Part 10

Gelap rerimbunan hutan ditambah lembapnya gua menyambut perjalanan Zayden menuju ke tempat persembunyiannya. Sebuah rumah sederhana yang dikelilingi berbagai persenjataan. Tanaman tanaman obat aneh yang langka pun tumbuh disekita rumahnya, disebelahnya terdapat aliran sungai jernih dengan batu batu cadas yang indah. Dari sungai itu Zayden mengalirkannya ke sebuah kolam pemandian setinggi 4 kaki yang berada tepat dipelataran rumah. Cowok itu melepas kemejanya memperlihatkan memar ke unguan dan beberapa biru akibat pertarungannya dengan Tay.

Zayden mengambil beberapa tumbuhan saliara untuk mengobati memar ditubuhnya dan kemudian berendam di dalam kolam. "Baru pulang?" Zayden tak perlu berbalik hanya untuk melihat suara siapa itu, cowok itu hanya mengangguk "Ada masalah Zayana?". Sosok gadis dengan dress hitam selutut itu pun menggeleng. Gadis itu meletakkan handuk serta segelas darah di tepi kolam dan beranjak pergi begitu saja.

"Kamu rindu adik-adikmu?" Langkah gadis itu terhenti berbalik menatap sinis pada Zayden "urus saja adik-adikmu dan jangan sentuh adik-adikku.". Zayden tertawa "Sayangnya adikmu adalah sahabatnya dan lebih sayang lagi dia yang melindungi adik-adikku sekarang, Yana.". "Jangan panggil aku seperti itu, dan jangan pernah kau sentuh adikku." Gadis berjalan kesal ke arah Zayden. "Jangan marah, Zy." Zayana memukuli Zayden tanpa ampun, walaupun pukulan gadis itu sama sekali tak menggunakan tenaga vampir. "Sakit sakit sakit." erang Zayden.

Puas memukuli Zayden, Zayana pun berniat untuk kembali ke dapur. Tepian kolam yang lincin membuat gadis itu terpeleset dan jatuh ke dalam kolam, Zayden menangkap tubuh Zayana. Selama sesaat keduanya bertatapan sebelum akhirnya Zayana kembali sadar. Gadis itu mengernyit sembari membersih percikan percikan air ditubuhnya serta dressnya yang basa akibat tangan Zayden. "Gak makasih nih?" Sindir Zayden saat Zayana melengos masuk ke dalam rumah. "Oh okay... ngga dihargai gue." Gerutu Zayden kembali merendam dirinya.

Zayana urung menuju dapur gadis itu mempercepat langkahnya memasuki kamar, sesekali tangan gadis itu mengusap air matanya yang mulai bercucuran. Gadis itu tak menyempatkan diri menutup pintu kamarnya, langkahnya memburu sebuah bingkai foto di atas nakas tempat tidurnya, dibaliknya bingkai foto yang berisikan sebuah lukisan air terjun itu, terdapat sebuah foto dirinya dengan adiknya dan juga ayah dan ibunya. Didekapnya bingkai itu dengan erat, isaknya pun mulai terdengar.

Zayden bukanlah serpent yang tuli, mengingat serpent memiliki indra tyang lebih tajam dari manusia. Ada rasa tak tega begitu ia mendengar isakan Zayana. Cowok itu keluar dari kolam dan mengeringkan badannya, sorot matanya mengarah pada jendela kamar Zayana yang tirainya tak tertutup sehingga Zayden dapat melihat dengan jelas gadis itu menangis dengan sebuah bingkai foto dalam pelukannya. Zayden tak tau betul itu foto siapa, tapi menilik dari kejadian pasti sudah pasti bingkai itu ada hubungannya dengan Zion, adiknya.

Zion masih menunggui Rai yang sedari tadi belum sadarkan diri, sementara Eryk memilih untuk meninggalkan rumah dengan alasan ingin menenangkan diri. Perlahan bau darah serpent menjamah hidungnya, instingnya sebagai serpent membuatnya mengeluarkan kedua taringnya, bersiap menghadapi bahaya.

Langkahnya pelan menuju pintu utama untuk mengecek sumber bau yang ia cium. Zion sempat ragu, namun semua keraguannya luruh tatkala mendapati Tay terkapar dengan lumuran darah dihalaman rumah. Secepat kilat cowok itu menghambur kearah Tay tanpa peduli menutup pintu rumahnya kembali.

Zion meraih tangan Tay memeriksa kondisi cowok itu selama sesaat, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. "Shittt!! Siapa yang udah bikin lo kayak gini." Geramnya membuat. Sorot cowok itu kini dipenuhi oleh kebencian, matanya memerah semerah darah.

Selesai membaringkan Tay, di ranjang kamarnya, Zion juga beralih memindahkan Rai ke kamar Eryk. Selesaimemindahkan Rai, Zion mengambil beberapa obat-obatan dan perban untuk Tay. Hal pertama yang zion lakukan adalah membuka satu persatu baju Tay secara perlahan agar tidak menyentuh luka Tay yang otomatis bisa berakibat fatal juga kalau-kalau lukanya ternyata luka sobek yang bisa makin sobek. Dan yap, cukup sampai baju aja, karena Zion masih merasa martabatnya perlu dijaga untuk sekedar membugili orang sekalipun mereka sejenis. Bagi zion, hal tersebut termasuk perbuatan asusila yang bisa mencoreng nama baiknya apalagi tanpa seizin orangnya, bbisa-bisa dikira dia mesumm nanti, atau lebih parah dari itu.

Zion pun memerban tubuh Tay dengan sangat hati hati, takut dikeplak seandainya Tay kebangun gegara kesakitan.

Ceklek krrrrttttt....!!

Suara pintu terbuka membuat perhatian Zion teralih, matanya menatap pada sela pintu yang setengah terbuka. Kebetulan kamar Zion dan kamar Eryk bersebranngan sehingga ia dapat melihat dengan jelas rai keluar keluar dari kamar tersebut, ttubuhnya masih sempoyongabn sambil memegangi tengkuknya yang dari ekpresinya sangat kentara bahwa ia tengah menahan rasa sakit.

"Masih sakit kah?" Ujar Zion sembari merapikan obat obatan dan sisa perban yang ia gunakan untuk membalut luka Tay. "Ngga juga." Rai enghampiri Zion, cowok itu tersekat mendapati kondisi Tay yang terbaring tak sadarkan diri. Walau wajah tampannya kini nampak jelas, tidak seperti tadi ketika ia masih berdarah.

"Apa yang..."

"Ada penyerangan tadi, tapi lo ga usah khawatir kakak lo bakal pulih setelah 2 3 hari kedepan." Ucap Zion santai menuju ke ambang pintu. Belum cowok itu melewati Rai, tangan cowok itu telah lebih dulu mencengkeram bahu Zion memaksanya untuk berhenti.

"Siapa?"Zion tak menjawab hanya menaikkan salah satu alisnya sebagi respon.

"Kasih tau gue siapa yang ngelakuin ini ke kakak gue." Meski tak keras tapi suaran Rai benar-benar mengisyaratkan kental dendam di dalam hatinya

Zion tersenyum menghadap penuh kepada Rai "Gue gak tau, dan kalaupun lo mau tanya itu, tanyakan pada kakak lo yang saat ini tengah terbaring disana." Zion menunjuk ke arah Tay. Dengan begitu saja Zion meninggalkan Rai yang langsung berlari memeluk Tay.

Rai yang masih lemah jatuh terlelap dengan tangan yang masih memegangi tangan Tay, dan kepalanya yang bertumpu pada tepian kasur. Cowok itu terbangun disebuah tempat dengan bangunan kastil megah yang dikelilingi oleh benteng yang tinggi. Dihadapannya berdiri sosok pria paruh baya dengan dengan kemeja putih yang dilapisi oleh jas hitam. warna celana panjangnya senada dengan sepatu hitamnya yang mengkilat. dileherya melingkar sebuah dari hitam. Sisiran rambutnya yg sedikit berponi dan naikkan ditambah kacamata yang bertengger di wajahnya membuat pria itu terlihat sangat berwibawa.

Rai hanya terdiam, sebelum tubuhnya yang masih lemah limbung ke tanah. Pria itu pun mendekat dan mengulurkan tangannya untuk membatu Rai berdiri. "Apa kabar?" Nada bicaranya benar-benarr kental dengan kewibawaan.

"Baik, anda sendiri?" Pria itu tersenyum namun tak menjawab.

"Sudah 23 tahun Ivan, kamu sangat tampan sekarang." Ivan mengumpat menyadari garis wajah keduanya memiliki kemiripan.

"Iya.... tapi, Ivan? siapa Ivan?"

"Sebuah nama yang aku berikan kepada putraku."

Rai terdiam, wajahnya tertunduk, sekuat tenaga ia menggigit bibirnya agar tidak menangis sedikit pun. Pria itu justru mendekat membelai pelan kepala Rai dan menepuk bahunya."Kamu akan terus bertumbuh dan mengerti tentang kehidupan. Jadilah pria yang baik, dan jadilah pria yang bertanggung jawab dengan semua yang kamu lakukan. Jangan menangis, kau bukan orang yang lemah."

"Ayah? Kemana ayah pergi selama ini?"

"Banyak alasan kenapa tak seharusnya kamu tau kemana ayah selama ini. Ivan, kalian pasti berpikir ayah meninggalkan kalian bukan? Padahal fakta terpahitnya adalah ayah selalu punya 1000 alasan untuk tetap berjuang dan menepis kesedihan ayah untuk tetap terus mengawasi bagaimana hidup kalian berjalan. "

"Kalau begitu, kemana ayah saat Tay dihajar habis-habisan dan tak sadarkan diri seperti sekarang." Suara Rai sedikit mengeras mencengkrang kerah kemeja ayahnya.

"Tay? Oh David..." Sosok itu memainkan jemarinya membuat sebuah serbuk-serbuk emas beterbangan dan dari serbuk-serbuk itu terbentuk suatu cupilkan keilas kejadian yang menimpa Tay, mirip seperti hologram.

"Ada hal yang tak seharusnya ayah campuri."

"Maksud ayah?"

"Sosok itu adalah kakak kalian Zayden. Ayah tau, dia paham bagaimana takaran bertengar dengan adik-adiknya. Karena itu ayah biarkan mereka berdua."

"Tapi karena itu Tay sekarat sekarang."

"Sekarat?" Sosok itu menyeringai "Kamu terlalu meremehkan kemampuan kakakmu itu. Luka seperti tak kan mampu melumpuhkannya lebih dari tiga hari."

"Ivan. Ada yang ayah mau sampaikan." Rai diam namun matanya melirik tajam ke arah sosok itu.

"Ayah anggap itu adalah iya." Sosok itu diam sejenak "Kau tentu sudah tau, mengontrol hasrat pemburu dalam diri kita adalah hal yang tak cukup dikatakan sangat sulit. Semua tentang kita hanyalah abu-abu belaka. Tak ada yang pernah benar-benar tahu siapa itu vampir dan kini manusia justru menggambarkan sosok kita dengan anggapan-anggapan yang salah."

"Yah itulah misteri dari dunia dan kehidupan ini. Kita adalah bagiannya. Misteri menciptakan keajaiban dan keajaiban adalah dasar dari keinginan manusia untuk mengerti. Itulah sebabnya para pemburu vampir hidup di dunia ini, bahkan tak sedikit yang mengaku bahwa mereka vampir."

Rai hanya mendengarkan dan mencoba mencerna ucapan-ucapan ayahnya. "Ivan, sama halnya mereka, maka misteri dari masa lalumu juga mencipatakan keajaiban dalam hidupmu dan keajaiban itu yang nantinya dapat mendorong hasratmu untuk mencari tahu dan mencoba mengerti. Ayah hanya tak mau kamu salah paham, ayah hanya tak mau kamu mengambil jalan salah dalam prosesmu mencari tau itu."

"kesalah pahaman hanyalah bakat orang bodoh." Sanggah Rai cepat "Dan kebodohan adalah kata yg tak pernah pantas bersanding denganku."

"Haha.... Tidak ada yang lebih indah dari bagaimana lautan menolak untuk berhenti mencium garis pantai, tidak peduli berapa kali itu dikirim. Sama sepertimu, menolak segala fakta yang ada hanya untuk meyakini keyakinan rapuhmu, tak peduli bagaimana fakta fakta itu dikirim padamu. Itu sudah jelas menggambarkan ketidak tahuanmu, nak."

Sosok itu mengulurkan tangan pada Rai "Ayo, biarkan ayah membimbingmu sebagaimana tugas ayah. Kamu bisa mulai sekarang, dan menghabiskan 40 tahun lagi untuk belajar tentang segalanya tanpa kehabisan hal baru untuk diketahui, itu tergantung pilihanmu."

Rai sempat ragu namun dia meraih uluran tangannya, sekilas Rai dapat merasakan rasa kasih sayang sosok ayah yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sosok itu menarik tangan Rai dan membuatnya terbangun dari tidurnya.