BAGIAN EMPAT : Menjadi Manusia Berguna

"Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain."

🏅Donny Dhirgantoro🏅

🏅🏅🏅

Pukul delapan lebih dua menit. Aku dan Reta baru bisa berdiri di depan pintu kelas VIII A, kelasku.

Sudah lebih satu jam pelajaran aku dan Reta absen kelas Bu Maya, guru bahasa Indonesia.

Itu semua karena kejadian yang ada di gazebo. Ya siapa lagi kalau bukan karena siswa-siswi kelas IX dan kelas VIII yang meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas ataupun membantunya memahami materi yang belum mereka kuasai.

Setelah pekerjaan rumah Sela selesai, aku harus mengajari Randy mempelajari materi Ujian Nasional matematika yang dua Minggu lagi akan dilaksanakan.

Ketika aku sedang sibuk mengajari Randy, temannya datang, tiga orang jumlahnya. Mereka bercek-cok sebentar, mengadu Randy karena dia pergi menemuiku seorang diri. Dan akhirnya aku juga harus mengajari mereka. Sama, materi Ujian Nasional. Bukan hanya matematika, tetapi juga dengan IPA dan bahasa Inggris.

Pukul tujuh lebih empat puluh lima, Randy dan kawan-kawannya baru mengucapkan 'terima kasih' karena aku telah mengajari mereka.

Dan waktu itu, saat aku dan Reta hendak mengenakan sepatu, tiga murid laki-laki dan satu perempuan menghampiri kami. Setelah mereka menjelaskan, ternyata mereka ada tugas kerja kelompok IPA, biologi untuk mengobservasi salah satu tanaman di sekolah ini.

Reta dan aku sudah menolak. Tetapi, tetap saja mereka memaksaku untuk membantunya. Berbagai alasan dan iming-iming mereka ucapkan agar aku mau membantu mereka. Mulai dari waktunya yang mepet, mau mentraktir kami berdua, dan iming-iming lain yang sudah sering telingaku dengar.

Oke. Kembali ke kalimat Ayahku. Harus menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Dan akhirnya aku membantu mereka mengerjakan tugas kelompoknya.

Reta kembali duduk di gazebo, membuka novel dan membacanya, sementara aku mulai mengerjakan tugas mereka.

Kami sempat ditawari jajan gratis nanti saat istirahat, tapi aku menolaknya. Dan akhirnya mereka pergi, tepat pukul delapan lebih lima detik.

Aku mengetuk pintu kelasku. Dan mengucapkan salam ketika ada seruan 'masuk' dari teman kelasku.

Aku dan Reta menuju meja guru, ada Bu Maya di sana. Aku mengatakan alasan kenapa kami berdua telat. Dan Bu Maya tidak mempermasalahkan hal itu.

"Tidak apa-apa Kayla, Reta, silakan kalian duduk di kursi masing-masing." Bu Maya beranjak berdiri, berjalan menuju tengah ruang kelas.

"Terima kasih, Bu." Kami menjawabnya bersamaan dan langsung berjalan menuju kursi kami yang berdampingan.

"Ibu salut sama kamu, Kayla. Kamu pandai dan pintar, tetapi kamu tidak pernah menyombongkan diri kamu ke orang lain. Bahkan dengan senang hati kamu selalu membantu teman-teman sekolah yang memintamu untuk mengerjakan tugas."

Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Bu Maya.

"Anak-anak, teruslah berusaha menjadi yang terbaik. Ibu tidak meminta kalian untuk menjadi seperti Kayla," ujarnya kemudian. "Ibu yakin kalian tidak akan sanggup," sambungannya yang ditambah dengan kekehan kecil.

"Apalah dayaku yang hanya otak kentang," celetuk siswa yang duduk di kursi pojok depan membuat seisi kelas tertawa.

"Baiklah anak-anak, jam ibu sudah selesai hari ini. Untuk tugasnya, kerjakan buku paket halaman 78 sampai dengan 82. Dikerjakan di buku tulis. Dikumpulkan."

"Aduh Bu, ini aja belum selesai. Masa' ditambah tugas lagi sih?" komen Danu, siswa yang duduk di kursi belakang tengah.

"Astaga, Danu. Sudah berapa kali ibu mengatakan ini, tapi yang jelas ibu akan mengatakannya lagi. 'Kalian harus sering menstimulasikan otak kalian. Karena sekarang adalah waktu yang sangat pas untuk meningkatkan kinerja otak kalian." Kalimat sama diucapkan Bu Maya yang ke 98 kalinya.

"Iya, Bu. Danu sudah hafal kalimat itu," balasnya malas. Aku terkekeh mendengarnya, begitu juga dengan siswa lain.

"Baiklah, Anak-anak. Selamat pagi dan sukses selalu."

"Selamat pagi, Bu."

"Terima kasih."

🏅🏅🏅

Bell istirahat berbunyi. Bu Endah yang mengajar matematika sudah keluar terlebih dahulu setelah mengucapkan salam.

"Kamu mau ke kantin gak, Kay?" Reta bertanya kepadaku.

Aku menggeleng, menolaknya. "Kamu saja. Aku ada perlu di perpustakaan. Maaf ya."

Aku tidak tega membiarkan sahabatku pergi, sendiri.  Dan sebenarnya aku menolak ajakan Reta bukan karena alasan itu, melainkan ada alasan lain.

"Kamu itu ya, Kay, masih saja baca buku. Padahal kan kamu sudah pinter. Malahan yang ada nanti kamu nambahin tulisan ke buku-buku di perpustakaan karena kurang lengkap," kelakar Reta yang aku tanggapi dengan kekehan.

"Ya enggak gitu juga, Ta. Nanti yang ada aku malah diusir sama Bu perpustakaan," balasku seraya beranjak berdiri. "Udahlah, aku mau ke perpus dulu. Bye."

Aku berjalan keluar kelas, menyusuri lorong kelas delapan dan menuruni tangga kelas tujuh karena bangunan tersebut berada di lantai satu.

Aku mempercepat langkah, takut ada murid yang menghentikan langkahku dan memintaku untuk membantu mengerjakan tugas mereka.

Mengembuskan napas lega, akhirnya aku bisa sampai di depan pintu perpustakaan tanpa ada seorangpun yang mencegah langkahku. Ya, meskipun tadi ada beberapa yang memanggilku, tapi aku pura-pura tidak mendengarnya.

Aku membuka pintu perpustakaan. Bau pewangi ruangan ber-AC bercampur aroma khas buku langsung menyapa penciumanku.

Aku mengisi daftar hadir yang memang disediakan oleh penjaga perpustakaan untuk diisi oleh pengunjung bangunan penuh ilmu ini.

Aku berjalan menuju rak berisi novel. Ada banyak jenis novel yang tersedia, mulai dari teen fiction, fantasy, sci-fi, fan fiction, dan lainnya. Semuanya tersedia di delapan rak ini.

Setelah berkutik beberapa menit, aku memutuskan mengambil novel berjudul 'The Star Academy.' Entahlah aku tidak tau apa isi ceritanya, tetapi aku suka dengan sampul dan sinopsisnya.

Aku membawa buku itu menuju lantai dua, karena memang di sana tempat untuk membaca. Mencari tempat kosong dan jauh dari kerumunan, serta menghadapkan wajahku ke arah tembok. Berharap tidak ada yang tau jika aku adalah Kayla.

Aku mulai membuka novel yang tadi kubawa, membaca prolog yang tertera. 'Menarik,' komentarku setelah membaca beberapa paragraf prolog novel ini.

Aku kembali membaca, membuka lembaran demi lembaran baru novel ini untuk mengetahui kelanjutan kisah yang ingin disampaikan oleh penulis.

Lima menit berjalan tak terasa. Hingga kegiatan membacaku terhenti karena ada murid yang duduk disampingku dan memanggil namaku.

"Kayla," panggil murid tersebut. "Kamu Kayla kan? Siswi terpintar di SMP Kita Bisa?" tanyanya memastikan.

Aku menoleh ke sumber suara tersebut. Seorang siswi kelas IX. "Eh? Iya, Kak," jawabku kaku.

"Sudah aku duga. Dari kejauhan saja aura kepadaian kamu sudah terasa di kulitku, meskipun kamu menghadap ke arah tembok. Aku mengenalimu," kata siswi itu memujiku. Memang ada sih aura yang menandakan kepandaian seseorang? Enggak lah. Ngarang aja.

Aku tau, ada udang di balik batu. Pasti siswi itu memiliki masalah hingga dia mendekatiku. "Ngarang ih, Kakak. Mana ada aura kepadaian."

Aku menatap name tag yang tertera, namanya Fania.

Siswi tersebut tertawa pelan. "Ya ada lah, makanya aku tau kalau kamu ada di sini."

Palingan juga nanya sama teman kelasku. Astaga, Kayla! Kenapa kamu jadi negatif thingking?!

"Oiya, kamu mau gak, ajarin aku materi matematika. Kan bentar lagi UN, dan aku belum paham beberapa materi tersebut. Kamu mau kan ajari aku?" tanyanya dengan nada ramah.

Kan! Sudah aku duga. Selalu ada udang yang bersembunyi di balik batu.

Aku tersenyum menanggapinya. "Boleh kok kak, memang materi tentang apa?"

.

.

Dan hingga bel pelajaran ke lima berbunyi, aku baru selesai mengajari siswi tersebut.

Aku memutuskan kembali ke kelas. Mengetuk pintu, meminta maaf karena terlambat, duduk, ditanya oleh Reta, dan kembali melanjutkan pelajaran.

Selalu seperti ini. Aku lelah. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima tawaran itu untuk membantu mereka.

Sudah puluhan kali aku terlambat masuk, dan sudah puluhan kali juga guru-guru memaklumi perbuatanku, bahkan ada yang tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Oh Tuhan, bolehkan aku mengeluh kali ini? Aku lelah. Aku ingin menjadi manusia dengan kepandaian yang biasa saja. Tidak seperti ini. Aku lelah.

Seandainya aku tidak seperti ini, seadainya mereka lupa dengan apa yang aku miliki, mungkin aku tidak akan pernah menjadi sumber utama pencarian ketika ada masalah pelajaran.

Aku lelah.

-To be Continued-

A/n: Hehey... Terima kasih sudah membaca cerita 'Please don't forget me.' Bagaimana menurut kalian part ini? Semoga kalian suka ya...

Vote dan comment selalu aku tunggu dari kalian. Jangan lupa :)

Se you on next chapter. Dan #dirumahaja...

Salam, Nu_Khy