Sebuah tendangan keras di bagian perutnya, sukses membuatnya terlempar jauh ke belakang dan boneka yang tengah Clarissa pegang itu terlempar ke sembarang arah. Punggungnya menghantam dinding ruangan sangat keras hingga dinding tersebut retak.
"Mari kita mulai!" Zian — sang pelaku — menyeringai, inilah saatnya ia membuktikan kekuatannya dihadapan Ayahnya, Raja Ezriel.
SAAATT!!
BUAGH!!!!
Zian bergerak cepat kemudian mendaratkan satu pukulan lagi, namun Clarissa berhasil menghindar. Tadi nyaris saja ia terkena serangan Zian!
"Shuriken!"
3 buah shuriken bergerak cepat mengarah pada Clarissa. Gadis itu berlari untuk menghindari shuriken-shuriken yang dilempar Uvult.
"Kena!" Uvult tersenyum lebar melihat salah satu shurikennya berhasil melukai lengan kiri Clarissa, setidaknya itu dapat menghambat pergerakan Clarissa sebab Uvult menambahkan racun di dalam shuriken miliknya.
Clarissa meringis pelan kemudian mencabut shuriken itu sambil menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya.
"Kau mau kemana?" Fredrick berlari di samping Clarissa dengan senyum meremehkan melihat lari Clarissa yang begitu lambat menurutnya. "Larimu terlalu lambat!"
BRAK!
Fredrixck mendorong Clarissa cukup keras hingga ia terjatuh ke lantai.
"Eh?"
"Tendangan langit!" Tendangan tinggi Lee dari langit menghantam tanah dengan keras hingga lantai itu retak semua. Clarissa tak bisa menghindari dari serangan itu dan akibatnya ia mengalami luka-luka yang sangat fatal. Rasanya tulang-tulangnya patah semua.
"Bukankah ini sudah berlebihan?" tanya Caliose yang tengah berdiri disamping para tingkat S juga Raja Ezriel. Ia mengepalkan tangannya kuat. Sebagai seorang Kakak tentu ia tak tega melihat adiknya yang bersimbah darah dan meringis kesakitan. Sepertinya ini lebih tepat seperti penyiksaan kepada seorang gadis kecil.
"Tidak, ini belum cukup," jawab Raja Ezriel. Ia mengamati semuanya dengan seksama. Melihat seluruh pergerakan Clarissa.
"Dibandingkan latihan kita menjadi Pilar tingkat S, ini bukan apa-apa Caliose," komentar Willson.
Iya, Caliose tahu akan itu. Tapi rasanya ia tak bisa menerima adiknya diperlakukan seperti itu, walaupun ia bukanlah Kakak kandung Clarissa.
"Padahal aku berharap banyak pada Clarissa," ujar sang Raja.
Caliose mengerutkan keningnya. "Tuan, sebenarnya apa yang anda harapkan dari Clarissa?"
"Kekuatan."
"Kekuatan?" bingung Caliose. Setahunya Clarissa hanya memiliki sihir putih berupa penyembuhan karena ras-nya adalah Peri. "Apa maksud anda sihir putihnya? Clarissa kan hanya memiliki kekuatan penyembuhan saja."
Raja Ezriel menggeleng pelan. "Untuk apa aku merekrutnya jika dia hanya memiliki sihir putih penyembuhan?"
Caliose ingin melanjutkan perbincangannya lebih banyak dengan sang Raja, namun kejadian dihadapannya lebih menarik perhatiannya dan ia mengurungkan niatnya lebih dulu. Sama sepertinya, Raja Ezriel dan Pilar tingkat S lainnya pun memperhatikan yang sama.
"Argh..." Clarissa mengerang kesakitan saat Zian menjambak rambutnya denga. keras.
"MANA KEKUATANMU?!! APA KAU TAK PUNYA KEKUATAN ITU?!!" Zian berteriak tepat dihadapan wajah Clarissa. Diperlakukan seperti itu, Clarissa hanya bisa memejamkan matanya sambil menahan rasa sakit disekujur tubuhnya. Ia tak bisa bergerak lagi karena racun dari Uvult telah bekerja.
SYUUT!
"CLARISSA! MENGHINDAR!!!" teriak Caliose saat melihat sebuah tombak besar dilemparkan oleh Galileo.
SLUBB!!!
Clarissa tak menghindar sedikitpun karena racun di dalam tubuhnya yang membuatnya tak bisa bergerak sedikitpun. Tombak itu menusuk tepat di dadanya, di bagian jantungnya. Saat itu juga detak jantungnya berhenti.
"Uhukk..." ia memuntahkan darah dari mulutnya. Setelah itu dirinya tumbang ke tanah dan menghembuskan napasnya untuk terakhir kalinya.
Mereka semua yang menyaksikan melotot kaget, terkecuali Zian, Fredrick, Lee, Galileo dan Uvult. Mereka memang sudah berencana membunuh Clarissa sejak dulu, namun baru kali ini mereka berhasil.
"Hei, seharusnya aku yang membunuhnya." Zian menatap tajam pada Galileo.
Galileo hanya tersenyum merasa tak berdosa. "Yang penting dia sudah mati sesuai rencana kita!"
Zian, Fredrick, Lee dan Uvult mengangguk bersamaan. Setidaknya rencana mereka memang berhasil.
"Ayah, kau sudah lihatkan jika dia tidak pantas menjadi Pilar tingkat S?" Zian tersenyum puas. "Dia lebih pantas mati!"
"Kalian..." Caliose menatap geram pada kelima Pilar itu. Aura kuat keluar dari tubuhnya. Api membara di seluruh tubuhnya dan mengaliri pedang besar di punggungnya. Ia menarik pedang besar miliknya itu kemudian bersiap-siap untuk menyerang Zian dan yang lainnya. "Bersiaplah untuk mati di tangan ku!"
Zian, Fredrick, Lee, Galileo dan Uvult bergeridik ngeri melihat kemarahan Caliose karena mereka telah membunuh Clarissa.
Sang Raja menghela napas panjang. "Tak ada yang menyuruh kalian untuk membunuhnya kan? Rasa kan akibatnya karena kalian sudah kelewat batas! Dan Zian, maaf karena aku tak bisa menolongmu kali ini."
"Ck..." Zian berdecak geram mendengar kalimat terakhir sang Ayah.
Caliose baru saja ingin mulai menyerang tapi kejadian yang dilihat dihadapannya kali ini, ia mengurungkan niatnya lagi. Semua orang juga melihatnya dengan horor.
Jasad Clarissa tiba-tiba berubah bentuk menjadi boneka beruang saat Galileo menarik tombaknya, ia sendiri merasa bingung.
"Apa yang—" Galileo tak melanjutkan perkataannya ketika melihat boneka Clarissa yang terlempak karena serangan pertama Zian, berubah bentuk menjadi sosok Clarissa.
"Clarissa..." gumam Caliose.
"Aku belum mati, Kak," ucapnya, agar Kakaknya itu tak khawatir.
"Tapi bagaimana bisa?" bingung Caliose.
"Aku memindahkan jiwaku ke dalam bonekaku sebelum tombak Galileo menusuk tubuhku," jawab Clarissa dengan wajah datar.
"Ck! Licik sekali kau ini!" Zian mendecak kesal.
Clarissa tak memperdulikan itu, ia tak membalas perkataan Zian. Ia mengambil kembali bonekanya dengan benang-benangnya yang tak terlihat. Kemudian memeluk bonekanya dengan erat dan berbisik, "Maaf telah memperalatmu, Venus."
Caliose menghela napas lega kemudian menyimpan kembali pedangnya, setidaknya adiknya itu selamat.
Raja Ezriel tak memasang wajah bahagia walaupun dugaannya benar jika Clarissa mempunyai kekuatan selain sihir putih. "Untuk setingkat Pilar S, kamu masih belum pantas. Seharusnya kau tidak boleh membiarkan musuhmu untuk melukaimu sedikitpun."
"Clarissa, kau benar-benar mengecewakanku..." lanjutnya dengan memasang wajah kecewa.
Clarissa menunduk, ia merasa benar-benar menyesal karena tak bisa menjadi lebih kuat. "Maaf, Tuan."
"Willson, sisanya kuserahkan padamu." Setelah mengatakan itu pada sang tangan kanan, Raja Ezriel bangkit berdiri dan pergi begitu saja.
"Baik, Tuan."
"Yahh... untuk sekelas tingkat S, kau itu memang memalukan, sih," komentar Vixti setelah Raja Ezriel benar-benar menghilang. Walaupun Clarissa bisa memindahkan jiwanya ke dalam bonekanya, itu belum cukup untuk membuktikan bahwa dirinya memang pantas menjadi seorang Pilar tingkat S.
"Caliose, ajarkan banyak hal tentang bela diri dan sihir pada adikmu itu." Tampak Vixta sangat kecewa dari raut wajahnya.
"Sudah ku bilang, bocah itu memang tidak pantas menjadi bagian dari kita," tambah Zian.
"Senior, sebaiknya kalian jangan banyak berharap pada bocah 10 tahun ini!" Uvult tertawa meremehkan.
"Hei, kenapa kau tidak mengundurkan diri saja lalu kembali ke kota pusat Negeri Cahaya?" Fredrick mendekati Clarissa kemudian menarik dagu gadis itu kasar karena perbedaan tinggi mereka yang begitu jauh.
"Fredrick, turunkan tanganmu!" Caliose tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat Clarissa kemudian menyentuh gagang pedangnya, hendak menarik pedang besar di punggungnya lagi. Ia akan menebas siapa pun yang menyentuh Clarissa mulai hari ini.
"Baik-baik!" Fredrick segera melepaskan cengkramannya, mengangkat kedua tangannya kemudian menepuk pundak Caliose, "Kau memang Kakak yang baik!"
"Jadi... bagaimana? Apa dia akan dikeluarkan?" Lee bertanya pada Willson tepatnya.
Mendengar itu, Clarissa menjadi ketakutan sendiri. Ia tahu bahwa tidak boleh ada satu orang pun yang keluar dari Pasukan Kegelapan ini. Jika ia dinyatakan dikeluarkan atau mengundurkan diri, ia akan dibunuh. Jadi tidak ada jalan keluar jika telah masuk ke dalam Pasukan Kegelapan seperti mereka.
"T-tidak... Kumohon... Aku tak mau dikeluarkan..." cicitnya, ketakutan.
"Hah? Apa? Aku tidak mendengar mu."
"Ja-jangan keluarkan aku, Senior!" Clarissa mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk berteriak seperti itu.
"Oh... Kau sudah berani berteriak seperti itu, ya?" Galileo memasang wajah penuh kebenciannya.
"Siapa yang kau panggil Senior?" tanya Uvult, sengaja memancing Clarissa.
"Senior Willson, Senior Caliose, Senior Vixta dan Senior Vixti," jawab Clarissa dengan polosnya.
"Oh, apa kau tidak memanggil kami senior juga?" Uvult menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
"Ternyata selain lemah dan bocah, kau ini lupa diri juga, ya? Kau seharusnya memanggil kami Senior juga! Kami tinggal disini lebih lama darimu! Dan kami lebih kuat dibandingkan kamu!" ucap Zian berapi-api, penuh dengan emosi. Ia menarik kerah baju Clarissa, hingga telapak kaki kecil itu tak bisa menyentuh lantai.
Clarissa menatap Zian tak kalah tajam. Dia sudah cukup kesal dengan pria dihadapannya ini. Ini kali pertamanya ia benar-benar semarah ini semenjak tinggal disini.
"Kenapa?! Kau marah padaku?! Kau benci padaku?! Aku suka tatapanmu itu!" Zian menyeringai.
BUKK!!
Zian melempar Clarissa lagi dengan keras ke dinding. Namun, kali ini Caliose berhasil menangkap Clarissa, sebelum tubuh gadis itu menghantam dinding.
"Apa-apaan kau ini?!!" Caliose berteriak nyalang, ia benar-benar murka sekarang. Sedari tadi ia sudah mencoba bersabar, namun kali ini kesabarannya sudah habis. Melihat Caliose yang sudah emosi, Zian hanya tersenyum tak berdosa.
"K-kak! Te-tenanglah! Aku tidak apa-apa..." Clarissa mencoba menahan Caliose yang hendak menyerang Zian. Bukan berarti ia meragukan kemampuan Caliose, tapi ia hanya takut jika Caliose di hukum oleh Raja Ezriel karenanya.
"Sudah, kita lupakan masalah ini. Sekarang ayo kembali ke tugas kita," Willson menghela napas sejenak. "Ingat kita hanya mengamati mereka lebih dulu dan hancurkan mereka secara perlahan. Kita berangkat sekarang!"
"Oh ya, Clarissa kau bisa menyembuhkan lukamu sendiri di perjalanan, kan?" lanjutnya.
"Bisa."
"Baiklah, ayo berangkat!"
Willson dan yang lainnya segera menghilang dengan sekejap mata menggunakan teleport, kecuali Caliose dan Clarissa.
"Apa kau benar-benar tak apa? Maksudku, aku tak yakin kau bisa menyembuhkan lukamu sendiri. Apa kau ingin ku panggil kan penyembuh?"
"Tidak perlu. Sebentar lagi lukaku sembuh, kok."
"Baiklah," Caliose tersenyum tipis dan tangannya bergerak mengacak-acak rambut Clarissa. Kemudian mereka berdua menghilang menggunakan teleport.
💠💠💠💠
Aku menatap langit malam yang di penuhi bintang-bintang. Cahayanya begitu gemilau, menerangi gelapnya malam. Aku tersenyum kecil. Di Negeri Cahaya ini, langit malamnya begitu indah. Entah kenapa aku merindukan suasana seperti ini. Seperti... suasana di rumahku sebelumnya akhirnya terasa sangat suram setelah pembantaian hafi itu.
"Langitnya cantik, ya?"
Aku terlonjat kaget. Aku segera menoleh — ke kanan, ke kiri — mencari sumber suara. Aku melihat Tari berjalan sambil melambaikan tangannya padaku.
"Apa aku mengganggumu?" Tari tertawa kecil.
"Tidak, aku hanya sedikit terkejut saja tadi." Aku menggaruk tengkuk kepalaku yang tak gatal sebenarnya.
Tari duduk disebelahku, ikut menatap langit-langit malam yang penuh bintang di taman Istana. "Apa latihanmu sudah selesai?" tanyanya memecah keheningan.
Aku menggeleng pelan, "Aku tidak yakin... Maksudku selama ini aku belum bisa mengeluarkan seluruh sihir yang diajarkan Ratu Elina. Aku hanya bisa mengeluarkan sihir dasar seperti sihir penyembuh, pendukung, dan pertahanan. Sepertinya Ratu Elina salah menduga jika aku seorang Penyihir. Aku tidak sekuatmu, Tari. Apalagi jika dibandingkan dengan Oren, Kei dan Hiro. Aku... bukan apa-apa."
Tari menepuk pundak ku pelan, "Jangan berkecil hati, Rose. Aku tahu kamu adalah Penyihir yang kuat! Tidak mungkin kan perkiraan Ratu Elina salah? Yakinlah pada kemampuanmu sendiri!"
Mendengar ucapan-ucapan Tari, aku tersenyum kecil. Setidaknya itu bisa menambah semangatku karena aku belum percaya sepenuhnya. Aku tak bisa melanggar batasanku...
"Sebenarnya Ayahku yang selalu bilang seperti itu. Dulu aku sama sepertimu. Penakut, tidak percaya diri dan lemah. Tapi Ayah selalu menyemangatiku dan meyakinkan ku jika aku bisa dan aku kuat. Semenjak kehilangan Ayah... aku selalu ingat setiap kata-kata penyemangatnya. Itu yang selalu bisa membuatku bertahan dan tetap melanjutkan hidupku."
Tari tersenyum lebar sambil menatap langit malam. Aku tahu sebenarnya dia sangat-sangat sedih saat itu, sama sepertiku. Namun, Tari berbeda. Ia tetap tegar dan tetap tersenyum walaupun sebenarnya ia juga rapuh.
"Maaf ya, aku malah jadi curhat."
"Tidak apa-apa, kok. Kita juga mengalami hal yang sama. Yang berbeda hanya cara kita menjalaninya, kan?" ucapku sambil tersenyum. Tari juga membalas senyumanku dan mengangguk.
Tiba-tiba, ekspresi Tari berubah. Ia menatapku dengan tatapan tajam yang tak bersahabat.
"A-ada apa?" bingung ku.
Tari tak menjawab ku, ia malah menarik busur panahnya, mengarahkan anak panahnya kepadaku. "E-eh?! Kau—"
"Diam, jangan bergerak!" bentak Tari padaku tiba-tiba.
Aku meneguk ludah ku kasar. Sebelumnya aku tak pernah melihat Tari yang seperti ini. Dia... tampak menakutkan. Aku hanya diam, tak bergerak sesuai perintah Tari. Aku tak tahu dia akan melakukan apa, aku hanya menurut saja.
SRAAT!!
Anak panah itu melesat dengan cepat tepat di pinggir telingaku. Itu... nyaris saja mengenai ku! Aku kira Tari sengaja mengarahkannya padaku, ternyata dia memanah ke arah belakangku. Aku berbalik, menatap anak panah Tari yang bergerak melesat dengan sangat cepat.
"Ada apa?" tanyaku pada Tari, masih kebingungan kenapa Tari menarik busur panahnya. Tari tak menjawab ku, dia fokus menatap ke depan, pergerakan anak panah yang diluncurkannya tadi.
DUARRR!!!!
Ledakan kecil yang dihasilkan dari panah Tari membuatku terkejut. Aku baru tahu jika itu salah satu sihir Tari, ia bisa membuat panahnya meledak saat mengenai targetnya.
"Wah, ternyata kemampuan memanahmu sudah meningkat ya, Tari." Pria berkaca mata itu keluar dari kepulan asap.
"Kei! Aku kira siapa..." Tari menghela napas lega, setidaknya itu bukan musuh yang menyelinap. "Tentu, aku tidak membuang-buang waktu sebulan ini untuk berlatih memanah. Aku lihat juga kemampuan mu sudah meningkat."
Kei tersenyum bangga mendengar pujian dari Tari. "Tentu."
Itu benar. Kemampuan Kei sebagai Assasin sudah meningkat jauh hingga aku tak menyadari keberadaannya tadi. Selain itu, kemampuan memanah Tari juga sudah meningkat. Bahkan indra penglihatan dan pendengarannya sudah semakin tajam.
Mereka semua benar-benar berkembang pesat selama sebulan ini. Sedang kan aku? Benar-benar menyedihkan!
"Lalu bagaimana denganmu, Rose?"
"E-eh?!"
Tiba-tiba saja Kei bergerak sangat cepat, bagaikan kilat. Bahkan aku tak tahu dimana dia sekarang. Pergerakannya benar-benar tak terbaca.
SRAATT!
TRANG!
WOOOSH!
Aku terkejut saat Kei tiba-tiba berada disebelahku dan hendan menyerang ku dengan kedua pisau kecilnya namun tajam. Refleks aku mengeluarkan perisai pelindung yang ku buat dari sihir putih ku. Aku menutup kedua mataku saat melakukan perlindungan.
Kei tak lanjut menyerangku, dia menyimpan kembali pisaunya di tas kecil pinggangnya. "Buka matamu, aku takkan menyerangmu lagi," kudengar dia tertawa kecil.
Aku membuka kedua mataku perlahan-lahan. Aku mencebik kesal melihatnya yang tertawa sendiri padahal tidak ada yang lucu! "Kau tiba-tiba saja menyerang ku!"
Tawa Kei semakin meledak entah karena apa, aku pun tak tahu. "Maaf-maaf, aku hanya ingin mengetes kemampuanmu."
Kei mengulurkan tangannya padaku. Aku menghela napas sebelum akhirnya menerima uluran tangannya dan bangkit berdiri.
"Ini!" Kei memberikan dua buah jubah putih dengan logo bintang di punggungnya.
"Apa ini?" Tari ikut bangkit berdiri kemudian mengambil salah satu jubah itu.
"Jubah sebagai tanda jika kita adalah Pahlawan Cahaya. Ratu Elina menyuruh kita untuk memakai jubah ini saat melaksanakan misi."
Tari mengangguk mengerti. Aku juga segera mengambil jubah yang satunya lagi.
"Terima kasih, Kei," ucapku.
"Sama-sama," Kei tersenyum tipis.
"Ayo kembali ke Istana. Hiro, Oren dan Ratu Elina sudah menunggu," lanjutnya.
"A-aduh... perutku sakit..." Tari meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. "Bagaimana jika kita mencari makanan terlebih dahulu?"
"Tidak perlu, Oren sudah memasak."
"Eh?!! Oren bisa memasak?!!"