Part 11

Kesibukkan kantor mulai lengang, Sai menyempatkan untuk menghubungi Tay dan Rai, ah biar bagaimanapun keduanya tetaplah kakaknya. Diam-diam ia merindukannya

Trrrrttt Trrrttt Nomor yang anda tuju sedang sibuk...

Sai merasa sedikit kesal dengan hal tersebut, tiba-tiba asistennya memanggilnya untuk melakukan proses sinkronisasi data. Yap, sedikit berbeda dengan Tay dan Rai, Sai memilih untuk membuka suatu teknologi industri. Cowok itu menurut memasuki lift super canggih yang diprediksi hanya ada 1 dari 100 di dunia ini.

"Pak, apakah bapak tidak tertarik untuk menciptakan suatu mesin keabadian." Sai terdiam, aktivitas jari-jarinya yang tengah mengetik beberapa program dengan keyboard transparan serupa hologram pun terinterupsi. Sai menoleh ke arah asistennya lalu "Kenapa?".

"Belakangan ini marak perbincangan mengenai vampir pak, saya turut penasaran apakah manusia dapat dijadikan abadi seperti mereka?"

"Tidak ada yang selamanya… tidak ada yang abadi. Dan menurutku seandainya ada keabadian, maka kebanyakan manusia hanya akan berusaha mengakhirinya."

synchronize start

Terdengar layar transparan serupa hologram itu mengeluarkan suara, mulai menampilkan presentase demi presentase sikronisasi yang sedang berlangsung. Sai beralih kepada asistennya memintanya untuk menunggui kurang lebih 10 menit hingga proses sinkronisasi selesai sepenuhnya, sementara Sai kembali berusaha menghubungi Tay dan Rai yang hasilnya nihil.

Saking kesalnya, ia melempar ponsel itu ke atas meja kerjanya begitu saja. DIa mengarah ke sebuah perpustakaan pribadinya yang memiliki satu pintu masuk yaitu melalui pintu dibelakang kursi kerjanya. Suatu ruangan dengan 25 tingkat rak buku berjajar memenuhi sisi bahkan sudut ruangan tersebut. Ditengahnya terdapat sebuah sofa panjang sekitar 200 cm sepaket dengan mejanya.ada tak jauh dari sofa terdapat suatu rak rak kecil berisi beberapa tanaman unik dan tak lazim dijumpai oleh kebanyakan manusia. di meja sofa terdapat beberapa tumpuk buku yang sebagian masih terbuka.

Sai duduk, mengambil sebuah buku diary usang dari buku-buku tersebut. Cowok itu membuka halaman pertama buku dan mengeluarkan selembar foto keluarga. Yap, foto keluarga yang berisi Dirinya, Tay, Rai, dan tentu saja Zayden. Sai menatap gamang pada sosok Zayden. Selama ini Sai sudah mengetahui segala kebenaran melalui diary tersebut, diary milik ayahnya. Itulah tujuan Sai mengembangkan perusahaan ini, diam-diam dia mulai meneliti segala sesuatu dan teknologi yang kelak dapat digunakan untuk menjembatani vampir dan manusia.

"Vampir, vampir, dan vampir... semua membuatku muak." Sai membating Diary dan foto tersebut ke atas meja, kemudia mulai mengacak acak rambutnya lelah. "Kenapa vampir tercipta? Kenapa?".

Ditengah stresnya, Sai melirik pada tumpukan buku paling bawah yang dari sisi sampulnya bertuliskan "Half Of The Devil". Cowok itu segera meraihnya, membaca lembar demi lembar buku tersebut yang menceritakan tentang asal usul vampir yang sesungguhnya.

Vampir tercipta karena kesalahan sosok malaikat yang bernama Muriel, dimana karena suatu kesalahan malaikat itu dikutuk dan dibuang dari surga, ia pun menjadi bagian dari iblis yang dikenal dengan Apollyon yang dalam sejarahnya tertulis sebagai iblis terkuat kedua setelah Lucifer, julukannya memiliki arti 'Kebinasaan' atau 'Si Penghancur'. Ia disebut-sebut merupakan raja dari lubang tanpa dasar (jurang maut) yang berisikan jiwa-jiwa yang tersesat.

Dikisahkan bahwa Apollyon memiliki 3 garis keturunan yang masing masih menjadi penguasa dari langit, daratan, serta lautan. Keturunan yang menjadi penguasa langit dikenal dengan iblis yang bernama Abigrel Uldric serta keturunannya, Sementara yang menjadi penguasa daratan dikenal sebagai vampir yang bernama Lexander Natahaniel. Disisi lain, keturunan yang berkuasa di laut dikenal sebagai siren yang bernama Leukosia Eldoris.

Seketika Sai tersekat, tangannya dengan sigap mengatupkan kedua buku tersebut, kemudian meraih selembar foto yang tadi dia banting. Cowok itu melihat bagian belakang foto yang tertulis Leanderson Natahaniel. Dunia seolah mengutuknya, ayahnya, yang secara tidak langsung merupakan keturuan asli iblis tersebut yang artinya, dia adalah juga merupakan bagian dari iblis itu.

Sai sempat ingin melanjutkannya namun, jam kuno yang terpajang dalam ruangan itu berdentang, jam dengan ukiran pahatan kayu khas yang dapat kita prediksi berusia lebih dari 70 tahun itu menunjukkan pukul 6 sore."Arrrghhh cepat sekali waktu berlalu."

Cowok itu tak menghiraukan tumpukan yang sedikit berserakan, justru memacu langkahnya keluar dari perpustakaan itu. Suasana kantor mulai sepi terlihat asistennya juga sudah mulai berkemas untuk pulang. Sai bergegas mengambil ponsel dan kunci mobilnya diatas meja kerja, kemudian berlari menuju ke lift. Lift milik pegawai dipenuhi oleh banyak orang yang mengantri. Sementara Sai, tak mau ambil pusing, cowok itu menggunakan kartu aksesnya untuk memanfaatkan lift khusus yang sengaja didesain untuknya seorang.

"Woy Tong, Ngapa Mised call Mised call lo?" Ponselnya bergetar notifikasi pesan dari Rai. Sai lega Rai masih hidup, mengingat tumben-tumbenan nih rendang sapi kaga contact dari kemarin, biasanya dia yang paling bawel. Layar notifikasi itu beralih pada sebuah getra panggilan yang langung Sai Angkat.

Tanpa basa basi Sai langsung berujar "Typo noh, s nya tuh 2... wkwkw.".

"Lah Bodoamat."

"Udah, buruan bilang... ngapain lo nelvon tadi?"

"Kaga papa, lo kaga balik? lagi pada dimana sih?"

"Ada tugas negara... lagian perasaaan stok ciki ma mie udah gua penuhin deh di lemari, ngga usah ngerengek."

"Huanjirrr... Lo kira gue nelvon cuma buat minta chiki, kek anak tk aja gue." Sai berujar sewot sembari mulai menyalakan mesin mobilnya dan keluar dari parkiran yang ada di basement.

"Ya habis apaan dong?"

"Balik, udah kek bang Toyib aja lo, ngga pulang-pulang."

"Cieeeee kangen yak?" Rai mulai menggoda Sai.

"Kaga, noh rumah kaga ada yg ngurus, ogah banget gua nyapu sendiri, cuci piring sendiri.."

"Jadi lo nyuruh kita pulang cuma buat jadi babu? Adek lucknut."

"Eeeeiitttsss kan gue adek, gue raja dong."

"Enak aja kaga, dimana-mana yang namanya raja itu kakak ya."

"Elah balik napa, noh kecoak kamar mandi juga kaga ada yang ngusir."

"MANJA!! eh tuh kecoak sama badan elo yang segede itu pasti gepeng sekali tepuk. Ada-ada aja lo tong."

Telepon tiba-tiba terputus, namun Sai dapat mendengar dengan jelas seseorang terbatuk yang masuk ke dalam telepon, Sai tak perlu menerka siapa itu, Cowok itu sudah jelas hafal itu suara Tay. Cowok itu sempat mencemaskan kondisi kedua kakaknya, namun sepersekian detik setelahnya dia menambah kecepatan mobilnya melesat sejauh oraang siap bunuh diri dengan alasan alias 120 km/jam.

"Tay?" Rai mengambil segelas air yang telah disiapkan di tas nakas dan meminumkannya pada Tay. Cowok itu juga membantu Tay untuk duduk. Tay hanya diam, memegangi rusuknya yang tentu saja masih nyeri akibat pertarungan tadi.

"Lo udah baikan?"

"Mana ada baikan secepat itu, orang tulang tulang gue patah semua." Ujar Tay santai yang langsung membuat Rai cengo.

"Hushhh, heh... bengong lagi. Ntar kesambet aing maung repot anjirrr."

"Enak aja, aing maung aing maung." Rai menepis tangan Tay yang nempel di jidatnya buat mastiin kesurupan kagak.

"Lah kan cuma mastiin." decahnya.

"Lo.... patah tulang beneran? patah tulang kok masih resek sih.... nih ya lo mustinya tobat, takut takut takutnya ntar udah dipanggil sama izrail lo."

"Hushhh, malah doain mati."

"Cuma ngomong, ngga doain.... kalo doain kan ada amin nya."

"Huanjiirrrr.... perkataan itu doa geblekk."

"Yah, ya jangan doain gue geblek dong."

"Bener juga ya... pantes lo geblek."

"Kamvret." Rai memukul wajah Tay dengan bantal sekenanya kemudian melenggang keluar dari kamar. Cowok itu ngga lagi mendengarkan omelan tay serta teriakan histerisnya berusaha mendapatkan perhatian Rai.

"Keabadian itu boleh ada dalam diri lo, tapi perubahan akan tetap selalu ada dalam keabadian itu Rai. Gue gak tau, sampai kapan gue akan mengenal lo yang sekarang. Namun, gue berharap saat lo berubah nantinya, itu bukan alasan yang menyakitkan gue, Sai, maupun siapapun." Tay tersenyum tipis menatap punggung Rai yang menghilang beriringan dengan tertutupnya pintu kamar.