghiraukan tatapan waspada yang anak itu lontarkan, ia memilih masuk ke kamarnya.
Jay berpikir sejenak dan memutuskan untuk meninggalkan rumah ini besok pagi sembari mempekerjakan 2 orang asisten rumah tangga untuk mengurus mereka. Jay tak berpamitan, lelaki itu hanya menulis 3 buah surat untuk ketiga anak tersebut, dan dia sisipkan sebuah kartu untuk si kecil yang paling muda diantara ketiganya, kartu itu bertuliskan "Chatter Json L".
"Woy… bengong aja!" Sai memukul punggung Jay cukup keras hingga membuyarkan lamunannya. Cowok itu sudah berganti baju menggunakan kaos tipis polos berwarna putih lengkap dengan kolor pendek hitam dan handuk pink melingkar dilehernya. Kakinya pun dibalut sendal kelinci berbulu. "Anjirr…" Maki Jay mengejar Sai menuju dapur. "Udah masak belum?" Celetuk Sai begitu sampai di meja makan dan tak mendapati satu hidangan pun, hanya ada sepiring buah dan seteko air putih.
"Lo kira gue juru masak lo? Masak sendiri sono." Sai memutar bola matanya, cowok itu beranjak melihat apa yang ia mampu masak dalam kulkas. Kulkas itu penuh sesak dengan minuman-minuman kemasan, ice cream, serta berbungkus-bungkus chiki. Merasa tak menemukan apapun untuk dimasak, Sai beralih membuka lemari demi lemari didapur dan semuanya dipenuhi oleh makanan instant.
"Makan diluar yok… bosen gue dari kemarin mie mulu mie mulu." Ajakannya langsung direspon positif oleh Jay yang langsung berjalan gegap ke kamar untuk mengganti pakaian "Lo yang traktir ya…" teriak Jay yang dibalas dengusan oleh Sai.
Tak perlu waktu lama keduanya sudah berada dalam sebuah restoran klasik dengan alunan biola dari para musisi restoran tersebut. Suasana yang indah untuk berkencan, untuk lamaran mungkin, atau untuk merayakan anniversary, tapi sayangnya semua itu rusak karena yang Sai bawa adalah Jay. Yap, sejak mereka masuk 10 menit yang lalu orang-orang mulai menatap kearah keduanya ada beberapa yang kagum dan ada beberapa yang menatap sinis ke arah Jay yang tak berhenti ngoceh sedari tadi.
"sebenarnya, gue ngajakin lo kesini bukan buat ngoceh tapi makan…" Sai menguap jengah atas tingkah ke kanakan Jay "Lo itu sebenernya ganteng loh, keren juga… tapi kenapa tiap lo sama gue penyakit gila lo kambuh dalam hitungan detik."
Jay tak menanggapi namun perlahan lelaki itu diam, dia mulai menunjukkan sosoknya yang dewasa "Kenapa? Karena gue butuh satu sisi dimana gue merasa waras dan paling tidak bahagia… dan lo adalah tempat yang gue pilih untuk itu…" Setengah menunduk Sai dapat melihat Jay sedangtersenyum pahit menahan sesuatu yang entah apa itu.
"Bodoh, sisi mana dari gue yang bisa lo jadiin tempat untuk bahagia? Bukannya selama ini gue dan ketiga kakak gue selalu ngejek lo dan ya bisa dibilang ngebully mungkin."
"Salahnya lo ngga ngerti kalau gue paham itu adalah Bahasa sayang kalian, setidaknya kalian adalah orang-orang yang ngga bakal diem disaat gue sekarat."
"sisi kebaikan mana yang gue punya? Sisi kebaikan apa yang lo liat Jay… apa yang lo harapin dari kita yang bahkan masa lalunya aja ngga jelas…" Sai tiba-tiba memegangi dadanya yang mulai sesak… tangisnya pecah mengingat langkah-langkah berat dan segala yang dia lakukan selama ini.
Rasa amarah dalam diri Sai yang mmembaur dengan kenangan pahit masa kecilnya membuat ia tak kuasa mengendalikan perubahan pada dirinya. Perlahan matanya memerah serupa darah, setetes air mata darah sukses mengalir sempurna dipipinya. Sadar sedang terdesak, Sai menjentikkanjarinya membuat semua di restoran itu beku, yap cowok itu menghentikan waktu, berusaha memberikan jeda untuk menenangkan dirinya agar tidak ada orang yang menyadari adanya perubahan dalam dirinya.
2 menit…. 3 menit berlalu….
Sai keluar dari kamar mandi, ah ya tentu saja setelah cowok itu meluluh lantakkan seluruh cermin wastafel di kamar mandi restoran itu. Layaknya vampir, tangan Sai bersih tanpa goresan sedikitpun seolah ia tak melakukan apapun, yang normalnya sedikit luka memar pasti akan bertengger di tagan manusia pada umumnya, terutama setelah menghancurkan cermin, sekuat apapun manusia itu.
Sai kembali mengambil posisi duduk dengan tenang tanpa sedikit pun emosi, sebelum kembali menjentikkan jari lagi dan membiarkan waktu mulai berjalan.
"Sai, lo… bukannya tadi lo marah banget… kenapa sekarang kalem tentrem gini?" Jay mengerjap tak percaya lantas memilih untuk tidak melanjutkan lantaran pesanan keduanya sudah tiba, baik Sai dan Jay pun tak ingin mengungkit masalah yang tadi mereka perdebatkan… ya jelas saja, rasa lapar lebih menguasai keduanya. Tak butuh waktu 30 menit bagi keduanya untuk menghabiskan hidangan yang mereka pesan. Keduanya pun kembali ke rumah, Jay sempat ingin kembali mengajak bicara Sai namun cowok itu mengurungkan niatnya. Sai juga langsung memasuki kamarnya mengunci rapat-rapat pintunya tanpa sepatah katapun. Cowok itu terduduk bersandar kepada pintu, tak mampu lagi menahan air matanya untuk mengalir. Nampak batinnya sangat tersiksa dengan semua keadaan yang ada, rasa bingung, takut, cemas,semua seolah telah membuatnya gila.