Keluarga Kuno

Ini adalah acara yang paling dibenci Alexandra. Acara keluarga yang berakhir dengan bully-an terhadap dirinya. Bukankah keterlaluan jika harus diejek oleh keluarga sendiri? Sepertinya keluarga ini terlahir beratus-ratus tahun yang lalu. Menjadi wanita yang belum menikah diusia kepala tiga adalah masalah besar bagi mereka. Di keluarga ini, hamil diluar nikah dan kemudian baru menikah terlihat lebih pantas dibandingkan yang belum menikah karena tidak ingin salah langkah. Mereka terlalu kuno, umpat Alexandra dalam hati. Dia bukannya tidak ingin menikah, tetapi bukan perkara mudah mencari pasangan yang akan sehidup semati dengannya. Jika memilih pasangan segampang berburu pernak-pernik cantik, sudah pasti dia tidak menyandang status jomblo saat ini. Cukuplah dia belajar dari hubungan-hubungan sebelumnya yang selalu kandas bak kapal karam ditengah samudera pasifik. Oh ayolah, ini sungguh membuatnya muak mengikuti acara keluarga mereka yang terlalu rutin dilakukan.

"Andra, jangan cemberut begitu. Mereka hanya ingin kamu segera menikah. Mama juga tidak ingin punya anak perawan tua. Tau begitu sudah mama masukin kamu ke biara biar jadi biarawati." Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usia kepala lima itu menegur anak pertamanya yang dari awal memasang wajah cemberut. Andra tidak mengacuhkan perkataan mamanya, dia beranjak dari ruang keluarga yang riuh bahkan mungkin dapat mengalahkan ledakan di Lebanon yang sementara tayang di TV. Dia tidak tahan lagi, mungkin udara segar diluar dapat mengembalikan mood yang dari tadi tidak baik. Lima belas menit kemudian, Andra sudah berada di tepi laut menikmati keindahan senja. Senja selalu dapat mengobati kegundahannya. Senja yang indah saja dapat pergi tanpa pamit, begitupun sesuatu yang indah dalam hidup ini.

Rambut panjang itu dibiarkan terurai dimainkan semilir angin. Andra menghempaskan tubuhnya di atas pasir dan menarik nafas dalam. Laut, senja, kebebasan. Inilah hidupnya, inilah yang dia inginkan. Walaupun setiap hari menikmatinya, gadis ini tak akan pernah bosan. Dia hanya terlalu menikmati kesendiriannya, sungguh pernikahan yang mereka bicarakan tidak seindah drama korea yang selalu dia tonton setiap malam. Dan mereka harus tahu, menikah bukanlah tujuan hidupnya. Tapi dia harus menyimpan hal itu jika tidak ingin mamanya terkena serangan jantung. Hanya ada dua pilihan yang diberikan mama, menikah atau menjadi biarawati. Sungguh, rasanya jika nanti dia bepergian naik pesawat, menjatuhkan diri adalah pilihan terbaik. Atau apakah dia harus menjadi biarawati saja?

"Jangan sekali-kali memikirkan kamu akan menjadi biarawati Alexandra. Tidak ada biarawati yang tergila-gila dengan drama korea, atau tidak bisa hidup tanpa stalking Tom Cruise, Jason Statham atau menonton filmnya Masimo."

"Kamu selalu tahu apa yang aku pikirkan Gev, sepertinya aku mengidap gejala depresi." Ucap Andra dengan mata terpejam. Tidak perlu membuka mata untuk memastikan jika itu Gev, sahabatnya.

"Menikah saja biar depresimu hilang, sesimpel itu nona." Kata Gev yang kemudian duduk disamping gadis yang sedang frustasi itu.

"OK, aku akan menikah denganmu. Sepertinya sedang trend menikung pacar sahabat sendiri. Pastikan saja Laura tidak bunuh diri jika kita menikah. Apalah arti persahabatan selama sepuluh tahun ini, setidaknya aku tidak dicecar keluargaku lagi." Andra menatap Gev dengan serius, seakan mengatakan kalau dia tidak bercanda.

"Sebelum menikahimu, ikutlah denganku ke RS jiwa nona, anda sepertinya butuh perawatan". Tawa mereka pecah, bersanding dengan deburan ombak yang berada di depan mereka. Bersahabat selama sepuluh tahun, membuat Gev sangat mengerti kelakuan sahabatnya itu.

"Jangan terlalu memikirkan masalah itu, kamu hanya perlu menikmati dan menjalani hidupmu. Lakukan saja yang terbaik, mungkin Tuhan sengaja membuatmu menunggu agar kamu dapat belajar menghargai hidupmu sendiri." Sambung Gev sambil menggengam erat tangan Andra. Memberikan kekuatan sebagai seorang sahabat.

Oh Tuhan, bukankah memiliki keluarga dan sahabat seperti ini sudah cukup? Batin Andra sedih.

"Keluargaku tidak berpikir seperti apa yang kau pikirkan Gev. Aku hanya lelah." Ucap Andra lirih. Gev dapat merasakan kegalauan sahabatnya itu, harus hidup ditengah keluarga besar yang begitu banyak aturan dan keinginan pasti membuat frustasi. Dia tahu, Andra sekarang begitu berhati-hati melabuhkan perasaannya setelah berkali-kali gagal. Sifat tertutupnya membuat hampir semua orang tidak tahu sudah berapa banyak kekecewaan yang ditelan gadis itu.

"Tinggallah sedikit lebih lama denganku, aku hanya ingin memejamkan mataku sebentar." Kata Andra. Gev mengangguk, walau Andra memejam mata dia tahu sahabatnya itu tidak akan menolak. Tangan mereka saling menggenggam. Tak butuh waktu lama untuk Andra tertidur lelap. Semilir angin dan deburan ombak mampu membuatnya mengorok pelan. Gev menatap wajah sahabatnya, meski sedang tidur sangat jelas terlihat jika dia menyimpan banyak beban.

Gev teringat bagaimana awal perjumpaan mereka, berada di jurusan yang sama waktu kuliah dan secara kebetulan menjadi kelompok pembuatan tugas. Andra yang selalu ceria, tawa kerasnya mampu membuat seisi kelas terindikasi kehilangan jantung, dan tentu saja tidak pernah terpisah dengan Laura, sahabatnya dari SMA.

Potongan-potongan kenangan itu menghampiri pikiran Gev, Andra yang dulu dan sekarang begitu berbeda. Walaupun saat ini wanita yang tidur di lengannya ini sudah dewasa, tapi Gev merindukan keceriaan Andra yang dulu, menjalani hidup seakan tanpa beban. Rasa iba sebagai seorang sahabat, namun tak pernah ditunjukkan secara nyata didepan Andra. Untung saja Laura mengerti, jika Gev bukan hanya miliknya melainkan milik Andra juga sebagai seorang sahabat.